Selasa, 31 Mei 2011

Puisi YS Rat

DOA SEBELUM USAI

Allah, telah Kau ingatkan. Kami
pun sempat mengingatnya. Selebihnya entah
apa. Sekarang pastilah Kau saksikan
beginilah kami. Gelimang darah banjiri
sawah ladang yang Kau hampar
seluas ikhlas. Diretas nyawa sesama
tak sanggup kami menghitung jumlahnya
Suami menjadi duda. Istri dirundung
pilu menjanda. Orang tua merindu
anaknya. Anak-anak meratapi kesendiriannya
adalah sesak yang tak ada
habisnya. Allah, sebelum usai kami
percaya kerelaan-Mu. Mohon ingatkan lagi
kami tak berulang lupa semua
adalah saudara tak ada lain
kecuali kepada-Mu. Allah, maka hari
ini segala apa kami lakukan
Kaulah memberinya keindahan selamanya tanpa
peluru mengganas tanpa darah membuncah
kembali sawah ladang bertebar rezeki
Allah

- 10 Januari 2011, Medan



WAJAH YANG TERSENYUM

Tinggal potret di dinding kamar
lelaki mungil dengan mata bening
dan petak sawah di belakang rumah
yang kini tak lagi melahirkan padi
tapi aku selalu mengingatnya
itulah yang selalu membuatku tak suka pulang
ketika Ibu memanggil untuk makan siang

Begitulah aku Ibu

Saat matahari diam-diam pergi
diam-diam pula aku menyelusup
tanpa mengetuk pintu
kau hanya menemukan di ember cucian
baju dan celanaku penuh lumpur dan debu
dan ketika kau tau aku sembunyi di balik pintu
cepat aku membela diri;
bukan aku yang membuat baju dan celanaku
sekotor itu
tapi kawan-kawanku yang nakal memaksaku ikut
bermain!
kami bermain bola dan menangkap ikan,
kataku dengan wajah ketakutan
Ibu nenatapku;
besok aku tak akan mengulanginya,
janjiku tanpa kau minta
tapi setiap kali metahari memanggil
dan ketika petang sampai di rumah
kembali baju dan celanaku
bergambar lumpur dan debu
kau pun kembali menatapku

Begitulah aku Ibu

Sebagai lelaki
dan ketika langkahku terasa semakin kuat
diam-diam aku ingin berjalan sendiri
kubiarkan kau menatapku di depan pintu
dengan bimbang
Ibu
aku tau kau merasakan
di perjalanan aku selalu terjatuh membentur batu
tapi aku yakin kau pun tau
itu membuatku semakin berani
dan tak mau pulang tanpa alas kaki

Inilah aku Ibu

Jauh darimu teringat lagi
jalan sempit di samping rumah tetangga
ketika aku dan kawan-kawan
setiap malam melintasinya
pergi dan pulang mengaji
Ibu
kenangan itu selalu kuingat
dan membuatku mengerti
kalau saja dulu tak kuturuti perintahmu
lantas aku ikut dengan kawan-kawan
yang selalu pergi dan pulang sama
tapi tak masuk ke dalam terangnya rumah pak guru
malah bersembunyi di rumah tetangga
nonton tivi yang waktu itu cuma ada satu
di kampung kita
pasti sekarang aku entah ada di mana
Ibu
karena sekarang aku semakin mengerti
arti tatap matamu dulu
aku malah tak tau bagaimana membalasnya
sedang potret di dinding kamar masih seperti dulu
lelaki mungil dengan mata bening
yang tak pernah bosan aku menatapnya
dan kepadanya selalu bubisikkan ;
lihatlah wajah Ibu
dia tak bosan tersenyum dan menatap kita
karena kita selalu saja membuat kesalahan
yang tak diingininya
Ibu

- 11 Februari 1989, Medan


LELAKI EMPATPULUH LIMA

Empatpuluh lima ke depan
dihitung setiap langkah
lelaki membakar unggun
di bawah tiang perkasa
atasnya merah putih membelah awan
Indonesia Raya menggema dari sudut
perkampungan
Indonesia Raya membahana ke tengah-tengah kota
ada padi rata ke tanah
ada debu rata ke wajah

Empatpuluh lima ke depan
terus menggunung hitungan
lelaki sudah jauh melangkah
luka bekas peluru di pundak
tetap saja tak berbalut
Indonesia Raya telah fasih dinyanyikan
Indonesia Raya berulang diajarkan generasi ke
generasi
masih juga banyak yang lupa
masih saja banyak yang luka

Lelaki empatpuluh lima adalah dia
sambut kemerdekaan tancapkan tiang
pada tiap jejak kelahiran
merah putih atas kepala kian gagah
nyala unggun makin menjulang
luka bekas peluru di pundak
sudah tak ada obatnya

Nyala unggun menjilat langit
di bawah tiang perkasa
atasnya merah putih membelah awan
lelaki empatpuluh lima kembali
duduk tafakur di tanah kelahiran
ditulis syair lagu perjalanan
persembahan bagi negeri tercinta

“Di sinilah aku tengadahkan kepala
lelaki empatpuluh lima
luka di pundak penuh lalat
di sinilah aku kembali dari perjalanan
membawa catatan tak sepadan
tentang luka di mana-mana
lelaki empatpuluh lima
nasib tak sepadan baktinya”

- 2010, Medan





KUKIRA KALIAN ENTAH SIAPA,
RUPANYA KALIAN ENTAH SIAPA
(yang berebut duduk di gedung rakyat)

Kukira kalian entah siapa
tak pernah ada suara langkah
melintas pun tak pernah
tiba-tiba saja telah berdiri
di bawah payung seluas tak terhingga
tak berkeringat padahal matahari
menembus melelehkan aspal jalan
sekeliling kota
yang di bawahnya tertimbun
segunung keringat
sebelantara napas
selangit tangis
selaut manusia yang punya
Melangkah di lantai tak berdebu
terlihat gamang seperti penari
tak mengerti hitungan ke berapa
kaki diayunkan mengikut irama musik
gagap pula tangan
menyambar handphone di saku kemeja
nada panggil menyentak-nyentak
bingung pula ke telinga mana didengarkan
panggilan pertama yang entah apa dikatakan
tanpa pikir dijawab saja ;
“ya, ya, baru saja sampai!”
“oh, gedung ini?”
“wah, siapa pun betah!”
“pasti ingin selamanya di sini!”
Kemudian nada panggil seakan
tak mau berhenti
kemudian aku mengerti
rupanya kalian entah siapa

- 25 September 1999, Medan


















SECUIL PERANG

Lihat!
secuil perang meletup
di ubun-ubun

Matahari
bulan
bintang
panas
debu
mendung
hujan
datang dan pergi
pada Allah
lihatlah!

Hai!
secuil perang meletup
secuil perang

Matahari
bulan
bintang
panas
debu
mendung
hujan
ada dan diam
pada Allah
lihatlah!

Lihat!
hai!
secuil perang meletup
di ubun-ubun
secuil perang meletup
secuil perang
cuma secuil
perang!

- 20 Desember 1989, Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar