Selasa, 31 Mei 2011

Novel Maulana Syamsuri

PERNAK-PERNIK PUISI

ISBN 979-98235-4-6

Malam sudah larut, sudah lewat tengah malam, angin yang berhembus dari arah laut membawa udara dingin dan ombak masih terus berdebur-debur membentuk pantai. Tak seorang pun yang peduli pada deburan ombak. Tidak ada yang peduli pad buih air laut yang berderai-derai dan tampak seperti pernik-pernik indah diterpa cahaya bulan purnama, padahal suasana pantai itu amat ramai. Ratusan orang yang terdiri dari berbagai usia, mulai anak-anak, para remaja yang berpapasan dan orang-orang lanjut usia semua berbaur menjadi satu di panggir laut itu.

Diantara ratusan orang itu, tampak seorang lelaki tua yang duduk diatas kursi roda sudah sejak matahari terbenam berada di pinggir laut yang menghadap ke Selat Malaka itu. Nenek-nenek tua yang giginya sudah ompong, berkaca mata putih tebal dan seluruh rambutnya sudah putih juga tidak bergeming di pinggir laut itu. Bahkan tiga orang lelaki tua yang jenggotnya panjang, bertubuh bengkok dan tongkat tidak pernah lepas dari tangannya, amat asyik berdiri di pantai itu.

Nenek-nenek tua, lelaki di atas kursi roda, dan lelaki bongkok bertongkat itu, serta anak-anak dan ratusan pasang remaja lainnya, sudah berjam-jam di pinggiran laut itu untuk menikmati malam bulan purnama, untuk merayakan prosesi karnaval Cap Go Meh, sebuah tradisi masyarakat China yang sudah lebih dari 40 tahun itu terpasung oleh suasana yang sudah lengser. Malam itu, di pinggir laut yang menghadap ke Selat Malaka, barongsai dan kesenian tradisional China seperti liong melakukan atraksi akrobat sejak matahari terbenam.

Ratusan warga China dari berbagai suku seperti Teochiu, Hakka dan Hakkian berkumpul disana sejak matahati terbenam. Meskipun sudah puluhan tahun mereka meninggalkan kota kelahirannya di daratan China, tapi mereka masih tetap mencintai budaya dan kesenian leluhurnya. Bahkan yang lahir di republik ini, dibesarkan disini dan mencari makan di negeri ini juga amat banyak, tapi mereka tetap senang pada seni yang budaya leluhurnya.

Tepuk tangan amat meriah ketika seorang lelaki muda asal Lou A Yok, tidak jauh dari rumah dusun Sukaramai, yang memainkan barongsai itu usai melakukan demonstasi akrobat. Apa lagi ketika seorang lelaki China, yang biasanya disebut tangsin, bertelangjang dada melakukan atraksi menyayat lidahnya sendiri dengan pedang tajam lalu darah mengucur. Lelaki yang biasa disebut tangsin itu tetap saja sehat bugar meski pun darah amat banyak mengucur dari lidahnya.

Laut pun mulai pasang dan semakin berdebu-debur serta angin yang berhembus dari arah tengah laut semakin terasa, tapi ratusan pengunjung karnaval Cap Go Meh itu tetap saja tidak perduli, tidak satu pun yang beranjak. Apa lagi ketika lelaki yang disebut sebagai tangsin yang bagi masyarakat China perantauan berarti badan besar tempat bersemayamnya roh para dewa, membagi-bagikan semacam azimat diatas kertas yang bertuliskan aksara Mandarin dengan tinta darah berasal dari lidahnya. Ratusan pengunjung saling berebut untuk mendapatkan azimat yang dibagikan itu dapat menjadi penangkal cahaya dan menambah rezeki.

Lebih empat puluh tahun masyarakat China di negeri ini merindukan suasana seperti itu, suasana Imlek yang meriah dan barongsai atau liong boleh tampil dimana-mana. Jutaan warga yang bermata sipit amat bersyukur, bahwa keleluasaan dan kebahagiaan telah hadir di depan mereka. Rasanya dewa Nacha atau dewa rezeki, dewa Seng Kong yang mengusir ilmu jahat dan dewa kesetiaan, Kwan Kong, telah turun di depan mereka.

“Selamat untukmu, Liem!”, seorang gadis berwajah cantik namun matanya sipit seperti umumnya gadis-gadis keturunan China, menyerbu kerumunan orang ketika pemain barongsai itu mengakhiri atraksinya.

Gadis bermata sipit itu tidak hanya mengulurkan tangan mengucapkan selamat dan rasa kagumnya, tapi juga memberi ciuman hangat.

“Terima kasih, Nio!” sahut pemain barongsai yang bermandi keringat karena hampir sepanjang malam melakukan atraksi akrobat, menggerak-gerakkan topeng kepala singa yang buntutnya panjang.

“Penampilanmu benar-benar mengagumkan. Kapan tampil lagi?” tanya gadis cantik itu dengan tatapan mata berbinar diterpa cahaya bulan purnama yang bergantung di langit. Tidak ada awan tebal yang melindungi bulan di langit sehingga suasana pantai itu benar-benar terang benderang. Bintang-bintang pun amat banyak. Bahkan kunang-kunang pun seperti ingin ikut menerangi pantai itu, seperti ingin ikut merayakan Cap Go Meh bersama ratusan warga China, tua muda, anak-anak dan kakek nenek.

“Nanti, ketika kamu merayakan ulang tahun, aku akan tampil lagi!”, sahut lelaki gagah itu.

“Sungguh?”

“Tentu saja!”

Tidak hanya Nona Ong San Nio yang memberikan ucapan selamat kepada Tan You Liem, sang pemain barongsai itu, tapi seorang nenek yang sudah bongkok juga memberikan ucapan selamat dan ciuman. Lelaki muda berkostum merah itu tertawa gembira.

“Dimana pun kamu main, nenek akan selalu hadir untuk melihat kebolehanmu!”, ucap sng nenek dalam bahasa Mandarin yang amat kental.

“Terima kasih. Kita akan selalu bertemu lagi!”

“Andainya aku punya anak perempuan, pasti kamu akan kuambil sebagai menantu!” ujar sang nenek penuh semangat dengan bahasa Mandarin. Pada masa anak-anaknya yang amat manis dulu, ia selalu menyaksikan barongsai dan liong di kota kelahirannyaa di kota kecil Hangzhou di propinsi Zhejiang, Cina.

Lelaki muda itu hanya tersenyum senang. Masih puluhan orang memberikan selamat kepada lelaki muda itu.

Karnaval itu bubar ketika sesaat lagi fajar akan terbit di ufuk timur dan para nelayan mulai berlayar ke tengah laut untuk menangkap ikan. Puluhan mobil dan puluhan sepeda motor satu demi satu meninggalkan pantai itu.

Pantai itu kembali sepi, dan yang terdengar hanya debur ombak membentuk pantai atau desau angin. Semua pulang dengan perasaan amat puas. Malam Cap Go Meh di pinggir laut itu benar-benar memberi kesan teramat indah. Dan acara seperti itu tidak hanya terjadi di pinggir pantai, tapi juga dirayakan di hotel-hotel berbintang atau di pust-pusat perbelanjaan. Jutaan orang warga keturunan China di negeri ini benar-benar menikmati suasana Indonesia Merdeka. Warga China berpesta pora dimana-mana tanpa ada larangan seperti di masa dulu.

Masyarakat China sudah sembuh dari luka yang teramat parah karena ditoreh pisau prahara kerusuhan yng lalu, ketika rumah, harta benda, mobil, dan toko mereka dibakar, dan isinya dijarah. Bahkan tragedi kerusuhan itu jug menelan korban jiwa yang tidak sedikit. Sudah lama kerusuhan itu terjadi, tapi masyarakat dari etnis China tidak akan pernah melupakan tragedi yang paling pahit itu, ketika terjadi perkosaan massal terhadap perempuan-perempuan etnis bermata sipit.

Sekarang masyarakat China boleh berbahagia, sebab reformasi yang bergulir meskipun harus diawali dengan jatuhnya korban nyawa, harta benda, bahkan juga harga diri. Namun etnis China mendapatkan keleluasaan dan kemudahan. Lihatlah, media massa berbahasa Mandarin muncul dimana-mana. Perguruan bernuansa China juga amat banyak. Lebih berbahagia lagi karena tahun baru Imlek telah dijadikan hari libur resmi di negeri ini.

Lihatlah di jalan-jalan raya yang amat ramai terpampang spanduk berwarna merah berukuran besar bertuliskan Gong Xi Fa Cai. Tulisan seperti itu juga tampak di hotel-hotel besar, di pusat perbelanjaan dan juga dimuat sebagai iklan di surat kabar terkemuka dengan ukuran besar. Bahkan tulisan seperti itu juga terbaca di layar televisi.

***

Di antara debur ombak yang membentur pantai, sayup-sayup terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan. Langit di ufuk timur berwarna merah tandanya sesaat lagi fajar akan terbit dan azan subuh akan berkumandang dimana-mana.

Lelaki muda pemain barongsai itu, Tan You Liem, adalah lelaki orang yang paling terakhir meninggalkan pantai itu. Lelaki itu sudah diatas sepeda motornya ketika terdengar kokok ayam bersahut-sahutan. Tidak perduli angin yang menerpa wajahnya, lelaki itu meluncur amat cepat diatas sepeda motornya dan dadanya terbungkus jaket tebal untuk melindungi dirinya dari angin malam yang dingin dan embun pagi sudah turun, lekat di daun-daun pohon karet, lekat di daun-daun pohon kelapa sawit atau di rumput-rumput yang tumbuh sepanjang jalan dari pantai menuju kawasan Lou A Yok, tidak jauh dari rumah susun Sukaramai, tempat tinggal lelaki pemain barongsai itu.

Liem terpisah dari belasan kawan-kawannya yang lainnya mengendarai sepeda motornya masing-masing dengan kecepatan tinggi. Matanya terasa perih karena terpaan angin malam yang membawa embun dan juga karena dibebani rasa kantuk yang amat berat. Sorot lampu sepeda motornya menembus embun pagi. Sesekali ia berpapasan dengan petani yang mengendarai sepeda tua membawa beban sayur mayur, buah-buahan atau hasil ladang lainnya untuk dijual di kota.

Lewat kawasan Tanjung Morawa, lelaki muda itu berpapasan dengan orang–orang yang sedang berjalan kaki menuju mesjid untuk melaksanakan sholat subuh. Sesaat lagi azan subuh akan bergema dimana-mana. Sesaat lagi masjid-masjid akan penuh oleh orang-orang yang melakukan sholat subuh berjamaah. Orang tua, lelaki dan perempuan, kaum muda, memadati masjid-masjid, meskipun dimata mereka masih bersisa rasa kantuk dan angin pun berhembus giris membawa kenikmatan tersendiri untuk mendapatkan berkah dalam menjalani rutinitas kehidupan.

Dan lelaki muda diatas sepeda motor Mega Pro itu juga merasakan kantuk yang semakin berat, sehingga tidak menyadari seseorang sedang menyeberang jalan. Penyeberang jalan itu tampak tergesa-gesa. Tan You Liem tidak mampu mengelak sehingga sepeda motornya menbrak penyeberang jalan itu.

Demi Tuhan, ia tidak menyadari, bahwa setelah sepanjang malam menampilkan pertunjukan barongsai dengan sukses, ketika dalam perjalanan pulang, Liem menabrak seorang penyeberang jalan. Padahal lelaki yang malang itu sedang menuju masjid Nurul Huda.

Lelaki yang malang itu terkapar di tengah jalan. Liem sendiri merasa amat kaget dan kehilangan keseimbangan dirinya, lalu sepeda motor itu menabrak truk yang sedang berhenti. Lelaki muda pemain barongsai itu terpental beberapa meter dari ats sepeda motornya. Namun helm yang melekat di kepalanya benar-benar mampu melindungi kepalanya dari gegar otak dan sekaligus melindungi nyawanya. Liem hanya mengalami luka-luka di tangan dan kakinya, namun ia masih mampu berdiri meskipun dengan amat susah payah akibat terhempas amat keras.

Matahari belum terbit, tapi kawasan Amplas memang selalu ramai sepanjang hari dan malam. Orang-orang segera berkerumunan berusaha menolong lelaki penyeberang aspal, tapi laki-laki yang malang itu tidak bergerak lagi sesaat setelah terhempas di aspal. Matanya segera terkatup rapat dan jantungnya tidak berdenyut lagi.

“Pak Hasan ditabrak Honda!”, ujar seseorang yang akan berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat subuh. Empat orang lainnya segera menghampiri Pak Hasan untuk menolongnya.

“Ya, Tuhan. Pak Hasan sudah meninggal!”, sambut seorang lelaki lainnya yang memperhatikan matanya dan denyut nadinya.

Beberapa orang lelaki segera mengusung tubuh yang malang itu ke pinggir jalan dan meletakkannya di atas rumput. Orang semakin ramai menyaksikan kecelakaan itu.

“Siapa yang menabrak?”, teriak salah seorang anak muda.

“Itu dia!”. Itu dia”, sahut beberapa orang dan menunjuk ke arah utara, ke arah Liem yang sedang berusaha bangkit setelah dirinya terhempas amat keras.

Anak muda pemain barongsai itu merasa kepalanya tiba-tiba pening dan matanya berkunang-kunang, tapi ia masih dapat melihat orang-orang segera berdatangan. Sayup-sayup lelaki keturunan China yang bertempat tinggal di kawasan Lou A Yok itu masih mampu mendengar beberapa orang berteriak-teriak.

“Tangkap! Tangkap dia!”

“Jangan biarkan lari!”, teriak yang lain.

“Jangan biarkan lolos!”, tambah seseorang

“Hajar dia!”.

“Dia pasti mabuk!”, sambung seorang lelaki berambut cepak.

“Dia pasti baru pulang dari pesta shabu-shabu!”.

“Pasti dia sedang teler!”.

“Pasti dia menjual narkoba yang baru pulang dari hotel!”.

“Habisi dia!”.

“Pecahkan kepalanya!”.

“Benamkan ke parit, biar mampus!”.

Orang-orang semakin banyak berkerumunan di tempat kecelakaan itu. Provokator selalu saja muncul bila sekelompok orang sudah berkumpul. Preman yang selalu bergadang sepanjang malam juga ada diantara kerumunan orang itu. Bahkan penjahat yang baru saja menodong sopir taksi juga tampak diantara sekelompok orang itu.

“Siram sepeda motornya dengan bensin!”, entah dari mana datangnya teriakan itu. Pada saat itu provokator selalu melakukan perannya dengan amat baik.

“Bakar saja!”.

“Bakar!. Bakar!”, sambung lainnya. Semakin banyak orang berteriak-teriak. Tentu saja anak muda yagn baru saja menabrak seorang lelaki yang menyeberang jalan itu amat takut mendengar teriakan-teriakan yang amat kasar itu. Apalagi dari kejauhan tampak wajah-wajah yang beringas. Dimana-mana selalu terjadi, seseorang yang berbuatt keselahan amat sepele jadi korban amuk massa, bahkan tidak jarang dibakar hidup-hidup.

Provokator memang selalu berhasil membangkitkan semangat. Apalagi kecelakaaan itu terjadi tidak jauh dari sebuah kios Ompung Simarmata, penjual bensin. Dua orang laki-laki yang baru saja minum tuak di Lapo Tuak Hutajulu dengan sempoyongan mendatangi kios Ompung Simarmata. Seenak perutnya dua orang laki-laki muda yang sempoyongan itu mengambil dengan paksa jerigen berisi bensin.

“Jangan ambil bensin itu!”. Jangan ambil!”. Ompung Simarmata berusaha mempertahankan miliknya. Tapi dua laki-laki yang sedang teler itu tetap berusaha merebutnya. Dua lelaki itu sudah terpengaruh oleh hasutan provokator untuk membakar sepeda motor yang telah menabrak Pak Hasan.

“Nanti kami bayar!”, ujar salah seorang dari lelaki yang sedang teler itu.

“Bereslah itu!. Gampang diatur!”, tambah kawannya yang juga sedang teler berat karena terlalu banyak minum tuak di malam yang dingin itu.

“Jangan!. Jangan!”. Ompung Simarmata tetap mempertahankan agar jerigen berisi bensin itu tidak dibawa apalagi untuk membakar sepeda motor. Tapi sekali sodok pada bagian perutnya membuat lelaki kelahiran Tarutung itu terjengkang.

Dua orang lelaki berwajah bringas itu segera membawa lari jerigen berisi bensin itu dan tidak perduli pemiliknya berteriak-teriak mencegah.

“Kembalikan!. Kembalikan!”.

Teriakan itu sia-sia dan dua lelaki yang sedang teler itu segera menyiram sepeda motor milik Tan You Liem dengan bensin yang berasal dari kios Ompung Simarmata. Salah seorang menyalakan korek api, lalu dalam waktu hanya beberapa detik saja, api pun berkobar. Terdengar suara keras, seperti ledakan bom ketika tangki sepeda motor itu meledak. Api pun menjulang tinggi. Reformasi sudah bergulir dan warga etnis China benar-benar menikmati keleluasaan dan kebahagiaan, tapi tindakan anarkis masih saja selalu terjadi dimana-mana. Tindakan main hakim sendiri masih banyak terjadi di bumi pertiwi yang sedang sakit ini.

Sudah banyak pelaku tindak kejahatan yang menjadi korban amukan massa dan dibakar hidup-hidup. Sudah sering terjadi sopir bus kota menjadi korban main hakim sendiri hingga babak belur dan kendaraannya dibakar hingga jadi abu. Karena menabrak bocah bahkan pernah terjadi oknum polisi berpakaian preman yang sedang mengejar penjahat malah diteriaki perampok lalu puluhan massa tanpa pikir panjang menghajar beramai-ramai hingga akhirnya sang polisi yang malang itu tewas. Reformasi memang sedang berjalan, tapi ternyata tidak memiliki arah yang pasti. Reformasi ternyata sudah berjalan melenceng dan kebablasan. Hingga korban pun berjatuhan dimana-mana.

Kobaran api menjulang tinggi dan asap mengepul di langit dari sepeda motor milik seorang lelaki non pribumi yang baru saja merayakan Cap Go Meh di pinggir pantai dibakar massa. Pemilik sepeda motor itu, Tan You Liem masih sempat menyaksikan sepeda motor miliknya dilalap api. Lelaki muda pemain barongsai itu amat takut. Dengan kaki-kaki terpincang-pincang dia berusaha menghindari massa dan berusaha lari. Tapi lari justru menyebabkan kemarahan sekelompok orang itu. Dia dianggap melarikan diri setelah menabrak orang. Bahkan provokator berteriak-teriak lagi:

“Rampoooook!. Rampoooook!”.

“Tangkap!. Kejaaaar!”.

“Bakar dia!. Bakaaaaar!”.

Puluhan orang segera melakukan pengejaran, padahal lelaki non pribumi itu bukan perampok, tapi seorang pemain barongsai yang baru saja pulang dari melakukan atraksi di tepi pantai. Lelaki itu berusaha menghindar dan masuk sebuah gang sempit. Tapi nasib pemain barongsai itu memang benar-benar sedang apes, dia tidak tau sama sekali bahwa lari ke sebuah gang sempit menyebabkan dia akan mudah tertangkap. Apa lagi gang itu ternyata buntu.

Tidak sampai sepuluh menit, lima orang lelaki muda, tiga orang diantaranya dari mulutnya menyebar bau minuman keras berhasil melumpuhkannya.

“Ampuni saya. Maafkan saya!”, ujar Tan You Liem memelas ketika sebuah tinju tiba-tiba saja melayang mengenai pelipisnya. Darah segera mengucur.

“Jangan pukul saya!. Jangan pukul saya!”, lelaki keturunan China itu memelas lagi dan berusaha menangkis ketika sebuah tinju melayang lagi kearah dagunya. Darah mengucur lagi dari mulutnya.

“Saya bukan rampok!. Saya bukan penjahat!”, lelaki keturunan China itu berusaha membela diri. “Saya orang baik-baik”.

“Tapi kenapa kamu lari? Ha?”. Sebuah pukulan keras menyinggahi pipinya lagi. Dengan keadaan kesakitan lelaki non pribumi itu segera diseret ke tepi jalan raya. Belasan orang segera menghujaninya dengan tinju, bahkan yang memukul kepalanya dengan sepotong kayu juga ada. Bersamaan dengan terdengarnya azan subuh dari puncak menara masjid, seorang lelaki yang baru saja dikagumi banyak orang karena penampilannya yang sangat baik dalam atraksi barongsai, saat itu telah menjadi korban amuk massa. Padahal ia bukan perampok, ia bukan penjahat. Dia bukan pencuri. Liem hanya menabrak seorang lelaki yang menyeberang amat tergesa-gesa.

Kasihan lelaki muda itu. Tidak seorang pun yang menolongnya. Justru semua orang yang berkerumunan itu berusaha ambil bagian untuk member hadiah pukulan kea rah tubuhnya. Dalam keadaaan tidak berdaya dan pingsan, bau bensin pun segera menyebar Karena tubuh lelaki malang itu sudah bermandi premium.

“Nyalakan korek api!”, teriak salah seorang provokator.

“Bakaaaaar,” sambut yang lain.

“Biar jadi abu!”.

“Biar dia mampus!”.

“Biar dia tahu diri!”.

Seseorang menyalakan korek api dan sesaat kemudian api pun berkobar. Namun sebelum api menjilat seluruh tubuh lelaki itu, sebuah mobil patroli sedang lewat. Tuhan masih menyelamatkan nyawa lelaki muda pemain barongsai itu dari maut. Empat orang polisi telah menyelamatkan Tan You Liem dari amukan api, telah menyelamatkannya dari amuk massa, tapi lelaki itu sudah tidak berdaya. Dari pelipis, dari hidung dan dari mulutnya mengucur darah. Dua giginya juga rontok. Bahkan sebahagian tubuhnya sudah mengalami luka-luka bakar.

***

A

mat banyak orang mengagumi lelaki itu karena kelincahannya dan Karena kebolehannya melakukan atraksi akrobatik barongsai, namun dia harus menyerah kepada kezaliman dan kekejaman sekelompok orang. Kekejaman memang sudah sering terjadi di negeri yang elok namun sudah bertahun-tahun tidak kunjung sembuh dari berbagai penyakit kronis, yakni krisis ekonomi dan lebih parah lagi krisis hukum. Juga krisis moral di negeri ini hukum tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Dua hari dia tidak sadar dan terbaring dirumah sakit karena luka-luka yang dideritanya bukan saja karena terjatuh dari sepeda motor saat menabrak seorang penyeberang jalan, tapi karena pukulan sekelompok orang. Bahkan dua buah giginya rontok. Lelaki itu juga mengalami luka-luka bakar yang hampir saja merenggut nyawanya.

Ketika lelaki muda keturunan China itu membuka matanya, masih dalam kondisi amat lemah dan kedua orang tuanya dengan wajah amat sedih senantiasa ada di sisinya. Juga seorang gadis cilik yang pernah memberinya ucapan selamat dan mencium di pipi selalu ada di sisinya.

“Dimana saya, mama?”, tanyanya dalam bahasa Mandarin ketika dia mulai sadar, bahwa di sisinya adalah seorang perempuan yang telah melahirkannya ke dunia.

“Kamu berada di rumah sakit, Liem!”, sahut mamanya menahan genangan air mata.

“Kenapa semua tampak gelap dan berputar-putar?”.

“Karena kamu belum sembuh benar.”

“Kenapa saya masuh rumah sakit, Ma?”.

“Kamu terjatuh dari sepeda motor…”

Perempuan berkaca mata itu tidak mengatakan bahwa puteranya telah menabrak seorang penyeberang jalan karena khawatir jiwanya belum kuat.

“Dimana saya jatuh?”

“Tidak jauh dari kawasan Amplas”.

“Tahukah mama saya darimana?”

“Kamu baru pulang dari pantai merayakan Cap Go Meh dan kamu tampil bagus sekali. Banyak orang mengagumi kamu.”

“Kalau begitu…..kalau begitu….”, ucapan lelaki muda yang terbaring lemah itu tersendat. Lelaki muda itu mulai dapat berpikir, mulai dapat mengingat apa yang telah terjadi atas dirinya.

“Masa kritis sudah lewat, Liem. Kamu akan segera sehat dan pulang kerumah.” Sang mama berusaha mengalihkan perhatian puteranya dari tragedi yang dialaminya tidak jauh dari Amplas. Tapi lelaki muda itu mulai mampu mengingat apa yang telah dialaminya.

“Saya ingat sekarang, Ma. Saya baru saja menabrak orang yang sedang menyeberang jalan.”

“Ya!”. Mamanya mengangguk lirih.

“Alangkah ngerinya, Mama!. Sangat mengerikan”.

“Lupakan hal itu anakku. Mama sudah menyelesaikan semua itu dengan baik.”

“Bagaimana keadaan laki-laki yang saya tabrak itu, Mama?”

“E….e…Cuma luka-luka ringan,” sahut mamanya dan menunduk. Perempuan itu terpaksa berbohong. Ada sesuatu yang disembunyikan perempuan berkaca mata putih itu.

“Syukurlah. Saya sangat takut, dia mengalami luka parah. Saya sangat takut dia meninggal…”

“Lukanya memang tidak parah. Tapi…tapi…” perempuan itu tidak mampu melanjutkan kata-katanya karena khawatir puteranya akan mengalami pukulan batin yang dahsyat.

“Tapi kenapa, Mama?”. Di rumah sakit mana orang itu dirawat. Ingin rasanya saya segera menjenguknya dan memohon maaf. Saya yakin orang itu adalah lelaki yang baik. Tampaknya saat itu dia sangat tergesa-gesa ketika menyeberang jalan dan tidak menyadari ada sepeda motor meluncur kencang.”

“Kamu benar, anakku. Tapi tidak mungkin kamu menemuinya lagi.”

“Kenapa tidak mungkin?. Di rumah sakit manapun, meski pun diujung langit, saya harus mencarinya, harus menemuinya, harus meminta maaf kepadanya. Biarlah saya mencium ujung kakinya”, ujar Tan You Liem serius.

“Tidak mungkin lagi, anakku”. Sang mama membelai rambut anaknya dengan kasih saying. Ada perasaan iba yang sangat besar dalam hatinya.

“Kenapa tidak mungkin?”

“Karena…karena…” sang mama tidak mampu melanjutkan kata-kata itu.

“Karena apa, Mama?. Katakan terus terang!. Bukankah mama katakana orang itu hanya mengalami luka-luka ringan?. Di rumah sakit mana dia dirawat?”.

“Dia…dia…sudah meninggal…”, kata-kata itu diucapkan oleh Nyonya Hwa amat lirih dan perasaan was-was.

“Meninggal?. Bukankah kata mama dia hanya menderita luka ringan?. Alangkah ngerinya kalau dia benar-benar meninggal. Dosa saya amat berat. Sungguh sangat menakutkan, Mama. Saya benar-benar takut, Mama!. Saya takut!. Saya telah menyebabkan seseorang meninggal. Saya sangat berdosa. Oh”.

Tiba-tiba tangan lelaki muda itu mencari lengan mamanya untuk mencari tempat berpegang yang kukuh. Ketakutan tiba-tiba menghantui dirinya.

“Tidak usah takut, anakku”. Bujuk sang ibu dan membiarkan puteranya memegang lengannya erat-erat.

“Tapi dia mati karena saya, karena saya telah menabraknya.”

“Benar!. Tidak salah kamu yang menabrak laki-laki itu, tapi dia mati bukan karena luka-luka akibat kecelakaan lalu lintas. Dia meninggal bukan karena kamu menabraknya. Dia mengalami kematiannya kerena penyakit jantungnya kambuh. Dia meninggal bukan karena kecelakaan, tapi karena serangan jantung akibat kaget.”

“Saya menyesal, Ma. Sungguh saya sangat menyesal. Dan saya takut sekali.” Lelaki muda pemain barongsai itu menyembunyikan muka, seperti sedang menghadapi hantu yang paling mengerikan ada didepannya dan sedang berusaha untuk menjerat lehernya.

“Tidak usah terlalu takut, anakku. Mama sudah bertemu keluarganya. Mama sudah membereskan semua urusan berkaitan dengan kecelakaan itu. Bahkan urusan dengan polisi sudah tidak ada lagi.”

“Tapi sungguh sangat mengerikan buat saya, Mama!. Mengerikan sekali!. Saya telah menyebabkan kematiaanya.”

“Kematian orang itu bukan karena kamu, Liem. Visum dokter menjelaskan, bahwa laki-laki korban kecelakaan itu meninggal karena serangan jantung, bukan karena luka-luka yang dideritanya. Sebab tidak ada bagian tubuhnya yang luka parah dan tangan serta kakinya juga tidak sempat patah. Polisi juga sudah mengecek ke dokter spesialis jantung, ternyata lelaki itu sudah sering berobat kesana dan benar-benar menderita kelainan jantung.”

Panjang lebar perempuan berdarah China yang berasal dari keluarga yang dilahirkan di Guangxi Zhuangzu, China itu menuturkan bahwa keluarga korban kecelakaan itu adalah keluarga yang amat taak pada agama. Korban yang bernama Mohammad Hasan adalah muazim di Masjid Nurul Huda. Setiap waktu-waktu sholat, bila dari puncak menara masjid Nurul Huda berkumandang suara azan, pastilah orang yang melantunkan azan itu adalah Pak Hasan, ayah dari 4 orang anak.

Tidak perduli hujan lebat, tidak perduli angin kencang yang menyebabkan dahan-dahan patah, tidak perduli udara amat dingin hingga marasuk ke sum-sum tulang, dua puluh menit sebelum waktu sholat tiba, almarhum Pak Hasan sudah membuka pintu dan jendela-jendela masjid. Masuk masjid paling awal dan pulang paling akhir, itulah sosok Pak Hasan.

Tidak hanya sebagai muazim, bila ada pesta perkawinan atau mengkhitankan anak, atau mentabalkan nama bayi, lelaki itu pasti hadir untuk melantunkan barzanzi dan marhaba. Suaranya benar-benar merdu. Tidak hanya itu, dalam penyambutan pengantin, lelaki itu selalu menjadi pembawa acara. Banyak pantun-pantun yang dilantunkannya menyebabkan acara penyambutan pengantin selalu benar-benar semarak.

Bila ada anggota masyarakat yanga akan berangkat ke Tanah Suci dan dilepas dengan suara azan, pastilah yang melantunkannya adalah Pak Hasan. Ia akan tetap dikenang hingga di Tanah Suci , hingga ke Madinah, hingga ke Masjidil Haram, hingga ke Jabal Rahmah, bahkan hingga ke Padang Arafah atau hingga ke tempat pelontaran Jamrah di Mina.

Di depan Multazam, nama Pak Hasan sudah sering disebut jamaah haji, terutama yang berasal dari kawasan Amplas. Banyak para jamaah haji mendoakan agar Pak Hasan juga dapat berangkat ke Tanah Suci.

Namun pada hari yang naas itu, Pak Hasan sedang menderita flu karena selama beberapa hari diguyur hujan. Obat-obat flu yang diberikan dokter ternyata mengandung penenang dan kadar obat tidur yang cukup tinggi. Itulah sebabnya di pagi yang naas itu dia terlambat bangun, sementara waktu subuh sudah tiba. Itulah sebabnya Pak Hasan tergesa-gesa berangkat ke masjid untuk mengumandangkan azan. Tergesa-gesa menyebabkan dia kurang hati-hati dan menyeberang jalan tanpa menyadari ada kendaraan dari arah Tanjung Mowara muncul dan menyerempetnya. Pak Hasan terjatuh dan pingsan.

Hanya beberapa saat terkapar di atas aspal, ayah dari 4 anak itu menghembuskan nafas yang terakhir, bukan karena luka-luka yang dideritanya, tapi karena serangan jantung. Meskipun jantungnya tidak berdenyut lagi, tapi masyarakat di kawasan Amplas itu segera mengantarnya ke rumah sakit.

Syukurlah seluruh penghuni rumah itu adalah orang-orang yang taat pada agama sehingga selalu berkata jujur dan tidak ingin melakukan pemerasan. Andainya keluarga itu adalah orang-orang yang tidak taat pada agama, pastilah akan mengada-ada, pastilah papa dan mama Tan You Liem akan menjadi sapi perah. Pasti mereka akan mengatakan Pak Hasan meninggal akibat luka-luka yang dideritanya dan biaya rumah sakit yang hanya tiga ratus ribu akan dikatakan sepuluh juta atau lebih.

Tidak hanya itu. Mungkin uang keluarga almarhum juga akan menuntut uang duka, uang pemakaman, uang kenduri, upah-upah, dan ganti rugi nafkah keluarga karena tidak ada lagi yang mencari nafkah setelah ditinggalkan Pak Hasan.

Tapi keluarga yang baik hati dan amat taat pada agama itu tidak banyak menuntut. Keluarga dari rumpun Melayu memang tidak ingin menjadikan orang lain sebagai sapi perah. Orang-orang Melayu selalu tidak sampai hati walaupun hanya untuk mencubit orang lain. Keluarga Melayu selalu berbudi luhur. Memang tidak salah kalau orang selalu berkata, bahwa Melayu itu berbudaya,beradat dan berturai. Lihatlah keluarga yang ditinggalkan almarhum Pak Hasan. Mereka tidak sampai hati hati untuk menuntut sekian puluh juta, padahal yang menyebabkan kematian sang ayahanda adalah lelaki keturunan China.

Keluarga almarhum Pak Hasan hanya pasrah. Bila papa dan mama Tan You Liem harus memberikan lima juta rupiah, karena kesadaran mamanya sendiri, bukan karena tekanan atau pemerasan dengan dalih kematian akibat ditabrak sepeda motor.

Dengan ditemani adik lelakinya, Nyonya Hwa hadir pada saat jenazah almarhum Pak Hasan akan diberangkatkan ke tempat pemakamannya. Nyonya Hwa sadar, dia bukan seorang muslim, namun dia menyaksikan ketika jenazah itu disholatkan di masjid Nurul Huda. Masjid itu meskipun sudah dilakukan perluasan dan direnovasi, tidak mampu menampung orang-orang yang ikut melaksanakan sholat jenazah.

Pada saat jenazah itu diusung, terasa amat ringan, sebagai tanda lelaki yang meninggal itu adalah sosok yang bersih dari dosa dan jauh dari perbuatan tercela. Iring-iringan orang yang mengantarnya ke kubur juga amat panjang, amat banyak, tandanya yang meninggal adalah seseorang yang amat disenangi dalam pergaulan. Usai sholat zuhur biasanya matahari amat terik seakan ingin membakar semua isi bumi yang sudah sarat dengan dosa. Tapi saat jenazah itu diusung, awan putih melindungi iring-iringan pembawa jenazah itu dari terik matahari.

Burung-burung di ranting pohon tidak ada yang bermain, tidak ada yang mencericit. Semua menundukkan kepala karena kesedihan yang dalam seorang lelaki yang baik telah pergi untuk selamanya.

Amat banyak yang terasa kehilangan setelah kepergian Pak Hasan, terutama masjid Nuruh Huda. Siapa lagi yang akan membuka pintu masjid menjelang subuh yang dingin dan angin pun berhembus giris? Apalagi kalau hujan turun. Siapa lagi yang akan melantunkan azan menjelang subuh? Siapa yang rela melangkahkan kaki dari rumah kalau hujan turun amat lebat? Siapa yang akan melantunkan barzanzi dan marhaba kalau ada acara perkawinan? Siapa yang akan melantunkan azan kalau ada anggota masyarakat akan berangkat ke Tanah Suci?

Warga kawasan yang terletak tidak jauh dari Amplas itu benar-benar kehilangan seorang lelaki yang amat baik, polos dan mudah mengulurkan tangan. Padahal kehidupannya amat sederhana, hanya seorang pemilik kios di pasar tradisional Simpang Lemon dan barang dagangan yang dijual adalah barang-barang pecah belah, mulai dari gelas, piring, teko, telana dan alat-alat masak. Entah siapa yang akan menjaga kios itu setelah Pak Hasan menghadap Allah, sementara anaknya yang pertama adalah seorang perempuan yang sedang kuliah di Fakultas MIPA jurusan Farmasi.

Entah siapa yang akan menjemput ustaz kalau di masjid itu majilis ta’lim.

***

M

eskipun seorang ayah telah pergi untuk selamanya, tapi tidak ada dendam di kalangan keluarga yang ditinggalkan. Hal itu tercermin ketika Nyonya Hwa datang untuk menyampaikan permohonan maaf dan penyesalan yang amat besar atas kelalaian puteranya yang menyebabkan kecelakaan itu harus terjadi.

Nyonya Hwa datang ke rumah duka itu bersama adik lelakinya dan Nyonya Hwa sengaja meminta bantuan polisi untuk melindungi keamanannya dan mengantisipasi akan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Siapa tahu anggota keluarga itu masih amat marah dan dendam. Siap tahu Leim masih diamuk angkara murka. Siapa tahu preman-preman di sekitar kawasan itu yang pernah menghajar Liem hingga dua giginya rontok dan berusaha membakarnya hidup-hidup seperti layaknya menghakimi penjahat besar, masih mengumbar amarah.

Bahkan sebelum melangkah keluar rumahnya, Nyonya Hwa sengaja terlebih dahulu melakukan sembahyang dan memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk melindungi dirinya dari kekejaman yang mungkin terulang lagi, seperti yang dialami puteranya yang hampir saja menemui kematian karena dibakar hidup-hidup. Sebagai seorang penganut Khonghucu yang setia, lama ia bersimpuh di depan meja sembahyang atau altar. Dengan hio di tangan dia memohon keselamatan dan memohon semoga keluarga korban kecelakaan itu dilembutkan hatinya.

Dan apa yang dikhawatirkan Nyonya Hwa benar-benar tidak terjadi. Tidak ada lagi dendam, tidak ada lagi angkara murka. Tidak ada lagi preman-preman yang mengumbar amarah. Di rumah duka itu sedang berkumpul semua anggota dan kerabat terdekat. Juga pemuka masyarakat. Tidak ada lagi gunung meletus. Tidak ada lagi gempa. Tidak ada lagi preman yang bertindak anarkis.

Nyonya Hwa tidak mampu membendung air mata ketika dia menyampaikan permintaan maaf atas kelalaian puteranya yang menyebabkan Pak Hasan meninggal dunia. Nyonya Hwa tersedu-sedu dan kata-katanya tersendat-sendat. Sebab sebagai manusia biasa Nyonya Hwa dapat merasakan kesedihan yang amat dalam di hati anggota keluarga di rumah itu yang telah kehilangan seorang ayah tercinta, padahal seorang ayah amat penting artinya dalam memimpin sebuah keluarga.

Nyonya Hwa pula yang menawarkan berapa ia harus membayar ganti rugi serta uang duka yang diminta keluarga itu. Tapi keluarga itu benar-benar tidak mengajukan tuntutan apa-apa. Mereka hanya menghendaki penyelesaian secara kekeluargaan.

Bu Rahmah yang dilahirkan di Perbaungan itu kini sudah menjadi seorang janda dan dia pun tidak mampu membendung air mata ketika menyambut kedatangan Nyonya Hwa. Bu Rahmah yang hatinya sedang dililit duka teramat dalam, merasa terhibur dengan kedatangan Nyonya Hwa yang menyampaikan permohonan maaf, serta menyampaikan penyesalannya dan kesedihannya untuk memberikan uang duka berapapun yang diminta.

Al Ustaz H. Abdul Manaf yang mewakili masyarakat juga ikut berbicara pada pertemuan itu. Pemuka masyarakat itu dapat memahami kecelakaan itu dan dia pun amat menyesalkan terjadinya pembakaran atas sepeda motor milik anak Nyonya Hwa, serta percobaan membakar hidup-hidup puteranya. Tapi Ustaz yang selalu menjadi khotib Jum’at itu mengatakan hal itu terjadi karena munculnya provokator. Saat ini provokator selalu terjadi dimana-mana dan semua pihak harus selalu waspada agar tidak terjadi tindakan main hakim sendiri.

Nyonya Hwa merasa lega. Tidak ada lagi beban pikiran yang berat. Kalau akhirnya dia harus memberikan lima juta rupiah karena dia benar-benar ikhlas dan rela. Bukankah keluarga itu telah kehilangan seorang ayah dan tidak ada lagi yang mencari nafkah? Entah siapa yang akan melanjutkan usaha dagangnya di pasar tradisional Simpang Lemon. Apalagi Nyonya Hwa akan selalu ingat ajaran agamanya, setiap umat Khonghucu harus memiliki etika yang tinggi dalam masyarakat.

Nyonya Hwa pun selalu membaca kitab-kitab Su Si, Hau King dan Thai Wu Chang atau lima sifat yang mulia yang amat menekankan akan adanya cinta kasih, rasa kebenaran, kebajikan, tahu diri, harus budi pekerti dan rasa tepo seliro serta memahami perasaan orang lain. Alangkah mulianya ajarang itu. Dan itulah yang harus dihayati serta dilaksanakan oleh Nyonya Hwa, terutama setelah seorang puteranya telah menyebabkan orang lain harus menemui kematiannya. Nyonya Hwa memohon maaf dan memberikan uang santunan.

Dan semua memang selesai dengan baik. Tidak ada lagi dendam. tidak ada angkara murka. Tidak ada lagi tuntutan apa-apa. Tidak ada lagi bakar-membakar. Tidak ada lagi api yang berkobar. Tidak ada lagi urusan dengan polisi. Nyonya Hwa dan segenap keluarganya dapat menjalani kehidupannya dengan tenang. Preman-preman di sekitar kawasan Amplas yang jumlahnya amat banyak dan biasanya mudah terpancing untuk melakukan tindakan anarkis, tidak seorang pun yang mendatangi rumahnya. Tidak seorang pun preman yang biasanya bringas itu berusaha meminta uang dari keluarga Liem.

“Cepatlah sembuh, Liem. Bila kamu sudah meninggalkan rumah sakit ini, yang pertama harus kamu lakukan adalah mengunjungi Lithang,” terdengar suara Nyonya Hwa ketika puteranya merasa haus kemudian Nyonya Hwa menyodorkan segelas air bening. Dia akan selalu ingat Lithang dan orang China juga menyebutnya Klenteng dan umat Budha menyebutnya Vihara, tempat melakukan ibadah.

“Mama ingin kita melakukan sembahyang bersama-sama disana kemudian kamu harus memohon ampun kepada para leluhur. Siapa tahu selama ini ada keluarga kita yang telah berdosa hingga para leluhur murka dan terjadilah peristiwa naas itu. Kita harus menebusnya, anakku.” Ujar Nyonya Hwa dengan bahasa China yang masih amat kental dan membelai rambut puteranya.

Seorang gadis bermata sipit dan wajahnya cantik yang selalu berada disisi Tan You Leim, ikut bicara:

“Aku juga akan melakukan sembahyang itu, Leim. Aku ingin menemani kamu tidak hanya di rumah sakit ini, tapi juga di rumah ibadat. Aku ingin bersamamu menyalakan hio,” kata gadis bermata sipit yang selalu disisi Liem ikut berkata-kata.

“Syukurlah bila kamu ikut, Nio. Kamu memang seorang gadis yang baik,” sahut Nyonya Hwa dan menyadari betapa amat besarr perhatian gadis karyawati sebuah bank swasta papan atas itu terhadap puteranya. Nyonya Hwa menyadari, ada rasa simpati yang amat besar di hati gadis itu terhadap Liem. Dari caranya memandang, dari caranya berkata-kata, dari caranya bergaul, Nyonya Hwa menyadari bahwa gadis itu amat mencintai puteranya.

“Cepatlah sembuh, Liem. Aku selalu mendoakan kamu. Aku sudah meminta bantuan Haksu You Heng untuk memimpin kebaktian itu!”, ujar gadis karyawati bank itu lagi yang sudah hampir seminggu tidak masuk kantor dan memohon cuti hanya untuk menunggu seorang lelaki yang dikagumi dan sekaligus dicintainya di rumah sakit itu karena luka-luka bakar.

Diam-diam, dirumahnya yang terletak di kawasan Pulo Brayan itu, Nio selalu bersimpuh di depan Hio Hwee, altar leluhur dan berdoa untuk Liem. Lelaki itu amat berkenan dihatinya. Bibirnya selalu menyebut nama itu. Dan lelaki itu selalu hadir dalam mimpi mimpinya. Sudah beberapa kali dia selalu makan bersama lelaki itu di restoran. Sudah beberapa kali Nio dan Liem pergi ke gunung dan naik kuda mengitari bukit-bukit yang ditumbuhi pohon pinus. Tiap naik kuda, pasti Liem memegang tangannya erat-erat karena Liem tidak ingin Nio terhempas dari punggung kuda.

Diam-diam Nio dan Liem sudah sering berkeliling Danau Toba, hingga ke Tomok menyaksikan pertunjukan Si Gale-Gale, hingga ke Pangururan bahkan hingga ke Tele dan di puncak bukit yang paling tinggi itu Nio rebah di dada Liem.

Sampai kapanpun Nio tidak pernah lupa, ketika di balik semak belukar, ketika tidak ada seorang pun yang lewat, Liem memeluknya amat keras dan mengucup bibirnya amat lama hingga nafasnya terasa sesak. Hingga lipstik di bibirnya terhapus.

Gadis itu amat sedih ketika menyaksikan seorang lelaki yang selalu dirindukannya terbaring tanpa daya dengan sekujur tubuh penuh luka bakar. Dia ingin lelaki yang selalu hadir dihatinya itu segera sembuh. Itulah sebabnya dia selalu berdoa untuk lelaki itu di depan altar di rumahnya. Seperti umumnya keluarga keturunan China, apalagi yang menganut faham Khonghucu pasti di bagian depan rumahnya ad Hio Hwee atau altar leluhur tempat semua anggota keluarga penghuni rumah itu melakukan sembahyang dan berdoa.

Tiap keluarga keturunan China pasti tahu dimana altar itu harus diletakkan, yakni ditempat yang amat mulia jauh dari tempat yang jorok dan kotor, seperti toilet dan kamar mandi. Meletakkan altar yang tidak sesuai pastilah akan mendatangkan nasib buruk bagi setiap anggota keluarga. Namun sebaliknya altar yang ditempatkan di tempat yang sesuai dan terhormat sesuai Hong Sui, diyakini akan membawa keberuntungan bagi penghuni rumah itu. Bagi setiap warga keturunan China, altar itu sungguh sangat dihormati, karena mereka meyakini bahwa di altar itu terdapat roh-roh para leluhur yang senantiasa mengawasi tingkah laku para keluarga yang hidup di atas dunia.

Dan sebelum berangkat ke pantai untuk menyaksikan karnaval Cap Go Meh itu, Nio sudah mengajak Liem untuk pergi dan pulang bersamanya dengan mobil. Tapi anak muda itu memilih lebih senang naik sepeda motor bersama belasan kawan-kawan sebayanya. Loyal dan solidaritas terhadap sesama teman memang amat besar dalam jiwanya. Andainya Leim mengikuti ajakan gadis itu, pasti kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi.

“Aku juga sudah bosan di rumah sakit ini. Aku juga ingin pulang!”, ujar anak muda yang terbaring itu. “Tapi aku amat takut!”.

“Takut? Takut apa? Tidak ada persoalan lagi!”, cetus Nyonya Hwa.

“Takut menabrak orang lagi lau sepeda motorku dibakar, lalu aku pun akan dibakar hidup-hidup!”.

“Tidak!”, sahut Nyonya Hwa menahan keharuan. “Tidak akan ada lagi kecelakaan!”.

“Sejak detik ini, tidak usah lagi naik sepeda motor. Bukankah aku sudah bekerja dengan jabatan yang layak? Bukankah gajiku cukup lumayan dan mampu membeli sebuah Katana meskipun dengan cicilan? Kemanapun aku akan mengantarmu dengan mobil dan aku akan menyetir kalau kamu takut menabrak orang!”, sahut Nio.

Lelaki muda itu hanya menghela nafas panjang. Kitab-kitab suci yang ada disisi kepala lelaki itu, Ngo King dan Su Si, yang membawanya adalah Nio, gadis yang amat simpati kepadanya. Nio berharap Liem dapat selalu membaca kitab-kitab itu agar jiwanya selalu tenang.

Tapi hanya sesaat Liem menyentuhnya, lalu meletakkan kembali di sisi kepalanya. Karena pandangannya tidak lagi jelas. Penglihatannya menjadi kabur akibat asap tebal ketika api yang dinyalakan sekelompok orang untuk membakar dirinya hidup-hidup ketika Liem baru saja menabrak seorang lelaki yang menyeberang jalan hingga akhirnya tewas.

“Bacalah selalu kitab-kitab suci itu, Liem!”, itulah anjurang, Nio gadis yang ingin selalu didekatnya.

“Mataku kabur, Nio. Aku tidak dapat melihat dengan jelas. Bahkan untuk menatap matamu yang jernih seperti air telaga itu, mataku selalu berair. Aku khawatir apakah aku akan bisa membaca lagi.”

“Kalau begitu, biarlah aku yang akan membacanya untukmu!”, ujar Nio lagi. Dan itulah sebabnya, lebih seminggu Nio ada disisi Liem di rumah sakit itu, tidak hanya untuk menyuapkan makanan, tapi juga untuk membacakan kitab-kitab Ngo King dan Su Si untuk Liem.

Kata-kata itu hanya menyebabkan rasa haru dan kesedihan yang amat dalam di hati orang-orang yang selalu ada disisi Liem selama ia berbaring di rumah sakit.

“Aku yang akan membawa kamu ke dokter spesialis mata nanti, sampai pandanganmu benar-benar sempurna,” itulah kata-kata yang diucapkan gadis bermata sipit itu.

“Terima kasih, Nio. Kamu selalu baik kepadaku.”

“Aku amat sedih kalau penglihatanmu tidak lagi sempurna. Bagaimana mungkin kamu dapat memainkan barongsai dan melakukan atraksi abrobatik kalau penglihatanmu terganggu?”.

Lelaki muda itu hanya menghela nafas panjang. Sesaat terbayang di pelupuk matanya ketika karnaval Cap Go Meh di pinggir pantai yang menghadap Selat Malaka dan dia tampil di depan ratusan orang penonton dengan baik sekali. Tapi saying akhirnya dia harus menghadapi naas yang amat mengerikan. Tidak hanya menabrak orang, tapi dibakar hidup-hidup oleh sekelompok orang.

“Dari dokter ahli mata, aku harus juga mengantar kamu ke dokter gigi. Bukankah kamu sudah kehilangan dua buah gigimu akibat kekejaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu?”, ujar Nio lagi.

“Ya, aku hampir lupa kalau sekarang gigiku ompong seperti kakek-kakek,” sahut Liem.

“Aku juga malu kalau berjalan disisimu dan gigimu ompong!”.

“Kamu teramat baik kepadaku, Nio.”

“Karena aku tidak ingin kehilangan kamu, Liem. Karena aku pun ingin menyaksikan kamu dapat kembali tampil memainkan barongsai dalam arkrobat yang lebih seru. Orang akan semakin kagum kepadamu.”

Lelaki muda itu sudah dapat tersenyum.

***

G

adis karyawati sebuah bank swasta papan atas yang sudah lebih seminggu menghabiskan hari cutinya di rumah sakit itu merasa lega, ketika Liem sudah dapat berjalan-jalan di atas rumput hijau di halaman dalam rumah sakit itu.

Mereka duduk di kursi berwarna putih di depan air mancur dan memandang ikan-ikan hias yang bermain di bawah air mancur itu. Atau memandang sepasang burung yang hinggap di ranting pohon mahoni.

“Kamu sudah dapat memandang burung-burung di ranting pohon itu, Liem?”, Tanya Nio ketika duduk berdampingan dan Liem memandang kea rah pohon mahoni.

“Apakah sepasang burung itu sedang pacaran?”

“Maksudmu seperti kita? Pacaran dan sang gadis menunggu kekasihnya berhari-hari di rumah sakit? Begitukah?”

“Ya! Sepasang burung itu sedang pacaran. Seperti kita!”.

“Kamu keliru, Liem. Burung itu bukan sedang pacaran,” sahut Nio.

“Lalu sedang apa burung-burung itu?”

“Dua ekor burung itu adalah induk dan anaknya. Sang induk sedang member makan anaknya setelah letih mengajarnya terbang”, ujar Nio lagi dan tersenyum.

“Kalau begitu, penglihatanku belum sempurna benar!”

“Yakinlah semua akan kembali pulih. Kamu akan kembali dapat menikmati karya-karya Song Shouxiang!”

“Ya, aku sudah sangat ingin membaca karya berikutnya.”

Lelaki muda pemain barongsai itu ternyata seorang pecandu komik terkenal karya Song Shouxiang. Sampai-sampai ia tahu percis profil dan riwayat hidup pengarang itu, lahir di Hangzhou Propinsi Zhejiang tahun 1936. Tahun 1989 University of South Australia dan di University of Surry, Inggris dan hingga saat ini menjadi guru besar di Chongqing Jianzhu University, China.

Liem sudah amat banyak menikmati karya lelaki yang amat mencintai leteratur, kaligrafi dan lukisan itu seperti Tales of the God of Blessings. Kalau sedang asyik membaca karya-karya itu, Liem lupa makan dan tidur, apalagi ada secangkir kopi di depannya. Liem amat mengagumi karya-karya itu karena banyak mempromosikan pemikiran, budaya dan filsafah China.

Kini lelaki itu amat sedih karena penglihatannya amat terganggu, padahal amat banyak yang harus dia lakukan terutama tentang sebuah toko keramik yang sudah lima tahun di kelolanya. Dulu toko keramik itu masih merupakan sebuah toko yang kecil. Karena keuletan dan kemampuan Liem yang menguasai ilmu menajemen dan marketing menyebabkan toko keramik yang terletak di Jalan Gatot Subroto itu berkembang amat pesat.

Matanya yang rabun pasti akan menjadikan kendala untuk menanda tangani kontrak kerja sama dengan pengusaha properti atau pihak lain yang membutuhkan pasokan keramik berbagai jenis dan merek.

Lelaki itu sedih kalau ingat matanya yang hampir saja menjadi buta karena kekejaman orang-orang yang seenak perutnya bertindak brutal dan anarkis. Kekejaman seperti itu memang sudah amat sering terjadi dimana-mana di negeri yang sedang terpuruk ini. Api sudah sering berkobar dimana-mana. Orang amat mudah untuk melakukan pembakaran. Bahkan pertengkaran antar warga dapat menyebabkan saling membakar rumah sehingga ratusan orang tidak lagi memiliki tempat berteduh.

Lelaki itu memandang air mancur.

“Apa yang kamu pandang, Liem?”, sapa Nio disisinya.

“Air mancur itu!”

“Kamu lihat pernik-pernik air yang diterpa matahari pagi?”

“Aku hanya melihat beberapa ekor ikan sedang bermain dan bergembira seperti halnya manusia.”

“Ya ikan-ikan itu sepanjang hari bermain dan bergembira.”

“Rasanya ikan-ikan itu nasibnya lebih baik dari manusia, bermain dan bergembira sepanjang hari tanpa ada yang mengusiknya. Sementara kebahagiaan manusia terkadang terusik oleh kekejaman sesama manusia.” Kata-kata itu diucapkan oleh Lie dengan iringan hela nafas panjang dan berat sebab dia sendiri baru saja merasakan sebuah kekejaman atas dirinya.

“Sudahlah, Liem. Tidak usah bicara tentang kekejaman. Bukankah lebih asyik bicara tentang hal-hal lain? Tentang mitra kerjamu, tentang kawan-kawan yang sudah melanglang buana ke mancanegara seperti Susana Kho yang akhirnya menemukan jodoh di Hongkong.”

“Atau seperti Diana Ong yang sedang mengikat pertunangan dengan David Tjoa dan mereka merencanakan untuk berbulan madu ke Melbourne?”

“Ya! Kita akan hadir pada saat pernikahan mereka nanti. Mereka pasti mengundang kita, tidak hanya pada saat pesta yang dilakukan di hotel besar, tapi juga saat acara Cio Thau,” terdengar lagi suara Nio menyebut kebiasaan masyarakat Tionghoa. Cio Thau atau sembayang pada saat menjelang perkawinan untuk memuliakan Thian, Sang Maha Pencipta, Nabi Khonghucu dan roh leluhur.

Pada acara sembahyang itu mereka akan menyaksikan di atas meja altar ada dua batang tebu lengkap dengan akar dan daunnya yang diikatkan pada kaki meja altar. Tebu adalah simbol kemanusiaan dan tingginya pohon tebu melambangkan keleluasaan pandangan hidup kedua mempelai. Pada batang tebu itu digantungkan untaian kertas air mas. Di atas altar juga rezeki kedua pengantin. Juga terlihat cermin sebagai simbol kedua pengantin harus selalu mawas diri. Meteran juga ada di sana sebagai tanda segala sesuatu yang dilakukan suami istri harus punya batas tertentu. Bahkan pelita tidak ketinggalan pada acara itu sebagai simbol kehidupan pasangan suami istri yang baru itu agar selalu di jalan yang terang benderang. Adat perkawinan China selalu unik.

Kedua mempelai akan menyalakan 3 batang dupa besar bergagang merah dan berlutut tiga kali. Semua acara perkawinan adat China itu terbayang di pelupuk mata Nio yang masih duduk-duduk di halaman rumah sakit itu bersama Liem.

Angin pagi berhembus semilir dan daun-daun pohon mahoni yang kering luruh di atas rumput-rumput hijau di halaman rumah sakit itu. Burung pipit mencericit bercanda di ranting pohon mahoni.

“Liem!”, sapa Nio lirih.

“Hemmm”, lelaki muda itu hanya menyahut dengan gumam pendek.

“Tampakkah dirimu daun-daun kering itu diluruhkan angin pagi?”, sapa Nio dan menunjuk ke pohon mahoni yang tumbuh tidak jauh dari pintu gerbang masuk rumah sakit itu.

“Aku hanya samar-samar melihatnya, satu dua helai daun gugur ke tanah.”

“Syukurlah kalau kamu masih dapat melihatnya meskipun samar-samar.”

Pada saat itulah, ketika Liem dan Nio memandang daun-daun luruh, sebuah ambulans berhenti. Seorang lelaki berumur tiga puluhan diusung tanpa daya dan tubuhnya berlumur darah karena tabrakan sepeda motor. Darah segar mengucur itu tampak jelas oleh Liem dan mengingatkan dia pada peristiwa fajar berdarah yang dialaminya, ketika dia baru saja menabrak seorng lelaki yang menyeberang jalan. Liem jadi ingat darah yang mengucur dari jidatnya ketika seorang lelaki dengan wajah bringas meninjunya. Juga ketika dari hidung dan mulutnya keluar darah karena pukulan yang bertubi-tubi dari orang-orang yang tidak dikenal dan semua tampak seperti kesyurupan syetan.

Sungguh amat mengerikan, apalagi ketika orang-orang itu memukulnya dengan sepotong kayu tepat di keningnya. Dua giginya ikut rontok karena pukulan yang bertubi-tubi. Sungguh amat menakutkan. Tragedi fajar berdarah itu menyebabkan Liem selalu dihantui ketakutan. Penyakit traumatik yang amat berat kini diderita lelaki pemain barongsai itu.

“Mereka datang lagi! Mereka datang lagi!!!,” tiba-tiba saja Liem merasa takut setelah melihat darah.

“Siapa yang datang, Liem? Siapa yang kamu lihat disana? Tanya Nio keheranan.

“Mereka!! Mereka!!, teriak Liem semakin ketakutan.

“Mereka siapa?”

“Mereka yang membawa kayu pemukul! Mereka yang datang membawa parang!”, teriak Liem lagi dan menunjuk kea rah korban kecelakaan lalu lintas yang baru saja diturunkan dari ambulans.

“Astaga! Tidak ada yang datang kemari membawa kayu pemukul. Tidak ada yang membawa parang! Ini rumah sakit, Liem. Tidak ada siapa-siapa yang membawa kayu pemukul atau parang kemari.”

“Tapi mereka datang untuk memukul aku. Mereka datang untuk menghabisi aku! Mereka datang untuk membakar aku hidup-hidup.”

Semakin terbayang dipelupuk matanya peristiwa yang sungguh amat mengerikan di fajar itu, ketika sepeda motornya dibakar oleh belasan orang lalu mereka juga berusaha membakar dirinya hidup-hidup setelah diteriakai rampok. Penyakit traumatik benar-benar sudah amat parah diderita Liem. Dia benar-benar ketakutan saat baru saja melihat darah dari korban kecelakaan yang diangkut dengan ambulans.

“Lihat itu!”, Liem menunjuk ke arah pintu gerbang dan seorang hilir mudik keluar masuk rumah sakit. Sebenarnya yang melakukan tugasnya melakukan operasi pengangkatan rahim terhadap seorang ibu yang menderita kanker serviks. Tapi yang terpikir olehnya adalah tentang ornag-orang yang berwajah bringas dan sekelompok massa yang akan menganiaya dirinya.

“Dia datang lagi membawa bensin! Dia datang lagi untuk membakarku hidup-hidup!”, teriak Liem lagi amat ketakutan.

“Kamu keliru, Liem. Dia bukan orang yang membawa bensin untuk membakar dirimu. Dia adalah dokter di rumah sakit ini!”

“Tidak! Wajahnya angker. Dia dan kawan-kawannya memang akan menghabisi nyawaku!”

Tiba-tiba saja Liem berlari-lari meninggalkan halaman rumah sakit itu dan kembali ke ruang perawatannya.

“Aku takut! Aku takuuuut!,” teriaknya histeris.

“Tunggu, Liem. Tungguuuu!”, Nio berteriak–teriak dan mengejar lelaki itu. “Disini tidak ada orang yang akan berbuat sembarangan terhadapmu. Disini tidak orang yang akan berbuat kekejaman padamu!”

“Aku tidak mau terbunuh. Aku tidak mau mati dan hangus terbakar! Aku takuuuuut!”

Ruangan rawat inap itu jadi hingar binger karena teriakan-teriakan histeris Liem. Semua heran melihat sikapnya yang histeris. Bahkan yang ketakutan juga ada. Tapi yang merasa sangat iba dan kasihan juga banyak. Mereka memahami yang terjadi. Setiap orang yang pernah mengalami dibakar hidup-hidup namun tidak sempat mati pastilah akan mengalami trauma teramat berat.

Seperti halnya orang yang pernah dieksekusi hukuman cambuk di Malaysia, pasti seumur hidupnya akan tertekan depresi dan traumatik.

Liem segera melompat ke atas tempat tidurnya dan menyelimuti dirinya, hingga seluruh wajahnya juga tertutup selimut.

“Lindungi aku, Nio! Lindungi aku dari manusia-manusia kejam itu!”, pintanya kepada Nio yang segera berada disisinya.

“Ya, aku ada disini!”,sahut Nio dan memegang tangan Liem dengan perasaan iba yang amat dalam.

“Lindungi aku!”

“Ya, aku akan melindungi dirimu!”

“Panggil polisi, Nio! Biar mereka ditangkap. Jangan biarkan mereka mendekat!”, pinta Liem semakin ketakutan.

“Ya, aku akan melindungimu!”

“Jangan biarkan seorang pun mendekat,” pinta Liem dengan suara parau.

“Semua jauh, Liem. Tidak ada siapa pun disini!”, Nio memeluk amat erat tubuh lelaki muda pemain barongsai itu agar tidak merasa takut lagi.

“Panggil mama, Nio. Panggil mama biar ikut menjaga diriku,” pinta lelaki muda yang terbaring itu lagi.

“Tidak usah, Liem. Cukup aku yang menjagamu. Cukup aku yang melindungi dirimu. Mama tidak perlu dating kemari.”

“Tapi aku butuh mama! Mama harus ada disini. Aku akan mati dihajar orang-orang itu. Aku akan dibakar mereka. Mama harus menjaga anaknya.”

Lelaki muda itu tetap saja ketakutan. Liem tetap saja merasa jiwanya terancam. Tubuhnya menggigil meskipun Nio memeluknya amat erat. Lelaki muda itu tetap mendesak Nio agar memanggil ibunya untuk segera datang ke rumah sakit melindungi dirinya. Juga untuk memanggil polisi.

Apa boleh buat, Nio terpaksa meminta kedatangan Nyonya HWa melalui telepon genggamnya.

“Bukankah malam tadi Liem dalam keadaan baik-baik saja? Bukankah dokter seudah mengatakan dua atau tiga hari lagi dia akan diperkenankan pulang?”, sahut Nyonya Hwa tidak percaya.

“Tapi keadaan tiba-tiba berubah.”

“Berubah bagaimana?”

“Liem merasa ketakutan yang luar biasa!”

“Takut apa?”

“Pada awalnya Liem sudah dapat duduk-duduk di halaman rumah sakit, tapi tiba-tiba muncul sebuah ambulans membawa seorang korban kecelakaan dan Liem melihat darah. Dia tidak tahan melihat darah. Liem sungguh sangat sensitif. Dia merasa korban kecelakaan yang berlumur darah itu adalah korban amukan massa. Tiba-tiba saja Liem merasa ketakutan yang luar biasa.”

“Sebenarnya ketakutan seperti itu tidak perlu terjadi.”

“Saya juga berharap seperti itu. Tapi dia benar-benar mengalami ketakutan yang luar biasa. Liem seperti mengalami tekanan jiwa. Dia mengalami gangguan fisik dan mental. Dia takut diserbu puluhan orang. Seolah-olah ada puluhan massa yang akan membakarnya hidup-hidup,” jelas Nio kepada Nyonya Hwa.

“Kasihan anakku. Dia mengalami tramatik yang amat berat karena kecelakaan di malam Cap Go Meh itu.”

Nyonya Hwa segera tiba di rumah sakit itu, tapi kedatangannya tidak mampu menepis ketakutan yang dialami puteranya, padahal dokter yang membawanya sudah berada disisinya. Anak muda itu tetap saja berteriak-teriak ada puluhan orang mengejarnya. Anak muda itu tetap saja merasa ada massa yang membawa bensin dan akan membakarnya.

“Putera ibu akan segera tenang kembali. Dia hanya mengalami trauma yang cukup berat. Saya menyarankan segera meninggalkan rumah sakit, dia harus didampingi psikiater,” ujar dokter yang merawat Liem selama di rumah sakit itu.

“Berapa lamakah anak saya harus didampingi psikiater?” Nyonya Hwa menatap dokter itu.

“Tergantung kemampuan anak ibu sendiri untuk mengembalikan kekuatan mentalnya. Sebab obat yang paling ampuh ada dalam dirinya sendiri, yakni percaya diri dan melawan traumatik itu”.

“Saya akan mencobanya nanti. Mudah-mudahan anak saya mampu mengembalikan kekuatan dirinya dalam waktu yang tidak lama.”

Suntikan penenang memang benar-benar ampuh untuk membungkam lelaki muda itu agar tidak berteriak-teriak histeris lagi. Pemain barongsai yang sangat dikagumi banyak orang itu akhirnya tertidur pulas.

Bila anak muda itu tertidur, Nyonya Hwa menyelimutinya dan dengan kasih saying memberinya ciuman.

“Tidurlah anakku. Cepatlah sembuh dan kembali membuka toko. Mama dan papamu sangat ingin kamu sukses mengelola toko keramik itu kemudian membuka sebuah toko baru di jalan Asia,” bisik Nyonya Hwa ketika mengusap rambut puteranya dan rambut itu pun habis terbakar.

Di pipi Nyonya Hwa terlihat ada cairan bening bergulir. Setetes demi setetes air mata jatuh di pangkuannya. Perempuan itu tidak mampu membendung air mata karena amat terharu melihat puteranya mengalami ketakutan yang luar biasa.

“Aku tidak tahu kapan Liem akan benar-benar sembuh. Kalau keadaan seperti ini berlangsung lama, rencana membuka sebuah toko keramik di Jalan Asia akan gagal. Padahal pamannya sudah merencanakan menanamkan modalnya di sini. Pamannya akan kecewa sekali,” keluh Nyonya Hwa di depan Nio dan menyeka cairan bening di pipinya.

Nio menghela nafas panjang. Tiba-tiba saja ada perasaan sedih tumbuh di relung hatinya. Gadis itu amat mencintai Liem. Nam Liem amat dekat di bibir Nio. Gadis itu amat mengagumi Liem sebagai seorang pemain barongsai yang berbakat dan lincah. Hatinya selalu terasa sejuk kalau di sisi lelaki itu.

Dan sekarang lelaki pemain barongsai itu terbaring di rumah sakit akibat tindakan anarkis sekelompok massa. Luka-luka bakar yang dialami lelaki muda itu memang sudah hamper sembuh. Tapi penyakit traumatik dalam dirinya entah kapan akan sembuh. Entah kapan Liem akan kembali percaya diri dan mandiri. Entah sampai kapan seorang psikiater akan mendampinginya. Papa dan mamanya pasti khawatir hanya gara-gara nonton adagen perkelahian atau adegan kekerasan di layar tv, lalu penyakit traumatik itu kembali kambuh dan Liem merasa dikejar-kejar orang lagi lalu membakarnya. Dalam keadaan seperti itu, dapat saja Liem ketakutan diserbu orang lalu lompat dari jendela lantai dua rumahnya. Kalau kejadian seperti itu terjadi keadaannya akan lebih gawat.

“Masyarakat China boleh bangga saat ini sudah dapat lebih leluasa. Juga dalam berdagang. Budaya dan kesenian tradisional boleh tampil dimana-mana. Hari raya Imlek boleh dirayakan secara meriah. Figure orang China sudah banyak tampil sebagai pemimpin, boleh tampil dalam pemerintahan dan dalam politik. Penerbitan media massa beraksara khas China juga tumbuh seperti jamur di musim hujan. Tapi ada hal-hal yang terkadang tidak dapat dipastikan…” terdengar lagi suara Nyonya Hwa.

“Hal apa yang tidak dapat dipastikan?”, Nio menatap perumpuan itu. Air mata tidak lagi mengalir di pipinya.

“Dapatkah keleluasaan itu terus dipertahankan? Dapatkah dipastikan bahwa tidak ada lagi segelintir pribumi merasakan adanya kesenjangan antara warga China dan warga pribumi?”

“Pertanyaan itu memang selalu ada dalam hati masyarakat non pribumi. Sebab sampai kapan pun selalu ada yang menganggap kehidupan warga China jauh lebih mapan, lebih senang, padahal warga kita hidup karena keuletannya dan kerja keras tanpa mengenal lelah,” sahut Nio memberikan komentar.

“Selagi anggapan itu masih tetap ada, gesekan-gesekan sosial mungkin saja dapat terjadi. Kerusuhan yang lalu banyak meminta korban jiwa, harta dan kehormatan serta harga diri warga China akan terulang kembali. Warga seperti kita tidak akan pernah lupa, banyak harta bena, toko, pabrik dan rumah dibakar setelah isinya dijarah habis. Dan yang lebih menyakitkan lagi adalah perempuan-perempuan seperti kita menjadi sasaran amuk massa dan diperkosa.”

“Yang trauma hingga saat ini juga masih ada!”, sahut Nio yang selalu mengenang kembali kerusuhan missal eanm tahun silam.

“Sungguh amat mengerikan kalau gesekan sosial seperti itu akan terulang kembali. Karena itulah setiap warga China harus mempunyai nalar yang tajam. Mulai saat ini sudah diantisipasi, setiap warga China harus mengirim anaknya ke Singapura, Hongkong, Kuala Lumpur, Taipei atau Beijing. Siapa tahu gesekan sosial itu benar-benar terjadi lagi, sudah ada tempat aman yang dituju. Peristiwa apapun selalu meenyebabkan terjadinya eksodus, sebab tiap orang tidak menghendaki harta bendanya dibakar, apalagi dirinya sampai ikut terbakar.”

“Saya mengerti,” Nio mengangguk.

“Kalau ingat hal itu, rasanya mama lebih ingin Liem membuka usaha di Singapura biar mendapat bimbingan dari pamannya yang sudah belasan tahun tinggal disana.”

“Tapi Liem merasa lebih kerasan tinggal disini dan usahanya sukses di negeri ini. Ia yakin benar kehidupannya akan lebih baik disini.”

“Mama memang telah memberikan kepercayaan untuk mengelola sebuah toko keramik di Jalan Gatot Subroto, tapi hati kecil mama merasa lebih ingin dia menetap di Singapura saja. Bnyak yang harus mama pertimbangkan.”

“Saya akan kehilangan Liem kalau harus bermukim disana.”

“Nah, kalau mama harus merencanakan Liem tinggal di Singapura, bukan karena mama ingin memisahkan Liem dengan kamu, tapi demi banyak pertimbangan,” ujar Nyonya Hwa lagi.

Nyonya Hwa memberikan contoh seperti yang dilakukan Nyonya Kho yang sengaja mengirim putera sulungnya belajar di Singapura lalu akhirnya menetap di negeri itu. Pada saat kerusuhan anti China meledak tujuh tahun silam, dia bersama dua puterinya buru-buru terbang ke Singapura. Tinggal dimana lagi selama eksodus kalau tidak bersama anaknya yang sudah mapan di negeri itu?

Ketika berada di Singapura itulah Nyonya Kho menerima kabar, bahwa rumahnya telah menjadi korban penjarahan. Pintu besi di depan rumahnya dengan mudah dijebol puluhan perusuh yang sedang mengamuk. Pintu kamar yang terkunci pun mampu dijebol. Habislah barang-barang miliknya. Namun sejumlah uang dan perhiasan sudah lebih dulu dibawa eksodus ke Singapura. Dan yang menyebabkan Nyonya Kho lebih bersyukur, dua orang anak gadisnya yang sedang remaja terhindar dari pelecehan seksual. Bayangkan andainya dua orang anak gadisnya ada dirumah itu, sementara puluhan orang menyerbu, pastilah nasib yang paling buruk dapat menimpa kedua anak gadisnya, yakni diperkosa secara massal.

Nyonya Kho telah berbuat sesuatu yang terbaik untuk perlindungan anak gadisnya. Dr. Lee juga telah berbuat seperti Nyonya Kho. Ketika anaknya tamat SMU lalu dikirim ke Auckland dan masuk Fakultak Kedokteran di negeri itu dan setelah jadi dokter menetap disana. Itulah sebabnya ketika kerusuhan massal meletus, Dr. Lee sudah berada di New Zealand bersama seorang anak gadis kesayangannya. Dr. Lee hanya memantau keadaan di negeri ini dari negeri itu. Dia hanya berdoa semoga rumah sakit tempat dia bekerja tidak diobrak-abrik massa.

Dr. Lee merasa amat sedih karena terpaksa harus melakukan eksodus ke negeri orang, padahal saat itu ada beberapa pasien yang membutuhkan perawatannya.

Nyonya Hwa ingin seperti Nyonya Kho atau seperti Dr. Lee bila terjadi gesekan sosial yang banyak meminta korban sementara di negeri orang. Di Singapura atau Hongkong.

“Terima kasih, Mama!” ujar Ong San Nio.

Nyonya Hwa merasa dadanya plong setelah Liem terbangun dan meminta segelas air putih. Liem tidak lagi ketakutan. Liem tidak lagi merasa dikejar-kejar puluhan orang. Dia tidak lagi merasa diserbu puluhan massa untuk membakarnya hidup-hidup. Tapi esok atau lusa ketakutan itu bisa saja datang lagi. Sebab penyakit traumatik sudah amat parah dalam dirinya. Siapapun akan merasakan hal yang sama bila dirinya hampir saja menjadi korban pembakaran hidup-hidup oleh sekelompok orang yang bertindak brutal dan anarkis.

Sesaat Nio yang bekerja sebagai karyawati di sebuah bank swasta itu termenung. Ucapan Nyonya Hwa tentang prahara tujuh tahun silam hanya menyebabkan Nio terkenang kembali pada hal-hal yang amat menggores hati. Rumahnya memang tidak sempat diserbu orang pada prahara itu. Toko elektronik milik ayahnya tidak sempat dijebol orang. Toko yang terletak di kawasan Pulo Brayan itu tidak sempat dijarah orang. Tuhan masih melindungi harta benda ayahnya. Toko itu tidak sempat dilalap api yang dikobarkan ribuan massa. Justru yang mengalami nasib malang adalah saudara sepupu ayahnya yang memiliki toko suku cadang sepeda motor di kawasan Rantau Prapat. Pintu toko yang terbuat dari besi amat kukuh itu segera ditutup ketika huru-hara mulai meletus di kawasan Labuhan Batu. Langit tampak hitam karena asap yang mengepul di langit. Beberapa toko dan pabrik milik orng-orang China mulai dibakar massa yang tampak brutal dn mereka tampak seperti orang-orang yang kesurupan syetan. Tidak hanya dibakar, tapi isinya dijarah.

Kerusuhan itu terus menjalar kemana-mana. Seperti halnya reformasi yang terus menggelinding, kerusuhan itupun terus saja menjalar ke berbagai penjuru. Toko milik saudara sepupu ayah Nio juga tidak luput dari serbuan massa. Pintu besi di depan toko itu amat kukuh, tapi ratusan perusuh mengguncang pagar besi itu hingga roboh. Toko itu pun diobrak-abrik dan akhirnya dibakar. Langit semakin hitam oleh asap pembakaran harta benda milik orang-orang non pribumi.

Tidak hanya saudara sepupu Nio yang mengalami nasib malang. Masih banyak saudara-saudaranya yang tinggal di berbagai kota mengalami nasib yang amat menyedihkan. Seperti saudara dari pihak ibunya yang tinggal di Jakarta. Rumah dan toko material milik saudara ibunya memang tidak sempat dijarah, tapi sempat dibakar massa. Tapi apa ynag dialami saudara dari ibunya lebih menyedihkan lagi. Seorang anak gadisnya yang saat itu bekerja di sebuah supermarket telah menjadi korban pemerkosaan sejumlah laki-laki bringas. Kasihan gadis malang itu. Dia harus kehilangan kekasihnya setelah peristiwa paling naas itu. Untunglah gadis malang itu tidak sempat bunuh diri pasca kerusuhan massal itu. Setelah berobat ke Singapura gadis malang itu dititipkan kepada tantenya di Surabaya.

***

L

uka-luka bakar yang dialami lelaki muda pemain barongsai itu sudah sembuh. Sebagian kepalanya yang botak karena rambutnya ikut terbakar kini sudah mulai ditumbuhi rambut lagi. Lelaki itu sudah diperkenankan meninggalkan rumah sakit, tapi dia masih harus didampingi seorang psikiater.

Tentu saja ketika dirumah, Liem harus mendapatkan perhatian paling istimewa. Pertanyaannya terkadang ada-ada saja. Ketika dimeja makan terhidang masakan ayam panggang dan capcai, Liem juga banyak bertanya.

“Siapa yang membeli sayur dan daging ini, Mama?,” tanya Liem dan mengunyah capcai dengan lahap.

“Tentu saja mama!,” sahut Nyonya Hwa dan senang melihat puteranya makan dengan lahap. Lebih senang lagi hati Nyonya Hwa karena Liem tampak mulai tenang.

“Dimana mama belanja?”

“Tentu saja di pasar.”

“Apakah dipasar aman?”

“Tentu saja aman.”

“Apakah dipasar tidak ada preman? Apakah dipasar tidak ada orang-orang yang bergerombol?”

“Tentu saja banyak!”

“Apakah mereka tidak berbuat jahat? Apakah tidak berbuat brutal? Apakah mereka tidak membakar orang hidup-hidup?

“Tidak, Liem. Mereka adalah pedagang sayur. Mereka adalah pedagang buah-buahan. Yang berdagang ikan, ayam, dan keperluan sehari-hari juga banyak.”

“Hati-hati, Mama! Siapa tahu mereka mendadak bertindak buas. Semua orang China harus hati-hati. Sedikit saja berbuat kesalahan, akibatnya dapat menimbulkan amuk massa yang mengerikan.”

“Mana mungkin, Liem. Mana mungkin pedagang sayur mau bertindak brutal. Mana mungkin pedagang ikan mau berbuat kejam. Mereka semua baik-baik.”

Lihatlah, dari caranya bertanya, dan dari isi pertanyaan yang diajukan kepada mamanya, masih ada rasa khawatir dan was-was dalam diri lelaki muda itu. Padahal seorang psikiater sudah berkali-kali mengunjunginya. Dan psikiater itu sudah menganjurkan kepada Liem untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti olahraga, membaca, nonton tv dan main organ.

Pada awalnya Nyonya Hwa merasa senang ketika Liem sudah dapat hadir di lapangan basket. Dada Nyonya Hwa merasa benar-benar plong karena Liem berhasil memasukkan bola. Nyonya Hwa hanya mengawasi dari kejauhan. Bagaimanapun dia masih ragu-ragu melepas puteranya seorang diri. Kemanapun Liem melangkah harus selalu diawasi meskipun dari jauh. Juga ketika main basket.

Lihatlah, ketika di lapangan basket itu Liem adalah seorang bintang lapangan. Lontaran bolanya benar-benar pas. Sebuah mukjizat seperti telah turun kepada lelaki muda itu. Penglihatannya tidak lagi mengalami gangguan. Dia dapat melontar bola dengan cepat. Tentu saja penonton memberi aplaus yang meriah dan menyebut-nyebut namanya.

Tapi tepuk tangan yang meriah dan hingar bingar penonton amat mempengaruhi otak Liem. Tiba-tiba saja dia jadi teringat saat pulang dari pantai merayakan Cap Go Meh, beberapa saat setelah dia menabrak orang lalu terdengar teriakan-teriakan mengerikan.

“Habisi saja!”

“Pecahkan kepalanya!”

“Siram dengan bensin!”

“Bakaar! Bakar hidup-hidup!”

Teriakan-teriakan itu seperti terngiang kembali di rongga telinga dan masuk ke otaknya, padahal yang terdengar adalah penonton yang memberikan aplaus kepadanya. Ketakutan tiba-tiba saja datang lagi mempengaruhi dirinya. Laki-laki muda itu segera lari keluar lapangan basket, padahal permainan belum selesai.

“Jangan bakar aku!” teriak Liem dan berlari-lari.

“Aku tidak bersalah! Aku tidak bersalah!”

“Jangan bunuh aku! Jangan bunuk aku!”

Penyakit traumatik yang diderita Liem memang belum sembuh benar. Dan penyakit itu datang lagi saat dia berada di tengah lapangan bola basket, padahal yang terdengar adalah sorak sorai penonton yang mengagumi permainannya.

Untunglah saat itu Nyonya Hwa berada tidak jauh dari lapangan basket itu dan sengaja untuk mengawasinya. Nyonya Hwa segera menghampiri puteranya.

“Apa yang terjadi, Liem? Kenapa keluar lapangan?”, tanya Nyonya Hwa.

“Mereka menyerbu saya, Mama! Mereka mau menghabisi saya!”, sahut Liem dan menggigil ketakutan.

“Kamu keliru, Liem. Mereka justru memberikan tepuk tangan untukmu!”

“Tidak, Ma! Mereka membawa bensin. Mereka mau membakar saya hidup-hidup. Saya takut, Mama!”

Dengan perasaan amat iba, Nyonya Hwa memeluk puteranya yang bermandi peluh dingin dan menggigil ketakutan. Penyakit traumatik yang menimpa diri puteranya sudah amat parah. Nyonya Hwa amat sedih, padahal dia amat berharap Liem segera kembali mengelola toko keramik yang sudah lima tahun dipercayakan kepadanya. Padahal ada keluarga dekat yang sudah berjanji untuk menanamkan modal investasinya. Nyonya Hwa sudah mendapatkan lokasi yang amat strategis untuk membuka toko keramik.

Tidak hanya di lapangan basket penyakit traumatik itu muncul lagi. Bahkan ketika di rumah, di ruang keluarga yang terletak di lantai dua, ketika Liem sedang menonton siaran tv, ketika dia sedang dalam suasana amat santai, ketakutan tiba-tiba saja muncul. Padahal di layar kaca yang tampak adalah siaran konser musik yang dihadiri ribuan penonton. Tapi suara hinggar sambutan penonton yang larut dalam keasyikan konser itu telah menganggu otak Liem yang pernah menjadi korban pembakaran hidup-hidup. Liem kembali seperti mendengar teriakan-teriakan sekelompok massa untuk menghabisi dirinya, untuk menyiram tubuhnya dengan bensin lalu membakarnya. Seperti ada yang mengejar dirinya, persis seperti ketika Liem dikejar-kejar sekelompok orang lalu memasuki gang sempit dan orang-orang berwajah bringas itu berhasil menangkapnya kemudian menghujaninya dengan pukulan-pukulan sehingga giginya rontok.

Perasaan takut yang tiba-tiba menghantui dirinya menyebabkan Liem berteriak-teriak:

“Aku tidak berdosa. Aku buka rampok. Aku bukan penjahat. Jangan bunuh aku! Jangan bakar aku!”

Di lantai dua rumahnya yang terletak di Lou A Yok tidak jauh dari rumah susun itu, Liem berusaha untuk melompat dari jendela, karena yang terlintas dari otaknya adalah sekelompok massa yang mengejarnya dan ingin membakarnya. Untunglah sang ibu ada di lantai bawah, sedang meracik sayur dan menyiapkan makan siang. Mamanya segera berlari-lari ke lantai dua dan melihat puteranya sedang berusaha untuk melompat ke bawah.

“Ada apa, Liem? Apa yang terjadi?”, tentu saja sang ibu amat heran melihat anaknya kembali dikejar-kejar perasaan takut.

“Sepuluh orang mengejar saya, Mama! Mereka ingin membunuh saya!” ujar Liem dengan nafas ngos-ngosan.

“Tidak ada siapa-siapa disini, Liem. Ini adalah rumah kita. Kamu sedang nonton siaran tv. Kamu sedang menyaksikan pertunjukan konser musik yang sangat digemari remaja dimana pun!”.

“Tapi mereka semua tampak bringas!”

“Tidak, Liem. Yang kamu saksikan adalah penonton yang ikut bergoyang karena larut dalam keasyikan.”

Nyonya Hwa benar-benar amat sedih. Rasanya bantuan psikiater saja tidak cukup untuk menyembuhkan penyakit traumatik yang sudah amat parah melekat pada diri Liem.

***

K

arena itulah Nyonya Hwa bersama segenap keluarga seisi rumah itu melakukan sembahyang bersama di Lithang atau Klenteng di kawasan Tanjung Morawa. Nyonya Hwa bersama semua keluarganya ingin berpasrah diri. Siapa tahu ada roh-roh kamu kerabat yang marah kepada keluarga itu. Bahwa setiap orang yang hidup masih tetap mempunyai hubungan dengan kerabat dekat yang sudah mati, walaupun jasad mereka sudah dikuburkan, tapi secara rohani keterkaitan hubungan tidak pernah terputus.

Nyonya Hwa faham benar ajaran agamanya, bahwa bila seorang anggota keluarga yang meninggal, maka keluarga yang ditinggalkan harus berkabung selama 27 bulan. Selama masa berkabung itulah keluarga yang ditinggalkan tidak boleh bersenang-senang, tidak boleh mengenakan perhiasan emas, tidak boleh ke pesta dan tidal boleh melakukan perayaan-perayaan. Siapa tahu ada anggota keluarga yang melakukan pelanggaran terhadap larangan itu dan yang harus menerima kutukan roh itu adalah Liem.

Pada awalnya Liem menolak ketika diajak untuk melakukan kebaktian bersama.

“Kamu harus ikut, Liem. Justru kita melakukan sembahyang adalah untukmu. Agar kamu mendapatkan kembali kekuatan dirimu. Mama dan semua anggota keluarga merasa amat sedih melihat keadaanmu saat ini. Mama tidak ingin kamu kehilangan masa depan.” Nyonya Hwa membujuk puteranya.

“Tidak, Mama. Saya tidak ikut.” Liem menolak

“Kenapa tidak mau ikut?”

“Saya takut Lithang itu banyak kelompok massa berkumpul. Mereka masih mengintai saya. Mereka masih tetap mencari-cari saya. Mereka dendam karena kematian Pak Hasan yang menyebabkannya adalah saya. Saya tidak mau mati di Lithang itu!”

Nyonya Hwa amat iba mendengar ucapan itu.

“Mana ada orang yang berniat jahat di rumah ibadah, Liem. Tempat itu adalah tempat suci dan tidak ada seorang pun yang mau menganggu orang sembahyang disana.”

Setelah berkali-kali mamanya membujuk, barulah Liem ikut melakukan sembahyang bersama di kawasan Tanjung Morawa itu.

Harum aroma hio yang dinyalakan menusuk rongga hidung ketika ucapan sembahyang segenap keluarga itu berlangsung. Segenap anggota keluarga itu benar-benar berpasrah diri dan memohon arwah para leluhur agar memberi keampunan.

Ketika itulah, ketika asap dupa sedang mengepul ke langit, ketika harum aroma hio sedang menyebar, muncul bayang-bayang aneh, seperti seorang nenek berjubah putih menghampiri keluarga itu.

“Liem adalah seorang anak muda yang perkasa. Tiap orang mengagumi penampilannya saat dia tampil sebagai pemain barongsai pada malam bulan purnama, padahal salah seorang neneknya belum genap dua tahun meninggal di shandong. Namun saat ini roh leluhur itu sudah memberinya maaf. Tapi ada lagi yang harus dilakukan Liem,” ujar perempuan tua berjubah putih yang muncul di balik kepulan asap hio yang aromanya menyebar-kemana-mana, hingga keluar Lithang tua yang terletak di kawasan Tanjung Morawa itu. Hingga menyebar ke langit biru.

“Apa yang harus dilakukan Liem agar dia terhindar dari trauma maha berat itu?”, tanya Nyonya Hwa.

“Ingat!,” sahut sang perempuan tua dibalik asap hio itu. “Liem telah menyebabkan orang lain menemui kematiannya. Ingat, orang yang meninggal itu adalah seorang pengurus masjid dan semua jamaah disana sangat mencintainya. Liem harus memohon maaf, sebab dengan kematian itu, empat orang anak dan seorang istri telah kehilangan seseorang yang amat mereka cintai, yang teramat mereka hormati....”

“Bagaimana mungkin untuk memohon maaf kalau orang itu sudah meninggal dan dikuburkan?”, suara Nyonya Hwa lirih dan memperhatikan asap dupa yang terus mengepul ke langit.

“Ingat, orang itu tewas dengan meninggalkan empat orang anak. Temuilah mereka. Dengan rendah hati ciumlah tangannya dan mintalah maaf serta keampunan. Bukankah hal itu yang belum pernah dilakukan Liem?”, ujar perempuan berjubah putih di antara asap hio yang mengepul.

“Liem akan melakukannya segera!”, Nyonya Hwa berkata pasti.

“Itulah yang terbaik. Liem akan mendapatkan kekuatan dirinya kembali. Percayalah, untuk mencium tangan salah seorang ahli waris yang meninggal itu tidak terlalu sulit. Justru keluarga itu akan amat senang karena mereka merasa dihormati, karena mereka dapat menilai, bahwa Liem bukanlah seorang lelaki yang sombong, tapi seorang yang rendah hati.” Itulah ucapan terakhir perempuan tua berjubah putih dengan memegang sebuah kitab suci di tangannya. Perempuan tua berjubah itu akhirnya hilang bersama asap hio yang mengapul di Lithang tua itu ke arah langit biru.

***

T

idak harus menunggu hari esok, sebuah Panther berwarna merah hati meluncur dari kawasan Lou A Yok, tidak jauh dari rumah susun dan terlihat menuju arah Amplas. Nyonya Hwa berharap keluarga Almarhum Pak Hasan dapat menerima kedatangannya dengan sikap manis dan tangan terbuka. Nyonya Hwa sengaja mengunjungi keluarga yang baru ditimpa musibah dengan membawa buah apel segar dan biskuit, hanya sekedar untuk oleh-oleh.

Sudah pasti Nyonya Hwa tidak dapat bertemu dengan Bu Rahmah yang sudah kehilangan suaminya, sebab perempuan berjilbab itu sedang menunggu kiosnya di pasar tradisional Simpang Limun. Meskipun masih dalam suasana duka cita yang amat dalam, tapi Bu Rahmah bersyukur kepada Tuhan, karena sejak dia sendiri yang menunggu barang dagangannya berupa pecah belah dan alat-alat dapur, kios itu selalu ramai didatangi pembeli. Tuhan merendahkan rezeki janda Almarhum Pak Hasan itu, sehingga Bu Rahmah tidak terlalu susah membayar uang kuliah anaknya di Fakultas MIPA USU, satu lagi di SMU, lalu adiknya di SLTP dan si bungsu di SD Taman Harapan.

Belum tiga bulan ditinggal suami, Bu Rahmah sudah mampu memberikan infaq 25 zak untuk renovasi kamar mandi masjid Nurul Huda. Di masjid itu dulu jenazah almarhum suaminya disholatkan dan di masjid itu pula suaminya menjadi seorang muazin selama lebih dari lima belas tahun.

Nyonya Hwa hanya bertemu dengan seorang gadis yang baru saja usai melaksanakan ashar dan gadis itu adalah Atikah. Nuansa Islami amat terasa di rumah yang selalu sejuk dan teduh itu. Nama-nama anak juga bernafaskan Islamy. Puterinya yang pertama Atikah, puteri sahabat Nabi yang paling dekat, Abu Bakar. Lalu anak kedua Hanifah yang artinya mukminah sejati. Adiknya seorang lelaki diberi nama Hisyam yang artinya seorang yang sangat dermawan. Si bungsu diberi nama Faisal yang berarti orang yang sangat menentukan. Begitulah keluarga rumpun Melayu yang selalu identik dengan Islam. Nama-nama anak harus mengandung aroma Islami. Tidak ada keluarga Melayu yang memberi nama anaknya dengan Jhoni, Leo, Tommy atau Susan, Elisabeth dan Siska.

Tidak ada guci-guci antik di rumah itu. Hiasan di dinding yang terlihat hanya kaligrafi huruf Arab yang amat indah. Almanak yang ada di dinding juga bergambar masjid-masjid dari berbagai propinsi di negeri ini.

Atikah masih mengenakan mukenah, ketika seorang perempuan keturunan China hadir di rumah kawasan Amplas itu. Atikah baru saja meletakkan Qur’an setelah hampir setengah jam ia membaca surah Maryam yang jumlahnya 98 ayat dan diwahyukan sebelum Nabi hijrah ke Madinah.

Tidak hanya lancar membaca surah itu, tapi Atikah tahu percis makna yang terkandung dalam surah Maryam itu, yakni tentang kisah Maryam, ibu nabi Isa.a.s yang serba ajaib karena melahirkan seorang anak lelaki padahal dia belum pernah menikah. Tapi itulah kekuasaan Tuhan. Dalam surah itu pula ada ancaman terhadap orang-orang yang meninggalkan sholat dan mengumbar hawa nafsu serta kabar gembira untuk orang-orang yang sudah bertaubat dan mengerjakan amal saleh serta keadaan di surga.

Sejak masih murid SD, putera-puteri almarhum Pak Hasan selalu dibiasakan membaca Qur’an dan sekaligus memahami maknanya. Keluarga itu benar-benar keluarga sakinah. Sayang Pak Hasan terlalu cepat dipanggil Allah, tidak hanya karena kecelakaan yang terjadi di jalan, tapi juga karena penyakit jantung yang dideritanya.

Ketika Atikah usai membaca doa yang panjang untuk almarhum ayahandanya tercinta, Nyonya Hwa sudah berdiri di ambang pintu depan. Nyonya Hwa merasa lega ketika datang ke rumah itu disambut dengang sikap ramah dan senyum.

“Apa yang dapat saya lakukan untuk Nyonya?”, tanya Atikah dengan sikap ramah setelah saling bertanya kabar masing-masing.

“Saya datang untuk memohon bantuan anda.” cetus Nyonya Hwa.

“Bantuan apa?. Apa yang dapat saya lakukan dalam keadaan seperti ini? Apa yang dapat saya berikan untuk Nyonya Hwa yang keadaannya jauh lebih senang dari keluarga kami, terutama setelah ayah kami tidak ada?”

“Yang saya harapkan adalah bantuan moril.”

“Keluarga saya tidak dapat berbuat banyak untuk Nyonya.”

“Saya hanya mengharapkan kehadiran kamu di rumah saya,” pinta Nyonya Hwa.

“Untuk apa?”

“Saat ini Liem dalam keadaan menyedihkan.”

“Menyedihkan bagaimana? Bukankah dia sudah keluar dari rumah sakit.”

“Luka-luka bakar pada dirinya memang sudah sembuh. Tapi ada hal-hal yang justru lebih menyedihkan. Liem merasa amat berdosa. Liem selalu dikejar bayang-bayang mengerikan. Perasaan berdosa itulah yang membuat dia hidup tidak tentram, gelisah dan terkadang berteriak-teriak histeris.”

“Kasihan! Padahal ayah saya meninggal tidak hanya karena Liem menabraknya, tapi karena penyakit jantung yang memang sudah sangat lama dideritanya,” Puteri almarhum Pak Hasan berkata polos dan sejujurnya.

Sebagai anggota keluarga sakinah, tidak ada seorang pun penghuni rumah itu yang melakukan kebohongan. Jalan hidup mereka selalu lurus dan lugu. Selama hidupnya, ayahnya mendapatkan rezeki juga dengan jalan yang halal. Tidak pernah ada harta sekecil butiran pasir pun yang tidak jelas asal usulnya di bawah pulang ke rumah itu.

Bahkan kewajiban-kewajiban lain sebagai keluarga muslim juga selalu terpenuhi, seperti membayar zakat fitrah, bersedekah, qurban dan zakat mal. Bila Bu Rahmah memiliki simpanan emas, zakatnya juga diserahkan kepada banda amil di masjid Nurul Huda.

“Ucapan seperti itulah yang ingin di dengar anak kesayangan saya, bahwa kematian itu bukan karena dirinya, tapi karena penyakit jantung. Setelah mendengar kata-kata itu, mungkin hidupnya akan tentram dan terlepas dari perasaan berdosa. Ia akan mencium tangamu, Atikah. Bahkan kalau mungkin juga mencium tangan semua anak-anak almarhum sebagai tanda kebesaran hatinya.”

“Silahkan saja Liem datang kemari. Rumah ini selalu terbuka untuk siapa saja,” ujar Atikah. Jika gadis itu tampak bersinar karena selalu dibasahi air wudhu. Matanya teduh dan bening seperti air telaga.

“Itulah yang tidak dapat dilakukannya, karena setiap melihat orang berkerumunan, pasti beranggapan massa akan menghabisi dirinya, akan membakar dirinya hidup-hidup, seperti yang pernah dialaminya. Saya berharap Atikah berkenan datang ke rumah saya sesaat saja. Kalau mungkin bersama adik-adik yang lain, sehingga terkesan di hati Liem, bahwa di hati setiap keluarga almarhum Pak Hasan tidak seorang pun yang dendam dan sakit hati karena peristiwa naas itu.” Itulah pinta Nyonya Hwa penuh harap.

Sesaat atikah termenung menimbang-nimbang permintaan itu. Sebab sejak ayahandanya meninggal suasana jadi berubah. Sebab yang menjaga kios dagangan pecah belah dan alat-alat dapur di Simpang Limun adalah ibunya. Tugas rumah tangga beralih pula ke Atikah dan adik-adiknya. Siapa lagi yang selalu menghidangkan gulai pakis di atas meja makan kalau bukan Atikah? Siapa yang menyetrika pakaian kalau bukan dia? Padahal dia harus kuliah di MIPA jurusan Farmasi.

“Bantulah kami. Bantulah Liem agar benar-benar sembuh dan terbebas dari perasaan berdosa. Bantulah anak saya agar dapat kembali menemukan kekuatan dirinya dan percaya diri. Bantulah keluarga kami agar Liem dapat hidup wajar dan tidak kehilangan percaya diri.” Pinta Nyonya Hwa sungguh-sungguh.

Sesaat Atikah hanya menunduk.

“Kalau Atikah tidak berkenan datang ke rumah kami, Liem tetap akan sangat menderita. Dia akan kehilangan masa depan. Mungkin dia akan terjun dari jendela di lantai dua rumah kami karena di kejar-kejar perasaan berdosa. Dia akan sembuh kalau Atikah berkenan datang. Perkenankanlah dia mencium tanganmu, Atikah,” pinta Nyonya Hwa penuh harap.

“Ya, saya akan datang esok hari. Pulang dari kampus saya akan mampir.” Sahut Atikah setelah beberapa saat memikir-mikir.

“Terimah kasih atas kebaikan dan kepedulianmu, Atikah!” ucap Nyonya Hwa dan meninggalkan uang seratus ribu untuk ongkos taksi.

Dada Nyonya Hwa terasa lapang dan berharap puteri almarhum Pak Hasan benar-benar mau menemui Liem agar dia terlepas dari tekanan batin. Biar Liem terhindar dari perasaan berdosa telah menyebabkan orang lain menemui ajalnya.

Nyonya Hwa bersyukur sikap puteri almarhum Pak Hasan amat simpatik. Benar-benar tidak ada dendam, tidak ada rasa sakit hati, tidak ada kemarahan di hati keluarga itu. Apalagi di hati seorang gadis seperti Atikah yang amat taat pada agama. Alangkah lembut tutur sapa Atikah menyambut kedatangan Nyonya Hwa.

Atikah adalah seorang muslimah yang sholeha. Ia bahagia dilahirkan sebagai seorang perempuan. Sebab dalam Islam, wanita selalu di junjung tinggi. Bukankah dalam Qur’an juga ada surah yang khusus membahas masalah kedudukan perempuan, yakni An Nisaa?

Dalam Islam wanita menduduki tempat yang tinggi dan mulia. Islam tidak melarang wanita untuk melakukan kegiatan ekonomi, tidak dilarang untuk terjun sebagai politikus, tidak dilarang menjadi pendidik. Bahkan maju dalam peperangan juga sama sekali tidak dilarang. Sebagai seorang muslimah, Atikah hanya membaca buku. Atikah masih ingat perempuan-perempuan yang ikut berjuang bersama Rasulullah untuk menegakkan Islam. Dia selalu ingat nama-nama seperti Siti Ummu Athiyyah r.a yang pernah ikut dalam 7 kali peperangan. Juga nama Ummu Anshor juga maju di medan perang. Nama Siti Rubayyi binti Mu’awwidz yang bertugas merawat prajurit yang luka dan mengangkut mereka yang mati syahid. Siapa lagi yng menyediakan makan dan minum para prajurit itu kalau bukan kaum perempuan? Siapa yang menjahit pakaian tentara Islam di perang Uhud yang robek kalau bukan wanita muslimah?

Dalam menjaga kendaraan-kendaraan para prajurit di medan perang itu perempuan juga mempunyai peran yang amat penting. Dalam perang Badr, dalam perang Uhud. Perempuan muslimah juga ikut berperan, apalagi dalam merawat tentara yang terluka terkena panah atau tombak musuh.

Dalam Islam wanita menduduki derajat dan marwah yang tinggi, namun Atikah menyadari, bahwa dia tidak boleh sombong. Muslimah yang sholeha tidal boleh berpakaian berlebihan. Demikian pula dalam prilakunya. Perempuan Islam boleh-boleh saja tampil di panggung politik, boleh-boleh saja tampil sebagai tokoh pendidikan, tapi norma-norma etika dan susila harus tetap dijunjung tinggi.

Seperti halnya Atikah yang selalu menutup auratnya. Atikah akan selalu ingat sahabat-sahabatnya ketika di SMU dulu banyak yang mengumbar aurat dan berlebihan dalam penampilannya. Dan mereka yang mengumbar aurat atau penampilan yang berlebihan pasti akan menemui nasib malang. Seperti yang dialami Tasya Susana. Namanya saja tidak mencerminkan nusansa Islami, apalagi dalam berbusana dan perilakunya.

Tasya memang disenangi dalam pergaulan, masih duduk di kelas SMU sudah mempunyai pacar yang gagah dari keluarga kaya. Namun iman yang amat tipis dalam dadanya membuat Tasya tenggelam dalam dosa. Dia hamil dan keluarga pacarnya tidak menyetujui hubungan mereka. Setelah kandungan tujuh bulan, barulah Tasya menikah tanpa restu dari orang tua dan keluarga ayah bundanya sempat menjadi gunjingan masyarakat. Bila Tasya menikah, peran Atikah sebagai seorang sahabat amat besar. Sebab Atikah yang menyarankan agar Tasya lebih baik menikah daripada harus melakukan aborsi. Atikah pula yang berkali-kali untuk memberi pengertian kepada lelaki pacar Tasya agar bertanggung jawab atas hubungan intim yang telah mereka lakukan selama ini.

Hingga kini Tasya dan suaminya selalu baik kepada Atikah. Hingga kini Atikah selalu mendapat kiriman jeruk manis, apel dan terkadang biskuit atau Bika Ambon. Atikah juga pernah mendapat kiriman Kentucky dari pasangan itu.

Masih lumayan Tasya sempat menikah meskipun setelah perutnya besar seperti nangka masak. Hanya dua bulan setelah perkawinannya, Tasya melahirkan seorang bayi laki-laki.

Dan yang dialami oleh Rika Anita lebih menyedihkan lagi. Dalam hal penampilan dan mengumbar aurat, Rika juga sama dengan Tasya. Bergaul amat intim dengan seorang lelaki menyebabkan Rika terjerumus dalam dosa. Rika terlanjur memberikan segalanya kepada lelaki itu hingga hamil. Namun Rika terpaksa harus melakukan abortus jauh di Bandung karena laki-laki yang telah menyebabkan kehamilannya meninggal akibat kecelakaan lalu lintas.

Masih banyak lagi gadis-gadis seperti Tasya dan Rika yang selalu mengumbar aurat dan penampilan tidak sesuai dengan yang ditentukan dalam Islam. Mereka memang bergaul luas, banyak memiliki sahabat, menikmati hidup muda dalam suasana serba ngetrend, tapi akhirnya terjerumus dalam lembah dosa. Hamil sebelum menikah atau melakukan abortus karena gagal ke jenjang perkawinan. Alangkah malangnya nasib wanita-wanita muslimah kalau mengalami nasib seperti itu.

Bila ada seorang mahasiswi hadir di kampus dengan pakaian yang sederhana, itulah Atilkah. Perhiasan yang melekat di tubuhnya hanya seuntai kalung 6 gram. Lipstik yang terpoles di bibirnya juga merek murahan, begitu juga dengan kosmetik lainnya tidak berharga mahal. Bahkan pakaiannya juga dari tekstil yang tidak terlalu mahal. Apalagi dalam hal tutur sapa, Atikah selalu lemah lembut, seperti umumnya gadis-gadis dari kalangan Melayu.

***

R

umah kukuh berlantai tiga yang terletak di kawasan Sukaramai dekat rumah susun itu terlihat sepi-sepi saja ketika Atikah turun dari taksi. Kawasan pemukiman itu dulu dikenal dengan nama Lou A Yok karena sebagian besar dihuni oleh masyarakat etnis China. Hingga sekarang kawasan itu tetap saja dipadati oleh warga kalangan non pribumi.

Dari kampus Atikah langsung ke rumah itu. Lihatlah dalam tasnya ada buku tentang Fisiologi Manusia. Juga ada diktat tentang Botani Mikrobiologi dan Farmakognosi juga ada. Dan yang paling tebal adalah diktat tentang Statistika Farmasi serta satu lagi Kosmetologi.

Sesaat Atikah tertegun di depan rumah berlantai tiga itu. Deretan rumah-rumah bertingkat di kawasan itu seluruhnya dihuni oleh warga keturunan China. Dari cara mereka memilih tempat hunian, dapat disimpulkan bahwa masih banyak masyarakat keturunan China lebih senang tinggal berkelompok dengan sebangsanya. Masih ada rasa was-was untuk hidup berdampingan dengan warga pribumi.

Terkadang masih ada sekelompok warga China bersikap arogan. Masih ada rasa enggan untuk berintegrasi sepenuhnya dengan warga pribumi. Tidak seperti di Jawa yang sudah banyak berbaur, di daerah ini masih banyak di antara mereka yang mengisolir dirinya. Masih ada di kalangan mereka yang polah hidupnya tetap sebagai masyarakat China seperti di negeri leluhurnya, seperti pola makan, pola bergaul, memilik tempat tinggal bahkan berbahasa sehari-hari di manapun berada tetap menggunakan bahasa Mandarin. Memilih pendidikan untuk anak-anaknya juga harus di sekolah khusus di sekolah China. Masih banyak gadis-gadis China yang merasa tabu untuk kawin dengan orang pribumi atau sebaliknya.

Gadis keturunan China yang menikah dengan lelaki pribumi amat jarang terdengar di daerah ini.

Berbeda dengan gadis-gadis di Pulau Jawa yang menjadi penari Jawa cukup banyak dan mereka yang menjadi pemain Wayang Orang juga tidak sedikit. Bahkan gadis-gadis keturunan China di Bogor dan Bandung lebih mahir berbahasa Sunda daripada berbahasa Mandarin. Banyak gadis-gadis keturunan China disana menikah dengan pemuda pribumi. Pembauran antara keturunan China dan pribumi sudah merata disana. Dan dari perkawinan campuran itu telah lahir anak-anak yang cantik dan cerdas.

Betapa beda dengan di Sumatera. Seperti umumnya rumah-rumah keturunan China di Sumatera, pintu depan selalu dilapisi dengan jerjak besi. Hampir setiap keluarga China di daerah ini, selalu khawatir rumah mereka dimasuki oleh orang-orang yang tidak diundang. Apalagi pengalaman pahit yang amat mengerikan ketika prahara amuk massa dan kerusuhan massal 7 tahun silam, pintu pagar besi yang amat kukuh pun mampu diruntuhkan massa yang bringas.

Seperti umumnya di rumah-rumah orang keturunan China selalu tampak sehelai kertas bertuliskan aksara China ditempelkan di pintu masuk. Dalam hal keagamaan orang China selalu sama dan mempunyai karakteristik tersendiri dalam hal keyakinannya terhadap roh. Selembar kertas beraksara China yang ditempel di pintu masuk itu mempunyai makna untuk mencegah masuknya roh halus yang jahat.

Di atas lantai ruang depan juag tampak altar yang merupakan tempat para dewa-dewa bumi atau masyarakat China menyebutnya Tu Ti yang selalu mengayomi seisi rumah itu. Diatas pintu uga terpasang Pat Kwaw atau depalan trigram yang bermakna untuk menolak segala bentuk kejahatan.

Bila tangan Atikah memencet bel, pintu rumah itu tidak segera dibuka. Sebab setiap warga China selalu mengamati amat teliti setiap tamu yang datang. Karena warga non pribuma selalu jadi sasaran orang-orang yang meminta berbagai sumbangan dengan berbagai dalih, mulai dari uang keamanan, kegiatan olahraga, mendirikan Posko OKP hingga menawarkan berbagai stiker dan kelender. Masyarakat China selalu menjadi korban pemerasan masa lalu menyebabkan sebagian warga keturunan China seolah-olah hidup dalam ketakutan. Dan menutup diri.

Setelah empat kali memencet bel, barulah Nyonya Hwa muncul dan tergesa-gesa membuka pintu lalu mengajak Atikah langsung ke lantai dua.

“Terima kasih atas kedatanganmu, Tika. Kamu benar-benar menepati janji.” Terdengar suara Nyonya Hwa ketika mereka masih menaiki tangga. Aroma hio yang dibakar tercium di rongga hidung Atikah sejak kakinya melangkah di rumah itu.

“Bagaimana Liem sekarang?”

“Baru saja dia merasa ketakutan sebab ada anak tetangga yang mengalami luka dan berdarah ketika jatuh saat main sepatu roda. Liem kembali ketakutan saat melihat darah dan tetangga berkerumunan. Dia merasa tetangga yang berkerumunan itu adalah sekelompok massa yang akan menyebabkan huru-hara dan melakukan pembakaran. Semoga sejak kedatangan Atikah dan bertemu dengan Liem, dia akan bebas dari perasaan berdosa.”

“Saya juga berharap begitu.”

Atikah duduk di ruang keluarga di lantai dua. Atikah melihat ada komik berjudul Filial Piety atau bakti kepada orang tua karya Song Shouxiang yang amat terkenal itu.

“Gemarkah Liem membaca komik?” tanya Tika kepada Nyonya Hwa.

“Ya, dulu! Tidak ada satu pun karya Song Shouxiang yang terlewatkan. Tapi sekarang, sejak peristiwa kecelakaan itu Liem benar-benar tidak mau membaca.”

Tika melihat sebuah organ di ruangan itu. Tentu keluarga itu gemar pada musik, pikir Tika.

“Apakah Liem suka musik?”

“Sesekali dia suka main organ. Itupun dulu. Sekarang dia lebih sering termenung dan ketakutan.”

“Mudah-mudahan Liem akan segera berubah dan segera mendapatkan kembali percaya diri.”

“Itulah harapan semua keluarga.”

Setelah menunggu hampir lima belas menit, barulah lelaki yang pernah mengalami depresi amat berat itu keluar dari kamarnya. Hampir sepanjang hari lelaki muda itu mengurung diri di kamarnya. Tidak ada kegiatan apapun yang dilakukannya. Wajahnya selalu tampak lesu dan matanya kehilangan cahaya. Lelaki itu benar-benar telah kehilangan semangat hidup, padahal dia masih teramat muda belia. Berat badannya turun enam kilo.

Ketika Nyonya Hwa mengajaknya keluar dari kamarnya, semula Liem ragu-ragu untuk bertemu Tika yang menunggu di ruang keluarga. Tapi setelah berkali-kali mamanya menjelaskan, bahwa gadis itu adalah Atikah, puteri almarhum Pak Hasan, barulah Liem mau mendekat. Itupun tidak segera menyapa. Bahkan lelaki itu lebih banyak menunduk seperti seorang tersangka di depan pengadilan negeri yang menanti vonis hakim karena kejahatannya.

Sesaat lelaki itu menatap wajah Atikah yang bundar telur. Sesaat lelaki itu memandang sepasang mata Tiak yang tampak amat bening seperti air telaga. Tiba-tiba saja ada getar-getar halus di dasar hatinya, juga di jantungnya.

“Terimalah kehadiran Tika puteri almarhum Pak Hasan,” ujar Nyonya Hwa memperkenalkan tamunya kepada puteranya.

“Selamat datang!”, sambut Liem dan masih merasakan getar-getar halus dalam hati dan jantungnya.

“Saya datang untuk memenuhi permintaan ibu anda!”

Liem menyambut kehadiran Tika dengan uluran tangan.

“Maaf bila saya harus mencium tangan anda sebagai permohonan maaf dari saya yang telah menyebabkan Pak Hasan harus meninggal dunia.”

Getar-getar halus di relung hati lelaki itu semakin terasa ketika mencium tangan Tika. Juga jantungnya. Liem merasakan jari-jari tangan Tika amat lembut dan harum. Dan tatapannya lebih lembut lagi. Apalagi sepasang bola matanya, disana seperti ada air telaga yang amat bening.

“Tidak usah sebut-sebut hal itu lagi, Liem. Kematian itu adalah sebuah takdir yang tidak boleh disesali. Tidak ada seorang pun yang mempu mencegah datangnya takdir. Tidak ada seorang pun mampu mencegah kematian bila Tuhan menghendakinya.”

“Saya hanya ingin menyampaikan permintaan maaf dari dasar hati saya yang paling dalam.” Ujar lelaki muda itu.

“Sudah lama kami memaafkan semuanya.” Sahut Tika polos dan sejujurnya.

“Sungguh?”

“Sungguh!”

“Tidak merasa dendam?”

“Kenapa harus dendam?”

“Tidak merasa sakit hati?”

“Tidak ada sama sekali.”

“Sungguh?”

“Ya!”

“Tidak ada keluarga yang marah?”

“Tidak ada seorang pun.”

Dada lelaki muda pemain barongsai itu terasa benar-benar lapang. Benar-benar plong. Sebuah mukjizat seperti baru saja terjadi di rumah berlantai tiga itu.

Perasaan berdosa yang selama ini selalu menghantui dirinya tiba-tiba tersingkir jauh. Perasaan ketakutan tiba-tiba saja lenyap. Penyakit traumatik amat berat yang selama ini diderita lelaki muda itu tiba-tiba sembuh. Kehadiran Tika di rumah berlantai tiga itu seperti obat yang paling ampuh untuk menyembuhkan penyakit traumatik yang diderita lelaki itu. Padahal selama ini pemain barongsai itu selalu berteriak-teriak histeris.

Lelaki itu jadi amat senang memandang bibir Tika yang tipis. Lelaki keturunan China itu jadi amat senang memandang hidungnya yang kecil dan mancung. Apalagi memandang matanya yang teduh dan jernih seperti air telaga. Kedatangan Tika di rumah berlantai tiga itu lebih berarti daripada kedatangan seorang psikiater yang sudah berkali-kali berusaha menyembuhkan traumatik dalam diri lelaki itu.

Terlalu cepat sepasang anak muda berlainan ras, berlainan adat istiadat dan agama itu menjadi akrab. Mereka seperti sudah bertahun-tahun bersahabat karib, dan saling mengenal pribadi masing-masing. Tika memang seorang gadis yang pintar bergaul, tidak hanya di kampusnya, tidak hanya di sekitar tempat tinggalnya tapi dimana saja.

Mereka ngobrol panjang lebar, tentang kuliah, tentang dunia muda, tentang bola basket, tentang konser, juga tentang dunia komunikasi yang semakin canggih seperti internet.

Penghuni rumah itu yang berasal dari keluarga China sangat memahami tamunya yang merupakan perempuan muslimah yang taat pada agama, karena itulah yang disuguhkan kepada tamunya adalah teh botol dan kue dalam kardus berupa lemper dan kue lapis. Keluarga di rumah itu memahami banyak kalangan ummat Islam bila berkunjung ke rumah non muslim merasa ragu-ragu untuk makan dan minum. Bila disuguhkan teh botol dan kue-kue dalam kardus pastilah terjamin kehalalannya.

Nyonya Hwa sengaja menyediakan teh botol dan kue yang dibeli dari toko, Nyonya Hwa amat pintar membuat berbagai jenis kue. Tapi dia tahu benar bagaimana menyambut seorang tamu, seorang perempuan muslimah yang taat pada agamanya.

Tanpa ragu-ragu Tika menyedot teh botol dan mengunyah lemper. Tapi dua jenis manusia muda itu terus saja ngobrol penjang lebar dan saling tukar menukar informasi tentang kehidupan muda.

“Kudengar kamu adalah seorang pemain barongsai andalan, Liem,” terdengar suara Tika ketika dia baru saja menyedot isi teh botol.

“Ya! Aku sangat mencintai kesenian tradisional nenek moyangku.”

“Aku ikut kagum dan bangga mendengarnya.”

Lelaki itu tersenyum menerima pujian dari seorang gadis cantik yang matanya teramat indah. Seperti tidak jemu-jemunya lelaki itu menatap sepasang mata itu. Juga menatap bibirnya yang tipis.

“Suatu ketika nanti kamu tampil lagi, aku akan hadir untuk menyaksikan kebolehanmu.”

“Oke. Aku akan memberi tahu nanti kapan tampil lagi.”

“Aku juga seorang gadis yang sangat mencintai seni dan budaya leluhurku,” sepasang bibir tipis itu bergetar lagi. Tiap gerak bibir Tika selalu diperhatikan lelaki itu.

“Senang joged dang-dut?”

“Bukan joget dang-dut, tapi tari.”

“Tari? Tari apa? Disko?

“Aku tidak senang dengan disko, Liem. Aku lebih senang tari Serampang dua Belas, atau tari yang namanya Seri Langkat dan Hitam manis. Aku menyenangi itu karena geraknya yang lemah gemulai seperti kupu-kupu yang terbang dari satu tangkai bunga ke tangkai lainnya atau hinggap di batang padi yang berayun-ayun dibelai angin senja.”

“Pasti aku akan terkagum-kagum kalau aku menyaksikan tarian itu, apalagi kalau yang menarikannya adalah seorang gadis secantik dan selembut yang kini ada di depanku.”

Tika tersenyum. Dan raut wajah bundar telur itu semakin cantik pada saat dia sedang tersenyum. Lelaki muda pemain barongsai itu semakin mengaguminya, semakin senang menatap wajah cantik di depannya.

“Masih ada lagi tari yang kusenangi,” terdengar lagi suara Tika.

“Tari apa?”

“Makan sirih, Gunung Banang, Jalak Lenteng, Dayang Senandung, Burung Putih, Kuala Deli dan Tanjung Katung.”

“Pastilah setiap geraknya amat lembut dan lemah gemulai.”

“Ya. Orang yang menyaksikannya akan terbayang di pelupuk matanya suasana di pantai dan alunan ombak serta derai daun-daun nyiur dan nyanyian nelayan yang berangkat ke laut.”

“Aku dapat membayangkan keindahannya, Tika.”

Tika mengunyah lemper. Tidak terasa sudah dua jam Tika berada di rumah yang teretak di kawasan Lou A Yok itu umumnya dihuni oleh masyarakat China.

Tika melihat sebuah organ di ruang keluarga di lantai dua rumah itu.

“Kamu senang main organ, Liem?” Tika menatap wajah lelaki itu.

“Sesekali aku memainkannya dan mama sangat senang mendengarnya. Mama terkadang terkenang suasana di negeri leluhurnya di China. Mama terkadang merindukannya, padahal mama dan papa lahir di sini, di negeri ini. Mama merasa sudah menjadi bangsa Indonesia sejati yang sangat mencintai negeri ini.”

“Hmmm,” gumam Tika.

Lelaki muda itu masih menatap wajah cantik di depannya. Belum ada seseorang yang mendampingi gadis cantik itu. Kemana-mana Tika memang masih sendiri, karena dia belum prnah bergaul akrab dengan seorang lelaki. Tika belum punya pacar.

Perlahan sekali Tika melangkah ke arah organ dan sebuah buku teks berbagi jenis lagu ada di atas alat musik moderen itu. Ada teks lagu barat, ada lagu-lagu Mandarin, juga lagu pop Indonesia dan teks lagu-lagu klasik juga ada, teks lagu karya Mozart dan Beethoven. Sesaat Tika memperhatikannya.

“Boleh aku memainkannya, Liem?”, Tika menatap wajah lelaki itu.

“Kenapa tidak? Aku akan senang sekali melihat jari-jari tanganmu yang lembut dan lentik bermain di atas toest organ. Aku akan senang mendengar irama yang kamu mainkan. Aku pun akan lebih senang kalau kamu memainkannya untukku.”

“Oke. Aku akan memainkannya khusus untukmu, Liem!”, sahut Tika sejujurnya.

“Sungguh?”

“Tentu saja khusus untukmu. Karena aku dating juga khusus untukmu, karena mamamu yang meminta aku hadir di rumah ini. Semoga kamu dapat segera kembali menemukan percaya diri dan semangat hidupmu.”

“Terima kasih, Tika. Kamu adalah seorang gadis lembut dan mengerti perasaanku.”

“Aku ingin berbuat yang terbaik untukmu, agar kamu tidak kehilangan masa depan. Aku ingin kamu mendapatkan kembali gairah hidup yang terkadang penuh dengan tantangan dan liku-liku.”

Lelaki itu tersenyum.

“Lagu apa yang kamu mainkan khusus untukku, Tika?”, lelaki itu tegak disisi Tika yang sudah duduk di bangku kecil di depan organ.

Tika tidak segera menyahut, menyebabkan lelaki itu bertanya lagi:

“Apakah sebuah lagi sedih?”

Tika menggeleng.

“Apakah lagu tentang seorang lelaki yang kecewa karena gadis yang di cintainya menikah dengan orang lain?”

“Bukan.”

“apakah lagu tentang kemesraan dan kebahagiaan sepasang manusia muda yang sedang memadu cinta kasih?”

“Bukan!”

“Atau tentang seorang gadis yang sedang merindukan kekasihnya di tempat yang sangat jauh?”

Sekali lagi Tika menggeleng.

Pasti kamu akan memilih sebuah lagu tentang seorang wanita yang amat sedih karena kanker yang dideritanya dan sesaat lagi kematian akan menjemputnya.”

“Aku tidak akan memainkan lagu sesedih itu untukmu, Liem.”

“Lalu lagu apa yang kamu berikan khusus untukku?”

“Bukan sebuah lagu.”

“Lalu apa?”

“Sebuah puisi yang pasti enak di nikmati kalau diiringi dengan alunan musik.”

“Akh, Tika. Kamu memang seorang gadis yang berhati mulia. Kamu menyenangi puisi.”

“Ya, aku senang puisi.”

“Mainkanlah segera khusus untukku,” pinta Liem seperti tidak sabar.

“Dengarlah baik-baik!”

“Aku akan mendengarnya tiap kata.”

Dengan amat perlahan jari-jari tangan Tika menyentuh toets organ lalu mendengar nada-nada lembut. Sepasang bibir yang tipis dan amat indah itu mulai bergetar melantunkan bagian terakhir dari sebuah syair lama:

Kenal dirimu hai anak dagang,

Menafikan diri jangan kau sayang

Suluh isbat yugia kau pasang,

Supaya dapat mudah kau datang.

Jika terdengar olehmu firman,

Pada Taurat, Injil dan Furqan,

Wa Huwa ma’akum pada ayat Qur’an

Bukilli syaiin muhith telalu iyan.

Bila nada terakhir dari irama yang mengiringi syair itu, tidak terdengar lagi, Liem berdecap-decap penuh rasa kagum.

Puisi dan syair memang jadi teramat indah bila dilantunkan dengan iringan musik, seperti yang baru dibawakan oleh Tika di depan lelaki pemain barongsai itu.

“Sungguh teramat indah, Tika. Aku benar-benar hanyut dalam keindahan puisi itu. Bolehkah aku tahu siapa yang menciptakan puisi itu?”, tanya lelaki itu dengan mata tidak berkedip memandang wajah Tika.

“Hamzah Fansuri yang lahir di akhir abad ke enam belas. Tidak hanya sebagai penyair, tapi ia juga sebagai sufi dan ulama besar di zaman Sultan Iskandar Muda di Aceh. Dia sudah melanglang buana hingga ke Baghdad, Mekkah, Madinah, Pahang, Siam dan negeri-negeri lain terutama yang penduduknya mayoritas adalah Islam.

“Luar biasa!”, lelaki itu masih terkagum-kagum.

Jari-jari yang lentik itu dengan lembut kembali menyentuh toets organ lalu terdengar lagi sebuah irama yang melankolis. Sekali lagi Tika melantunkan bagian tengah sebuah syair lama:

Hati itu kerajaan di dalam tubuh

Jikalau zalim segala anggota pun rubuh

Mengumpat dan memuji hendaklah pikir

Disitulah banyak orang tergelincir

Jika sedikit pun berbuat bohong

Boleh diumpamakan mulutnya itu pekung

Bakhil jangan diberi singgah

Itulah perampok yang amat gagah

Jika hendak mengenal orang berbangsa

Lihat kepada budi dan bahasa

Jika hendak mengenal orang mulia

Lihat kepada kelakuan dia……..

“Seperti sebuah syair lama, Tika. Siapa yang menciptakan syair itu?”, tanya Liem seperti tidak sabar, padahal nada-nada terakhir dari organ itu masih terdengar.

“Raja Ali Haji yang dilahirkan di Riau tahun delapan belas nol Sembilan dan karyanya berbagai bidang meliputi sastra, linguistik, hukum tata Negara, ilmu politik dan banyak lagi. Judul puisi itu adalah Gurindam Dua Belas. Tiap orang Melayu sangat mengagumi karyanya. Raja Ali Haji adalah penyair lama yang menjadi kebanggaan orang Melayu. Nama itu amat lekat di setiap bibir orang Melayu.”

“Hebat kamu, Tika. Maukah kamu memperdengarkan sebuah puisi lagi khusus untukku?”

“Tentu.”

Jari-jari lentik itu pun kembali menyentuh toets organ kemudian terdengar lagi irama yang menghanyutkan perasaan setiap orang yang mendengarnya dalam sebuah ilusi yang amat indah. Sepasang bibir tipis itu pun kembali bergetar melantunkan sebuah puisi. Dan puisi yang lahir dari celah bibir gadis cantik itu bukan dalam bahasa Indonesia tapi dalam bahasa asing, Jerman. Tika melantunkannya amat fasih dan penuh perasaan yang membuat lelaki itu terpukau bagaikan sebuah patung pualam.

Screi zum SchluB, das seitwarts gebleckte GebiB, die zierlichen

Embriyo-Ohren. Wo sind wit jetzt, Gebell unter Handen.

Und Knien, wer hat hier wen gejagt

Er klang wie ein Kind, weitab in der Hundskamille

Hatte ich ihn stillen wollen.

Noch im Schlaf

Schrie das Fell, jede Pore

Im Schorf blieb durstig…..

Jari-jemari tangan yang lembut itu masih menari-nari di atas toest organ dan Atikah masih melantunkan puisi itu dalam bahasanya sendiri, biar Liem benar-benar dapat menikmatinya. Biar Liem mengerti arti kata demi kata dalam puisi itu. Biar hatinya ikut tergetar.

Teriakannya ynag bagai lengkingan

Domba kecil dalam sakratul maut, gigi-giginya menyeringai, telinga

Embrionya yang manis. Dimana kita kini melolong

Dibawah tangan dan lutut, siapa memburu siapa?

Teriakan itu mirip jerit kanak, nan jauh di lading

Bunga Camomile liar. Aku dulu sudah ingin menyusuinya.

Bahkan dalam tidurnya,

Bulu-bulunya menjerit, tiap pori

Di bekas lukanya tetap dahaga.

Sebagai ungkapan rasa kagumnya lelaki disisi Tika bertepuk tangan seorang diri.

“Kamu masih mendengar sebuah puisi lagi?”, Tika menatap wajah lelaki itu.

“Tentu, Tika. Seribu puisi lagi akan kudengar kalau yang membacanya adalah kamu!” lelaki itu tampak senang.

Setengah berbisik bibir Atikah bergetar lagi membawakan sebuah puisi diiringi alunan nada-nada organ:

Rumpun bamboo tinggi terbayang di kali berkelok liku

Dan ricik arus menghanyutkan hijau dan biru

Kami berada di jalanan Bukit Shang

Dan tidak seorang pun tahu

Bahkan penebang kayu pun takkan memahami hal itu………

Atikah memandang wajah Liem yang menunduk pada saat baris terakhir puisi itu dibacanya. Liem seperti memikirka sesuatu.

“Kenapa tiba-tiba kamu termenung, Liem?”

“Aku pernah mendengar puisi itu. Aku sedang memikirkan siapa yang menulis karya besar itu,” sahut Liem.

“Ayo ingat! Kalau kamu dapat menyebut pujangga besar yang menciptakan puisi itu, artinya kamu benar-benar sudah sembuh dari trauma.”

“Wang Wei!”, nama itu segera tercetus dari celah bibir Liem.

“Judulnya adalah bukit bamboo. Weng Wei hidup diabad ke tujuh diantara bayang-bayang pujangga besar lainnya Li Po dan Tu Fu yang juga pelukis ternama pada zamannya!”

“Kamu benar, Liem. Kamu sudah benar-benar sehat dan percaya diri,” cetus Tika amat gembira.

“Dan yang menyembuhkan aku adalah kamu, Tika! Bukan orang lain. Juga bukan pernik-pernik puisi yang singgah di hatiku.”

Sesaat Liem terdiam, tapi akhirnya berkata lagi.

“Aku juga ingin membacakan puisi untukmu, Tika!”

“Ayo baca, aku akan senang mendengarnya”

Lelaki yang pernah mampir menjadi korban amuk massa itu ingin membuktikan dirinya benar-benar sembuh dari traumatik dan telah mendapatkan kembali percaya diri. Liem segera membaca puisi, sementara Atikah mengiringi dengan nada-nada organ.

Langit tanpa kejernihan mungkin akan pecah

Bumi tanpa stabilitas mungkin akan bergetar

Pikiran tanpa inspirasi mungkin akan tidur

Semua benda tanpa kreativitas mungkin akan mati

Sesungguhnya yang tinggi berasal dari yang rendah……….

Dan celah bibir Atikah yang tipis segera terlontar kekagumannya.

“Hebat kamu, Liem. Ternyata kamu juga dapat membaca puisi dengan baik.”

“Aku hanya ingin membuktikan kepadamu, bahwa daya ingat dan pola pikirku sudah kembali ituh. Aku masih ingat penggalan puisi itu adalah karya Tao Tse dalam bukunya Tao Tse Ching.”

“Kamu benar-benar hebat, Liem!”, cetus Atikah amat kagum. “Kamu benar-benar sudah sehat, enerjik dan penuh semangat.”

“Bolehkah aku memohon aga kamu sekali lagi membacakan puisi tentang domba kecil dalam sakratul maut?” pinta Liem. “Puisi itu amat menggugah hatiku.”

“Demi untukmu, aku akan mengulanginya bahkan sepuluh kali pun lagi.”

Suara Tika mengalun lagi dan Liem merasa dirinya seakan diterbangkan angin kea lam yang teramat indah.

“Sungguh luar biasa, Tika. Aku jadi teramat kagum kepadamu. Maukah kau menjelaskan kepadaku siapa yang menciptakan puisi yang membuatku terlena itu?”

“Puisi itu berjudul”Sein kleiner Schaf” karya penyair wanita yang amat terkenal di dunia, kebanggaan Jerman, Brigette Oleschinki.”

“Kamu begitu mahir melantunkannya dengan penuh perasaan, hingga aku benar-benar hanyut dalam dunia khayal yang teramat indah. Bila ada seorang perempuan yang sangat kekagumi sekarang, bukanlah mama tapi kamu, Tika.”

Tika hanya tersenyum. Namun ia masih sempat mengatakan sosok penyair wanita kebangsaan Jerman itu. Bahwa kumpulan puisinya yang berjudul Mental Heat Control diterbitkan Rowoht Verlag sempat meraih anugerah Forderungspreis Literatur zum Kunspreis Berlin. Masih banyak lagi anugerah penghargaan sastra yang diterima Brigette Oleschinki itu. Penyair itu pun sudah sering diundang untuk menghadiri Festival Poetry Internasional. Kehadiran Tika dirumah berlantai tiga itu bagaikan membawa sebuah mukjizat. Bila Liem tiba-tiba terhindar dari perasaan berdosa, dan penyakit traumatik yang dideritanya sembuh dalam sesaat kerena puisi-puisi yang dilantunkannya diiringi musik amat berkesan di hati lelaki itu. Terdengar amat indah, melankolis, menyentuh kalbunya yang paling dalam dan menggugah perasaan.

Lelaki pemain barongsai itu ingin Tika ada dirumahnya, ada disisinya tidak hanya sesaat, tapi sepanjang hari, sepanjang malam untuk melantunkan puisi-puisi khusus untuk Liem.

Sejak masih kecil dulu Tika adalah gadis cilik yang senang dengan puisi. Hingga kini, meskipun kuliah bukan di Fakultas Sastra, tapi dia memiliki khasanah puisi yang amat banyak. Dia juga sangat hafal puisi “Makna di Balik Cakrawala Kata-kata” karya penyair paling terkemuka di Afrika Selatan, Breyten Brey Tenbach.

Tika juga amat akrab dengan puisi pujangga Jawa Ranggawarsita yang lahir 1802 berjudul “Zaman Edan” yang amat poluler itu. Tanyalah pada Tika siapa sebenarnya Ranggawarsita, pasti dengan lancer dijawab Tika bahwa sosok pujangga Jawa itu banyak melahirkan mahakarya meliputi sastra, pendidikan, filsafat, sejarah dan banyak lagi. Karyanya yang amat terkenal adalah Jayabaya dan Paramayoga.

Rasanya terlalu cepat Tika untuk memohon diri. Liem akan merasa kehilangan bila Tika pulang.

“Tidak usah naik taksi,” terdengar suara Liem.

“Lalu aku harus pulang naik apa?” Tika menatap wajah lelaki itu. Dia melihat ada cahaya berbinar disana, tidak seperti sebelumnya, sepasang mata itu selalu tampak cekung dan sayu, seperti seseorang yang mengidap penyakit terlalu lama. Sebelum kedatangan Tika, sepasang mata lelaki itu tampak selalu redup, seperti seorang kecanduan narkotika paling berat. Tapi sekarang sepasang mata itu amat bercahaya. Lelaki itu benar-benar telah mendapatkan kembali semangat hidupnya.

“Aku akan mengantarmu!”, cetus lelaki itu.

“Kamu?” Tika menunjuk dada lelaki tiu. “Kamu yang akan mengantar aku pulang?”

“Lalu siap lagi?”

“Tidak merasa takut?”

“Sejak hari ini aku telah menemukan kembali percaya diri yang sempat hilang. Aku tidak lagi merasa dikejar-kejar perasaan berdosa.”

Nyonya Hwa tersenyum dan dadanya terasa lapang. Sesuatu yang selama ini dia rasakan amat menghimpit dadanya, kini himpitan itu sudah bergeser, nafasnya terasa amat lega.

“Hati-hati, Liem,” itulah pesan mamanya. “Hindari lubang atau batu kerikil sekecil apapun.”

“Tentu!”

Panther itu meluncur meninggalkan kawasan Lou A Yok yang sejak puluhan tahun silam memang amat banyak dibumi masyarakat keturunan China. Dalam mobil yang meluncur di jalan yang padat itu pun Liem dan Tika masih ngobrol amat panjang lebar. Mereka tampak sebagai dua orang sahabat yang sudah lama bergaul, yang sudah memahami pribadi masing-masing.

Mobil itu memasuki halaman rumah makan Melayu dan di restoran itu sedang ramai oleh orang-ornag yang sedang makan.

“Kenapa berhenti disini, Liem?”, Tika bertanya ketika lelaki itu mematikan mesin mobilnya.

“Tidak bolehkah aku mengajak makan seseorang yang baru sesaat kukenal namun sudah amat akrab? Tidak bolehkan aku mentraktir seseorang gadis yang sangat kukagumi? Tandanya aku senang mendengar puisi-puisi yang kamu lantunkan. Tidak hanya itu. Juga sebagai ungkapan kegembiraanku, bahwa hari ini aku telah terbebas dari perasaan berdosa. Sejak hari ini aku telah terbebas dari belenggu trauma.”

“Akh, Liem. Aku senang dapat berbuat sesuatu yang terbaik untuk seseorang, apalagi orang itu sedang dililit kesulitan.”

Lelaki pemain barongsai itu mengajaknya turun. Tika tidak menolak meskipun dia belum merasa lapar, apalagi ketika di rumah Liem ia sudah menikmati lemper dan kue lapis.

“Senang jus?” liem memilih tempat paling pojok.

“Yak.”

“Kuini? Semangka? Orange? Belimbing? Atau sirsak?”

“Hanya orang-orang menderita hipertensi gemar minum jus belimbing atau sirsak. Aku lebih senang melon!”, sahut Tika dan duduk berhadapan dengan lelaki itu.

“Wah, kita memiliki selera yang sama.”

“Sering makan disini?”

“Sesekali.”

“Biasanya seseorang seperti kamu pasti lebih senang Chinese Food. Orang-orang China biasanya lebih senang makan di Kim Cu Restoran Oriental.”

“Tidak ada salahnya sesekali menikmati masakan Melayu, bukan?”

Tika hanya tersenyum. Baru sesaat dia menghirup jus melin, menyantap bubur pedas, anyang pakis, roti jala dan botok kampung, sayup-sayup terdengar azan. Tika bangkit dari duduknya dan bersiapp-siap untuk melaksanakan sholat maghrib.

“Kamu mau kemana, Tika?” lelaki itu masih menatapnya.

“Azan sudah terdengar, Liem. Setiap muslim harus melaksanakan kewajibannya. Aku harus menghadap Tuhan. Karena aku selalu dekat dengan-Nya.”

“Kamu seorang gadis yang amat taat, Tika. Aku jadi semakin kagum kepadamu.”

“Maaf, aku harus meninggalkanmu.”

“Aku akan menunggumu.”

Tika melangkah ke ruang sholat. Tiap rumah makan besar, terutama rumah makan Melayu pasti menyediakan ruang sholat yang bersih dan serasi sehingga tiap orang yang sedang makan disana merasa nyaman untuk melaksanakan sholat.

Lelaki muda itu duduk berdiri dan menghirup jus melon. Seorang perempuan bule dengan membawa sebuah tas sesaat memperhatikannya lalu menghampirinya.

“Sorry to disturb you,” sapa perempuan bule itu dalam bahasa Inggris dan membuka tasnya. Perempuan bule itu mengeluarkan beberapa lembar foto berukuran jumbo.

“Are you in this photograph?”, perempuan bule itu menyodorkan selembar foto tentang atraksi permainan barongsai yang sedang melakukan akrobatik di sebuah pusat perbelanjaan yang amat ramai.

Sesaat Liem memperhatikan foto dirinya yang dijepret perempuan bule itu.

“Yes! That’s right. It is my photograph.” Sahut Liem polos “So, I am not mistaken,” perempuan bule itu duduk di depan Liem dan memperkenalkan dirinya sebagai penulis budaya dan pariwisata dari sebuah penerbitan media berbahaasn Inggris yang terbit di Australia.

“Let me say congratulation to you. I admire your performance very much,” ujar perempuan yang mengaku penulis tentang budaya dan pariwisata itu.

“I have much explore this country, from Irian Barat to record Asmat culture up to Java Island and Sumatera to observe Melayu and Batak cultures.”

“Do you like tor-tor?”

“Yes. I do. I like it so much. I like the philosophy of Dalihan Na Tolu. When I come back to Melbourne, I will bring many record and notes with me, especially, about unique Melayu marryage custom, tepung tawar and ritually purifying someone with such a flour mixeture, rebana and other Melayu arts which have a Islamic charactetistic.”

Perempuan bule itu masih sempat mengatakan bahwa ada kesenian tradisional rakyat Tapanuli yang sudah lenyap sama sekali, yakni Tilhang. Perempuan itu pun tampak sedih ketika mengungkapkan hal itu. Masih banyak lagi seni budaya bangsa ini yang telah terkubur karena budaya asing dan sebagai akibat kemajuan teknologi serta moderenisasi global.

“I visit Sumatera ten years ago, and the condition of ten years ago is very different from the present one”, ujar penulis budaya dan pariwisata dari sebuah penerbitan paling terkemuka di negeri kangguru itu.

“In what case?” lelaki pemain barongsai itu menatap perempuan bule yang sudah berumur hamper 50 tahun tetap tegar dan energik.

“Ten years ago, barongsai and other Chinese arts could not be performed in public. Moreover, the acitivities of Chinese society were extremely prohibited by the authority of the period. At that time, Chinese society was so much pressed although some conglomerates get many facilities from the officials. But ironically, when the country came into a monetary crisis and there was a reformation movement, many conglomerates went to various countries and the capital flight could not be prevented.”

Panjang lebar perempuan bule yang sudah banyak mengamati budaya dan pariwisata di negeri ini mengungkapkan penilaiannya tentang negeri ini. Tidak hanya mengungkapkan penilaiannya tentang negeri ini. Tidak hanya tentang seni budayanya yang amat mengagumkan, tidak hanya tentang alamnya yang indah, tidak hanya penduduknya yang terdiri dari berbagai suku, tidak hanya tentang reformasi yang terus bergulir di negeri ini, tapi juga tentang berbagai krisis yang melanda negeri ini. Perempuan bule itu juga menyoroti banyaknya terjadi tindakan anarkis dan main hakim sendiri yang banyak meminta korban harta benda dan juga nyawa.

Perang antar warga yang mengakibatkan banyak nyawa melayang dan saling membakar rumah juga disebut-sebut penulis terkenal dari negeri kangguru itu.

“All have changed now,” sahut Liem tidak member komentar panjang lebar.

“Yes! Now, be happy you as a barongsai player since you can perform everywhere. Now, Chinese society can really enjoy the new, havvy condition in Indonesia if you perform in Australia, I am sure that you will have many admirers there.”

Liem hanya tersenyum.

“The photograph of your barongsai attraction will be printed in mass media there. We will also read the articles about Chinese society who can live in happy life in Indonesia’s new era.” Ucap perempuan bule itu lagi.

“Thank you. I will be very happy id one day I can visit your country.”

Lelaki pemain barongsai itu senang sekali dapat bertemu dengan seorang penulis tentang budaya dan pariwisata yang sudah mengelilingi berbagai Negara di Asia. Pengagum Liem sebagai pemain barongsai andalan tidak hanya dari kalangan keturunan China, tidak hanya dari kalangan pribumi, tapi juga dari orang bule. Penulis kondang itu pula yang mengatakan bahwa suatu saat barongsai dari Indonesia dapat tampil dalam kejuaraan barongsai tingkat Internasional dan menjadi juara. Di negeri ini, meskipun dalam keadaan krisis, tapi kesenian barongsai terlihat tampil dimana-mana. Bibit-bibit pemain barongsai andalan terlihat bertumbuhan di negeri ini.

Di ruang sholat, di restoran itu, Tika masih menghadap kiblat dan sholatnya benar-benar khusu’. Kemana pun ia pergi, bila sudah terdengar azan, pasti ia menghadap kiblat dan rasanya dia amat dekat dengan Tuhan dan berdialog dengan-Nya. Hatinya selalu tentram dan sejuk. Seperti saat itu, ketika dia baru saja bertemu seorang lelaki keturunan China pemain barongsai yng sedang menderita traumatik amat berat karena pernah menjadi korban percobaan dibakar hidup-hidup oleh sekelompok orang.

Dalam tas sandangnya yang ada tidak hanya buku dan diktat kuliah, tidak hanya lipstik atau kosmetik, tapi juga mukena. Begitulah perempuan muslimah soleha. Begitulah seorang gadis dari rumpun Melayu.

Di akhir sholatnya, bila gadis itu memberi salam kekiri, seorng gadis lain tersenyum kepadanya. Tika tidak menduga, di ruang sholat di restoran itu dia akan bertemu dengan seorang teman kuliah.

“Kamu disini, Azizah?”, sapa Tika dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

“Ya, dan melihatmu bersama seorang lelaki China turun dari Panther merah hati,” sahut sahabatnya.

“Dia adalah Tan You Liem, pemain barongsai yang menabrak almarhum ayahku.”

“Hmmm,” Azazah tersenyum. “Tampaknya ada sesuatu yang istimewa hari ini.”

“Tidak ada! Dia hnya ingin mengajakku makan setelah memohon maaf atas kecelakaan yang menyebabkan ayahku meninggal.”

“Kudengar laki-laki China itu sempat dibakar massa yang marah.”

“Ya. Tapi Tuhan masih melindungi nyawanya. Dia hanya menderita luka-luka bakar, tapi yang paling serius dia harus menderita traumatik berat. Ibunya meminta bantuanku karena merasa kehadiranku dapat mengurangi beban mentalnya yang amat tertekan.”

“Siapa pun orangnya pasti akan mengalami trauma berat kalau pernah menjadi korban amuk massa, apalagi sampai dibakar hidup-hidup. Kita dapat membayangkan betapa ngerinya kejadian itu.”

“Aku tidak mengerti keajaiban apa yang kumiliki. Kedatanganku benar-benar dapat menepis traumatik yang dideritanya.”

“Karena kamu perempuan, Tika. Karena kamu cantik, lembut, dan matamu jernih.”

“Aku merasa biasa-biasa saja.”

“Ingat, aku selalu memperhatikan kamu sejak turun dari Panther bersama laki-laki itu. Caranya dia berjalan di sisimu, caranya dia memandangmu, caranya berbicara denganmu, seperti ada sesuatu yang istimewa di hatinya.”

“Akh, Zizah. Kamu ada-ada saja!”

“Terus terang, aku menilai ad perhatian paling istimewa di hatinya terhadapmu. Tapi kamu harus hati-hati, Tika. Masih amat jarang perempuan Melayu akrab dengan lelaki China dan sebaliknya. Jangan jadi batu sandungan.”

“Demi Tuhan, aku merasa biasa-biasa saja. Aku hnaya ingin menolongnya, tidak lebih dari itu.”

“Hati-hati!”, hanya itu yang diucapkan sahabatnya di kampus.

“Sebagai kawan biasa boleh-boleh saja, tapi untuk lebih dari itu sebaiknya jangan.”

Tika tersenyum pahit.

Sesaat Atikah menunduk. Di benaknya terbayang wajah lelaki China itu. Tika ingat jati dirinya sebagai gadis berdarah Melayu selalu identik dengan Islam.

Gadis Melayu harus menikah dengan seorng lelaki muslim bahkan sangat diharapkan yang fasih membaca Qur’an.

“Akan terlalu banyak rintangan yang akan menghadangmu kalau memang ada sesuatu yang istimewa di antara kamu dengan lelaki berdarah China itu,” ujar sahabatnya lagi.

“Aku ajan menjaga jarak,” sahut Tika.

“Itulah yang terbaik. Masih banyak orang lain. Apalagi kamu cantik dan taat. Mau jodoh pengacara atau dokter pasti mudah kamu peroleh.”

***

T

idak ada gunanya lagi konsultasi dengan seorang psikiater karena lelaki muda pemain barongsai itu merasa dirinya benar-benar sudah sehat. Tidak ada lagi perasaan berdosa, bahwa ia telah menyebabkan orang lain harus meninggal dunia. Sebab ahli waris almarhum Pak Hasan, Atikah selalu ada disisinya dan mengatakan kematian ayahnya bukan karena ditabrak sepeda motor, tapi karena penyakit jantungnya.

Tidak ada lagi trauma yang amat berat dalam diri lelaki itu. Laki-laki itu benar-benar telah mendapatkan kembali percaya diri yang pernah hilang. Tidak pernah lagi ia ketakutan akan dibakar hidup-hidup oleh sekelompok orang. Tidak pernah ada lagi bayang-bayang hitam yang seakan ingin menghabisi nyawanya. Sebab seorang gadis berwajah bundar telur selalu ada disisinya. Sebab Tika selalu melantunkan puisi-puisi yang amat indah dan enak didengar. Tidak hanya itu. Kehadiran Atikah selalu memberinya dorongan dan semangat.

Hampir setiap hari mereka bertemu. Tika tidak lagi harus hadir di rumah berlantai tiga yang terletak di kawasan Lou A Yok di Sukaramai itu. Lima belas menit lagi Tika keluar dari ruang kuliah, biasanya Liem sudah menunggu dibawah pohon akasia di kampus yang megah dan luas itu. Pulang dari kampus biasanya Liem tidak segera mengantar Tika pulang tapi mampir menikmati es krim atau sekedar makan bubu lambuk atau roti jala. Liem jadi amat senang menikmati masakan khas Melayu. Dia jadi amat sering merindukan Tika. Ia selalu ingin menatap matanya yang bening seperti air telaga.

Terkadang Tika tiba dirumah menjelang maghrib. Sebab mereka amat lama ngobrol. Karena itulah, ketika sebuah Jimny Katana berwarna hijau berhenti di depan rumah berlantai tiga yang terletak di kawasan Lou A Yok itu, Liem tidak ada dirumah. Padahal seorang gadis keturunan China yang selalu mengaguminya dan selalu menyebut namanya hampir tiap saat amat merindukannya dan ingin bertemu dengannya.

Gadis yang bekerja di sebuah bank swasta papan atas itu datang dengan membawa dua buah tiket Silk Air dengan tujuan ke Singapura.satu untuknya dan satu lagi untuk Liem. Nio ingin mengajak Liem untuk berobat di kota Singa itu agar tidak algi selalu dikejar-kejar ketakutan. Nio ingin mengajak Liem ke Singapura agar traumatik tidak lagi selalu melekat dalam dirinya. Nio yakin di Singapura Liem akan benar-benar sembuh. Sebab banyak gadis-gadis Tionghoa korban perkosaan missal yang terjadi 7 tahun lalu dan menderita traumatik yang berat dapat disembuhkan. Sudah banyak gadis-gadis korban pemerkosaan missal dulu, kini sudah menikah dan hidup berbahagia. Seperti yang dialami Diana Tjoa, korban pemerkosaan di daerah Muara Angke Jakarta. Setelah dibawa papa dan mamanya ke Singapura dan menikah dengan seorang duda yang kini bermukim di Pulo Brayan. Diana Tjoa tampak bahagia sekarang.

Nio juga ingin pemain barongsai yang sangat ia kagumi itu dapat segera sembuh dari traumatik yang selalu menghantui dirinya. Dan berangkat ke Singapura tidak hanya untuk mengajak Liem berobat, tapi juga untuk jalan-jalan. Sudah berbulan-bulan amoy cantik bermata sipit itu menabung uangnya.

Sudah lebih setengah jam Nio menunggu Liem tapi lelaki muda itu tidak kunjung pulang. Kalau sudah bersama Tika, lelaki itu seperti enggan untuk pulang. Apalagi kalau Liem sudah menggenggam jari-jemari tangan Tika yang lembut.

Gadis keturunan China itu tertegun ketika melihat dua buah novel yang sudah kumuh dan lusuh, TAK PUTUS DIRUNDUNG MALANG dan sebuah lagi DIAN YANG TAK KUNJUNG PADAM.

Sejak kapan kau senang pada novel-novel seperti ini, Liem? Nio berkata-kata sendiri ketika sesaat ia memperhatikan novel-novel karya sastrawan Pujangga Baru yang ditulis lebih dari tujuh puluh tahun yang silam. Hanya seorang peminat sastra saja yang suka pada novel lama seperti itu. Seperti halnya Atikah yang memang cinta berat terhadap dunia sastra. Tanyalah siapa pencipta puisi Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu atau Setanggi Timur, pasti Tika akan menyebut sebuah nama dengan tiga gelar sekaligus, yakni sebagai raja penyair pujangga baru, sebagai penyair modern dan sebagai penyair religius yang paling popular pada zamannya, Amir Hamzah.

Darimana kamu mendapatkan novel-novel kumuh ini, Liem? Lagi-lagi gadis bermata sipit itu berkata-kata sendiri dalam hatinya. Otakmu akan kembali pening kalau kamu membaca novel seperti ini. Penyakit traumatik yang kamu derita akan bertambah parah!”

Ingin rasanya Nio membuang jauh-jauh novel yang sudah kumuh dan kumal itu. Lebih baik nonton tv atau film tentang percintaan dari CD, pasti Liem akan terhibur dan terhindar dari himpitan mental. Akan kubawakan sepuluh keeping film CD yang pasti kamu senangi, Liem. Nio berkata-kata dalam hatinya.

Gadis itu tidak pernah menduga bahwa seorang lelaki yang sangat dia kagumi, sekarang lebih sering bersama seorang gadis berdarah Melayu, Atikah. Gadis bermata sipit itu tidak pernah tahu, bahwa diam-diam gadis berdarah Melayu itu selalu merebahkan kepalanya di dada Liem dan merasakan detak-detak jantungnya, juga detak cintanya. Nio tidak pernah menduga, bahwa diam-diam seorang lelaki yang selalu hadir dalam mimpinya selalu memeluk tubuh Atikah amat erat dan membeli rambutya amat mesra.

Hatinya akan hancur berkeping-keping bila Nio mengetahui bahwa pemain barongsai yang amat perkasa diatas pilar-pilar kayu itu terkadang bersampan ke laut hingga ketengah dan ombak pun amat kencang lalu Tika berpegang erat-erat pada lengan lelaki itu. Hatinya akan terluka seperti tergores beling tajam bila ia tahu seorang lelaki yang selalu dirindukannya terkadang naik kuda berdua menyusuri pegunungan yang ditumbuhi pohon-pohon pinus.

Lebih satu jam Nio menunggu lelaki itu pulang. Setelah matanya mengantuk karena terlalu lama mengunggu barulah laki-laki itu pulang.

“Lebih satu jam aku menunggumu, Liem,” ujar Nio ketika lelaki itu muncul. “Kemana saja kamu pergi?”

“Jalan-jalan, sekedar menikmati udara sore!”, seenaknya Liem menyahut.

“Sendiri?”

“Yang pasti tidak lagi di kawal mama!”

“Kamu tidak takut lagi?”

“Takut apa?”

“Tidak merasa dikejar-kejar sekelompok orang lain?”

Liem menggeleng lirih dan tersenyum. Wajahnya benar-benar cerah. Tidak ada perasaan cemas. Tidak ada perasaan takut. Dan sepasang matanya tidak lagi kuyu dan loyo. Liem tampak bersemangat.

“Tidak takut dihadang sekelompok massa?”

“Aku sudah menemukan kembali semangat hidupku sekarang.”

“Tapi kemarin-kemarin kamu masih selalu ketakutan.”

“Semua sudah berlalu, Nio.”

“Tapi aki masih khawatir, Liem. Aku dan mamamu benar-benar cemas, besok atau lusa ketakutan itu akan menghantui dirimu lagi.”

“No!”

Rasa takut itu sudah kubuang ke tengah samudera yang paling dalam. Perasaan takut itu sudah ditelan ikan hiu!”

“Aku datang untuk mengajakmu ke Singapura. Untuk berobat disana!”, ujar Nio sungguh-sungguh dan menatap wajah lelaki itu amat dalam. Gadis itu menunjukkan dua buah tiket. Silk Air dengan tujuan Singapura atas namanya dan sebuah lagi atas nama Tan You Liem.

“Kita berangkat besok!,” lanjut Nio lagi. Untuk berangkat ke Singapura atau Penang saat ini amat mudah karena tidak diperlukan visa. Passport memang sudah lama dimiliki Nio bersama papa dan mama serta semua kakak-kakaknya. Liem dan mamanya serta seisi rumah itu juga sudah lama memiliki passport. Hampir setiap keluarga keturunan China memang memiliki passport agar mudah untuk berangkat ke luar negeri bila terjadi gesekan-gesekan social seperti prahara kerusuhan massa lebih 7 tahun silam.

Di negeri yang elok ini memang sudah sering terjadi tindak kekerasan terhadap etnis China. Entah sudah berapa kali negeri yang terdiri dari beribu pulau ini dilanda kerusuhan anti China hingga korban-korban berjatuhan. Peristiwa itu akan terulang kembali dan tiap orang etnis China harus berjaga-jaga. Bila sudah terasa tanda-tanda kerusuhan itu, ribuan etnis China akan segera eksodus ke luar negeri. Bahkan yang menanamkan modalnya disana juga sudah banyak. Lagi pula di negara itu banyak famili dan kerabat mereka.

Hampir di setiap rongga hati masyarakat keturunan China selalu ada rasa curiga, bahwa yang namanya kerusuhan rasialis anti China akan meletus lagi. Dan kalau gesekan sosial itu terjadi, pasti akan terjadi pembakaran, pengrusakan, penjarahan, bahkan yang lebih mengerikan lagi adalah pelecehan seksual terhadap perempuan keturunan China, yakni pemerkosaan. Itulah sebabnya sebagian besar warga keturunan China jauh-jauh hari sudah memiliki passport. Bila terlihat api kerusuhan mulai membara, mereka akan segera terbang.

“Kita berangkat pagi. Jam sebelas kita sudah menjejakkan kaki di Singapura. Yakinlah perjalanan ini adalah perjalanan yang sangat menyenangkan!”, terdengar lagi suara Nio.

“Maafkan aku, Nio. Aku tidak dapat pergi,” sahut Liem amat tenang.

“Kenapa? Kamu tidak ingin penyakit traumatik itu sembuh? Mama kamu dan segenap keluargamu sangat cemas kamu akan kehilangan masa depanmu kalau traumatik itu tetap saja melekat di dasar hatimu!”

“Aku sudah benar-benar sembuh!” sahut Liem dan meneguk minuman dingin.

“Jangan pura-pura kalau aku memang sudah benar-benar sembuh, normal, penuh percaya diri dan energik!”

“Aku masih meragukannya. Kamu harus berobat serius. Yang terbaik adalah berobat ke Singapura. Banyak orang-orang yang mengalami traumatik amat berat karena kejadian yang menimpa dirinya sembuh setelah berobat ke sana.”

“Tanpa pergi kesana aku juga sudah sembuh total, Nio.”

“Belum!”

“Aku yang mengalami, Nio. Karena itu aku yang dapat menilai bagaimana keadaan diriku yang sebenarnya. Aku sudah menemukan kembali semangat hidupku tanpa harus terbang ke tempat yang jauh,” bantah lelaki itu amat serius.

“Singapura tidak jauh, Liem. Kitapun sambil jalan-jalan. Banyak tempat-tempat indah yang akan kita kunjungi disana.”

Sudah terbayang di pelupuk maya gadis bermata sipit itu suasana terbang berdua ke Singapura. Mereka akan menginap di hotel. Mereka akan berbimbingan tangan masuk restoran. Mereka akan berbimbingan tangan mengunjungi tempat-tempat wisata yang indah. Mereka akan berpelukan erat sekali. Mereka akan tidur-tiduran. Nio akan bersandar di dada Liem dan ia akan memejamkan mata kalau lelaki itu membelai rambutnya dengan kasih sayang. Mereka akan tenggelam dalam kemesraan.

“Maaf, Nio. Aku tidak dapat pergi,” lelaki itu menyahut dengan suara lirih.

“Kenapa?” Nio menatap wajah lelaki itu amat tajam. Memang di bola mata lelaki itu tidak terlihat lagi rasa takut, tidak ada lagi perasaan berdosa.

“Karena aku sudah benar-benar sehat.”

“Bagaimana kalau ada sekelompok orang berkumpul?”

“Aku tidak takut lagi.”

“Bagaimana kalau ada asap mengepul ke angkasa? Bagaimana kalau kamu melihat ada api yang membara? Padahal yang terjadi adalah orang membakar sampah, tapi kamu merasa sekelompok orang akan membakar dirimu hidup-hidup.”

“Tidak lagi, Nio. Tidak akan seperti itu lagi.”

“Bagaimana kalau di jalan kamu melihat sekelompok orang melakukan demo dan sejumlah orang berteriak-teriak melakukan orasi? Kamu akan menggigil ketakutan karena merasa seolah-olah para demonstran itu akan menyerang dirimu. Sampai saat ini reformasi terus bergulir, Liem. Tiap hari ada saja orang-orang melakukan demo. Dimana-mana unjuk rasa selalu terjadi, bahkan bentrok dengan aparat keamanan. Kamu pasti akan menggigil ketakutan atau pingsan.”

“Aku akan melihatnya biasa-biasa saja!”

“Tidak takut lagi?”

“Tidak!”

Nio menghela napas panjang. Ada perasaan sedih di relung hati gadis itu. Sebab ia ingin berbuat yang terbaik untuk seorang lelaki yang selalu dekat di hatinya. Mengajak Liem berobat ke Singapura sambil jalan-jalan mengunjungi berbagai tempat wisata di negeri itu.

“Baiklah, Liem. Aku bersyukur kamu merasa benar-benar sembuh. Tapi jangan kecewakan aku. Temani kau berangkat ke Singapura hanya untuk jalan-jalan. Bukankah kita belum pernah mengunjungi negeri itu?”

“Aku belum tertarik untuk terbang kesana!,” sahut Liem dengan nada tenang.

“Tapi aku sudah terlanjur membeli dua tiket pulang pergi. Haruskah tiket ini kurobek dan kubuang ke dalam tong sampah? Jangan kecewakan aku, Liem. Please!”, Nio memelas.

“Jual saja tiket itu dan uangnya berikan kepada orang miskin. Bukankah itu perbutan terbaik? Hampir saja Nio menangis di depan seorang lelaki yang amat di kagumi, yang amat lekat di hatinya dan selalu hadir dalam mimpi-mimpinya di malam yang sepi dan dingin.

“Kamu benar-benar tidak mau menemani aku?” Nio masih memelas.

“Maafkan aku!”

“Hanya seminggu, Liem”

Lelaki itu menggeleng.

“Kalau kamu merasa seminggu terlalu lama disana, kita menginap di hotel tiga hari saja!”

“Sekali lagi aku mohon maaf kepadamu.”

“ Kenapa kamu sekarang berubah, Liem? Kenapa caramu memandangku tidak seperti dulu lagi? Mana sinar matamu yang dulu amat tajam menembus hatiku? Mana sinar matamu yang menggetarkan hatiku?”

Lelaki itu hanya menunduk.

“Tataplah aku dalam-dalam Liem!” Nio menyentuh ujung dagu lelaki itu dan mengangkat wajahnya agar tatapan matanya tertuju padanya, tepat di matanya.

“Tatapan matamu kosong, Liem.”

Lelaki pemain barongsai itu diam. Sebab yang terbayang di pelupuk matanya adalah seraut wajah bundar telur yang amat piawai melantunkan puisi dan amat banyak memiliki khasanah buku-buku sastra padahal, buku-buku itu sudah kumuh dan lusuh. Di rak buku yang ada di rumahnya terdapat novel Armyn Pane, Belenggu. Lalu ada lagi Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis dan karya Iwan Simatupang Merahnya Merah juga terpajang disana. Hingga nama-nama Guru Isa, Fatimah, Hazil dan Mr. Kamaruddin masih tetap lekat di kepala Tika sebagai tokoh dalam novel Jalan Tak Ada Ujung.

“Kamu mengecewakan aku, Liem,” kata-kata itu seperti sebuah keluhan panjang dan amat berat.

“Maafkan aku, Nio.” Hanya itu yang mampu diucapkan Liem. Lelaki itu benar-benar dingin terhadap Nio sekarang.

Ketika Nio akan pulang, biasanya Liem pasti mengantarnya hingga ke lantai bawah, bahkan hingga Nio naik ke mobilnya. Lebih sering lagi sebelum Nio turun dari lantai dua, Liem memeluknya erat sekali. Tapi kali ini Liem membiarkan Nio menuruni tangga lantai bawah. Sendiri.

Itulah sebabnya sebelum kaki gadis keturunan Tionghoa itu sampai di lantai bawah, ia kembali naik dan menemui Liem.

“Liem!”, nama itu tergetar di bibir Nio.

“Kamu tidak memelukku hari ini?”

Liem tersenyum dan mendekat, lalu mencium kening gadis itu, tapi hanya sesaat. Ciman itu tidak seperti dulu lagi. Amat dingin. Liem memang benar-benar bersikap dingin terhadap Nio sekarang. Sedingin salju. Dingin dan beku. Tidak seperti biasanya, tiap lelaki itu memeluk gadis itu pasti amat lama dan mesra.

Nio melangkah lesu. Kekecewaan tampak di wajahnya.

“Kamu sudah berubah, Liem. Kamu tidak seperti dulu lagi. Apakah hal itu karena kamu pernah mengalami traumatik yang amat berat?.” Nio berkata-kata sendiri ketika ia sudah berada di mobilnya. Tapi bagaimana pun keadaanmu, aku masih akan menyebut namamu. Aku akan tetap mengagumi. Wajahmu selalu hadir di benakku, siang dan malam. Kau tetap selalu hadir dalam mimpi-mimpiku.

***

A

langkah bedanya ketika lelaki itu bersama Tika. Tangannya tidak pernah diam tapi meremas-remas jari tangan Tika yang lentik, atau membelai rambutnya. Lelaki itu tidak sedingin salju bila bersama Tika. Apalagi ketika duduk-duduk di pantai, di pinggir laut yang menghadap ke Selat Malaka.

Panther merah hati iut selalu tampak parkir di pinggir laut dan pemiliknya sudah berjam-jam duduk di atas bongkahan batu yang menjorok ke laut dan mereka menatap laut lepas. Sepasang manusia berlainan etnis itu memperhatikan matahari yang hampir tenggelam dan langit pun berwarna merah. Ombak berdebur-debur menghempas di pantai. Alangkah indahnya suasana di pinggir laut ketika matahari akan tenggelam. Pernik-pernik buih air laut amat indah diterpa matahari senja. Burung-burung laut pun berpasang-pasangan dan sesekali terbang menungkik menerkam mangsanya. Burung-burung itu seperti tidak pernah kenyang, padahal sudah sejak tadi berhasil mencengkram mangsanya berupa ikan-ikan kecil lalu mencabik-cabiknya.

Di kejauhan tampak perahu nelayan dengan layar terkembang berderet-deret menuju pulang. Pastilah mereka mendapatkan banyak ikan lalu menjualnya di pasar pelelangan ikan. Mereka pulang dengan wajah cerah setelah sejak petang kemarin berada di tengah laut diterpa angin laut yang dingin, lalu ketika siang panas matahari seakan membakar ubun-ubun.

Tapi itulah dunia nelayan. Di rumah istri dan anak-anak mereka sudah menanti. Juga segelas kopi hangat. Dunia nelayan tidak akan pernah berubah. Kehidupan nelayan tetap saja seperti itu, melarat dan tidak mampu untuk membiayai anak-anaknya belajar ke perguruan tinggi. Amat jarang nelayan yang hidupnya senang. Rumah pun terkadang reot, tapi di pinggir laut itu hati mereka amat damai. Tidak pernah ada niat di hati nelayan untuk memiliki harta melimpah yang diperoleh dengan jalan haram. Tidak pernah ada niat mereka untuk memiliki harta benda orang lain. Di pinggi laut hanpir tidak ada penipuan, tidak pernah terjadi menggelapkan milik orang lain, tidak pernah ada perampasan harta benda yang bukan miliknya. Mana ada KKN di pinggir laut. Jalan hidup nelayan selalu lurus dan apa adanya.

Meskipun kehidupan neyalan tidak pernah berubah dari tahun ke tahun, tapi mereka inign anak-anak mereka tetap menghuni pinggiran laut yang menghadap ke Selat Malaka. Mereka ingin anak-anak mereka tetap menjadi nelayan dan mencintai laut. Mereka amat marah bila ada orang yang mengotori laut. Jangan kencing berdiri d laut. Jangan berkata jorok disana. Mereka paling tidak menyukai hal seperti itu. Dan nelayan adalah sosok hidup melarat tapi pintar mengaji. Nelayan adalah sosok yang selalu dekat dengan Tuhan. Suaranya merdu bila sudah melantunkan senandung, seperti indahnya derai-derai ombak yang membentur bibir pantai. Nelayan selalu taat beribadah. Mereka selalu dekat dengan Tuhan.

Tika masih rebah di dada lelaki pemain barongasi itu dan masih tetap menatap laut lepas. Mereka tidak perduli air laut mulai pasang dan kaki mereka sudah terendam air. Mereka tidak perduli air laut yang menghembus giris dan anak-anak rambut Tika berserakan hingga menyentuh hidupng Liem. Tapi itulah kemesraan.

Ketika duduk-duduk di pinggir laut itu, Tika masih sempat mengucapkan beberapa kalimat-kalimat bahasa Mandarin. Sejak dia akrab dengan lelaki keturunan China itu, lelaki itu selalu mengajarinya bahasa Mandarin. Hanya dalam waktu sehari, ia sudah dapat menghitung bilangan satu hingga sua puluh. Ia pun sudah dapat menghapal beberapa kata seperti ibu, adik, makan, sekolah, masjid, bahkan kata “cinta”.

“Wo ai ni,” kata-kata itu amat lekat di bibir Tika. Dan lelaki di sisinya amat senang mendengarnya.

“Ingat, Tika. Pusat ekonomi dan bisnis dunia kini mulai bergeser dari Atlantik ke Pasifik. Hal itu telah mendorong semakin luasnya bahasa Mandarin di pergunakan orang sebagai alat komunikasi, terutama di kawasan Asia Timur. Sebab itulah banyak bangsa termasuk Indonesia tertarik dan merasa perlu untuk memahami bahasa “Mandarin!”, lelaki itu selalu berkata begitu di depan Atikah ketika mereka duduk berdua.

“Pantas kursus-kursus bahasa Mandarin juga media massa beraksara China banjir dimana-mana. Toko-toko buku juga padat dengan buku-buku pelajaran bahasa itu.”

“Masih ingat pelajaran kemarin?”, Liem bertanya di antara debur ombak. Mereka tetap menatap laut lepas dan perahu nelayan denga layar terkembang berderet-deret menuju pantai. Angin laut yang menghembus giris dari tengah laut menyebabkan nelayan itu tidak perlu mendayung. Mereka tampak santai dan satu dua orang nelayan itu melantunkan Senandung, salah satu seni anak pantai yang terdengar sayup-sayup.

Tika mengangguk dan bibirnya bergetar mengucapkan sepotong kata Mandarin.

“Sebuah meja- yi zhang zhuo zi.”

“Bagus! Yang lainnya.”

“Sebatang lilin - yi zhi la zhu!”

“Seratus untukmu, Tika. Ayo yang lainnya!”. Liem tampak senang melihat seorang gadis yang amat disenanginya amat cepat mencerna bahasa Mandarin.

“Keluarga saya ada empat orang, ibu, ayah, kakak dan saya – wo men jia you si kou ren, fu mu, jie jie he wo.”

“Wah, kamu cepat mahir, Tika. Aku pantas memberimu hadiah!,” lelaki itu mendekap tubuh Tika dan mengecup keningnya. Itulah hadiah dari lelaki itu. Sepasang mata Tika terpejam.

Burung-burung laut yang bermain dekat pantai mendadak terbang jauh karena tidak ingin mengusik kemesraan sepasang manusia yang sesungguhnya berlainan suku bangsa. Si lelaki keturunan China dan di gadis berasal dari rumpun Melayu dan neneknya kelahiran Perbaungan.

“Beberapa hari ini sangat dingin – zhe ji tian hen leng”, ucap Tika lagi.

“Bagus!,” cetus lelaki itu penuh rasa kagum. “Bulan depan kamu sudah sangat mahir berbahasa Mandarin.”

Meski sepasang manusia itu berbeda suku bangsa dan agama, tapi mereka tampak seudah amat akrab. Sebagai seorang lelaki yang berasal dari keluarga China, lelaki itu mengakui bahwa orang-orang China adalah salah satu bangsa yang gemar merantau, berlayar menjelajahi dunia.

“Ketika dinasti Ming runtuh dulu, banyak orang Tionghoa, terutama kamu laki-laki kaum Taiping memilih pergi ke negeri orang dan di akhir abad ke lima belas mereka sudah sampai di Jawa dan Sumatera. Mereka mengawini perempuan setempat dan beranak pinak. Kalau kita bicara tentang pembauran dan asilimilasi di negeri ini, sebenarnya hal itu sudah terjadi sejak lima ratus tahun yang lalu.”

“Tapi sekarang, justru hal itu amat jarnag terjadi, terutama di Sumatera. Amat jarang perempuan China menikah dengan lelaki Indonesia. Bahkan untuk memilih pemukiman, masyarakat Tionghoa selalu berkelompok. Mereka hanya ingin bermukin dimana mayoritas penduduknya adalah China. Seperti ada perasaan enggan untuk hidup berdampingan penuh persaudaraan. Dengan begitu kesan kesenjangan selalu saja ada.”

“Mungkin boleh saja alasan yang pertama adalah segi keamanan. Namun yang pasti penyebabnya adalah dari segi ekonomi, sebab warga Tionghoa memang pelaku ekonomi yang paling handal di banding bangsa-bangsa lain di dunia. Jadi kalau warga China memilih bermukim berkelompok karena disana pasti merupakan sentra bisnis, bukan karena martabatnya lebih tinggi. Tapi di Jawa dan Kalimantan, pembauran dan kawin campur sudah banyak terjadi tanpa masalah. Warha keturunan China yang mahir main wayang wong amat banyak di Jawa. Yang jadi seniwati penari serimpi dan Bedhaya juga amat banyak.”

“Ya, aku berharap disini juga akan terjadi seperti itu. Warga Tionghoa tidak harus mengisolir dirinya. Aku ingin sekali gadis-gadis China dapat menari Serampang dua belas.”

“Aku juga berharap begitu.”

Sebagai seorang lelaki keturunan China, Liem juga amat banyak membaca buku-buku tentang peranan China di negeri ini. Ia ingat benar-benar beberapa nama seperti Tjoa Tjoe Koan, Koa Tek Ie, Tan Tjhan Hie dan banyak lagi. Mereka berasal dari Tiongkok namun setelah merantau di nusantara ini mahir menulis huruf Arab Melayu dan tidak pernah lagi menggunakan bahasa leluhurnya, China. Liem juga tahu benar, bahwa abad ke 19, Tan Tjhan Hie menterjemahkan syair berbahasa Arab Mohammad Hasan ke huruf latin.

“Sungguh karya maha besar pada zaman itu!,” Tika kagum.

Dan Tika lebih kagum lagi ketika Liem berkata bahwa seorang lelaki keturunan China, Kwa Teki Taka pada abad yang sama mampu menterjemahkan karya-karya religius dari bahasa Arab ke bahasa Melayu. Siapa lagi yang menciptakan Syair perkawinan putera Kapten China di Riau, kalau bukan orang keturunan China? Sebagian besar masyarakat China pasti mengenal nama Liem Kim Hok sebagai “Bapak bahasa Tionghoa.”

Siapa yang tidak kagum mendengarnya kalau sejak thun 1882, Tan Kit Tjoan menerbitkan buku”Saier boeroeng dan saier mengimpie?”. Disusul warga China asal Aceh, Lim Hock Chee, menerbitkan banyak syair dan yang paling terkenal adalah “Buku Sahyer dan Pantun Melayu” lalu satu buku kagi “Sahyer Mimpi dan Sahyer malam siang”. Masih ada nama lain seperti Lauw Boen Tjiang, Lim Ho Hin, dan Yap Goan Ho yang menerbitkan novel-novel seperti “Sanguo zhi nyanyi.”

Masih banyak lagi nama-nama warga China yang telah banyak berbakti dan berbuat baik untuk negeri ini. Masih amat banyak nama-nama warga Tionghoa seperti Tan You Hock dan Rudy Hartono atau Prof. Dr. Tjan Tjoe Siem, pakar bahasa dan sastra Jawa.

Sungguh luar biasa, seorang lelaki keturunan China tapi justru menjadi pakar bahasa dan sastra Jawa. Lelaki keturunan China itu lebih mahir mengenal sastra Jawa daripada orang Jawa sendiri. Di bidang seni, pasti orang yang tidak pernah lupa dengan Tan Tjeng Bok, Teguh Karya dan Ateng. Siapa yang tidak kenal dengan nama Yap Thiam Hien, tokoh paling idealis di bidang hukum? Ia merupakan simbol perlawanan terhadap ketidakadilan dan kesewenang-wenangan, pendiri Lembaga Hak-hak Asasi Manusia dan pembela HAM yang paling konsisten, tentu saja di negeri ini.

Sebagai peminat sastra Tika amat senang mendengarnya, apalagi Liem mengatakannya ketika mereka sedang duduk-duduk di pantai, di pinggir laut yang menghadap Selat Malaka dan angin laut pun membelah tubuh mereka berdua.

***

H

ampir tiap pagi mobil merah hati itu tampak di parkiran di halaman sebuah rumah yng menghadap ke timur di kawasan Amplas. Tiap pagi Liem mengantar Tika kuliah dan siang nanti menjemputnya. Tidak perduli meskipun terkadang Liem harus menunggu di kampus yang luas dan megah itu lebih setengah jam. Lelaki itu sudah amat akrab dengan Tika yang kehidupannya amat sederhana.

“Hari ini aku tidak ke kampus, Liem,” ujar Tika ketika menemui lelaki itu di ruang depan.

“Kenapa? Sakit?”, lelaki itu menatapnya dalam-dalam.

“Ada saudara sepupu almarhum ayahku yang meninggal dunia.”

“Dimana?”

“Jauh!”

“Jauh dimana?”

“Tanjung Pura.”

“Tanjung Pura tidak terlalu jauh. Ayo kuantar.”

“Tidakkah terlalu merepotkan kamu, Liem. Bukankah kamu juga harus membuka tokomu? Bukankah katamu hari ini ada sebuah perusahaan properti yang membutuhkan cukup banyak keramik? Bukankah semua itu merupakan peluang emas untuk usahamu? Jangan sampai kesempatan emas itu terlepas dari tanganmu.”

“Kebetulan sekali semuanya berjalan dengan mulus. Semua perjanjian termasuk order sudah ditanda tangani kemarin, hingga pada hari ini aku leluasa.”

“Artinya toko di jalan Gatot Subroto itu harus ditutup?”

“Ada orang lain yang mengurusnya. Semua berjalan dengan baik meskipun aku tidak ada disana.”

“Terserah kalau kamu memang mau ikut.”

“Tentu saja dengan senang hati!”

Hari itu hampir seluruh keluarga almarhum Pak Hasan hadir di rumah duka itu. Apalagi Bu Rahmah, sebelum subuh sudah berangkat bersama famili yang lain. Atikah duduk di depan, disisi Liem yang memegang setir. Bila mereka duduk berdua tiba di rumah duka, masih terdengar ratap tangis yang amat memilukan. Lima orang anak dan seorang ibu telah kehilangan kepala keluarga yang selama ini amat diandalkan untuk mencari nafkah.

“Mereka amat sedih!”, bisik Tika di sisi lelaki keturunan China itu.

“Aku juga ikut merasakan kesedihan itu.”

“Perasaan sedih itu tidak hanya karena kepergian seorang ayah, tapi kesedihan karena hari-hari mendatang yang gelap bagi anak-anaknya. Tidak ada lagi yang mencari nafkah.”

“Berapa orang anak yang ditinggalkan almarhum?”

“Lima!”

“Cukup berat.”

“Yang paling sulung tiga tahun lalu tama SMU menyusul adiknya. Keduanya belum bekerja. Pada keadaan krisis berkepanjangan di negeri ini, tidak mudah untuk mendapatkan pekerjaan. Sementara tiga orang adik-adiknya masih perlu biaya pendidikan.”

“Ibunya harus banyak berbuat menggantikan peran ayah,” sahut lelaki pemain barongsai itu.

“Memang harus begitu. Tapi ada yang dapat dilakukan seorang ibu? Mungkin sang ibu hanya dapat berjualan sarapan pagi sekedar untuk menyambung hidup bersama anak-anaknya.”

Sesaat lelaki keturunan China itu menekur. Ia dapat membayangkan betapa sulitnya keluarga itu setelah seorang ayah pergi untuk selamanya. Tidak ada lagi yang mencari nafkah, sementara dua orang anak yang sudah tamat sekolah menengah masih terus menganggur dan entah kapan dapat memperoleh pekerjaan. Lebih empat puluh juta pengangguran ada di negeri yang elok namun sedang dibelenggu oleg krisis ini. Keadaan itu akan lebih parah lagi karena setiap tahun angka pengangguran bertambah satu setengah juta. Lebih empat puluh juta nyawa saat ini sedang antri untuk mendapatkan pekerjaan. Tatapan mata mereka kosong dan hampa. Seperti tidak ada harapan untuk hidup mapan. Kasihan jutaan manusia yang tiap saat berdoa memohon keajaiban Tuhan akan turun untuk mendapatkan pekerjaan yang layak.

Saat ini berbagai industri juga ikut terpuruk. Bahkan buruh yang ada terkena PHK. Perusahaan yang paling bonafite milik konglomerat pun banyak yang melakukan pemangkasan karyawan. Bahkan BUMN yang memproduksi pesawat terbang dan dulu amat diagung-agungkan ternyata juga bangkrut lalu melakukan PHK terhadap ribuan karyawannya.

Sungguh aneh. Sebuah perusahaan multi nasional yang memiliki aset triliunan rupiah, yang produknya bernama pesawat terbang atau helikopter ternyata rugi dan gaji pegawai pun tersendat. Sementara Inang-inag di pusat pasar perdagangan kanggung dapat memperoleh untung serta dapat membiayai keluarga. Begitu juga pedagang teri, untungnya lumayan. Negeri ini semakin terpuruk dengan beban yang amat berat. Kasihan negeri ini tidak pernah sembuh dari penyakit yang sudah amat kronis, sementara elit politik tingkat ats seakan tidak mampu berbuat banyak untuk memperbaiki keadaan negeri ini.

Apalagi investor asing tetap beranggapan, bahwa negeri ini belum aman. Pasti negeri ini akan tetap terbelenggu krisis selama bertahun-tahun de depan. Kapan investor akan masuk kalau buruh terus menerus unjuk rasa? Kapan investor asing akan masuk kalau hukum belum ditegakkan secara murni. Tindak kejahatan terus saja terjadi dimana-mana, bahkan terkesan semakin nekad.

“Hatiku tergugah untuk mengulurkan tangan bagi keluarga itu, Tika,” terdengar suara Liem.

“Mengulurkan tangan bagaimana?” Tika menatapnya.

“Mengangkat keluarga yang ditinggalkan almarhum dari beban berat.”

“Bagaimana caranya?”

“Anak-anaknya harus segera mendapatkan pekerjaan.”

“Tapi mencari lowongan pekerjaan amat sulit. Perusahaan mana yang mau menerima karyawan saat ini?”

“Ada! Aku dapat menolong!”

“Sungguh?” Tika seperti meragukan ucapan lelaki di sisinya.

“Ya. Yang pasti harus betah tinggal di tempat sepi.”

“Kalau memang keadaan benar-benar susah, aku yakin di ujung langit pun dia akan kerasan.”

“Mitra usahaku memiliki perusahaan properti dan sedang membangun perumahan jauh dari kota, dekat Kecamatan Namu Rambe karena harga tanah dalam kota harganya sudah setinggi langit. Banyak satpam yang bekerja disana tidak kerasan padahal gajinya lumayan.”

“Jadi satpam juga memadai, Liem. Dan itu sudah sangat membantu. Yang penting mendatangkan rezeki halal. Lebih baik jadi satpam di kompleks perumahan yang terletak jauh dari pusat kota daripada jadi calo di terminal bis, bukan?”

“Kalau benar-benar mau jadi satpam, aku akan mengantarnya ke kompleks perumahan yang sedang dibangun itu.”

“Akh, Liem. Keluarga itu pasti sangat berterima kasih atas kepedulianmu.”

“Satu lagi kesempatan emas. Saat ini banyak supermarket bakal dibuka. Kukira aku bisa membantu salah seorang bekerja di swalayan itu.”

“Berdoalah untuk itu!”

“Ya. Aku akan berdoa untuk mereka agar mendapatkan pekerjaan meskipun hanya sebagai satpam di kompleks perumahan yang terletak jauh di tepi kota dan satu lagi di pasar swalayan.”

Sesaat lelaki pemain barongsai itu tertegun ketika jenazah itu diusung untuk dimandikan.

“Harus diapakan jenazah itu, Tika?”, lelaki itu ingin tahu.

“Dimandikan! Begitulah ajaran Islam, Liem. Setiap ada yang meninggal harus dilakukan fardhu kifayah yang dimulai dari memandikan jenazah, menyolatkannya lalu menguburnya.

Salah satu dari tahapan itu tidak dilaksanakan, maka ummat sekawan ini akan berdosa dan mendapatkan hukuman Tuhan.”

“Aku kagum pada ajaran itu. Dan aku lebih kagum lagi mendengar, bahwa setiap orang meninggal hanya dikafani dengan kain putih. Tidak lebih dari itu. Tidak ada harta apapun yang dibawa kuburnya.”

“Ya. Islam mengajarkan setiap orang yang meninggal yang dibawa ke kubur hanya kain kafan dan amalannya.”

“Beda dengan warga Tionghoa yang terkadang berlebihan bila ada kerabat yang meninggal. Meskipun sudah meninggal, tapi jenazah itu harus berpakaian bagus, biasanya pakaian pengantinnya dulu, atau pakaian yang paling disenangi. Benda-benda berharga milik mendiang itu juga ikut dimasukkan ke dalam peti jenazah.”

“Harga sebuah peti mati saja jutaan rupiah. Tidakkah itu berlebihan? Bagaimana jadinya kalau yang meninggal berasal dari keluarga miskin?” terdengar suara Tika.

“Begitulah adanya.”

Lelaki keturunan China itu masih melanjutkan penuturannya, bahwa untuk menghormati arwah yang meninggal dilakukan sembahyang dengan membakar hio besar bergagang merah. Juga harus disediakan sesaji seperti tee liau, pisang segar dan buah-buahan dan juga uang. Uang itu bermakna agar si mati memiliki bekal di alam barunya.

“Jangan heran kalau peti mati jenazah itu ditaburi tee liau diiringi Ce tau, pwe tau, kaw tau, ceban tau, bab-bab tau, hoat say dan seterusnya.”

“Apa makna ucapan itu?”

“Artinya satu buah, duah buah, tiga buah, sepuluh, seratus, seratus ribu buah dan seterusnya sebagai ungkapan agar keluarga yang di tinggal si mati mendapat kemurahan banyak rezeki.”

“Aku pernah menyaksikan seorang warga China meninggal lalu sepanjang malam anak-anaknya meletakkan sesaji dan membakar kertas. Apa maknanya itu?”, Tika ingin tahu.

“Api yang terus menyala menandakan bahwa semangat orang yang mati itu hidup kembali. Biasanya semua anak-anak mengenakan pakaian berkabung dari kain blacu serta ikat kepala dari kain putih. Dan semua berlaku amat sopan serta tertib ketika berlutut, menyanyi dan berdiri serta berdoa.”

“aku pun pernah melihat pada acara sembahyang warga China dengan membakar rumah-rumahan berukuran besar. Apa pula maknanya?”, lagi-lagi Tika ingin tahu.

“Tidak hanya membakar rumah-rumahan, tapi juga orang-orangan. Warga Tionghoa meyakini, bahwa orang yang meninggal di tempat peristirahatannya nanti sudah tersedia rumah yang layak huni.”

“Aku mengerti sekarang.”

“Ada kata-kata bernada puitis dalam proses penguburan jenazah, maukah kamu mendengarnya?”, ujar Liem kemudian. Sepasang manusia muda berlainan etnis dan akidah itu saling berpandangan.

“Tentu saja aku akan senang sekali mendengarnya. Justru hal itu menambah wawasanku.”

“Thian Tee Kay, Jit Kiat Shin Liang, Kin Jit An Cong, Ban Su Chin Tiong Jin Ya. Artinya terbukalah langit dan bumi sepanjang masa, hari ini merupakan yang terbaik untuk penguburan, sekarang selamat dan tentram seluruhnya dan terlaksana kemashyuran bagi keluarga yang ditinggal.”

Lelaki pemain barongsai itu juga menuturkan bahwa kata-kata itu diucapkan bersamaan dengan pemotongan kepala rotan dan gula merah. Separuh gula merah itu dimasukkan ke lubang kubur dan sebagian lagi dimakan keluarga yang ditinggal. Makna dari ritual itu, gula merah agar hubungan keluarga yang ditinggal senantiasa manis dan harmonis. Lalu rotan melambangkan sebagai ikatan persaudaraan yang kukuh, serta air kelapa mengandung makna tentang hubungan batin dan ketulusan selalu diwarnai kehidupan keluarga yang masih tinggal di dunia.

“Aku senang sekali mendengarnya, Liem.” Itulah komentar Tika.

Tangis yang mengharukan terdengar lagi ketika jenazah itu di usung ke pemakaman setelah disholatkan di Masjid Ar-Ridho.

“Agamaku melarang anggota keluarga yang ditinggal meratap secara berlebihan,” ujar Tika lagi.

“Itulah salah satu yang kusenangi dalam Islam,” sahut Liem.

“Aku berharap kau lebih banyak lagi mengenal ajaran Islam,” itulah imbauan Tika yang tumbuh dari dasar hatinya yang paling dalam.

“Ya!. Aku banyak belajar dari Bang Leman, sopir yang selalu mengantar barang-barang pelanggan. Bang Leman sangat taat pada agama. Meskipun mobil yang dibawanya penuh dengan barang-barang pesanan orang, tapi bila waktu sholat tiba mobil itu pasti berhenti di masjid terdekat.”

“Itulah yang terbaik.”

“Bang Leman yang mengatakan, bahwa semua kaum muslimin itu bersaudara. Itulah prinsip yang sangat kusenangi.”

“Ya, benar. Dan cara sholat selalu sama dimanapun ummat Islam itu berada. Meskipun di tempat yang paling ujung timur Pulau Jawa akan sama caranya bersembahyang denga orang paling barat di Sumatera. Bahkan dengan ummat Islam lainnya di timur tengah atau di Jepang, bahkan di Amerika sekalipun juga sama. Cara sembahyang ummat Islam di dunia selalu sama.”

Tika memberikan contoh ketika musim haji, jutaan ummat Islam berkumpul di Mekkah dan Arafah dengan tekad yang sama dan dengan cara yang sama melakukan ibadah haji.

“Aku sudah banyak mendengarnya dari Bang Leman.”

“Aku senang mendengar kamu penuh perhatian terhadap agamaku, Liem. Aku pun berharap suatu saat kamu semakin memahami Islam.”

“Ya, aku terus banyak belajar dari Bang Leman.”

“Dalam Islam kedudukan manusia sama di sisi Tuhan. Yang membedakannya hanya taqwanya.”

“Aku mengerti.”

Hampir setiap bertemu, Tika selalu mengajak lelaki yang berbeda akidah itu untuk bicara tentang Islam. Tentang keesaan Allah yang tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Juga tidak ada yang setara dengan-Nya.

Hanya Islamlah agama yang paling mulia yang memiliki hanya satu kitab suci dan segala segi kehidupan manusia sudah diatur dalam kitab suci itu. Kitab suci itu amat jelas membedakan segala yang haram dan yang halal. Apalagi dalam hal melakukan kegiatan ekonomi, sudah diatur disana. Juga kedudukan wanita, membagi pusaka, zakat dan masih banyak lagi. Bahkan hubungan suami istri yang melakukan “making love” juga diatur disana. Apalagi tentang zakat yang harus dilaksanakan oleh orang-orang yang memiliki banyak harta sehingga dengan zakat dapat menghapus kemiskinan.

Ekonomi Islam bila benar-benar diterapkan, pasti akan membawa kemakmuran. Juga dalam etos kerja di pemerintahan, bila diterapkan sistem Islam, pasti yang namanya KKN tidak akan pernah ada.

Siap yang tidak senang kalau seorang lelaki non muslim sudah dapat mengenal dua kalimat syahadat meskipun ucapannya masih kaku dan patah-patah?

“Jangan takut menjadi miskin setelah memeluk Islam, Liem. Sebab Allah menjamin dalam Qur’an dalam surat Jin ayat enam belas bahwa jika mereka tetap berjalan di atas jalan Allah, pasti Allah akan memberikan mereka itu rezeki dan kekayaan yang melimpah.”

Hati lelaki pemain barongsai itu amat sejuk mendengar ucapan itu. Selama ini tempat ibadahnya adalah Lithang atau viraha dan di tempat itu dia selalu membakar hio dan bau harum menyebar naik ke langit.

“Dalam Islam ada sejenis makhluk yang namanya iblis yang selalu menggoda manusia. Itulah sebabnya anak-anak manusia yang baik terkadang terjerumus dalam jurang dosa karena terbujuk oleh iblis. Anak-anak manusia terkadang berbuat hal-hal yang tercela karena godaan iblis,” ujar Tika lagi.

“Sungguh jahat!”, cetus lelaki pemain barongsai itu.

“Ya, teramat jahat. Padahal Tuhan memerintahkan kepada malaikat untuk sujud kepada Adam sebagai manusia pertama yang dijadikan Tuhan dan malaikat pun sujud,tapi iblis dengan amat sombong menolak perintah itu, bahkan mendurhakai Allah. Sebab iblis merasa martabatnya lebih dan dijadikan dari api.”

“Lalu manusia dijadikan Tuhan dari apa?”, Liem ingin tahu.

“Tuhan menjadikan manusia dari tanah, tapi itulah makhluk yang paling sempurna dari seberkas cahaya.”

“Sungguh aku amat senang mendengar asal mula kejadian malaikat, manusia dan iblis.”

“Islam itu sungguh agama yang amat mulia, Liem. Sebab hampir semua segi kehidupan telah diatur dalam Islam. Bahkan dalam hal pendidikan, Islam juga mengajarkan agar setiap ummat manusia mencapai pendidika dan menggali ilmu pengetahuan setinggi-tingginya. Islam menganjurkan agar manusia menggali ilmu pengetahuan tentang bumi, planet-planet, tentang ruang angkasa, bahkan juga tentang kedokteran.”

Tika masih sempat mengutarakan kepada lelaki di sisinya tentang sabda Rasulullah tentang anjuran menuntut ilmu hingga ke negeri China. Juga ajarang tentang menuntut ilmu pengetahuan dimulai dari ayunan hingga ke liang lahat.

Di dasar hati lelaki pemain barongsai itu merasakan ada sesuatu tetesan embun pagi yang amat sejuk pada saat mendengar ucapan Tika tentang kemuliaan Islam.

***

J

enazah almarhum Ulong Nasyir yang meninggalkan 5 orang anak sudah dikebumikan. Bahkan pohon kamboja yang ditancapkan diatas gundukan tanah di pusara itu sudah mulai bersemi. Gundukan tanah itu sudah mulai ditumbuhi rumput. Tidak terdengar lagi tangis yang amat memilukan hati. Seorang kepala keluarga yang selama ini menjadi pengayom seisi rumah sudah tidak ada lagi. Yang mencari nafkah untuk keluarga sudah tidak ada lagi.

Tapi keluarga di rumah itu tidak sempat mengalami nasib yang terlalu malang. Keluarga itu tidak sempat mengalami kelaparan. Keluarga seisi rumah yang terletak di kawasan Tanjung Pura itu tidak sempat kehabisan beras. Tiga orang anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah juga tidak sempat meninggalkan bangku sekolah. Mereka masih bias membeli buku. Mereka masih punya uang jajan seperti ayahandanya masih hidup. Seragam sekolah mereka juga tetap rapi.

Semua itu karena keperdulian seseorang. Kegiatan sehari-hari keluarga itu masih tetap berlangsung seperti biasanya karena ada seseorang yang berhati mulia membantu mereka. Karena ada seseorang yang mengulurkan tangan.

Dan uluran tangan itu bukan berupa uang atau barta benda. Siapa lagi orangnya yang amat perduli, berhati mulia dan mengulurkan tangan kalau bukan seorang lelaki keturunan China yang selama ii selalu bersama Tika? Itulah Liem, seorang pemain barongsai.dan uluran tangannya lebih bernilai daripada uang atau harta benda lainnya.

Yang dilakukan Liem hanya membantu anak lelaki tertua almarhum Ulong Nasyir yang sudah tiga tahun tamat SMU dapat diterima sebagai satpam di sebuah perusahaan property mitra usaha lelaki itu. Lalu seorang lagi, anak perempuan almarhum bekerja di supermarket yang baru dibuka. Siapa lagi yang menolong mereka dapat bekerja pada saat perusahaan lain melakukan PHK besar-besaran?

Tentu karena kebaikan hati lelaki keturunan China yang selalu dekat dengan Tika.

Betapa keluarga almarhum Ulong Nasyir amat bersyukur. Keluarga itu tidak sempat mengalami kesusahan hidup. Keluarga itu tidak sempat kehilangan nafkah. Keluarga itu tidak sempat jadi gelandangan. Tidak sempat jadi pengamen di persimpangan jalan. Tidak ada satupun anak-anak yang ditinggalkan almarhum Ulong Nasyir jadi preman. Bahkan dua orang keluarga dekat Tika yang hidupnya memang kurang mampu, juga meminta bantuan Liem untuk bekerja di sebuah industri di kawasan KIM. Siapa yang tidak bersyukur anak-anak keluarga yang kurang mampu itu dapat diterima sebagai karyawati pabrik pengolahan petro kimia dan satu lagi di pabrik baja di Tanjung Mulia? Semua itu karena seorang lelaki keturunan China yang banyak mempunyai relasi di kalangan pengusaha pabrik.

“Keluargaku sangat banyak berhutang budi kepadamu, Liem,” terdengar suara Tika ketika mereka makan di sea food restaurant.

“Aku merasa sangat berbahagia dapat membantu orang lain yang sedang dalam kesulitan,” sahut lelaki itu ketika mengunyah kepiting kegemarannya.

“Hatimu teramat mulia, Liem. Dengan apa aku akan membalas segala kebaikanmu?”, Tika mengunyah cumi-cumi tapi matanya menatap lelaki itu.

“Aku tidak mengharapkan balasan apapun. Aku hanya berharap kamu tidak menutup pintu dan jendela rumahmu kalau aku datang, sebab kita berlainan suku bangsa dan juga dalam hal agama. Biasanya keluarga muslim selalu membatasi anak-anaknya terutama anak gadisnya untuk bergaul rapat dengan lelaki non muslim seperti halnya aku!”

Kata-kata itu hanya menyebabkan Tika menunduk. Sebab ia menyadari, bahwa ibunya dan juga kerabat lainnya kini sudah tahu Tika bergaul dengan seorang lelaki keturunan China melebihi dari persahabatan biasa. Ibunya dan semua familinya tidak member restu, bahkan menentang. Sudah amat sering ibunya menganjurkan agar Tika tidak lagi bersama lelaki itu. Sudah amat sering ibunya meminta kepada Tika untuk tidak lagi bertemu dengan lelaki itu.

“Kenapa menunduk, Tika?”, terdengar suara lelaki itu ketika Tika menundukkan wajahnya dan terngiang kembali anjuran ibunya untuk melupakan lelaki yang kini disisinya. Sudah berkali-kali, bahkan sudah teramat sering Bu Rahmah memperingatkan agar Tika tidak lagi bersama lelaki keturunan China itu. Hampir semua famili Bu Rahmah dan famili dari pihak almarhum ayahnya juga bersikap sama. Semua tidak merestui hubungan itu.

“Banyak perbedaan di antara kita, Liem”, Tika berkata lirih.

“Di antaranya beda suku bangsa dan agama, bukan? Lalu kamu mengalami kesulitan dalam menghadapi keluarga? Ibu kamu tidak member restu? Begitukah?

“Untuk sekedar berteman biasa boleh-boleh saja. Tapi ibu tidak menghendaki lebih dari itu. Sekarang ibu tahu, bahwa dari hari ke hari kita semakin akrab. Itulah yang tidak dikehendaki ibu.”

“Artinya kita tidak boleh bertemu lagi. Tidak bolehkah aku mengajakmu pergi lagi?”

Tika tidak mampu menyahut. Ia hanya mengangguk lirih. Tiba-tiba saja ada kesedihan di hatinya.

“Aku mengerti perasaan ibumu. Dan kamu sudah bersiap-siap agar kita saling melupakan? Apakah kamu sudah bersiap-siap agar kita tidak bertemu lagi untuk selamanya?”, amat tajam lelaki itu menatap bola mata Tika. Lelaki itu seperti mencari jawaban yang sejujurnya yang lahir dari relung hati Tika yang paling dalam.

“Tidak, Liem. Tidak!”, amat cepat Tika menjawab dan jari tangannya menyentuh tangan lelaki itu, seperti mencari pegangan yang kukuh dan tegar.”Kita tidak akan berpisah. Aku tidak akan pernah berniat meninggalkan kamu.”

“Terima kasih, Tika!”

Tika masih menunduk. Tika memang sudah berkali-kali diminta ibunya untuk tidak terlalu akrab dengan Liem. Itu sebabnya bila Liem menjemputnya ke kampus dan mengantarnya pulang, Tika pasti meminta untuk tidak sampai di depan rumah. Tika sengaja minta diturunkan di persimpangan jalan. Tika pula yang meminta agar Liem tidak terlalu sering mengunjunginya di rumah, padahal terkadang ia amat merindukan lelaki itu. Itu sebabnya Liem lebih sering menemuinya di kampus. Atau di tempat lain. Terutama di sebuah toko buku terkemuka di mall.

Sesaat Tika berhenti mengunyah cumi-cumi. Bila ia ingat kata-kata ibunya tentang Liem, seperti ada yang menggganjal di relung hatiny yang paling dalam. Seperti ada pecahan beling dalam dasar hatinya. Teramat sakit. Bu Rahmah tidak menghendaki seorang lelaki yang akan menjadi menantunya berbeda akidah, apalagi dari etnis China. Masih amat tabu seorang gadis Melayu melakukan perkawinan dengan seorang lelaki etnis China walaupun lelaki itu akhirnya memeluk Islam.

Tidak hanya ibunya yang tidak merestui hubungan itu. Adik ibunya yang tinggal di kawasan Sungai Mati juga amat menentang hubungan itu. Apalagi saudara-saudara pihak almarhum ayahnya, justru lebih bersikeras lagi menentang hubungan itu. Nenek dari pihak ibu yang sudah amat tua itu pun amat sedih ketika mendengar salah seorang cucunya mulai akrab dengan seorang lelaki berlainan etnis.

Sang nenek sambil mengunyah sirih menganjurkan agar Tika secepatnya menjauhi lelaki keturunan China itu. Sang nenek yang rambutnya sudah putih semua dan ompong, namun ibadahnya masih amat kental itu mengatakan bahwa hubungan seperti itu amat sumbang.

Tika amat sedih bila melihat kenyataan seperti itu. Tak satu pun kerabat yang memberi restu. Tika seperti menghadapi terpaan badai yang datang dari berbagai penjuru. Ia seperti menghadapi hempasan angin kencang yang datanganya dair berbagai arah. Menghempaskan dirinya di atas batu cadas yang amat keras.

Terkadang terbayang di pelupuk matanya tentang kawan-kawannya yang sedang pacaran lalu membawa pasangannya ke rumah pakcik, juga kerumah nenek lalu disana makan rujak. Semua menyambut gembira dan sikap manis. Tapi Tika sama sekali tidak pernah berbuat begitu. Bagaimana mungkin Tika membawa Liem ke rumah pakcik dan makcik kalau mereka tidak memberi restu? Mereka akan disambut dengan wajah cemberut. Mungkin juga pintu dan jendela rumah mereka tertutup rapat untuk Tika dan lelaki pemain barongsai itu. Tika benar-benar amat sedih bila ingat hal itu.

“Kita menghadapi kesulitan yang sama. Kita menghadapi benturan yang sama. Kita menghadapi hempasan yang sama. Kita menghadapi kemelut yang tidak berbeda. Kita menghadapi benturan-benturan yang sama. Kita menghadapi gelombang yang sama. Kita menghadapi hempasan badai topan yang sama dahsyatnya.”

“Mamamu juga menentang hubungan kita? Mamamu juga tidak setuju? Mamamu juga tidak menghendaki salah seorang anaknya bergaul rapat dengan seorang gadis Melayu?”

“Ya.” Hanya sepotong kata itu yang mampu diucapkan lelaki itu dan diiringi dengan anggulan kepala lirih.

“Hinakah gadis Melayu di mata seorang ibu berdarah China? Apakah gadis pribumi tidak memiliki harga diri di mata seorang ibu keturunan China?”

“Tidak! Tidak demikian,”sahut lelaki itu. Sepasang manusia mudah beda agama dan ras itu berhenti mengunyah sea food yang sudah terhidang sejak tadi. Bahkan jus melon tidak diminum sejak tadi. Mereka berdua tampak bicara amat serius.

“Kalau begitu kenapa mamamu menentang? Apakah mamamu masih tetap merasa orang China asli seperti yang bermukim di negeri leluhurnya, di Tiongkok?”

“Jangan berkata begitu, Tika. Mama lahir disini, di Sumatera. Papa dan mama mencari rezeki disini. Kehidupan mereka terletak di negeri ini, Tika. Justru itu papa dan mama merasa seperti orang pribumi. Mama merasa tanah airnya adalah Indonesia, bukan Tiongkok,” lelaki itu berkata sambil menggenggam jari-jari tangan Tika yang mulus dan lentik. Lelaki itu seperti takut kehilangan Tika.

“Aku senang mendengar kata-kata itu. Tapi apakah kata-kata itu hanya dibibir dan dalam hati kamu berkata lain?”

“Hati mereka juga berkata begitu, Tika.”

“Lalu kenapa mamamu menghendaki kita tidak usah bertemu lagi?”

“Karena mama tidak ingin kehilangan anak lelakinya. Mama mengaggap, kalau salah seorang anaknya menikah dengan gadis Melayu maka putuslah hubungan sebagai anak. Mama menduga, kalau kita menikah aku tidak akan perduli lagi kepda papa, mama dan kepada segenap kerabat.”

“Dan kamu takut kepada mama?” Tika menatap wajah lelaki itu.

“Bukan takut, tapi menghormati mama sebagai seorang ibu yang telah melahirkan dan membesarkan anaknya.”

“Mama takut kamu menjadi miskin kalau kamu menjadi pemeluk Islam dan menikah dengan seorang gadis Melayu?”

“Bukan begitu!”

“Kalau begitu, kita harus bersiap-siap untuk tidak bertemu lagi. Mungkin untuk selamanya,” kata-kata itu diucapkan Tika dengan nada amat sedih.

“Tidak, Tika. Kita akan tetap bertemu.”

“Meskipun mama kamu sangat marah?”

“Meskipun langit runtuh!”

“Lalu apa ancaman papa dan mam kamu?”

“Mama akan menarik semua apa yang sudah diberikan kepadaku!”

“Juga toko keramik di Jalan Gatot Subroto yang sudah dipercayakan mama kepada kamu untuk mengelolanya?”

“Ya!”

Tika amat sedih. Semakin sedih. Ia menunduk lagi dan menghela nafas panjang.

“Dan kamu akan memberikannya?”

“Aku memilih kamu walaupun akhirnya aku tidak punya apa-apa. Aku memilih kamu walaupun akhirnya aku harus angkat kaki dari rumah. Aku memilih kamu walaupuntoko di Jalan Gatot Subroto diambil ahli mama!”

Hampir saja air mata Tika tidak terbendung. Hampir saja air matanya berderai.

“Tidak usah sedih, Tika. Aku sudah siap untuk menghadapi semua vonis dari mama. Tidak usah khawatir, aku tidak akan menjadi pengangguran kalau toko keramik di Jalan Gatot Subroto harus diambil ahli mama.”

Lelaki itu menggenggam tangan Tika amat erat. Tika tetap saja menunduk. Kesedihan tetap saja menggurati relung hatinya.

“Lelaki harus punya pegangan hidup, Liem. Lelaki akan kehilangan arti hidupnya kalau ia tidak punya profesi apa-apa. Status amat penting artinya bagi setiap lelaki, apakah sebagai pelaku bisnis, sebagai guru, sebagai motir, sebagai karyawan atau profesi lain.”

“Tidak usah takut aku akan menjadi pengangguran. Kalau kita akhirnya menikah, aku tidak akan membiarkan kamu yang mencari nafkah. Aku akan membahagiakan kamu, Tika.”

“Bagaimana kalau kamu tidak punya tempat tegak yang tegar lagi, Liem. Apa yang dapat kamu lakukan?”

“Tidak usah sedih. Aku sudah memikirkan apa yang dapat kulakukan. Jauh hari sebelum mama menjatuhkan vonis itu, aku sudah bersiap-siap.”

“Apa yang akan kamu lakukan? Kamu akan menjadi calo?”

“Tidak usah kukatakan sekarang. Hari-hari mendatang kamu akan tahu apa yang akan kulakukan. Yang pasti masih berkaitan dengan bisnis. Bukankah setiap orang berdarah China adalah pelaku bisnis yang handal dan ulet? Hanya aku harus memulai lagi dari bawah, mulai dari nol.”

“Aku akan berdoa untukmu, Liem. Untuk masa depanmu. Untuk masa depan kita.”

“Terima kasih.yang pasti kita belum kehilangan masa depan yang amat manis meskipun aku harus kehilangan sebuah toko keramik yang saat ini sedang berkembang pesat. Padahal ketika mama menyerahkan toko itu kepadaku, yang ada hanya satu dua jenis keramik dan lalat pun jarang yang datang. Setelah 5 tahun aku mengelolanya, toko itu berkembang pesat dan mama merampasnya kembali karena menganggap seorang anak yang disayanginya berbuat durhaka kepadanya.”

Tika menunduk lagi. Ia membiarkan Liem mengungkapkan tentang perjalanan usahanya di bidang toko keramik yang sudah dikelolanya selama lebih 5 tahun. Dulu sebuah toko yang terletak di Jalan Gatot Subroto itu lengang dan kosong melompong. Keramik yang ada hanya satu dua merek dan itupun merek lokal murahan.

Tidak sia-sia Nyonya Hwa mempercayakan pengelolaan toko keramik itu kepada Tan You Liem yang memang memiliki jiwa bisnis yang mendarah daging dalam dirinya. Meskipun kuliah di Fakultas Ekonomi hanya sampai 6 semester, tapi dia mampu menjadi menajer yang sukses. Tidak sia-sia lelaki itu belajar tentang ilmu manajemen, tentang Ekonomi Makro, tentang Budgeting, tentang Bussines Policy, ditambah lagi Sosiologi Perusahaan dan tentang Market Research dan yang lebih penting lagi tentang Penguasaan Marketing.

Itulah sebabnya toko yang lengang itu cepat berkembang. Lelaki itu segera merangkul mitra usaha, terutama dari kalangan pengusaha property. Belasan perusahaan pengembang yang membangun rumah-rumah mewah pasti mengikat kerja sama pasokan berbagai keramik dari toko yang dimiliki pemain barongsai itu. Bila ada instansi pemerintah yang membangun ruang pertemuan pasti kebutuhan keramiknya dari Liem.

Bila ada bank papan atas yang membangun gedung kebutuhan keramik dari mulai lantai, dinding hingga interior dan toilet yang paling mahal harganya, pemasoknya adalah lelaki yang amat mahir memainkan barongsai itu.

Sekarang toko yang terletak di Jalan Gatot Subroto itu selalu ramai, berbagai jenis dan merek keramik tersedia di sana, mulai dari produk dalam negeri hingga barang impor dari Italia dan American Standart.

Sesekali terngiang kembali di telinga ucapan mamanya dalam bahasa Mandarin yang masih amat fasih:

“Lupakan gadis pribumi itu, Liem. Itu yang terbaik buat kamu.”

“Kenapa baru sekarang mama bilang begitu?”, Liem menatap wajah mamanya tanpa gentar.

“Karena sekarang baru mama tahu kamu semakin akrab dengan Atikah.”

“Bukankah mama yang pertama kali mengundangnya ke rumah kita? Kalau bukan mama yang pertama kali mengundang Tika ke rumah ini, saya tidak akan pernah bertemu dengan dia,” sahut Liem sejujurnya.

“Karena waktu itu kamu sedang sakit. Karena sejak kamu menjadi korban amukan massa dan di bakar hidup-hidup kamu menderita trauma berat, kamu selalu dihantui perasaan berdosa. Saat itu psikiater pun tidak mampu menyembuhkan kamu,” ujar mamanya.

“Dan mama akhirnya mengundang Atikah ke rumah kita. Disini dia membaca puisi karya Brigette Oleschinki dan buah tangan Amir Hamzah dan hati saya tergugah karena puisi-puisi itu. Atikah mampu menyembuhkan perasaan berdosa dalam diri saya. Begitu, bukan? Itu artinya Atikah sudah berjasa kepada keluarga saya dan kepada kita semua. Mama pun hidup tentram setelah saya menemukan jati diri saya kembali. Hati papa tidak pernah gelisah lagi setelah saya menemukan percaya diri. Semua karena gadis itu! Bukan karena psikiater itu! Tapi sekarang mengapa mama ingin menyingkirkan gadis itu?”

“Tapi bukan untuk menjadi kekasihmu, Liem. Mama mengundang gadis itu ke rumah kita agar kamu terhindar dari trauma. Karena mama tidak ingin kamu meloncat dari lantai tiga karena dikejar-kejar perasaan takut.”

“Kenapa mama tidak membiarkan saya melompat dari lantai tiga? Kenapa mama tidak membiarkan saya hancur di lantai bawah? Kenapa mama tidak membiarkan kepala saya remuk membentur lantai?”

“Karena mama sangat menyayangi kamu, Liem. Mama tidak ingin kehilangan kamu.”

“Sungguh?”

“Sungguh!”

“Apakah mama akan merasa kehilangan anak mama kalau saya menikah dengan seorang gadis yang telah menyelamatkan masa depan saya?”

“Ya. Mama akan kehilangan kamu. Sebab dengan perkawinan itu mama menganggap kamu sudah keluar dari lingkungan keluarga kita.”

“Kalau tidak karena kehadiran Tika, sudah lama mama kehilangan anak mama karena melompat dari lantai tiga sebab dikejar-kejar perasaan berdosa dan trauma. Sekarang mama merasa sangat takut kehilangan anak mama karena perkawinannya dengan gadis Melayu.”

“Kamu bicara apa, Liem?”

“Taaar! Tangan kanan Nyonya Hwa melayang dan mengenai pipi kiri puteranya sendiri. Hingga wajah Liem terpaling. Terasa amat sakit. Dan tamparan dari seorang ibu yang telah melahirkannya ke dunia sebagai vonis bahwa mama tidak lagi menyayanginya. Hanya karena kehadiran seorang gadis berdarah Melayu bernama Atikah.

“Lupakan gadis itu kalau kamu tetap ingin sebagai anak mama!,” Nyonya Hwa memberikan ultimatum.

“Kalau saya tetap memilih gadis Melayu itu?”

“Itu artinya kamu bukan anak mama lagi. Dan kamu tidak akan mendapat warisan apapun dari papa dan mamamu. Kau dengar itu?”

“Cukup jelas, Mama. Terima kasih.” Liem tampak tenang mengahadapi sebuah gunung berapi yang sedang meletus dan memuntahkan lahar. Lelaki pemain barongsai andalan itu merasakan guncangan gempa yang amat dashyat, namun ia tetap bersikap tenang. Karena gempa itu memang sudah diduganya akan terjadi. Liem sudah menduga gunung berapi itu akan meletus pada waktunya, lalu bumi terguncang lalu lahar panas menghanguskan apa saja yang ada di sekitarnya.

“Saya sudah siap untuk tidak menjadi anak mama lagi!”, kata-kata itu pun diucapkan Liem dengan tenang.

“Kamu nekad, Liem? Hati kamu jadi sekeras batu gunung!”

“Tapi hati mama lebih keras lagi!”

Nyonya Hwa tidak mampu membendung air mata. Tangisnya berderai-derai. Hatinya hancur berkeping-keping karena sikap anak lelakinya yang selama ini teramat ia sayangi. Nyonya Hwa segera membuka lemari dan mengeluarkan sehelai kertas bermaterai.

“Tuliskah surat pernyataan kamu tidak akan menerima warisan apapun dari papa dan mamamu!”

Tanpa pikir dua kali, Liem segera membubuhkan tanda tangannya di atas kertas bermaterai dan belum ada tulisan apapun. Ia meletakkannya diatas meja, didepan mata Nyonya Hwa.

“Saya sengaja menanda tangani surat ini dalam keadaan kosong. Mama boleh mengisi dengan pernyataan apa saja. Mama boleh mengisi dengan pernyataan, bahwa saya tidak akan menerima warisan apapun. Mama juga boleh menuliskan kata-kata bahwa mama boleh membunuh saya. Mama boleh memenggal batang leher saya dengan parang pemotong daging. Karena diri saya bukan anak mama lagi, biarlah saya lebih baik mati.”

“Ingat, Liem. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, berarti kamu harus memeluk Islam. Itu artinya kamu sudah keluar dari lingkungan keluarga. Kamu akan jauh dari papa dan mama kamu. Kamu tidak punya paman lagi, tidak punya bibi. Kamu tidak punya engkong lagi. Kamu tidak akan punya siapa-siapa lagi. Kamu akan hidup sebatang kara. Tidak ada seorang pun saudara kita yang perduli terhadapmu. Kemana kamu akan meminta pertolongan kalau kamu dalam kesulitan? Siapa yang akan menolong kalau kamu jatuh sakit? Siapa yang akan mengulurkan tangan kalau kamu jatuh miskin?”

Seperti peluru sebuah senapan mesin, kata-kata Nyonya Hwa berhamburan diiringi derai tangisnya.

“Mama keliru. Sungguh mama keliru. Justru Islam mengajarkan bahwa setiap muslim itu bersaudara. Kalau saya kehilangan papa, mama dan lain-lainnya masih ada dan masih sangat banyak yang akan perduli kepada saya. Setiap muslim akan selalu perduli kepada muslim lainnya yang sedang dalam kesulitan. Bahkan anak yatim piatu sekalipun menjadi tanggung jawab semua muslim. Fakir miskin pun selalu jadi kepedulian sesama muslim. Dan itulah yang menggugah hati saya untuk menjadi seorang muslim.”

“Cukup,Liem! Cukup! Jangan dilanjutkan kata-kata itu,” teriak Nyonya Hwa amat kesal. Ia terduduk di sofa dan tersedu.

Air mata semakin berderai-derai mengalir di pipi Nyonya Hwa. Ia lebih ingin Liem menikah dengan Nio daripada harus kawin dengan Atikah. Dunianya tampak gelap gulita. Nyonya Hwa tidak sadar ketika anak lelakinya telah pergi dari rumah itu, pergi dari sisinya. Anak muda itu memang sudah siap menerima vonis dari mamanya, untuk tidak diakui sebagai anak lagi.

***

K

unci toko keramik yang terletak di Jalan Gatot Subroto itu sudah diletakkan Liem diatas meja, didepan mamanya. Juga kunci mobil panther merah hati. Itulah sebabnya sejak saat itu lelaki muda itu kemana-mana hanya naik Suzuki Carry dengan bak terbuka. Dengan mobil bekas itulah Liem dan Tika tampak menuju keluar kota, kearah Perbaungan. Hari itu Tika sengaja tidak masuk kampus karena ujian Farmatologi dan Botani Farmasi sudah selesai minggu lalu. Musim ujian memang sudah berakhir.

Mahasiswa MIPA hanya menunggu hasil ujiannya. Tapi Tika yakin akan mendapatkan nilai terbaik. Ia yakin untuk mata kuliah Kimia Organik akan mendapatkan paling tidak B. Juga untuk mata kuliah Parasitologi akan mendapatkan nilai yang sama. Malah untuk mata kuliah Kimia Klinis akan mendapatkan nilai A. Juga untuk ujian mata kuliah Bio Analisis dilalap dengan mudah oleh Atikah, seperti ia sedang sarapan pagi, tidak ada yang tersisa.

Tika memang ingin cepat lulus. Lulus dan bekerja seperti yang diharapkan ibunya. Setelah itu baru memikirkan untuk menikah.

“Kemana kamu membawa aku pergi, Liem?” tanya Tika dan duduk rapat disisi lelaki itu yang memegang setir mobil, namun matanya sesekali memandang Tika. Lelaki itu memang tidak puas menatap sepasang mata Tika yang jernih dan teduh seperti air telaga. Mobil tua itu terus meluncur ke arah Perbaungan. Hanya mobil tua itulah miliknya sekarang setelah semuanya diambil ahli Nyonya Hwa, karena tidak lagi mengakui Liem sebagai anaknya dan Liem tidak mendapatkan warisan satu sen pun dari papa dan mamanya.

“Ke suatu tempat!”

“Tidak ke neraka, bukan?”

“Tentu saja tidak! Mana mungkin ada laki-laki yang sampai hati membawa seorang gadis yang dicintainya ke neraka.”

“Siapa tahu kamu akan mengajakku kesana karena mamamu tidak menyukai diriku.”

“Justru aku ingin menunjukkan sesuatau kepadamu.”

Mobil itu terus meluncur kencang. Tidak terlalu jauh dari Perbaugan, mobil itu membelok ke kiri, ke sebuah lahan kosong yang hanya ditumbuhi rambutan, manggis dan beberapa batang pohon durian.

“Kenapa kamu membawaku kemari,Liem? Kenapa berhenti di lahan kosong yang sepi ini? Yang ada hanya pohon manggis dan rambutan. Nyamuk juga banyak disini.

“Tempat ini akan mempunyai arti yang amat penting!”

Tika tidak menolak ketika turun dari mobil lalu menelusuri lahan kosong itu. Berbagai jenis burung berkicau menyambut kedatangan sepasang manusia muda berlainan suku dan ras itu. Sepasang tupai yang sedang melubangi buah durian tertegun melihat Tika melangkah di antara pohon rambutan dengan berpegangan pada lengan lelaki disisinya, padahal lelaki itu adalah keturunan China.

“Tempat ini sangat sepi. Cuma lahan kosong,”cetus Tika masih melangkah disisi lelaki itu. Matahari pun terlindung di balik daun-daun rambutan.

“Sekarang masih kosong, tapi tidak lama lagi suasananya akan berubah.

“Segugus angin berhembus dan daun-daun yang kering berguguran. Sehelai daun kering berwarna kuning jatuh di rambut Tika dan lelaki itu menepisnya.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu kepadamu hari ini, Tika,” ujar lelaki itu dan berhenti melangkah. Lelaki itu mengajaknya duduk diatas akar kayu.

“Sesuatu apa?”

“Tentu sesuatu yang mempunyai arti amat penting untuk kita.”

Tika menatap wajah lelaki itu. Segugus angin berhembus lagi dan daun-daun pohon rambutan yang kering berguguran lagi. Burung-burung di ranting pohon berkicau nyaring seperti sebuah lagu yan indah.

“Lahan ini sudah kukontrak untuk sepuluh tahun,” terdengar lagi suara lelaki itu dengan nada meyakinkan.

“Hasil apa yang akan kamu peroleh dari lahan ini? Pohon rambutan dan manggis hanya beberapa batang.”

“Justru pohon-pohon itu akan segera ditebas. Aku sudah merencanakan untuk membangun sebuah restoran di atas lahan ini.”

“Restoran?” ulang Tika dan menatap wajah lelaki itu disisinya. Sepasang burung di ranting pohon diatas mereka masih terdengar berkicau nyaring.

“Aku akan membangun restoran China Muslim diatas lahan ini. Aku yakin usaha itu akan cepat berkembang. Tahun-tahun mendatang wisatawan mancanegara akan banyak mengunjungi daerah ini dan yang terbanyak pasti dari Singapura dan Hongkong. Juga dari daratan Tiongkok. Wisatawan dari Singapura sudah dapat dipastikan adalah orang-orang berdarah China. Mereka pasti akan senang menikmati makanan berciri khas China.”

“Hebat caramu berpikir, Liem. Tapi darimana kamu mendapatkan modal?”

“Lima tahun aku mengelola toko keramik di Jalan Gatot Subroto yang dipercayakan mama kepadaku dan dimulai dengan modal nol, sampai akhirnya berkembang pesat karena aku menjalin mitra usaha dengan berbagai pihak terutama dari pengusaha properti. Mama tidak tahu kalau sejak tahun pertama dengan diam-diam aku menyisihkan keuntungan. Sekarang setelah usaha itu diambil kembali oleh mama, aku sudah punya modal untuk membuka usaha sendiri. Aku sudah mampu untuk mandiri.”

“Sungguh hebat kamu berpikir, Liem. Kamu tidak sempat kehilangan tempat berpijak yang tegar meskipun toko keramik itu telah diambil alih mamamu.”

“Mama boleh berbuat apasaja sesuka hatinya sekarang. Aku tidak akan kelaparan. Aku tidak akan menjadi pengangguran. Mama akan tercengang nanti.”

Panjang lebar lelaki pemain barongsai itu berkata, bahwa ia sudah menghubungi kerabat dan kenalan yang ada di Singapura dan Beijing untuk bekerja sama. Diatas lahan kosong itu akan dibangun sebuah restoran muslim bernuansa China. Dan makanan yang tersedia juga khas Chinese food. Ada Dim sum, ada hidangan “har gau” atau lebih dikenal dengan pangsit udang, lalu tidak ketinggalan “Cha siau bau” sejenis sapi. Lung ching atau teh hijau dan bo lai akan tersedia restoran bernuansa China itu. Apalagi sejenis Shiu mai dan vegetarian pastilah tersedia disana. Aroma dan nuansa China pasti akan amat terasa di Muslim Chinese Food Restoran itu.

Diam-diam Liem sudah merencanakan untuk merekrut ahli masak yang pernah bekerja di restoran khas China di Jakarta. Dunia mengakui, bahwa hidangan China adalah sajian paling digemari dan paling populer. Lihat saja di kota-kota besar di dunia, restoran China pasti tidak akan sangat sulit dicari. Hidangang China adalah primadona. Disana akan tersedia bubur ayam, sup tauge, udang goreng renyah, ayam saus plum, cumi-cumi bumbu merica szechuan, iga sapi taosi, hot pot daging kambing dan banyak lagi. Wisatawan dari Singapura, Hongkong, Beijing, Taipei dan dari pelosok belahan dunia lainnya, bila berkunjung ke Danau Toba, pasti akan mampir di Muslim Chinese Food Restoran itu. Itulah rencana yang sudah ada di benak Liem. Sesaat lagi pembangunan restoran bernuansa China itu akan dimulai.

“Kamu tahu apa yang ada di kepalaku sekarang, Tika?” tanya lelaki itu.

Sesaat Tika menatap sepasang mata lelaki itu.

“Sukar untuk ditebak!”

“Kalau restoran muslim itu sudah berdiri nanti, dalam peresmiannya akan ada hiburan lagu-lagu Mandarin, terutama yang berirama klasik.”

“Yang hadir pastilah merasakan seperti suasana di daratan Tiongkok, atau seakan sedang berdiri di tembok China yang amat terkenal itu. Atau sedang berada di pinggiran hutan memandang anak-anak panda sedang menikmati batang-batang bambu.”

“Tidak hanya itu, Tika. Masih ada yang lainnya dan kukira amat menarik. Aku tetap ingat, bahwa restoran itu berlokasi di kawasan Perbaungan, dan disini pula banyak dilahirkan tokoh-tokoh Melayu terkemuka.”

“Lalu apa hubungannya dengan restoran itu?” Tika masih menatap wajah lelaki itu yang tampak amat serius untuk mewujudkan cita-citanya.

“Tentu harus ada hal-hal yang berkaitan dengan dunia Melayu. Harus ada upacara persembahan tepak sirih kepada tamu-tamu terhormat, harus ada acar tepung tawar . harus ada penampilan Rebana dan Senandung.”

“Oh, Liem. Sungguh amat berkesan. Semua sudah terbayang dimataku sekarang.” Tika amat senang mendengar kata-kata itu. Liem yang berdarah China itu sudah mengerti bahwa tepak sirih dan tepung tawar adalah adat kebesaran Melayu.

“Mudah-mudahan Tuhan memperkenankan cita-cita itu akan segera terwujud.”

“Aku akan berdoa tiap saat. Kalau diperkenankan tarian Serampang Dua Belas dan Tanjung Katung juga ambil bagian,” Tika mengajukan usul lagi.

“Tentu saja boleh! Biar suasana China dan suasana Melayu menjadi satu disana nanti.”

Angin berhembus lagi dan daun-daun pohon rambutan yang kering berguguran diterbangkan angin. Sehelai daun kering jatuh lagi di rambut Tika. Sekali lagi lelaki keturunan China itu tidak memperkenankan keindahan rambut Tika dikotori meskipun hanya selembar daun kering.

Di ranting pohon terlihat sarang burung pipit. Terdengar suara cericit anak burung sedang disuapi induknya kemudian mengajarnya terbang.

“Bolehkah aku yang memberi nama restoran itu?,” ujar Tika masih merebahkan kepalanya di dada lelaki itu.

“Tentu saja boleh dan aku yakin, kalau kamu yang memberi nama pasti nama yang bagus pasti membawa berkah dan rezeki.”

“Namanya adalah Sri Mersing Muslim Chinese Food Restoran. Indah nama itu, bukan? Sri Mersing adalah sejenis tari Melayu yang amat populer di Sumatera dan mengandung hikayat yang amat menarik.”

“Aku setuju sekali, Tika. Sungguh nama yang bagus dan enak di dengar!”

Tika tersenyum.

Atikah juga mengajukan usul agar ketika membangun restoran itu motif dan ornamen Melayu harus memberi warna agar lebih spesifik. Atikah menyebut motif dan ornamen Melayu yang tampak di Istana Maimun. Di rumah Baitul Rahma di Bukit Chandan Perak, atau Istana Balai Besar Kedah. Atau pada bangunan Istana Sultan Siak Sri Inderapura, Istana Datuk Lima Laras Batubara, Istana Sultan Langkat Tanjung Pura, Istana Galuh Sultan Serdang, Sultan Inderagiri dan banyak lagi.

Liem amat terkesan mendengar usulan itu.

Otak pemain barongsai itu memang selalu brilian. Dia sudah menghubungi berbagai perusahaan agen agar perjalanan dan biro wisata di Beijing, Shanghai, Taipei, dan Hongkong. Ia yakin benar prospek restoran berciri khas China namun diselaraskan dengan suasana muslim, diselaraskan dengan suasana Melayu itu akan sangat cerah. Apalagi menurut sahabatnya yang membuka biro turis di negeri panda itu terdapat jutaan kaum muslim diantara lebih satu milyar penduduk China. Kaum muslim China itu umumnya bermukim di kawasan Cheng Aan, Ugyurm Kazak, Uzbek, Tatar dan Xinjiang. Kaum muslim China itu berkunjung ke Sumatera pasti akan singgah di restoran yang akan didirikan pemain barongsai itu tidak lama lagi. Mereka pasti sangat menyukai masakan Chinese Hua Tiao Chiew dan dimasak oleh ahlinya, mantan kepala masak restoran Lobster di Jakarta.

Lelaki pemain barongsai itu sekarang menyadari, bahwa negeri leluhurnya, China, sudah lama mengenal Islam. Sejak tahun 29 Hijriah Islam sudah tersebar luas di daratan China yang dipimpin oleh Saad bin Abi Waqash dan berhasil mengajak Kaisar Yung Wei memeluk agama Islam.

Kalangan masyarakat China pasti mengenal sosok Syaik Wang Jing Chai dn Yang Shi Chian yang amat berjasa menterjemahkan cukup banyak buku-buku Islam, terutama yang berkaitan dengan hadist. Juga nama-nama Ma Chu, Leo Tse dan Chang Chung yang banyak menterjemahkan buku-buku berbahasa Arab dan Parsi ke dalam bahasa Mandarin. Bahkan Memorial Mosque, sebuah masjid pertama di pusat kota Canton sampai saat ini kelestariannya masih dipelihara dan jemaahnya selalu padat.

“Tahun-tahun mendatang turis dari Hongkong juga akan banyak masuk Sumatera. Yang penting suasana negeri ini aman. Restoran ini mudah-mudahan sangat menjanjikan,” ujar lelaki itu lagi.

“Aku juga berharap begitu, Liem. Tanganmu dingin menangani bisnis, seperti halnya ketika kamu mengelola toko keramik di Jalan Gatot Subroto itu maju pesat. Bisnis restoran ini pasti akan cepat berkembang di tanganmu.” Tika memberi harapan.

“Aku sangat bersyukur saudara sepupu dari papa benar-benar memenuhi janjinya untuk menanamkan investasinya disini. Sebentar lagi, tidak lama lagi sebuah impian akan menjadi kenyataan, Tika.”

“Ada lagi satu hal yang tidak boleh dilupakan, Liem.”

“Tentang apa? Kamu juga boleh mengajukan ide-ide bagus.”

“Umat Islam mempunyai kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan, yakni sholat. Restoran itu harus mempunyai tempat sholat yang nyaman.” Tika mengingatkan lelaki itu.

“Tentu saja. Aku juga sudah merancangnya dimana letak lapangan parkir yang cukup menampung selusin bus pariwisata dan dimana letak tempat sholat itu. Kalau perlu ruang sholat itu dilengkapi dengan pengatur udara hingga benar-benar terasa sejuk dan nyaman.” Tika tersenyum.

Lama sepasang anak manusia itu berada di tengah lahan kosong yang terletak tidak jauh dari Perbaungan dan hanya ditanami pohon manggis, rambutan dan durian. Di tengah lahan itu, dibawah pohon rambutan Tika rebah didada lelaki itu. Ia merasakan denyut jantung lelaki itu. Ia rasakan denyut cinta lelaki itu. Dia rasakan kata-kata hati pemain barongsai itu, bahwa ia semakin mengenal ajaran Islam. Ia semakin meresapi tentang keesaan Tuhan. Tentang kebenaran ajaran-ajaran Qur’an yang menjadi pegangan ummat Islam dalam setiap segi kehidupannya. Mau ke toilet saja ada aturannya dengan mendahulukan kaki kiri, lalu setelah pipis harus dibasuh. Lihatlah betapa amat mulia ajaran Islam yang bermakna kebersihan diri, apalagi kebersihan hati. Sebab hati adalah tempat bersarangnya iblis yang menggoda manusia. Kalau hati manusia sudah bersih, mana mungkin iblis bersarang disana. Pastilah jalan hidup manusia itu selalu lurus dan tidak ingin mendapatkan rezeki yang tidak halal meskipun hanya sekecil butiran pasir.

Lelaki itu sudah tahu apa artinya taqwa, menuruti segala perintah Allah dan menjauhi setiap larangannya. Lelaki muda pemain berongsai itu sudah dapat menyebut dengan benar satu demi satu rukun Islam dan rukun Iman. Bahkan ia mulai lancar membaca fatihah. Tika merasa bangga.

Dibawah pohon rambutan itu Tila membiarkan lelaki itu membelai rambutnya, lalu memeluknya amat erat. Sepasang matanya terpejam ketika lelaki China itu mencium keningnya. Hari esok yang amat manis sudah terbayang di pelupuk mata Tika. Juga dibenak lelaki pemain barongsai itu. Matahari hampir tenggelam di ufuk barat ketika mereka meninggalkan lahan kosong yang sebentar lagi akan berdiri sebuah restoran China bernuansa Melayu dan semua makanan itu adalah halal. Sebab daging babi akan diganti dengan sapi. Dan yang menyembelih ayam atau bebek adalah orang-orang muslim.

***

L

angkah Atikah terasa ringan ketika pulang dari kampus ia mampir di rumah Ustaz H. Mustafa. Suasana rumah mubaligh yang selalu memberikan khutbah Jum’at dan selalu memberikan ceramah di berbagai majilis ta’lim itu terasa sejuk dan nyaman. Ustaz H. Mustafa juga selalu memberikan bimbingan manasik haji dan tidak kurang dari 4 kali ia membawa rombongan jamaah haji.

Sayang ibu Tika belum sempat berangkat ke Tanah Suci, padahal sudah sejak bertahun-tahun silam berniat untuk berangkat kesana, sejak almarhum Pak Hasan masih hidup.

Sebidang tanah yang terletak di Jalan Raya Perbaungan-Pantai Cermin sudah lama akan dijual tapi tidak kunjung laku. Andainya tanah itu terjual, pastilah Bu Rahmah sudah menginjakkan kaki di Masjid Nabawi, pasti sudag mencium Hajratul Aswad di sisi Ka’bah dan merasakan panasnya matahari di Padang Arafah yang luas itu. Ribuan, bahkan berjuta-juta orang merindukan tanah suci, merindukan Ka’bah, merindukan Jabal Rahmah, merindukan makam Rasulullah, namun kerinduan itu tetap hanya merupakan kerinduan karena ketiadaan biaya. Kadang-kadang sudah terbayang di pelupuk mata Bu Rahmah suasana Jabal Uhud tempat berlangsungnya peperangan paling dahsyat dalam menegakkan Islam.

Juga sudah terbayang Jabal Tsur tempat Rasul bersembunyi dari serangan musuh-musuhnya. Bu Rahmah juga sudah amat rindu untuk meneguk air Zam-zam yang sumurnya terdapat disekitar Masjidil Haram, tidak jauh dari Ka’bah yang amat dimuliakan umat Islam di seluruh pelosok dunia. Apalagi melontar syetan di Jamrah Aqabah, Wustha dan Ula.

Pintu rumah Ustaz H. Mustafa selalu terbuka kerana selalu saja ada tamu yang datang, terutama dari kalangan majlis ta’lim yang mengundangnya untuk memberikan ceramah.

Tika hadir disana bukan untuk mengundang ustaz yang selalu mengenakan sorban putih itu memberikan ceramah, tapi meminta bantuannya untuk melembutkan hati ibunya yang amat menentang hubungannya dengan Liem.

Tika bersimpuh di depan ustaz H. Mustafa dan seuntai tasbih selalu ada di tangannya. Wajah lelaki bersorban putih itu tampak selalu bersih dan cerah karena selalu dibasahi air wudhu. Ustaz H. Mustafa sudah amat kenal dengan Tika, sebagai puteri Bu Rahmah, salah seorang dari ratusan jamaah di majlis ta’lim Masjid Nurul Huda.

“Saya akan menikah, ustaz”, bibir Tika bergetar di depan lelaki berjubah putih itu.

“Syukurlah pernikahan adalah sunnah rasul. Ingat, Islam mengajarkan bahwa wanita dinikahi karena empat hal. Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamannya. Mudah-mudahan kamu dinikahi karena agamanya dan itulah yang paling beruntung,” ujar lelaki berjanggut panjang itu.

“Saya menghadapi kesulitan, ustaz. Saya khawatir pernikahan itu akan menghadapi sangat banyak rintangan,” Tika menahan tangis ketika mengungkapkan hal itu.

“Rintangan apa? Serahkan saja kepada Allah, mudah-mudahan Allah akan memberikan hidayah dan petunjuk.”

“Saya akan menikah dengan seorang lelaki yang saat ini masih memeluk agama lain.”

“Artinya buka laki-laki muslim. Begitukah?” lelaki berjanggut itu menatap wajah Tika.

“Ya!”

“Pernikahan beda agama jelas dilarang dalam Islam.”

Seuntai tasbih masih di tangan lelaki bersorban besar itu ketika ia mengutarakan sepotong ayat Qur’an surah Al-Baqarah ayat 221.

“Islam tidak membenarkan pernikahan beda aqidah. Tuhan telah berfirman agar perempuan muslimah dilarang menikah dengan laki-laki musyrik sampai ia benar-benar beriman. Hukum negara juga tidak memperkenankan perkawinan seperti itu. Catatan sipil pun saat ini tidak memberi lampu hijau untuk perkawinan beda agama.” Kata-kata itu diucapkan amat lembut oleh ustaz H. Mustafa.

“Tapi calon suami saya sudah menyatakan akan memeluk Islam. Saya berharap ustaz dapat memimpin acara ikrar syahadatnya di masjid Nurul Huda nanti,” ucapan Tika penuh harap.

“Itulah yang terbaik. Sementara Islam menghadapi banyak tantangan yang datangnya dari berbagai penjuru, ada seseorang yang dengan ikhlas dan penuh kesadaran sendiri akan memeluk Islam. Itu adalah rahmat yang tidak bernilai harganya,” sahut lelaki berjubah putih itu.

“Namun masih ada rintangan lagi yang lebih besar, Tika menahan derai air mata.

“Rintangan apa lagi? Adakah seseorang yang tidak menghendaki kehadirannya.”

“Ibu saya!”

“Ibu? Ibu Rahmah? Saya sangat kenal dengan Bu Rahmah, jamaah majlis ta’lim yang paling setia. Sayang hasratnya ke Tanah Suci selalu belum terkabul.”

“Karena itulah, karena ustaz sangat kenal dengan ibu saya, mudah-mudahan ustaz dapat melembutkan hati ibu. Saya yakin kalau orang lain yang mengimbaunya, tidak akan berhasil melembutkan hatinya. Tapi bila ustaz yang mengetuk pintu hatinya, pasti pintu hati ibu saya akan terbuka,” pinta Tika lagi penuh harap.

“Insya Allah! Insya Allah pintu hati ibumu akan terbuka. Bu Rahmah adalah jemaah saya sejak almarhum Pak Hasan masih hidup. Bila saya yang memberinya pengertian, mudah-mudahan tidak akan ada persoalan lagi,” sahut lelaki itu dan seuntai tasbih masih di tangannya.

“Terimah kasih. Mudah-mudahan pintu dan jendela hati ibu akan segera terbuka.” Itulah kata-kata terakhir yang sebelum Tika melangkah pulang. Diluar terlihat sebuah Toyota Land Cruiser memasuki halaman rumah itu dan turun dua orang lelaki berdasi. Pastilah mereka adalah pejabat di bank atau dari Pertamina yang akan meminta kesediaan ustaz H. Mustafa untuk memberikan ceramah.

Tika melangkah pulang dengan dada terasa amat lapang. Hatinya terasa amat sejuk seperti baru saja ditetesi embun pagi.

***

T

idak harus bersedih lagi. Tidak harus termenung-menung lagi. Tika tidak lagi merasa menghadapi rintangan sebongkah batu cadas karena Bu Rahmah benar-benar telah membuka pintu dan jendela hatinya. Padahal selama ini Bu Rahmah adalah orang yang paling keras menentang hubungan Tika dengan lelaki keturunan China itu. Karena beda ras dan aqidah. Bu Rahmah selalu berusaha mencegah Tika bergaul akrab dengan lelaki itu meskipun lelaki itu sudah mengatakan akan memeluk Islam dengan kesadaran sendiri.

Ketika lelaki pemain barongsai itu datang lagi untuk menjemput Tika, wajah Bu Rahmah tampak cerah. Tidak ada lagi wajah cemberut. Sebab ustaz H. Mustafa sudah menemui Bu Rahmah, sudah menghimbaunya agar menerima kehadiran lelaki keturunan China itu dengan tangan terbuka bila lelaki itu benar-benar sudah meninggalkan agama yang dianutnya turun menurun sejak nenek moyangnya di daratan Tiongkok.

Tika ada di kamarnya ketika ustaz H. Mustafa menemui ibunya. Ketika ia menghidangkan teh, ia masih sempat mendengar pembicaraan ibunya dengan lelaki bersorban putih itu. Masih sempat didengar Tika, ustaz H. Mustafa mengemukakan contoh-contoh bahwa Rasulullah dulu menghadapi banyak sekali musuh-musuh yang menyerang Islam. Tapi ketika musuh-musuh Islam itu, seperti Khalid bin Wahid, Amru bin Ash atau Ustman bin Talha, Ikrimah bin Abu Jahal dan sederetan nama-nama lain yang sadar dan memeluk Islam, akhirnya diterima Rasulullah dengan terbuka. Mereka tidak harus diusir. Mereka tidak harus dibenci. Justru mereka harus diberi bimbingan. Mereka harus dibina.

Yang dikhawatirkan ustaz H. Mustafa hanya satu, yakni kelanjutan setelah lelaki keturunan China itu memeluk Islam. Sebab banyak terjadi, lelaki non muslim yang dinikahi perempuan muslimah lalu setelah beberapa tahun kembali murtad. Masuk Islam hanya sesaat, hanya ketika akan mengawini perempuan muslimah, lalu setelah punya anak kembali menyeberang ke agamanya semula.

Penjang lebar ustaz H. Mustafa memberikan saran, hendaknya setiap wanita muslimah menikah dengan mualaf harus ada tindak lanjut. Jangan sampai terjadi, seorang lelaki yang baru memeluk Islam dan menikah dibiarkan begitu saja, tanpa dibekali dengan pengetahuan ajaran Islam. Imannya yang lemah dan tidak memiliki bekal ajaran Islam menyebabkan lelaki itu kembali murtad. Sudah banyak terjadi dan dimana-mana lelaki non muslim mengaku pemeluk Islam hanya sesaat sebab tidak mendapatkan bimbingan.

Bu Rahmah dan ustaz H. Mustafa sepakat, andainya Liem nanti memeluk Islam dan menikah dengan Tika, ustaz H. Mustafa akan ikut serta membinanya, ikut serta membimbingnya agar lelaki itu menjadi muslim yang taat dan selalu dekat dengan Allah serta menjadi muslim yang bertaqwa. Bahkan ustazah Hajjah Nuraini juga akan berkenan memberikan bimbingan nanti.

Masih sempat terdengar pembicaraan kedua pemuka Islam itu, mereka merencanakan membuka sebuah pesantren khusus bagi mualaf, agar mereka-mereka yang baru memeluk Islam tidak kembali murtad. Para mualaf itu harus dibina agar menjadi muslim yang taat. Di pesantren khusus untuk mualaf itu akan diajarkan sholat yang baik, membaca Qur’an juga fiqih agar mereka mengerti melaksanakan perintah Tuhan dengan baik serta hukum yang memilah halal dan haram. Di pesantren itu para mualaf akan diberi bimbingan agar menjadi muslim yang soleh dan solehah serta menjadi ummat yang benar-benar bertaqwa. Iman mereka harus ditanamkan amat dalam didasar hati sehingga mereka terhindar dari murtad.

Hati Bu Rahmah benar-benar tergugah untuk bergabung bersama ustaz H. Mustafa dan ustazah Hajjah Nuraini yang akan membangun pesantren khusus bagi mualaf. Sungguh pekerjaan yang amat mulia. Bu Rahmah menyadari bahwa saat ini amat banyak mualaf yang membutuhkan uluran tangan dan siraman iman yang menyejukkan hati.

Dan hal itu pula yang mendorong Bu Rahmah untuk membuka pintu hatinya untuk menerima kehadiran Liem sebagai calon menantunya.

“Ibumu berubah sekarang, Tika,” suara Liem terdengar diantara deru mesin kendaraannya di Jalan Katamso yang amat ramai. Sejak Liem harus menyingkir dari rumah orang tuanya, ia juga harus meninggalkan Panther merah hati milik mamanya. Padahal dengan mobil itu selama ini ia selalu mengajak Tika menikmati udara sejuk pegunungan atau menyaksikan ombak di pinggir laut. Sekarang kemana-mana ia harus naik Suzuki Carry dengan bak terbuka. Yang penting mesinnya bandel. Lelaki itu sengaja membiarkan uangnya mengendap di bank. Juga kucuran dana investasi dari sepupu papanya masih tetap ngendon di bank. Lelaki itu belum berani menggunakan uang investasi itu untuk hal-hal yang kurang perlu.

“Hati ibuku lunak karena imbauan ustaz H. Mustafa,” sahut Tika.

“Pantas ibumu menerima kehadiranku tidak lagi dengan wajah cemberut, tapi dengan sikap manis.”

“Cuma sikap mamamu yang tetap seperti batu gunung, Liem. Teramat keras.”

“Ya. Hatinya memang seperti baja. Aku sendiri tidak tahu kapan sikap mama akan berubah. Tapi aku sudah siap untuk menerima resiko macam apapun. Dimanapun, di dunia ini cinta selalu mengalahkan segalanya. Bukan hal baru, seorang anak harus angkat kaki dari rumah orang tuanya karena hubungan kasihnya dengan seseorang tidak dapat restu. Tapi kebahagiaan pasangan itu menemukan kebahagiaannya.”

“Selagi mamamu tetap menolah hubungan kita, aku masih tetap merasakan ada sesuatu yang mengganjal. Aku tetap tidak dapat tidur dengan nyenyak,” terdengar lagi suara Tika.

“Kenapa? Kenapa tidak dapat tidur nyenyak?”

“Karena selalu di ganggu mimpi-mimpi buruk.”

“Mimpi apa?”

“Aku sedang mimpi mamamu datang dan melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar. Mamamu melontarkan kata-kata yang amat pedas.”

“Maafkan mamaku. Lupakan tentang mama!”

Suzuki dengan bak terbuka itu meluncur melewati kesawan yang amat ramai dan Tika duduk rapat disisi lelaki itu.

“Kemana kamu bawa aku, Liem?” tanya Tika.

“Aku ingin menunjukkan kepadamu.”

“Tentang apa?”

“Kamu akan melihat sendiri sesuatau yang indah dan belum pernah kamu saksikan sebelumnya.”

Mobil itu lewat di Jalan Irian Barat lalu membelok ke kiri dan memasuki halaman sebuah gedung yang selama ini selalu digunakan untuk pertandingan bola basket.

“Kamu ingin mengajakku nonton kejuaraan basket?” tanya Tika ketika lelaki iut mengajaknya turun.

“Tidak ada pertandingan basket hari ini.”

“Lalu ada apa?”

“Latihan barongsai.”

“Barongsai?,” ulang Tika dan mereka melangkah memasuki ruangan sport hall yang cukup luas.

“Ya. Untuk persiapan festival kejuaraan barongsai.”

“Untuk tingkat Sumatera?”

“Aku tidak akan ikut latihan disini kalau Cuma kejuaraan tingkat Sumatera. Yang harus kuhadapi adalah tim kenamaan Malaysiam Hongkong dan China.”

“Hebat kalau begitu, Liem. Itu artinya adalah kejuaraan tingkat internasional.”

“Ya. Kamu boleh membaca sendiri undangannya.” Sambil berjalan, lelaki itu mengulurkan selembar undangan ke tangan Tika.

“Hebat kamu, Liem!” cetus Tika ketika membaca undangan dari Panitia Penyelenggara Open Lion Dance Invitation Championship.

“Karena itu aku harus latihan dengan sungguh-sungguh. Sebab aku ingin menyabet piala yang amat bergengsi itu. Kalau sekedar tim dari Surabaya atau Jakarta, aku tidak gentar. Tim Singapura juga masih kuanggap gurem,” sahut lelaki itu penuh percaya diri. Amat bangga sebagai pemain barongsai andalan.

“Aku akan selalu berdoa untukmu, Liem. Biar kamu menang dalam kejuaraan terbuka ini.”

“Yang harus kuhadapi adalah rival-rival berat dari Malaysia sebab banyak tim disana sengaja mengundang pelatih dari Tiongkok tempat asal seni barongsai ini, disamping tim China dari Beijing yang memang handal dalam permainan ini.”

“Kamu gentar?” Tika menatap wajah lelaki itu.

“Aku tidak akan gentar. Bukankah doamu akan diperkenankan Tuhan?”

Tika hanya tersenyum. Ia masih membaca undangan itu. Ia juga membaca lampiran undangan itu dan melihat daftar peserta tim yang akan berlaga di arena Internasional Open Lion Dance Championship itu. Lebih dari tiga puluh tim yang akan berlaga menunjukkan keandalannya dalam permainan topeng besar berbentuk kepala singa lengkap dengan jubah dan buntut panjag. Yang harus dihadapi Liem adalah tim-tim tangguh dari Surabaya, Jakarta, Hongkong, Singapura, Malaysia, Thailand dan China.

Sore itu memang tidak ada pertandingan basket, tapi Sport Hall itu dipadati pengunjung untuk menyaksikan latihan terakhir barongsai yang akan tampil di kejuaraan terbuka yan akan berlangsung di pusat kesenian Gui Qing tang bermarkas di Seremban, Malaysia bulan mendatang.

“Hay, Liem! Kamu harus mampu jadi juara!”,teriak salah seorang pengagum lelaki itu.

“Terima kasih!”, Liem hanya melempar senyum.

“Tidak usah pulang kalau kamu tidak membawa piala!”, seorang gadis cantik berkata ketus.

“Ribuan pengagummu akan menangis kalau kamu kalah nanti!” ucap seorang gadis lainnnya.

“Ya, aku tidak akan pulang kalau aku kalah!”, itulah janji lelaki itu. Amat banyak yang menyapa lelaki itu. Amat banyak pengunjung yang memberikan aplaus.

“Kamu benar-benar hebat, Liem. Pangagummu sangat banyak,” ujar Tika.

“Mereka ingin aku jadi juara,” sahut lelaki itu.

“Kamu yakin?”

Lelaki itu mengangguk penuh percaya diri.

“Aku akan berjuang semaksimal mungkin. Aku sudah terlanjur berjanji tidak akan pulang kalau tidak membawa piala kejuaraan yang amat bergensi itu.”

Tika masih sempat menyaksikan di lapangan basket itu ada banyak tonggak-tonggak kayu. Pemain barongsai itu akan melakukan atraksi akrobatik dengan melompat ke atas tonggak-tonggak kayu itu dan meliuk, berayun dan melayang diudara kemudian memutar-mutar, persis seperti singa yang akan menerkam mangsanya. Pastilah amat menyeramkan.

Itulah sebabnya setiap ada atraksi akrobatik barongsai selalu terdengar teriakan-teriakan histeris para penonton namun yang terbanyak adalah terpana menyaksikan adegan mengerikan itu.bayangkan. sedikit saja lengah dalam melompat di atas tonggak atau pilar kayu itu pasti pemain berongsai yang berpasangan itu akan mengalami luka-luka. Apalagi di bawah pilr-pilar kayu itu sengaja diberi pisau runcing yang ujungnya ke atas. Bila pemain barongsai itu terpeleset pasti tubuhnya akan di tembus pisau tajam itu.

Gendang dan tetabuhan khas barongsao mulai terdengar. Suaranya gemuruh. Liem bersama pasangannya mulai beraksi mengenakan topeng kepala singa berbuntut panjang. Penonton, terutama yang mengagumi Liem bertepuk tangan. Amat banyak yang memanggil-manggil namanya. Lelaki itu memberi hormat kepada para pengunjung.

Seorang nenek tua, berkaca mata tebal dan rambutnya sudah putih berdiri disisi Atikah, di barisan paling depan. Nenek tua itu ikut memberikan sambutan yang meriah.

“Ayo, Liem. Tunjukkan kebolehanmu. Jangan kecewakan kami. Kalau kamu jadi juara kamu harus hebat!”, nenek tua itu penuh semangat. Nonton barongsai adalah kegemaraannya sekarang, padahal selama lebih dari tiga puluh tahun permainan seni budaya China itu dilarang penguasa.

Bagi nenek tua itu, nonton barongsai membuatnya merasakan seakan ia berada di daratan China tanah leluhurnya dan tempat berasalnya barongsai itu.

“Nenek kenal dengan Liem?”, tanya Atikah kepada sang nenek tua disisinya.

“Wah, saya sangat mengenalnya. Saya sangat mengaguminya. Saya memujanya. Dimanapun Liem Tampil, saya pasti hadir.”

“Nenek sangat fanatik,” cetus Tika dan tersenyum.

“Liem membuat saya seperti berada di pinggiran bagian selatan Beijing. Liem membuat saya terkadang rindu tanah leluhurnya.”

“Nenek kerasan dan senang disini?”, tanya Tika.

“Ya, kerasan dan senang, terutama sekarang apa yang ada di Beijing atau Shangshai juga bisa dilihat disini. Orang-orang China lebih bebas dan leluasa sekarang. Banyak kemudahan yang diperoleh orang-orang berdarah China sekarang. Orang-orang berdarah China pasti bangga dan berbahagia bermukim di negeri ini. Namun bagi saya sesekali ada kerinduan terhadap kampung halaman.”

“Negeri tirai bambu yang maha luas dan penuh ummat menusia,” cetus Tika.

“Ya, lebih satu milyar orang. Nonton barongsai membuat setiap warga China seperti berada di tanah leluhurnya dan disanalah tempat kelahiran barongsai.”

“Nenek tahu bagaimana riwayat barongsai?” Tika menatap nenek tua berambut penuh uban itu.

“Tiap orang China pasti tahu. Sejarah barongsai berasal dari legenda yang amat dipercaya oleh semua orang berdarah China. Dia berasal dari sosok makhluk besar yang sangat menyeramkan yang dijuluki NIEN. Makhluk Nien yang amat ditakuti setiap etnis China biasanya muncul sekali dalam setahun dan menimbulkan kerusakan di muka bumi, memangsa apa saja dan suka menganggu ummat manusia. Untuk mengusir kedatangannya ke muka bumi, para pendeta atau Haksu, sang guru atau Bunsum, penyebar agama atau Kausing dan tidak ketinggalan para sesepuh atau Tiangloo berkumpul menjadi satu.”

“Mereka bersembahyang dan berdoa? Mereka membakar hio ,begitukah?”

“Mereka menabuh gendang dan tetabuhan lainnya. Bunyi-bunyi yang ditabuh beramai-ramai menyebabkan makhluk Nien yang mengerikan itu ketakutan lalu menyingkir jauh dan tidak pernah datang lagi sehingga manusia dimuka bumi ini tidak lagi ketakutan.”

“Sejak itulah barongsai dimainkan orang?”

“Ya! Orang seperti tidak pernah jemu menyaksikannya, apalagi dalam penampilannya penuh dengan gerakan gagah berani. Apalagi sekarang barongsai sudah mengalami pembaruan.”

“Pembaruan seperti apa?”

“Perkembangannya berkaitan erat dengan Fong Sai Yuk yang dikenal banyak orang sebagai pencipta film-film kungfu dan jagoan silat yang paling tangguh di Tiongkok. Masyarakat China menyebut permainan ini barongsai pilar. Lihat yang ada di bawah pilar-pilar kayu itu,” Nyonya berumur lanjut itu menunjuk ke arah tonggak-tonggak kayu di lapangan basket itu.

“Banyak pisau yan runcing dan tajam menghadap keatas,” sahut Tika. “Itu artinya permainan barongsai tidak sembarangan, tapi penuh resiko. Sekali kaki pemain barongsai terpeleset, tubuhnya akan ditembus pisau.”

“Tantangannya adalah maut.”

“Ya, kematian. Tapi anak-anak muda pemain barongsai tidak pernah takut. Justru peminatnya semakin banyak. Tiap tahun diadakan kejuaraan terbuka tingkat internasional yang selalu diikuti berbagai tim dari berbagai negara. Orang China yang berada di Jepang pun tidak ketinggalan ikut ambil bagian dalam festival itu.”

“Sungguh amat meriah.” Itulah komentar Tika tentang barongsai. “Mudah-mudahan saja Liem akan bermain bagus sekali dan penuh konsentrasi.”

“Saya sudah lama mengaguminya. Kakinya tidak akan pernah terpeleset dari atas tonggak-tonggak kayu itu. Ia cukup terlatih. Namun rival-rival dari Malaysia dan China merupakan tantangan yang amat berat.”

“Semoga dia menang.”

Nenek tua itu tampak bersemangat ketika Liem mulai beraksi bersama pasangannya mengikuti genderang dan tetabuhan lainnya yang gemuruh. Gerakan-gerakan topeng kepala singa berbuntut panjang itu amat mengasyikkan. Tepuk tangan yang gemuruh pun terdengar ketika barongsai itu menari-nari di atas tonggak kayu seperti gerakan singa yan akan menerkam mangsanya.

Ya, Tuhan. Jantung Tika hampir saja copot ketika kaki kanan Liem terpeleset dan hampir saja lelaki itu terjatuh sementara pisau-pisau tajam terhunus keatas. Andainya tubuh itu terhempas pastilah akan ditembus pisau tajam itu. Namun sorak-sorai justru semakin gemuruh penuh rasa kagum. Nama Liem terdengar disebut sekiak banyak pengagumnya.

“Hati-hati, Liem! Jangan lengah!”, terik Tika.

“Tidak usah meragukan kemampuan Liem. Penampilannya tidak kalah dengan tim Kang Ha Hong yang ada di Malaysia!”, ujar nenek tua disisi Tika ketika melihat Tika amat cemas menyaksikan penampilan anak muda itu di atas tonggak-tonggak kayu.

Barongsai yang dimainkan dua orang itu terus melakukan gerakana atraktif. Tepuk tangan pun terdengar semakin riuh ketika barongsai itu membuat gerakan 180 derajat lalu melompat seakan terbang lalu dengan penuh perhitungan dan percaya diri kakinya terjejak di atas tonggak kayu berukuran 2 meter.

“Untuk menjadi juara tiap tim harus benar-benar dalam keadaan fit dan formula gerakan harus senantiasa serasi dengan gendang yang di tabuh. Ada lima kriteria juri yang harus diperhatikan setiap tim,” ujar sang nenek itu lagi.

“Wah, nenek faham benar seluk beluk barongsai!”, cetus Tika penuh rasa kagum kepada Nyonya tua yang berumur lebih 65 tahun tapi fisiknya masih energik.

“Yang pertama perlu dijiwai adalah formula keserasian gerakan kepala singa dengan ekornya. Kemudian keserasian gerakan dengan musik yang ditabuh. Satu lagi yang lebih penting adalah ekspresi barongsai itu sendiri disamping sopan santun pemain juga jadi bahan pertimbangan juri.”

“Mungkin bentuk barongsai dan kostum juga jadi penilaian utama,” cetus Tika menduga-duga.

“Benar! Bagaimana tim mau menang kalau kostum yang ditampilkan sudah lusuh dan kumuh? Bagaimana mau menang kalau bentuk barongsai itu loyo dan tidak bersemangat?”. Nenek tua berkaca mata itu menjelaskan. Nyonya China berumur diatas enam puluh lima itu dengan gamblang mengatakan bahwa tinggi pilar-pilar kayu yang harus dilompati barongsai itu tidak boleh kurang dari 2 meter dan tingginya tidak boleh lebih 3 meter dan jarah satu tonggak atau pilar itu ke pilar lainnya harus tertentu yakni 10 – 15 meter.

Perempuan Tionghoa itu benar-benar banyak mengetahui seluk beluk barongsai.

“Tampaknya Liem memiliki semua itu!”

“Ya, dia pasti menang! Dia akan membawa pulang piala kejuaraan itu kalau staminanya tetap terjaga,” Nyonya tua itu tetap bersemangat.

“Permainan Liem cukup bagus.”

“Tapi Liem butuh dukungan moril. Dia butuh aplaus. Tanpa dukungan pengagumnya dia akan kalah di negeri orang. Apalagi kejuaraan terbuka barongsai tingkat internasional itu akan berlangsung si Seremban Kuala Lumpur, di markas kesenian Gui Qing pusat kegiatan barongsai di negeri jiran Malaysia. Pastilah semangatnya akan menurun bila di negeri orang itu tidak ada yang memberinya semangat.”

“Nyonya akan hadir disana?”

“Tidak kurang dari dua ratus tiket sudah dipesan khusus untuk orang-orang yang mengagumi Liem. Untuk memberikan semangat.”

“Dua ratus orang?”

“Ya! Dan mungkin akan bertambah dua atau tiga puluh orang lagi. Itu tandanya warga China benar-benar sangat mencintai kesenian nenek moyangnya yang tetap dilestarikan. Terlambat memesan tiket, pastilah tidak akan kebagian tempat karena penggemar dari Jakarta, Singapura, Hongkong dan Thailand lebih besar lagi.”

Tika heran, apalagi ketika nyonya China berusia lanjut itu mengatakan bahwa tiket masuk yang paling murah adalah 100 ringgit dan pada saat final bisa mencapai 300 atau 400 ringgit.

Usai latihan itu, tidak perduli para pengagumnya berusaha mendekati dirinya, lelaki pemain barongsai segera menghampiri Tika yang duduk di tribun paling depan.

“Hebat kamu, Liem!”, cetus Tika ketika memberikan ucapan selamat. “Permainanmu sungguh-sungguh luar biasa. Semua kagum kepadamu, tapi aku justru merasa jantungku copot menyaksikan atraksi yang penuh dengan bahaya. Bagaimana kalau kakimu terpeleset? Perutmu pasti akan ditembus belati di bawa pilar-pilar itu.”

Tika menyeka keringat di muka lelaki itu. Nafas lelaki itu terengah-engah. Kausnya juga basah oleh peluh. Permainan itu benar-benar memerlukan konsentrasi, ekspresi dna sekaligus kehati-hatian dan menyita tenaga.

“Tidak usah khawatir, sebab permintaanku sudah dikabulkan manajer,” sahut lelaki itu dan menenggak air mineral yang diulurkan Tika.

“Apa permintaanmu?”

“Permintaan ini mengandung resiko tinggi. Aku minta jiwaku ditanggung asuransi.”

“Lalu kamu minta berapa?”

“Sepuluh ribu dolar. Jangan anggap jumlah itu sangat fantastis kalau dibandingkan resikonya adalah nyawa. Dan tidak hanya itu, Tika.” Lelaki itu berkata serius.

“Apalagi?”

“Kesepakatan kontrak sudah ditanda tangani dan kamu tahu siapa ahli waris bila terjadi klaim?”

“Tentu saja mama dan papamu atau salah seorang adikmu?”

“Tidak, Tika! Kamu yang akan menerima pembayaran klaim kalau terjadi sesuatu atas diriku di Malaysia nanti.”

“Akh, Liem. Kenapa harus aku? Bukankah mamamu lebih berhak dari aku?”

“Tidak! Yang lebih berhak adalah kamu.”

“Tapi kuharap kamu selamat dan menang, Liem. Begitu harapan semua pengagum dirimu yang luar biasa banyaknya. Aku tidak mengharapkan klaim asuransi itu.”

“Terima kasih, Tika.”

Sekali lagi Tika menyeka keringat di kening Liem, dikelopak matanya, juga dilehernya, lelaki itu merasakan kasih sayang Tika amat tulus dan teramat dalam.

***

P

esawat berbadan besar jurusan Kuala Lumpur itu sudah penuh. Hanya sebuah kursi yang masih kosong. Seluruh penumpang pesawat itu adalah orang-orang yang matanya sipit seperti umumnya warga China. Mereka sengaja mencarter pesawat itu menyaksikan Open Lion Dance Inivitation Championship yang akan berlangsung di Gelanggang Pusat Kesenian Gui Qing yang terletak tidak jauh dari Kuala Lumpur.

Manajer, para official, segenap pemain barongsai dan penabuh gendang serta alat-alat lainnya berangkat sekaligus. Juga bersama para seporter yang tidak tertampung di pesawat berbadan besar itu, terpaksa naik pesawat lain.

Tempat duduk yang masih kosong itu seharusnya untuk Tan You Liem, anggota teras pemain barongsai yang akan berlaga di kejuaraan itu dan akan berlaga dengan tim dari Malaysia serta China dan merupakan rival yang paling berat.

Hanya tinggal beberapa menit lagi pesawat itu tinggal landas, namun Liem belum juga tampak batang hidungnya. Lelaki itu masih bersama Tika dan tampak kecewa karena Tika tidak bisa ikut menyaksikan kejuaraan itu.

“Maafkan, aku tidak bisa ikut, Liem. Aku harus menghadapi meja hijau,” Tika berkata sejujurnya.

“Jangan kecewakan aku, Tika. Aku ingin sekali kamu ikut. Aku ingin kamu menyaksikan aku berlaga di kejuaraan itu. Kehadiranmu akan menambah semangatku untuk menang,” ujar lelaki itu penuh harap.

“Sekali lagi kumohon maaf. Pergilah bersama doaku. Yakinlah kamu akan menjadi juara!”

“Tidak! Aku akan kehilangan semangat. Aku akan kehilangan konsentrasi kalau kamu tidak hadir disana. Aku akan kalah dan ratusan suporter akan sangat kecewa dan mungkin juga akan marah kepadaku.”

“Tidak usah ragu, Liem. Ketika aku menyaksikan kamu latihan yang lalu, aku sungguh sangat kagum kepadamu. Dan semua yang menyaksikan penampilanmu merasa yakin kamu akan menang. Yakinlah kamu akan menang meskipun aku tidak hadir disana.”

“Aku akan bahagia sekali kamu ikut disana!,” sekali lagi lelaki itu memohon. “Haruskah aku mencuim ujung kakimu agar kamu mau ikut?”

“Tidak, Liem! Aku benar-benar tidak dapat ikut. Andainya kamu mengajakku pada saat lain, aku pasti akan bersamamu, apalagi ke Kuala Lumpur dan disana aku akan bertemu dengan orang-orang Melayu. Apalagi warga Melayu disini dengan warga Melayu di Malaysia masih mempunyai pertalian famili. Aku senang bertemu sesama rumpun Melayu.”

Tika masih sempat menyebut beberapa orang famili dari ibunya yang bertempat tinggal di Selangor, lalu ada lagi yang tinggal Shah Alam Darul Ehsan dan Johor Baru. Sementara keluarga dari pihak almarhum ayahnya di Bangi, tidak jauh dari University Kebangsaan Malaysia juga ada.

Sesama Melayu pastilah menjunjung tinggi semboyan”Tak Hilang Melayu di Bumi.”

Sudah lama Tika berkeinginan mengunjungi negeri jiran itu, bukan sebagai tenaga kerja,, tapi untuk mengunjungi famili, biar semakin akrab. Padahal mereka yang tinggal di Sumatera sudah sering melihat Danau Toba, air terjun Si Piso-Piso, atau mandi air panas di Haraggaol. Sementara Tika dan ibunya belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di negeri Hang Tuah itu.

Masih banyak lagi warga rumpun Melayu yang tinggal di negeri-negeri lain, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Thailand dan Madagaskar.

Dan sekarang Liem akan mengikuti Open Lion Dance Invitation Championship di Seremban, Kuala Lumpur. Sungguh merupakan perjalanan yang amat menyenangkan dan penuh kesan indah, bersama seorang lelaki yang amat disayanginya. Tentu mereka akan menikmati perjalanan ke Malaka dan menyaksikan teater Hang Tuah yang amat terkenal itu. Tentu mereka akan singgah di masjid negara dan melihat makam Tengku Abdurrazak, tokoh Malaysia yang amat dikagumi setiap orang Malaysia.

Tentu mereka akan jalan-jalan naik kereta gantung di Genting Highland. Masih banyak tempat-tempat indah di sana, seperti museum negara, menara kembar, taman burung, taman anggrek dan banyak lagi. Saudara-saudara pihak ibunya yang tinggal di Malaysia juga banyak bercerita tentang kesenian tradisional Melayu juga tetap dilestarikan, seperti Mak Yong dan Canggong. Terkadang terbayang di pelupuk matanya pemandangan indah ketika melintasi jembatan megah sepanjang 13,5 km yang menghubungkan Pulau Pinang dengan daratan Malaysia.

Atikah sendiri selalu mendengar teater tradisional Mek Mulung yang merupakan perpaduan seni tari, lakon dan musik. Atikah juga pernah mendengar busana yang dipakai oleh para pemain teater itu, berkain songket, memakai tengkolak serta ikat bengkung dan keris di pinggang.

Tentang tari tradisional Zapin, Tika juga tahu benar, bahwa seni tari itu berasal dari Arab Persia dengan iringan musik yang terdiri dari gambus, rebana, gendang dan marakas mengiringi lagu Lancang Kuning dan lagu-lagi Melayu lainnya.

Tapi sayang, pada saat Liem ikut kejuaraan barongsai kelas dunia di negeri Hang Tuah itu, Tika harus menghadapi dewan penguji yang sangat menentukan kelulusannya sebagai sarjana MIPA jurusan farmasi. Ia ingin segera lulus dan bekerja. Sebab alamarhum ayahnya sudah meninggalkan amanah, agar dia lulus pada waktunya. Lulus sebagai sarjana kemudian bekerja, itulah yang selalu ada dibenaknya. Dan itulah yang menyebabkan ia tidak dapat pergi bersama Liem meskipun lelaki itu sangat mengharapkan dan akan mencium ujung kakinya agar Tika mau ikut lelaki itu.

“Pergilah bersama doaku, Liem. Kamu akan menang!”, itualh pesan terakhir Tika ketika lelaki itu memeluknya dan menciumnya.

“Rasanya aku enggan pergi. Rasanya aku enggan tampil dalam kejuaraan ini. Aku kehilangan semangat tanpa kamu, Tika.” Ujar lelaki itu sebelum melangkah pergi ke bandara.

“Pergilah, Liem. Ratusan bahkan mungkin ribuan pengagummu sangat mengharapkan kamu jadi juara. Jangan kecewakan mereka!”

Lelaki itu melangkah pergi dengan lesu. Tika memperhatikan setiap langkah lelaki itu. Tidak pernah ia melihat lelaki itu melangkah lesu seperti saat itu. Padahal selama ini, tiap saat langkah lelaki pemain barongsai itu selalu tampak bersemangat, energik dan amat perkasa.

Bahkan, ketika harus hengkang dari rumah orang tuanya, langkahnya tidak tampak lesu, tidak tampak kesedihan menggurati wajahnya yang simpatik. Justru sekarang, ketika lelaki keturunan China itu akan berangkat ke Malaysia untuk ikut kejuaraan barongsai tingkat internasional itu, langkahnya tampak tidak bersemangat dan wajahnya tertunduk.

***

L

ebih seratus penumpang pasawat jurusan Kuala Lumpur itu merasa amat cemas, bukan karena khawatir pasawat itu mengalami kerusakan mesin ketika sedang terbang lebih dari 20.000 kaki di atas permukaan laut. Wajah-wajah seluruh penumpang pesawat itu muram dan gelisah karena cemas menunbruk gunung. Mereka cemas karena seorang lelaki yang diharapkan akan jadi juara festival barongsai antarbangsa itu tidak ikut dalam penerbangan itu.

Tidak ada artinya seluruh penumpang itu berangkat untuk menyaksikan kejuaraan itu kalau Liem tidak ada. Sebab mereka sangat mengagumi lelaki itu. Sebab lebih seratus orang dalam awak pesawat itu sangat berharap dalam kejuaraan antarbangsa barongsai itu Liem akan tampil dengan perkasa dan membawa pulang piala kejuaraan itu.

Seorang lelaki tua yang wajahnya penuh keriput namun sudah amat kecanduan nonton barongsai, apalagi yang namanya barongsai pilar, tiba-tiba berdiri dan berpidato:

“Saudara-saaudara, apakah kita akan berangkat tanpa Liem?”

“Tidak! Kita tidak usah pergi. Hati kita akan terluka kalau menyaksikan kejuaraan itu namun Liem tidak ikut.” Sahut salah seorang.

“Kalau demikian,satu-satunya jalan mari kita berdoa bersama-sama. Waktu hanya tinggal beberapa menit lagi. Dengan doa bersama, mudah-mudahan Liem akan terhindar dari segala rintangan dan segera naik pesawat ini bersama kita.” Imbau lelaki tua yang wajahnya penuh keriput itu. Selama ini lelaki tua itu adalah seorang pengunjung klenteng yang paling setia.

Lebih seratus orang penumpang yang umumya adalah keturunan etnis Tionghoa segera bersiap-siap untuk berdoa yang dipimpin lelaki yang wajahnya penuh keriput itu. Semua bersikap Pau Siem Pat Tik atau telapak tangan kanan terbuka diletakkan di depan ulu hati dan ditutup dengan telapak tangan kiri serta kedua ibu jari dipertemukan. Semua mengucapkan pengakuan iman, yanki Pat Sing Ciam Kwi atau delapan ajaran keimanan yang diyakini oleh kalangan orang Tionghoa. Dalam hati mereka juga berdoa agar Liem terhindar dari berbagai rintangan sehingga dapat berangkat bersama mereka.

Seperti sebuah keajaiban, doa itu terkabul. Dari arah terminal keberangkatan internasional, mereka melihat Liem berlari-lari.

“Liem datang! Liem datang!”, teriak salah seorang ibu penuh luapan kegembiraan. “Liem akan berangkat bersama kita. Dia akan menang! Menang!.”

Amat tergesa-gesa dan langkahnya amat perkasa lelaki itu menaiki tangga pesawat. Seorang nyonya tua yang selama ini amat mengagumi segera memeluknya.

“Selamat datang, Liem. Selamat datang. Kami gembira kamu hadir pada saat kami sangat cemas terhadap dirimu.”

“Maafkan saya sangat terlambat,” sahut lelaki itu.

“Kami baru saja berdoa untukmu! Syukurlah kamu datang. Kamu akan menang, Liem.” Terdengar ucapan salah seorang penumpang pesawat itu.

“Kalau kamu tidak berangkat, kami semua akan turun dari pesawat ini,” tambah salah seorang.

“Maafkan saya. Maafkan saya!”, itulah yang berkali-kali diucapkan Liem.

Hanya tinggal satu kursi yang kosong di pesawat itu. Semua sudah terisi. Hanya tinggal beberapa detik lagi pesawat itu akan tinggal landas menuju Kuala Lumpur. Tidak perlu mencari-cari nomor tempat duduk yang kosong. Hanya untuk Liem yang paling akhir menaiki pesawat itu. Ia menempati tempat duduk sesuai dengan nomor manifes yang ia miliki dalam tiket.

Lelaki itu baru saja merasakan kesedihan yang amat dalam ketika tidak berhasil mengajak Tika untuk bersama-sama berangkat ke Kuala Lumpur untuk menyaksikan festival itu. Sebab Liem merasa kehadiran Tika akan menambah semangat. Sebab lelaki itu merasa kehadiran Tika akan banyak memberikan dorongan untuk tampil maksimal dan menang. Tapi Tika memang tidak dapat pergi. Lelaki itu amat sedih.

Kesedihan masih membesit di rongga dadanya ketika ia sudah duduk di kursinya di pesawat itu. Tapi pemain barongsai itu kaget setengah mati pada saat ia menempati kursinya. Sebab disisinya dekat jendela pesawat adalah seorang gadis berwajah cantik dan amat dikenalnya.

“Selamat datang, Liem!”, sapa gadis cantik itu dan seulas senyum cerah terbentuk di bibirnya yang memang amat indah.

“Nio!”, nama itu segera tercetus dari celah bibir Liem.

“Aku memang sengaja cuti hanya untuk menyaksikan kamu bertanding di negeri orang. Aku ingin memberi semangat agar kamu menjadi juara. Kamu pasti menang, Liem. Karena aku disisimu!”

Liem hanya menghela nafas panjang. Demi Tuhan, dia tidak menduga seorang gadis yang pernah akrab dengannya, yang pernah dipeluknya amat erat dan bibirnya selalu dikecupnya dulu, kini tiba-tiba ada disisinya dalam pesawat yang akan menerbangkannya ke Kuala Lumpur.

Sesaat Liem menekur. Hatinya bertanya-tanya mengapa bisa terjadi Nio ada disisinya? Sama sekali Liem tidak tahu, bahwa semua memang sudah diatur sedemikian rupa oleh gadis karyawati bank swasta papan atas itu. Sebab Nio yang mengkordinir keberangkatan lebih dua ratus orang etnis Tionghoa itu untuk menjadi suporter pada kejuaraan barongsai pilar itu. Apalagi bank papan atas itu tempat ia bekerja ikut menjadi sponsor keberangkatan tim itu. Itulah sebabnya Nio mengaturnya agar Liem duduk berdampingan dalam pesawat itu. Apalagi lebih seratus orang pengagum Liem yang sangat fanatik ikut dalam penerbangan itu juga menginginkan Liem lebih akrab dengan Ong San Nio yang memiliki wajah cantik itu.

Banyak diantara pengagum Liem selalu melihat Liem makan berdua di restoran bersama gadis Melayu bernama Atikah. Bahkan para pendukung fanatik Liem selalu melihat lelaki itu duduk-duduk di pantai. Yang pernah melihat Liem piknik ke gunung bersama gadis Melayu itu juga ada. Apalagi yang melihat Liem bermain air di pemandian Sembahe bersam gadis Melayu itu juga tidak hanya satu dua orang, tapi amat banyak.

Tentu saja seratus penumpang pesawat itu yang semuanya adalah pengagum fanatik Liem, yang semuanya adalah keturunan Tionghoa, lebih senang Liem akrab dengan Ong San Nio daripada gadis berdarah Melayu itu. Semua ikut berusaha Liem kembali kepada kekasihnya yang pertama, Ong San Nio. Semua berharap suatu saat nanti, kalau Liem menikah tentu dengan Nio sesama keturunan China. Karena itulah semua berusaha agar dalam pesawat itu mereka duduk berdampingan. Biar hubungan yang pernah mengalami keretakan itu kembali terjalin amat indah.

Semua ingin Liem dan Nio kembali menjalin kasih sayang seperti dulu dan melupakan gadis Melayu itu. Mereka ingin dalam pesawat itu tangan Liem meremas-remas jari-jemari Nio yang lentik. Mereka pun ingin dipesawat itu Nio merebahkan rambutnya dengan kasih sayang. Semua penumpang pesawat itu menginginkan Liem dan Nio kembali meniti hari-hari yang indah dan suatu saat mereka menikah. Jangan sampai terjadi Liem menikah dengan gadis berdarah Melayu itu. Kasihan Ong San Nio dikecewakan Liem, padahal gadis itu amat cantik dan karirnya mapan.

“Kenapa terlambat, Liem?”, Nio membuka pembicaraan ketika terdengar deru mesin pesawat semakin keras dan pesawat itu mulai bergerak di landasan pacu.

“Tiba-tiba saja aku diare,” seenaknya lelaki itu berbohong padahal amat lama ia bersama Tika untuk mengajaknya ikut ke Kuala Lumpur menyaksikan festival antar bangsan barongsai pilar.

“Makanlah obat!”, Nio membuka tas tangannya dan ia memang selalu sedia obat diare atau pening kepala.

“Terima kasih, aku sudah mendatangi dr. Hoa karena itu aku terlambat.”

“Kami semua cemas.”

“Aku juga!”

“Jantung kami hampir copot memikirkan dirimu, Liem.”

Lelaki itu hanya tersenyum pahit. Pesawat itu sudah tinggal landas dan makin lama makin tinggi menembus awan tebal. Pramugari memperagakan alat-alat penyelamat andainya pesawat mengalami kerusakan mesin di udara. Tapi Nio tidak perduli, karena ia selalu asyik mengobrol bersama Liem yang memang selalu hadir dalam mimpi-mimpinya.

“Bagaimana keadaanmu selama ini?”, Liem bersikap pura-pura ramah padahal ia merasa lebih enak tidur di pesawat itu, tidur lelap daripada mengobrol dengan Ong San Nio. Pasti Nio akan banyak bertanya tentang dirinya, juga tentang hubungannya dengan Atikah.

“Baik-baik saja, namun aku selalu memikirkan dirimu.”

Lelaki itu membiarkan Nio menatapnya amat dalam.

“Kamu tidak pamit kepada gadis berdarah Melayu itu?”, terdengar lagi suara gadis itu.

“Sudah!”

“Kamu tidak mengajaknya ikut?”

“Dia sedang ujian. Ia ingin lulus pada waktunya.”

“Pastilah dia seorang mahasiswi kutu buku dan pintar!”

“Ya, dia amat kutu buku! Dia adalah gadis Melayu yang masih amat kental menjunjung tinggi adat dan budaya daerahnya. Dia adalah mahasiswa jenius. Sebentar lagi ia akan jadi apoteker.”

“Aku selalu melihat kamu bersama gadis itu.”

“Hanya sesekali.”

“Hatiku sebenarnya hancur, Liem. Hancur berkeping-keping. Kamu terlalu mudah terpengaruh.”

Lelaki itu hanya menunduk. Pramugari menawarkan minuman dan Liem memilih jus orange. Nio juga meminta hal yang sama.

“Pantas sikapmu menjadi dingin terhadapku. Kamu seperti gunung es yang diam dan beku.”

“Terus terang aku sedang memusatkan perhatian kepada bisnis,” lelaki itu berbohong lagi. Sikapnya terhadap Nio menjadi dingin karena dia tidak mencintainya, karena ia lebih sering merindukan Tika.

“Aku masih selalu menyebut namamu tiap saat, Liem. Bagiku hanya kamu yang selalu ada di hatiku dan amat sukar untuk melupakannya. Aku tahu, kamu sudah akrab dengan gadis itu, tapi hatiku selalu terbuka untukmu. Dan aku yakin kamu akan kembali kepadaku suatu saat.”

Liem hanya menghela nafas. Pesawat itu sudah amat tinggi, ribuan kaki. Yang tampak di bawah pesawat hanya laut biru. Pesawat itu sedang menyeberangi Selat Malaka. Kapal-kapal amat ramai di selat itu tampak seperti korek api, dan lebih kecil lagi.

“Aku benar-benar yakin, suatu saat kamu akan kembali kepadaku. Dan aku pun selalu berdoa untukmu. Aku selalu berdoa, dan yakin di dasar hatimu masih ada cinta terhadapku.”

“Masih banyak orang lain, Nio”. Lelaki itu berkata pendek.

“Tapi beda dengan kamu, Liem. Aku sangat menagumi kamu.”

“Orang lain mungkin memiliki lebih banyak keistimewaan. Pendidikannya, bisnisnya yang dimilikinya dan hal-hal lainnya.”

“Terlalu sukar untuk melupakanmu, Liem.” Tiba-tiba saja gadis itu meraih tangan lelaki itu dan meletakkan di atas jari-jemari tangannya agar lelaki itu meremas-remasnya seperti dulu.

Amat sukar bagi lelaki itu untuk berkata-kata, karena yang selalu hadir di benaknya adalah wajah Tika, bukan Ong San Nio. Lelaki itu hanya menekur. Bila ia meremas-remas jari-jemari tangan gadis tiu bukan karena kehendak hatinya, karena gadis itu menginginkannya, karena Nio yang meraih tangannya dan meletakkannya diatas jari-jemarinya yang lentik dan halus.

“Genggamlah jari tanganku erat-erat, Leim!”, pinta gadis itu manja.

Liem menggenggam jari-jari tangan yang mulus dan lentik itu.

“Yang erat, Liem!”

Lelaki itu menggenggam lebih erat.

“Lagi, Liem. Lebih erat lagi!”, pinta gadis bermata sipit itu lagi. Dan lelaki itu menggenggamnya lebih erat lagi. Tidak perduli penumpang lain menyaksikannya. Dan itulah yang diinginkan oleh semua penumpang itu, agar Liem dan Nio menjalin kasih sayang kemudian mereka menikah. Mereka akan merasa bangga dan ikut bahagia bila sang juara barongsai pilar tingkat internsional itu menikah dengan seorang gadis China pula. Bukan dengan gadis keturunan Melayu. Mereka akan bersama-sama pergi ke Lithang atau membakar hio dan bersimpuh. Mereka akan berdoa bersama-sama untuk kebahagiaan bersama pula.

Lebih seratus penumpang yang akan menjadi suporter kejuaraan barongsai pilar tingkat internasional itu tidak hanya berhadap, tapi juga berdoa semoga Liem melupakan gadis Melayu itu dan kembali kepada Ong San Nio yang memang amat mencintainya.

“Genggamanmu terasa dingin, Liem,” suara Nio pelan.

“Tidak sehangat dulu.”

“Pikiranku terkonsentrasi pada kejuaraan besok,” lelaki itu membohong lagi. Sama sekali tidak terpikir oleh lelaki itu tentang kejuaraan antarbangsa barongsai pilar di Seremban besok. Yang terpikir olehnya adalah tentang Tika yang sedang menghadapi meja hijau. Juga tentang semua famili dari pihak Tika yang tidak merestui hubungan mereka berdua. Juga terpikir oleh Liem sikap mamanya sendiri yang amat menentang hubungan itu. Sampai Liem tidak diakui sebagai anaknya lagi dan dia tidak mendapat warisan apapun dari orangtuanya. Hempasan badai itu datang dari berbagai arah, datang dari berbagai penjuru.

“Kamu sudah memikirkan jauh ke depan, Liem?”, Nio menatap wajah lelaki itu amat dalam.

“Memikirkan hal apa?”

“Tentu saja tentang hubunganmu dengan gadis Melayu itu. Persoalannya pasti segudang.”

“Ya!”, lelaki itu mengangguk dan tangannya masih menggenggam jari tangan Nio.

“Apakah ibunya memberi restu?”

“Pada awalnya tidak!”

“Sekarang?”

“Pintu dan jendela hatinya mula terbuka.”

“Famili yang lain?”

“Sulit untuk dipahami.”

“Lamu kamu sendiri banyak sekalu menghadapi hambatan, bukan? Mamamu amat menentang, bukan?”

Kata-kata itu hanya membuat kepala lelaki itu terasa amat pening, padahal dia harus menjaga kondisi tubuhnya agar selalu prima. Beban pikiran hanya akan menyebabkan ia kehilanhan konsentrasi. Hempasan badai yang datang dari berbagai penjuru menyebabkan ia akan mengalami beban mental. Mana mungkin seseorang dalam keadaan fit dan prima kalau mengalami pukulan mental.

“Mama memang sengat menentang,” lelaki itu berterus terang.

“Kalau mamamu menentang untuk apa hubunganmu dengan gadis itu berlanjut? Persoalan akan semakin kompleks kalau semua famili dari gadis itu juga tidak memberi respons yang baik.”

“Sudah, Nio. Jangan bicara tentang gadis itu. Hanya membuat kepalaku pening,” pinta Liem sungguh-sungguh.

Pramugari meminta semua penumpang kembali ke tempat duduknya masing-masing dan mengenakan sabuk karena pesawat akan melewati awan serta cuaca yang kurang baik.

Liem menarik tangannya dari tangan Nio untuk mengenakan sabuk pengaman, tapi justru Nio melarang.

“Tidak usah, Liem. Biarkan kita berdua tidak usah mengenakan sabuk pengaman,” terdengar suara gadis yang bermata sipit itu.

“Kenapa? Bagaimana kalau pesawat ini oleng?”

“Biarlah oleng. Biarlah pesawat ini jatuh!”

“Kenapa kamu berkata seperti itu, Nio,” lelaki itu menatap Nio dengan sikap lebih heran.

Nio diam dan terasa pesawat itu terguncang amat keras. Penumpang yang sedang berada di toilet sudah kembali ke kabin dan masing-masing sudah mengenakan sabuk pengamannya. Nio ingin agar Liem menggenggam sabuk pengaman di pesawat itu.

“Kenapa kamu jadi aneh, Nio!”

“Karena aku ingin mati bersamamu. Aku ingin kita mati dalam keadaan bergenggaman tangan seperti ini, tandanya kita saling mencintai, Liem.”

Liem hanya menghela nafasnya panjang. Cinta Nio terhadap pemain barongsai itu memang teramat dalam.

“Kalau mamamu tidak memberi restu. Kalau banyak famili gadis itu yang menentang, kendala akan semakin besar, Liem. Kesulitan dan benturan akan ada diman-mana. Juga hempasan yang amat keras. Suatu saat kamu akan menyesal, Liem. Ingatlah itu!”, terdengar lagi suara gadis China itu.

Liem hanya menghela nafas panjang. Sudah terlalu sering ia menghela nafas berat. Sudah terlalu sering ia menunduk.

“Jangan menunduk terus, Liem,” pinta gadis disisinya lagi.

Pelan-pelan lelaki itu mengangkat wajahnya. Ia melihat pramugari membagikan makanan ringan dan minuman.

“Pandanglah aku, Liem!”, gadis itu masih bersikap amat manja.

Liem memandangnya.

“Tataplah mataku, Liem! Tatapan matamu akan menembus hingga dadaku, menembus hati dan jantungku.”

Lelaki itu menatap bola mata Nio amat dalam.

“Liem....”

“Hmmmm,” lelaki itu hanya bergumam lirih.

“Kamu tidak ingin menciumku lagi seperti dulu? Kamu tidak ingin menikmati kemesraan dan saat-saat indah seperti dulu? Kamu tidak ingin menikmati hari-hari yang manis seperti dulu?”

Liem diam. Meskipun amat lama, meskipun amat dalam ia menatap gadis itu, tapi tatapannya kosong dan hampa. Sebab yang selalu hadir dibenaknya adalah wajah Tika yang sesaat lagi akan hadir menghadapi meja hijau.

“Cimlah aku seperti dulu,Liem!”, pinta Nio lagi. “Cium aku amat lama dan hangat.”

“Tidak mungkin, Nio” bisik lelaki itu.

“Kenapa tidak mungkin? Sudah lama kamu tidak menatapku amat dalam. Sudah lama kamu tidak membelai rambutku. Sudah lama kamu tidak memelukku. Sudah lama kamu tidak mengecup bibirku.”

“Penumpang amat banyak, Nio. Kita akan jadi perhatian meraka. Malu, dong.”

“Tidak harus malu!”

“Kenapa? Kita harus punya moral. Kita harus punya etika. Tidak sepantasnya aku mencium kamu di depan orang ramai.”

“Mereka semua mengerti.”

“Mengerti bagaimana? Banyak diantara mereka adalah orang-orang tua. Kakek dan nenek juga banyak.”

“Mereka benar-benar mengerti hubungan kita, Liem. Tanyalah satu demi satu, semua berharap dan berdoa kamu kembali kepadaku.

Semua menghendaki kita kembali seperti dulu, dalam suasana mesra dan manis. Mereka semua ingin kamu melupakan gadis berdarah Melayu itu dan kembali kepadaku. Itulah yang terbaik. Sebab merea tidak ingin kehilangan kamu, Liem. Kalau kamu menikah dengan gadis itu, kamu tidak akan main barongsai lagi.” Kata-kata itu amat meresap di dasar hati lelaki itu.

“Mereka sangat banyak, Liem. Mereka adalah pengagummu yang amat fanatik. Ratusan, bahkan ribuan orang sangat kagum kepadamu.semua berharap kita dapat hidup bersama. Dan masih banyak lagi orang-orang yang kagum kepadamu dan semua takut kehilangan kamu....”

Lelaki itu mendekatkan wajahnya, hingga bibir mereka berhimpitan.

“Ayo, Liem. Cium aku!”

“Malu kepada penumpang lain, Nio.”

“Lakukanlah, Liem. Cium aku. Mereka sangat memahami. Mereka akan berpura-pura tertidur.”

Masih sempat Liem menoleh ke arah penumpang lain dalam pesawat itu. Apa yang diucapkan Nio memang benar. Penumpang lain tertidur padahal baru saja mereka membaca koran. Pasti mereka pura-pura memejamkan mata, biar Liem bebas memeluk tubuh Nio dan mencium Ong San Nio. Lama dan hangat.

Lelaki itu mengecup sepasang bibir Nio, tapi hanya sesaat.

“Liem,” nama itu tergetar dari celah bibir gadis China itu. Amat pelan.

“Hmmmm.”

“Kenapa hanya sesaat kamu menciumku?”

“Malu kepada penumpang lain, Nio.”

“Mereka memejamkan mata. Mereka sengaja pura-pura tidur lelap agar kamu dapat menciumku lebih lama, seperti dulu. Mereka sungguh-sungguh ingin hubungan kita abadi. Jangan kecewakan harapan mereka, seperti halnya mereka ingin kecewa karena kamu gagal dalam kejuaraan barongsai nanti.”

Lelaki itu mendekatkan wajahnya lagi dan mencium Nio lebih lama. Bila liem ingin mendekatkan wajahnya, justru tangan Ong Sang Nio menahannya agar lelakii tu lebih lama memeluk dan menciumnya. Sebab sudah amat lama Nio merindukan dekapan lelaki itu. Sudah amat lama ia merindukan belaian lelaki itu. Sudah amat lama ia merindukan ciuman lelaki yang sesaat lagi akan berlaga pada kejuaraan antar bangsa barongsai pilar. Sebentar lagi lelaki itu akan menghadapi tim yang paling tangguh seperti Malaysia dan China yang sudah berkali-kali menyabet piala kejuaraan itu.

Lama Nio merasakan himpitan bibir lelaki itu. Hingga nafasnya terasa sesak. Tapi itulah yang ia rindukan selama ini. Dan penumpang lain masih tetap berpura-pura tidur lelap. Padahal mereka tidak mengantuk. Padahal mereka ingin memandang ke bawah, ingin memandang awan yang berarak dan kadang-kadang memang amat indah dipandang dari jendela pesawat.

Amat lama para penumpang pesawat itu pura-pura tidur untuk memberi kesempatan kepada Nio melepas kerinduannya. Mereka semua memang amat ingin seorang gadis yang mendampingi Liem sebagai teman hidupnya dan sebagai istrinya adalah Ong San Nio. Bukan gadis berdarah Melayu itu.

“Liem,” desis Nio lagi seperti tidak bosan-bosannya menyebut nama lelaki itu.

“Hmmmm”

“Setelah kejuaraan itu berakhir nanti, kita tidak usah buru-buru pulang,” terdengar lagi suara Nio.

“Aku justru ingin segera pulang.”

“Tidak usah, Liem! Tidak usah buru-buru pulang. Kita jalan-jalan dulu ke Malaka melihat peninggalan Portugis dan Nonton teater Hang Tuah.”

Liem tidak memberi reaksi. Sebab yang ada dibenaknya adalah wajah Tika. Kalau ia baru saja mengecup bibir Ong San Nio dilakukannya dengan sikap dingin, karena yang memintanya adalah Nio. Itu sebabnya ciumannya tidak sehangat dulu.

“Kita berkeliling Malaysia. Kita mendaki menara kembar, ke Genting Highland dan berdua naik kereta gantung. Kita bermain di pulau Pangkor dan Langkawi. Kita belajar main ski air disana. Kita juga dapat menyelam atau memancing. Kita akan melihat debur ombak yang amat indah di pulau itu ketika malam bulan purnama. Suasananya pasti sangat indah dan menjadi kenangan manis. Kita nonton teater Mak Yong.”

Lelaki itu hanya manggut-manggut meskipun tidak mengiyakan.

“Jangan lupa, kita nonton wayang China nanti, sebab di Indonesia wayang itu belum pernah tampil,” ujar Nio lagi.

“Suatu saat pasti ada nanti. Suatu saat nanti kita dapat menyaksikannya di Indonesia. Bukankah pemerintah sudah memberikan kebebasan kepada warga seperti kita untuk menampilkan seni budayanya?”

“Tapi aku ingin menyaksikannya disini, Liem. Bersamamu.”

Pesawat itu mulai menungkik. Penumpang diminta agar mengenakan sabuk pengamannya karena pesawat akan mendarat di bumi negeri jiran serumpun Melayu, Malaysia.

“Kita sudah sampai,” terdengar suara Liem ketika terasa roda-roda pesawat menyentuh landasan.

“Kita langsung ke Seremban,” sambut Nio lagi.

“Ya, aku harus latihan lagi. Aku harus menyesuaikan diri dengan tempat disana.”

“Tampillah dengan baik, Liem. Semua berharap kamu akan menang. Dan semua juga berharap kit selalu akrab kemudian kita menikah. Mereka pasti akan ikut bahagia.”

“Mudah-mudahan.”

“Semua berdoa untukmu.”

Lelaki itu tersenyum.

***

D

ari jauh sudah terlihat menara kembar yang menjulanh ke langit biru dan menjadi kebanggaan warga negeri Hang Tuah itu. Di jalan raya, di kampus-kampus, di bandar udara, di pasar, di bank, suasana Islami amat terasa dengan terlihatnya perempuan-perempuan muslimah mengenakan jilbab. Kaki tangan bank juga mengenakan busana muslimah, berjilbab dan mereka terlihat lebih cantik, lebih anggun.

Sama saja dengan kota-kota besar di Indonesia, Kuala Lumpur juga amat padat dengan kendaraan. Pada pagi hari dan jam istirahat kerja siang hari, jalan raya amat padat dan kemacetan terjadi di setiap ruas jalan. Tapi ada dimana-mana dan petugas disana benar-benar profesional. Jangan coba-coba memberi mereka uang tip atau uang sogok kalau anda tertangkap menerobos lampu merah atau salah jalan, hukuman anda justru semakin berat. Tidak pernah terjadi aparat negara mau menerima suap di negeri itu. Warga negeri jiran itu memang memiliki kesadaran dan nasionalisme yang tinggi, juga dalam hal disiplin sudah amat membudaya di setiap warga.

Itulah sebabnya tidak ada bus atau kereta sewa yang berhenti di sembarangan tempat. Menaikkan atau menurunkan sewa harus di terminal yang ditentukan. Kuala Lumpur memang benar-benar sebuah kota metropolitan yang amat tertib dan bersih. Di pelosok manapun disudut kota Kuala Lumpur, tidak akan ditemukan secuik plastik atau sampah. Apalagi puntung rokok sulit ditemukan orang. Gedung-gedung megah menjulang ke langit.

Warga negeri jiran itu adalah warga yang ramah dan mudah tersenyum kepada setiap tamu yang menjejakkan kakinya di kota itu. Tidak akan pernah tampak petugas parkir yang mengejar sopir apalagi sampai bertengkar, karena sudah disediakan kotak-kotak khusus untuk tempat membayar uang parkir tanpa ditunggu oleh petugas parkir.

Mobil proton produksi dalam negeri itu tampak amat banyak di jalan raya yang ramai. Kereta sewa juga banyak dimana-mana menjelajah pusat kota hingga ke pelosok. Toko-toko, bank-bank, gedung perkantoran semua sudah teratur rapi kerena memang ditata dengan baik. Tidak pernah tampak gedung perkantoran yang megah berlantai limah puluh lalu disisinya ada perumahan penduduk yang kumuh dan jorok.

Pusat kesenian Gui Qing pagi-pagi benar sudah dipadati oleh puluhan ribu orang yang ingin menyaksikan acara pembukaan festival antar bangsa kejuaraan barongsai pilar itu. Tidak kurang dari 30 tim dari China, Malaysia, Singapura, Hongkong, Thailand, Jepang dan Indonesia melakukan parade dengan membawa bendere dan lambang masing-masing tim.

Sambutan amat meriah ketika Liem dan rombongannya melewati tibune kehormatan. Sebab puluhan ribu penonton menyadari, bahwa barongsai pilar dan kesenian China lainnya baru beberapa saat tampil di depan umum. Mereka tahu selama lebih dari 30 tahun kesenian China dipasung oleh penguasa Indonesia di zaman itu. Puluhan ribu penonton menyadari, bahwa selama lebih dari 30 tahun, masyarakat China dibatasi ruang geraknya. Bahkan kepada mereka dianjurkan untuk menukar nama yang berbau China dengan nama-nam khas Indonesia. Apalagi aksara China dilarang sama sekali. Puluhan sekolah China ditutup. Sepasang kaki setiap warga China seakan dipasung pada saat itu. Tapi para konglomerat berdarah China justru jadi anak emas di pemerintahan.

Sekarang semuanya sudah diberi kebebasan. Kesenian barongsai pilar yang saat itu sedang melakukan difile juga baru beberapa saat didirikan namun penampilan mereka benar-benar mengangumkan. Suara gendang dan tabuhan lainnya yang mengiringi penampilan barongsai itu benar-benar serasi. Gerak topeng kepala singa yang buntutnya panjang dan kostumnya yang lebih dominan warna merah sungguh amat menarik. Tidak kurang dari 20 tim dari berbagai negar berguguran pada babak awal penyisihan.

Liem dan anggota tim lainnya merasa lolos dari lubang jarum setelah melewati babak penyisihan. Peserta Malaysia yang sengaja mengundang ahli barongsai dari negeri China untuk menjadi pelatih, sungguh merupakan rival maha berat. Apalagi tim China sungguh paling ditakuti.

Baru saja lelaki itu melepas topeng singa yang buntutnya amat panjang itu, seorang gadis cantik menghampirinya.

“Permainanmu tidak mengecewakan, Liem,” terdengar suara gadis cantik itu.” Semoga kamu dapat tampil lebih baik lagi pada semi final. Juga pada saat final nanti.”

Gadis itu memberikan ciuman di pipinya yang berkeringat.

“Terima kasih, Nio. Hari ini aku banyak sekali menerima dukungan moral.”

Gadis itu menyeka keringat di kening lelaki itu, juga di lehernya. Kostumnya sudah amat basah oleh keringatnya sendiri. Permainan barongsai pilar memang amat melelahkan dan penuh resiko. Tantangannya adalah kematian. Bayangkan betapa sulitnya meliuk-liukkan badan topeng singa itu dan memutar 180 derajar disamping itu harus seirama dengan pasangannya dibelakang. Bayangkan andainya pasangan di belakang terlambat melompatm pasti akibatnya fatal.

Ada perasaat kecut di hati lelaki itu pada saat menyaksikan penampilan tim Malaysia dan China yang benar-benar mengagumkan dan sulit untuk disaingi. Dan perasaan kecut itu terbaca di wajah lelaki kelahiran Lou A Yok itu.

“Tidak usah khawatir, Liem. Teruslah percaya diri dan tampil maksimal. Kamu akan menjadi juara,” seorang lelaki setengah umur yang selama ini menjadi pengamat budaya China menepuk bahunya.

“Permainan mereka sungguh amat bagus dn mengagumkan.” Cetus Liem yang tampak ragu-ragu.

“Kamu juga akan dapat mengimbangi penampilan mereka!”

“Saya akan berusaha untuk tampil prima!”

“Kami akan tetap memberikan dorongan. Tidak usah khawatir, lebih tiga ratus orang pendukungmu ada disini. Tidak usah was-was, amat banyak pengagummu yang sangat fanatik akan memberikan dukungan moral. Mereka juga berdoa untuk kemenanganmu, Liem.”

Liem hanya tersenyum. Sebentar lagi ia akan tampil pada babak semi final. Ia akan berjuang. Ia akan tampil prima. Ia akan tampil dengan perkasa. Ia akan tampil dengan segala daya dan upaya agar benar-benar dapat meraih kemenangan. Liem akan tampil dengan percaya diri.

Lelaki itu menenggak air mineral yang disodorkan Ong San Nio. Terasa amat nikmat karena permainan itu amat menguras tenaganya hingga bermandi peluh dan kehausan.

Sesaat itu termenung. Andainya yang memberikan air mineral itu adalah Atikah, pastilah akan lebih terasa nikmat.

“Aku akan lebih bersemangat kalau kamu ada disini, Tika,” lelaki itu berkata-kata sendiri. “Aku akan main lebih bersemangat kalau kamu ada disini, Tika. Aku akan main lebih perkasa kalau kamu ada disisiku. Doakan aku, Tika. Doakan agar aku membawa pulang piala kejuaraan seperti yang diharapkan ratusan orang penggemarku. Kuharap kamu baik-baik saja, Tika.”

Lelaki itu termenung. Lama lelaki itu berkata-kata sendiri, seperti berkata kepada angin yang berhembus atau berkata kepada awan yang berarak di langit agar menyampaikan pesan kepada seorang gadis yang saat itu sedang menghadapi ujian di kampusnya yang luas dan megah.

“Semoga kamu baik-baik saja, Tika. Aku akan cepat pulang. Aku tidak akan ikutNio hingga ke Malaka. Aku tidak akan ikut Nio ke pulau Pangkor dan Langkawi. Aku tidak akan memandang darai air di pulau itu kalau tidak bersamamu. Aku tidak akan nonton teater Hang Tuah kalau tidak bersamamu. Akupun tidak akan menyaksikan wayang China kalai hanya bersama Nio.”

Lelaki itu masih berkata-kata sendiri dalam hatinya. Lama lelaki itu termenung dan di pelupuk matanya terbayang wajah Atikah. Terbayang saat naik kereta gunung di Genting Highland yang hanya berjarak 50 km dari Kuala Lumpur yang terletak di ketinggian 1711 meter di atas permukaan laut dan udara pun amat sejuk 15 derajat celcius. Alangkah nikmatnya bila mendekap Tika di kamar yang dingin disana.

Akan halnya gadis berdarah Melayu itu baik-baik saja, Tika juga selalu menyebut nama lelaki itu. Tika juga selalu titip pesan pada burung-burung yang selalu terbang jauh, bahwa ia pun amat merindukannya. Tika ingin titip pesan kepada angin yang berhembus sepoi, bahwa ia telah dinyatakan lulus dengan predikat cum laude dan pada saat wisuda nanti Tika berharap Liem ikut hadir.

Tika juga mengatakan, bahwa ibunya saat ini sibuk memberikan pelajaran sholat kepada 30 mualaf di pesantren Al-Kautsar yang didirikan ustaz H. Mustafa dan ustazah Hajjah Nuraini dan pesantren itu dibangun di atas lahan tidak kurang dari 1 hektar di kawasan Deli Tua. Itulah yang amat membahagiakan ibunya.

Lama Tika berkata-kata dengan angin lalu. Tika tersenyum. Ia pun menatap awan putih yang berarak di langit dan berkata lagi:

“Keinginan ibuku akan terkabul, aku lulus pada waktunya kemudian bekerja dan menikah.”

“Hati-hati main disana, Liem. Jangan terlalu kau laksanakan dirimu untuk jadi juara kalau rivalmu terlalu berat. Mereka sudah sangat terlatih, sementara kamu baru saja beberapa bulan tampil.

Jangan samakan dirimu dengan tim Malaysia dan China yang sudah bertahun-tahun berlatih dan berkali-kali menjadi juara. Biarlah kalah namun kau pulang dengan selamat lalu hari-hari mendatang terus berlatih lagi lebih serius agar kau dapat main lebih baik lagi. Ada hal-hal yang kuinginkan darimu, Liem.”

Lama sepasang bibir itu bergetar pelan. Lama Tika berkata kepada angin yang berhembus semilir.

“Aku ingin kamu tidak hanya mahir dalam permainan barongsai pilar, tapi juga harus bisa menjadi pemain rebana yanb baik. Kesenian tradisional Melayu tidak boleh hilang di telan zaman, seperti halnya kesenian barongsai dan lainnya. Kamu juga harus pandai menari Serampang Dua Belas, Makan Sirih dan Kuala Deli. Aku yang akan mengajarimu nanti.”

Bahkan kepada angin lali, Tika melantunkan sebuah pantun Tapanuli yang amat populer dan amat lekat di kepalanya:

Dung do hita sitarak

Jolo sitangis podom-podom

Dung do hita marsarak

Jolo tangis anso modom

Pantun itu berarti seorang gadis yang amat merindukan seorang lelaki yang amat dicintainya. Gadis itu tidak dapat terlena dalam tidurnya kalau air maya berderai-derai karena perasaan rindu di hatinya.

Akhirnya Tika menengadahkan kedua telapak tangannya. Bibirnya berkumat-kamit lagi. Ia mengucapkan doa yang panjang, semoga Tuhan melindungi lelaki itu. Sebab Tika menyadari, bahwa pertandingan barongsai pilar amat berbahaya. Sebab pemainnya sambil mengenakan topeng kepala singa berbuntut panjang ia harus membuat putaran 180 dejarat lalu melompat ke puncak pilar yang tingginya dua meter dan terkadang tiga meter, sementara di bawah pilar itu ada pisau atau benda-benda lain yang runcing. Andainya terpeleset pisau runcing itu akan menembus dadanya.

***

S

orak-sorai dan tepuk tangan amat meriah ketika acara final kejuaraan itu dimulai dan tim yang tampil adalah tim dari Beijing lalu satu lagi tim yang dimainkna Liem dan sahabatnya, Hua.

Dukungan moral terhadap tim dari Beijing itu lebih meriah lagi karena jumlahnya yang amat banyak. Liem akan kehilangan semangat kalau ingat pendukungnya hanya sekitar tiga ratus orang. Apalagi Tika tidak ada disana.

Siapa yang mampu mengalahkan tim dari negeri tirai bambu itu karena kesenian tradisional barongsai memang dilahirkan dinegeri itu? Sudah ratusan tahun orang-orang negeri panda itu menyaksikan dan memainkan barongsai. Sementara Liem berlatih baru beberapa bulan. Hanya dengan semangat yang tinggi serta dukungan pada penggemarnya ia dapat tampil dengan perkasa, seperti pemain yang sudah lama terlatih.

Tapi kalangan pengamat kesenian barongsai itu menilai masa depan seni barongsai di Indonesia akan lebih baik. Apalagi suatu ketika seni barongsai dapat dijadikan salah satu aset pariwisata di Indonesia seperti halnya di Malaysia dan China.

Lima kriteria yang menjadi pegangan juri untuk menilai penampilan setiap tim benar-benar diperhatikan tim dari Beijing yang bermain amat memukau lebih dari seratus ribu penonton. Mereka meramu formula setiap gerakan dan yang sulit ditandingi adalah gerakan memutar 180 derajat lalu seakan terbang membuat gerakan meloncat ke atas pilar yang tingginya 2 meter. Keserasian langkah topeng kepala singa dan ekor benar-benar dijaga. Juga ekspresi, serta kostum yang memang dibuat oleh pakarnya.

Siapa yang dapat menyaingi kostum barongsai pilar asal China karena kesenian itu memang berasal dari negeri panda itu? Pasti dari segi kostum mereka adalah yang terbaik. Dalam hal sopan santun pemain, Liem tidak meragukan penampilannya. Dan peralatan musik yang mengiringi atraksi barongsai itu juga setara tim asal negeri panda itu.

“Kamu harus berbuat seperti mereka, Liem!”, bisik pelatihnya yang pernah berkunjung ke Shanghai dan mengenal seni barongsai pilar disana.”Kamu harus lebih lincah. Kamu harus lebih atraktif. Kita kalah dari segi kostum dan peralatan musik kita ketinggalan, tapi dalam hal akrobatik kamu dapat berbuat lebih baik dari mereka.”

Sang pelatih menekankan segi akrobatik kepada Liem, padahal pemain dari China itu memang disamping sebagai pemain barongsai andalan yang terlatih, juga pemain kungfu. Pantas penampilannya sungguh luar biasa. Mana mungkin Liem mampu menyaingi tim itu. Seba Liem tidak pernah belajar kungfu atau bela diri lainnya. Lelaki yang tinggal di kawasan Lou A Yok itu menjadi ragu-ragu. Ia merasa dirinya kecil. Dirinya tidak berarti apa-apa kalau ingat penampilan tim dari negeri panda yang amat memukau itu. Lelaki itu yang selama ini amat perkasa itu menjadi merasa rendah diri.

***

S

orak-sorai dan tepuk tangan kembali terdengar amat gemuruh ketika tiba saatnya Liem dan sahabatnya Hua, tampil sebagai peserta dalam babak final Oepn Lion Dance Invitation Championship itu. Suara gemuruh dan tetabuhan lainnya segera membahana.

Amat serius dan penuh konsentrasi terlihat di wajah Liem dan sahabatnya, Hua ketika keduanya sangat menjiwai gerak topeng singa berbuntut panjang itu di depan ratusan ribu penonton pecandu barongsai. Gerakan kedua anak muda itu membuat topeng singa yang menutupi hampir seluruh tubuh mereka seakan menari, meliuk-liuk seperti seekor singa yang lapar, marah dan mencari mangsanya. Gerakan itu seirama dengan gendang dan tetabuhan yang mengiringi penampilan mereka.

Gerakan memutar 180 derajat dan diiringi melompat adalah derakan yang amat dinantikan oleh ratusan ribu penonton yang amat fanatik.

“Ayo, Liem! Tunjukkan kebolehanmu!,” teriak para simpatisan Liem yang amat fanatik.

“Kamu harus membawa pulang piala itu!”, teriak yang lainnya.

“Kamu harus menang!”

“Kamu harus jadi juara!”

“Kalau kamu menang, kamu akan mendapat hadiah tiket ke Beijing selama dua minggu untuk dua orang!”, terika salah seorang pengusaha ritel yang amat fanatik.

“Jangan kecewakan kami, Liem!”

“Liem! Liem!liem! liem!”, nama itu bergema di gelanggang Gui Qing Seremban, bergema di langit Malaysia. Nama Liem cepat populer di negeri jiran itu. Lebih tiga ratus pengagum Liem mengacungkan tinju dan berteriak-teriak menyebut nama Liem.

“Kalau kamu menang, kami akan menaggung pesta perkawinanmu dengan Nio di hotel paling mewah!”, teriak salah seorang pengusaha di bidang otomotif. Penonton dari Hongkong dan Singapura banyak yang bertanya-tanya pemain barongsai yang memiliki masa depan yang cemerlang itu. Banyak yang bertanya tentang namanya, umurnya, pendidikannya, karirnya dan apakah masih bujangan atau sudah menikah. Semua penonton amat bersimpatik kepadanya.

“Ayo, Liem! Kalahkan mereka!”, teriakan Ong San Nio membakar semangat Liem.

Liem semakin bersemangat. Ia benar-benar ingin menang. Lelaki itu benar-benar ingin menjadi juara festival barongsai pilar tingkat antar bangsa itu. Ia benar-benar ingin membawa pulang piala yang berbalut emas murni. Ia pun sangat tertarik pada janji akan diberikan dua tiket ke Beijing selama dua minggu dan keliling negeri panda itu hingga ke tembok China yang amat terkenal itu. Ia pun masih sempat mendengar teriakan, bahwa ada seorang konglomerat akan membiayai pernikahannya di hotel paling mewah di Hongkong.

Gerakan 180 derajat sambil membopong topeng kepala singa yang cukup berat membuat ia kelelahan sementara amat banyak penonton membakar semangatnya. Tepuk tangan amat meriah ketika ia berhasil membuat loncatan ke atas pilar kayu.

“Hidup Liem! Hidup Liem!,” terdengar teriakan itu bergaung dan tidak henti-hentinya.

“Menang! Menaaaaang! Menaaaaaaang!” sahut yang lain sambil mengacung-acungkan tangan.

Ketika tangan Liem menggerak-gerakkan topeng kepala singa itu di atas pilar kayu, tiba-tiba bayangan wajah Tika muncul dibenaknya. Ia ingat pesan Tika untuk tidak terlalu memaksakan diri untuk menang. Ia ingat nasehat gadis berdarah Melayu itu untuk tidak terlalu ambisi menjadi juara karena rival dari Malaysia dan China memang amat sulit disaingi karena mereka memang sudah terlatih. Apa lagi pemainnya adalah pemain kungfu. Sudah pasti amat sukan disaingi karena Liem hanya memiliki semangat yang tinggi.

Tapi Liem sudah melanggar nasehat gadis berdarah Melayu itu. Keinginan untuk menang amat besar dalam hatinya. Keinginan untuk menjadi juara itu menggebu-gebu dalam dadanya. Keinginan membawa pulang piala kejuaraan yang paling bergengsi itu berapi-api dalam rongga dadanya. Apalagi ratusan pengagumnya makin bersorak-sorai seperti histeris.

Pada saat itulah ia teringat Tika yang sedang menghadapi meja hijau. Pada saat itulah ia teringat sanak saudara Tika yang tidak merestui hubungan Tika denga Liem. Pada saat itu pula muncul bayang-bayang mamanya yang sangat menentang rencana Liem untuk menikah dengan gadis berdarah Melayu. Terbayang keputusan mamanya, bahwa Liem tidak akan mendapatkan warisan apapun dari orang tuanya.

Lalu muncul pula bayang-bayang wajah seorang gadis bernama Ong San Nio yang sangat mengharapkan ia kembali kepada gadis itu dan melupakan Atikah. Semua menjadi satu dalam kepalanya.

Semua menjadi beban mental yang teramat berat. Liem seakan diterpa badai paling dahsyat, padahal ia sedang berada di arena kejuaraan barongsai tingkat internasional yang membutuhkan konsentrasi dan harus menjiwai permainan itu.

Tiba-taiba saja beban mental itu menyebabkan penyakit traumatik yang pernah dideritanya kambuh kembali dalam dirinya. Lelaki itu teringat kembali belasan bulan yang lalu ketika merayakan Cap Go Meh dan ia memainkan barongsai teramat baik di pinggir laut lalu ketika pulang sepeda motornya menabrak seseorang yang menyeberang jalan hingga tewas.

Liem mendadak teringat kembali ketika belasan orang dengan wajah brutal membakar sepeda motornya lalu menangkapnya dan berusaha membakarnya hidup-hidup. Betapa amat mengerikan.

Semua bayang-bayang yang amat menakutkan itu timbul kembali di benaknya yang menyebabkan lelaki yang selama ini amat perkasa mendadak kehilangan konsentrasi. Itulah sebabnya ketika dia membuat gerakan loncatan bertengger di atas pilar lainnya kaki kananya terpeleset.

Ribuan penonton berteriak ketika melihat pemain barongsi yang semula sangat energik dan penuh semangat serta amat perkasa itu terjatuh dari pilar kayu, sementara pisau-pisau runcing ada dibawah pilar-pilar kayu itu. Dada lelaki itu tertusuk ujung pisau hingga mengenai jantungnya.

Seni barongsai memang amat mengasyikkan tapi sekaligus amat mengerikan. Apalagi pada kejuaraan antar bangsa yang diikuti tim dari Singapura, Malaysia, Hongkong, dan China. Ribuan orang segera menyerbu ke tengah arena untuk melihat nasin pemain barongsai yang seluma amat gagah berani.

Lelaki muda itu segera ditandu ke rumah sakit, dan orang yang ada disisinya adalah gadis bermata sipit, Ong San Nio.

“Kenapa kamu tidak berhati-hati, Liem? Kenapa jadi begini? Kenapa? Kenapa?” Nio menatap amat mengharukan. Darah terus mengucur dari dada pemain barongsai itu dan lelaki itu semakin lemah. Luka didadanya menyebabkan darah terlalu banyak mengucur.

“Liem! Liem!”, Nio mengguncang tubuh lelaki itu amat keras ketika tubuh lelaki itu semakin lemah. “Kuatkan semangatmu, Liem.”

Lelaki pemain barongsai itu berusaha menggerakkan bibirnya namun kata-kata yang diucapkannya hampir tidak terdengar. Nio meletakkan kepala lelaki itu tepat di pangkuannya. Nio ingin bila memang lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terakhir lelaki itu ada di pangkuannya.

“Nio...”

“Aku ada disini, Liem. Kuatkan semangatmu.” Nio berkata-kata diantara isak tangisnya yang terus berderai.

“Aku akan pergi jauh sekali, Nio. Salamku untuk Tika...”

Sepasang bibir lelaki itu segera terkatub bersamaan dengan matanya yang juga tertutup dan tidak bergerak lagi. Seorang pemain barongsai yang gagah perkasa telah pergi teramat jauh. Jauh sekali. Dan tidak akan pernah kembali. Yang mengakhiri hidupnya adalah seni barongsai yang teramat dia cintai, sama seperti cintanya terhadap seorang gadis berdarah Melayu, Atikah.

Ratap tangis Ong San Nio amat mengharukan. Sayang lelaki itu pergi sebelum dia mengucapkan ikrar dua kalimah syahadat. Padahal saat itu sebuah pesantren khusus mualaf sudah di bangun cukup megah dan Bu Rahmah berharap Liem akan menjadi salah seorang santri yang akan belajar disana. Pada saat jenazahnya dikuburkan, aromah hio bergagang merah menyebar di rumah duka, juga menyebar hingga ke langit biru.

Disisi peti jenazah pemain barongsai itu, amat lamat Atikah termenung dan air matanya berderai-derai. Sepasang bibirnya yang tipis bergetar lirih melahirkan puisi-puisi tentang kematian.

Ia penghubung antara dunia saat ini dengan dunia yang akan datang.

Ia sumber mata air, darinya semua jiwa yang harus boleh minum.

Ia adalah pohon yang diari oleh sungai keindahan,

Menghasilkan buah yang dicari oleh hati yang lapar;

Ia adalah burung bulbul yang menentramkan jiwa tertekan

Dengan lagunya yang indah;

Ia adalah mega yang memenuhi cakrawala,

Membumbung tinggi dan bergumpal padat hingga memenuhi langit.

Lalu ia akan jatuh di atas bunga-bunga di ladang kehidupan,

Membuka kelopak bunga-bunga tersebut agar dapat menerima cahaya.

Ia adalah malaikat,

Yang dikirim oleh Tuhan untuk memberikan ayat-ayat Tuhan;

Ia adalah lampu yang menyala terang,

Yang tak terkalahkan oleh kegelapan dan tak terpadamkan oleh angin.

Lampu yang diisi dengan minyak oleh cinta Ishtar, dan dinyalakan oleh musik Apollon.

Ia adalah sosok yang tenang,

Berjubahkan kesederhanaan dan kebaikan;

Ia duduk diatas pangkuan Alam

Untuk menggambarkan inspirasinya,

Dan tetap terjaga dalam kesunyian malam,

Menunggu turunnya jiwa.

Ia adalah seorang penabur

Yang menaburkan biji-biji dalam hatinya di ladang kasih sayang,

Dan manusia menuai panenan untuk makanannya

Dia yang pergi jauh yang tak terhiraukan oleh orang-orang dalam hidup ini,

Dan yang dikenali setelah ia mengucapkan selamat tinggal pada dunia

Dan kembali ke tempatnya untuk bersemayam di surga.

Usai membaca puisi yang ditulis Khalil Gibran, seorang sastrawan berkebangsaan Lebanon yang hidup antara tahun 1883-1931 itu, Atikah merasa kehilangan kekuatan dalam dirinya karena air matanya terlalu banyak berderai seperti hujan lebat yang tercurah dari langit, mengguyur rumput-rumput yang kering dibakar musim kemarau panjang.

Seorang lelaki yang amat perkasa telah pergi jauh meninggalkan kesenian barongsai yang amat dicintainya dan juga orang-orang yang sangat dicintainya, mama, papa, segenap kerabat dan dua orang gadis berwajah cantik, Nio dan Atikah.

Semerbak hio bergagang merah terus menyebar kemana-mana, hingga ke langit biru bersama roh lelaki itu yang membawa pernak-pernik puisi yang teramat indah dan manis dalam kalbunya.

***

Teramat sulit bagi Atikah untuk memejamkan mata bila malam tiba. Sepanjang malam dia tidur amat gelisah. Sesaat ia miring ke kanan sesaat kemudian dia miring ke kiri. Yang tampak di pelupuk matanya adalah bayangan lelaki keturunan china pemain barongsai itu. Tampak lelaki itu amat gagah dan perkasa memainkan kepala singa dengan iringan musik khas tetabuhan china. Juga tampak ratusan orang memberikan aplaus dan tepuk tangan yang amat meriah penuh rasa kagum. Amat banyak orang – orang mengagumi lelaki muda bermata sipit itu. Amat banyak oramg –orang yang merasa kehilangan dirinya. Juga atikah merasa kehilangan sekarang. Malam pun semakin larut , tak ada suara apa – apa di luar rumah selain nyanyian jengkrik dan gemersik daun – daun pohon jambu di belai angin yang berhembus sepoi. Malam pun terasa amat sejuk dan dingin. Bintang – bintang gemerlapan di langit.

Bila Atikah menatap langit – langit kamarnya yang tampak seperti hamparan pantai yang amat luas. Banyak orang berkumpul di sana dan mereka tak perduli kaki mereka terendam air laut yang mulai pasang. Mereka juga tak perduli angin yang berhembus giris dan dingin. Mereka sedang menyaksikan atraksi barongsai dan salah seorang pemainya adalah Tan You Liem. Tapi saat itu lelaki china itu tidak bersemangat seperti amat letih. Lelaki itu tampak telah kehabisan tenaga. Lelaki itu berjalan ke arah laut dan semakin lama makin jauh ke tengah samudera sementara ombak laut kian besar bergulung – gulung. Tetabuhan yang mengiringi atraksi barongsai itu makin perlahan dan akhirnya tidak terdengar lagi. Yang terdengar sayup – sayup adalah musik yang berirama sendu.

Burung – burung elang tidak lagi terbang tinggi tapi berusaha mendekati lelaki bermata sipit itu seperti untuk menyelamatkanya dari gelombang laut yang semakin besar.

Kemudian angin pun berhenti berhembus seperti ikut menahan untuk menghentikan gelombang laut. Awan putih yang berarak di langit tiba – tiba seperti turun kepermukaam laut untuk menghempang ombak.

Pada saat itu di antara alunan musik yang terdengar perlahan seperti ada seseorang yang membaca puisi.

Bila kematian itu manusia

Yang dapat kupeluk erat-erat!

Aku akan mengambil darinya jiwa yang bersih

Dan tak berwarna;

Dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna

Hanya itu

Lihatlah, aku telah banyak mencoba dan mencari

Dimana-mana

Tetapi tak pernah kutemukan seorang sahabat

Seperti dirimu

Aku telah mencoba setiap pancuran, setiap butir anggur

Tetapi tak pernah merasakan kenikmatan minuman anggur

Semanis dirimu.

Tana disadari pipi Atikah basah karena derai air matanya mendengar alunan puisi yang ditulis oleh Maulana Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi berkebangsaan Arab. Tampak di depan mata Atikah perlahan sekali tubuh lelaki pemain barongsai itu tak berdaya ditelan gelombang laut, hingga ke dasarnya.

Atikah tersedak dan mengusap dada.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar