Selasa, 31 Mei 2011

Saripuddin Lubis

Apa Kabar Sastra Anak?



Kita akan mulai tulisan ini dengan bertanya: sastra anak itu apa? Sastra untuk anak atau sastra oleh anak. Definisi ini penting diluruskan agar tidak salah memahami sastra anak.

Jika tidak benar justru akan berakibat kurang baik untuk perkembangan jiwa anak itu sendiri. Bukankah belakangan ada juga orang-orang dewasa yang menulis cerita untuk anak tanpa memberi ruh ceritanya sesuai perkembangan jiwa anak. Yang ditampilkan justru pemikiran-pemikiran mereka sendiri yang notabene dipenuhi konflik atau persoalan-persoalan hidup yang ‘kurang pantas’ dibaca anak-anak.

Sastra anak dapat didefinisikan sebagai sastra yang ditulis oleh orang-orang dewasa atau anak-anak. Kurniawan penulis buku sastra anak mengemukakan sastra anak harus mengacu kepada kehidupan cerita yang berkorelasi dengan dunia anak-anak (dunia yang dipahami anak) dan bahasa yang digunakan sesuai dengan perkembangan intelektual dan emosional anak (bahasa yang dipahami anak-anak). Karya sastra anak boleh ditulis dan dibaca oleh anak-anak juga orang dewasa, asalkan tetap mengacu kepada dunia dan bahasa anak.

Mari sama kita lihat sebuah kutipan cerita anak tulisan Robby Irwansyah berikut ini. Apakah sudah bisa membawa pesan definisi di atas. Mau protes dan melakukan aksi demo? Bantal, guling, selimut dan sprei tempat tidur pernah berpikiran untuk melakukannya. Tapi, itu adalah hal yang mustahil. Karena Dita tak akan bisa mendengar perkataan mereka. Akan tetapi, para penghuni kamar hanya bisa mengelus dada dan mendo’akan semoga Dita berubah dan punya niat untuk membersihkan dan merapikan kamarnya.

Jika kita lihat kutipan di atas Irwansyah sebenarnya telah menampilkan sebuah kisah yang membawa anak berfantasi. Personifikasi Bantal, guling, selimut, dan sprei akan memberi ruang kepada anak berkelana ke dunianya – dunia fantasi. Kita tentu teringat dengan kisah-kisah Oki dan Nirmala dalam Cerita dari Negeri Dongeng, si Bona, Deni si Manusia Ikan, dan beberapa kisah fantasi lain.

Dari kata protes dan melakukan aksi demo, apakah bahasa ini sudah baik diperkenalkan kepada anak-anak? Apakah hal itu bernilai pendidikan? Apakah demo dan protes itu sudah menjadi kebutuhan anak yang belum dewasa? Atau sebaliknya malah (hanya) untuk kepentingan/ kebutuhan orang dewasa? Taylor (2005: 99) mengungkapkan, penghalang terbesar bagi perkembangan seorang anak yang berprestasi dan bahagia terjadi ketika Anda mencuri hidup anak Anda untuk memenuhi kebutuhan Anda sendiri. Atau mungkin kita setuju penggunaan kata itu dengan alasan: mereka (anak-anak) juga perlu tahu? Atau (mungkin) dengan alasan lain bahwa kata demo dan protes sebagai bagian dari demokrasi perlu diajarkan sejak dini?

Kita baca karya Detertista Miranti Putri, 6,5 tahun lain dari buku Mursini (2010: 85) berikut ini. Burung Kecilku Burungku janganlah pernah mati/ Aku ingin kau sehat selalu/ Wahai burung kecilku/ Aku akan menjaga dan merawatmu/ Burung kecilku/ Aku selalu rindu padamu/ Jangan menangis/Tetaplah terbang tinggi/Burung kecilku/ Aku selalu menyayangimu

Tema dan sajian puisi di atas cukup sederhana. Putri bercerita tentang apa yang dekat dengan dirinya. Dari apa yang dilihatnya atau mungkin dari apa yang diimajinasikannya. Begitulah memang, sastra anak identik dengan kesederhanaan. Kesederhanaan itu justru memiliki pendidikan yang baik bagi dunia anak-anak itu sendiri.

Jadi yang tidak boleh dilupakan adalah manfaat karya sastra yang salah satunya dapat membentuk manusia-masnusia berkarakter dan berakhlak mulia. Saini KM dan Sumarjo mengatakan kalau karya sastra dapat menolong pembacanya menjadi manusia berbudaya (cultured man). Manusia berbudaya adalah manusia yang responsif terhadap apa-apa yang luhur dalam hidup ini. Manusia yang senantiasa mencari nilai kebenaran, keindahan, dan kebaikan.

Sastra Anak di Medan

Bagaimana dengan perkembangan sastra anak di Kota Medan? Penulis cerita anak di kota Medan cukup banyak. Nama-nama yang sering menulis cerita anak adalah mereka yang juga menulis cerita pendek dan esai sastra. Nama-nama itu misalnya Darwis Rifai Harahap, Syaiful Amri, Mastar Muham, Rina Mahfuzah Nasution, T. Sandi Situmorang, Robby Irwansyah, Haya Aliya Zaki, Novianti, Sukma, A. Rahman M dan banyak lagi. Beberapa karya di antaranya bahkan sudah diterbitkan, misalnya karya Si Kembar (Haya Aliya Zaki, Penerbit Mizan 2005), Si Otan dan Teman-Temannya (Novianti, Depdiknas 2008), Pohon Asam yang Seram (Win RG, Format Publishing Medan, 2011), dsb.

Jika ditinjau dari sudut pandang kepenulisan, produktivitas tulisan anak di kota Medan masih cukup rendah. Atau malah dapat dikatakan sangat langka. Kepenulisan sastra anak masih didominasi oleh orang dewasa. Ruang untuk penerbitan di surat kabar sebenarnya cukup terbuka untuk aktivitas kepenulisan anak. Masalahnya hanya pada kualitas (layak muat) karya yang ditulis para penulis anak.

Sebenarnya di mana hambatan perkembangan kepenulisan anak-anak ini? Pertama tentu saja pada pembelajaran sastra untuk anak. Dalam hal ini dunia sekolah harus bertanggung jawab. Sudahkan pembelajaran menulis dan sastra di sekolah-sekolah rendah dilaksanakan? Sebuah pertanyaan yang cukup miris. Perhatian untuk pembelajaran menulis masih sangat rendah. Secara umum pembelajaran menulis di sekolah-sekolah rendah di kota Medan dan sekitarnya masih belum memenuhi harapan. Hal ini (malah) mungkin berlaku untuk wilayah Nasional untuk semua tingkatan satuan pendidikan.

Mari kita bandingkan pula dengan Negara tetangga kita Malaysia. Di sana setiap siswa diwajibkan menghasilkan sebuah tulisan sebanyak lima ratus kata (3 ½ halaman ketik kuarto) per sekali pertemuan, dalam seminggu ada dua kali pertemuan.

Itu baru persoalan karya. Bagaimana pula dengan apresiasinya? Apresiasi sastra juga dapat diperoleh melalui pembelajaran sastra. Pembelajaran sastra pada akhirnya harus sampai pada titik penghargaan anak terhadap karya sastra tersebut. Selain itu muncul pula penghargaan terhadap para pengarangnya. Rosenblatt dalam Gani menegaskan, pembelejaran sastra melibatkan peneguhan kesadaran terhadap sikap etik. Hampir mustahil membicarakan cipta sastra seperti novel, puisi, atau drama tanpa menghadapi masalah etik dan tanpa menyentuhnya dalam konteks filosofi sosial siswa. Tanpa menghadapkan siswa pada masalah kehidupan sosial yang digeluti sepanjang hari di tengah-tengah masyarakat yang dihidupi dan menghidupinya.

Hal ini tentu tidak berlaku bagi pembelajaran sastra di sekolah saja. Sedapatnya hal ini juga dimaknai oleh semua kalangan yang memiliki komitmen terhadap perkembangan sastra anak. Dengan demikian pembelajaran sastra sangat strategis digunakan untuk mengembangkan kompetensi dan kecerdasan spiritual, intelektual, dan emosional si anak.

Selain para guru di sekolah, masyarakat (termasuk para penulis) juga dapat memberi peran lebih selain sekadar berkarya semata. Mereka dapat melakukannya melalui komunitas-komunitas sastra. Selama ini komunitas sastra memang sudah tumbuh dan berkembang di masyarakat kita, namun masih sangat sedikit yang menyentuh segmen anak-anak. Kalaupun ada masih dilakukan secara setengah-setengah. Atau kata Yulhasni kehadiran komunitas sastra di Sumut yang tidak memiliki ide baru itu.

Wahai ‘Komunitas Sastra’ Total Action-lah!

Cukup banyak berdiri komunitas sastra di kota Medan. Komunitas itu antara lain: Laboratorium Sastra (Labsas), Omong-Omong Sastra (OOS), Komunitas Garapan Pemuda Tahan Lapar (GARPUTALA), Komunitas Home Poetry (HP), Komunitas Mahasiswi Pecinta Sastra Indonesia (KOMPENSASI), Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya (KOMA), Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK), Komunitas Penulis Muda Sumatera Utara, Komunitas Poeisi Universitas Negeri Medan (KOMPOEI Unimed), Komunitas Sastra di Sumut, Komunitas Sastra Indonesia (KSI), Komunitas Tanpa Nama (KONTAN) Unimed, belakangan muncul lagi Rumah Kata. Dari wilayah sekolah patut juga diapresiasi kemunculannya seperti Enceng Gondok (SMA 4 Medan), Bianglala (SMA 1 Binjai), Rumput Hijau (SMA 2 Binjai), Rumpun Padi (SMA 6 Binjai), lalu SMA Harapan 2 Medan, SMA 3 Medan, MAN 1 dan 2 Medan, SMK Percut Sei Tuan dan beberapa nama lain yang selama ini berusaha menggeliat.

Agaknya melalui komunitas sastra ini (juga) dapat dijadikan sebagai ladang bagi anak-anak berlatih mengolah potensi mereka agar tumbuh subur. Melalui komunitas ini keterampilan mereka dilatih semaksimal mungkin. Selain bakat, menulis lebih utama adalah persoalan latihan. Mahayana bahkan menyatakan, menulis tidak ada hubungannya dengan bakat. Menulis adalah kegiatan keterampilan. Demikian pula dengan pendapat Alwasilah yang menyatakan, penguasaan keterampilan menulis hanya dimungkinkan dengan banyak berlatih. Bukan dengan penjejalan teori-teori menulis.

Kita tentu saja merasa iri sekaligus bangga melihat teman-teman di Jawa yang sudah melakukan pembinaan serius terhadap penulis-penulis cilik ini. Kita lihat apa yang dilakukan oleh Penerbit Mizan. Penerbit ini lewat programnya yang diberi nama Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) yang dimulai karya Izati dan Abdurrahman Faiz setidaknya kini sudah ada 90 anak yang bergabung. KKPK pun telah menorehkan 100 terbitan buku. Bahkan lagi pada awal Juni 2010 lalu penulis cilik ini telah mengadakan Kongres Penulis Cilik di Kementrian Pendidikan Nasional di Jakarta.

Terus melakukan pembinaan terhadap penulis-penulis muda adalah Asma Nadia. Dia bahkan sudah mengelola pelatihan menulis ini secara profesional. Secara berkala beliau melakukan roadshow keliling Indonesia dengan menggandeng beberapa komunitas sastra di daerah termasuk penerbit-penerbit besar. Asma Nadia pun terus melakukan penerbitan buku yang ditulis anak-anak, termasuk anak beliau Adam Putra Firdaus. Adam saat ini paling tidak telah menerbitkan sebelas buku anak-anak. Dalam penuturannya, Adam dan Asma Nadia berujar bahwa aktivitas menulis adalah latihan. Makin banyak latihan menulis, akan semakin terampil lah kita dalam menulis.

Teman-teman komunitas sastra di Medan sebenarnya sudah ada yang melakukan pembinaan terhadap penulis-penulis cilik ini, namun dentumannya masih dilakukan secara sporadis. Pembinaan masih dilakukan secara individual, yang dilakukan masih sangat sedikit menyentuh segmen anak-anak. Kalaupun ada masih dilakukan setengah-setengah hati. Alangkah lebih bermakna jika pembinaan itu dilakukan lebih profesional, misalnya dengan mengandeng lembaga pendidikan formal. Total action mutlak diperlukan untuk kerja mulia ini.

Kita berharap dalam waktu yang tidak lama mimpi kita akan terwujud. Dari Medan nantinya bukan saja lahir penulis-penulis produktifnya dari kalangan dewasa, tetapi lahir pula dari dunia anak-anak. Karya anak anak-anak ini kemudian diterbitkan (mungkin dalam bentuk antologi dulu). Setelah diterbitkan, karya itu didiskusikan dan dibedah oleh sastrawan (termasuk juga dari anak-anak). Pesertanya juga dari segala kalangan dan (eiit) jangan lupa juga menghadirkan anak-anak. Tempatnya lounching bukunya? Kalau orang dewasa mungkin di Hotel, Café, Gedung Pertemuan, atau Kantin TBSU. Kalau anak-anak? Kita bisa buat di Theme Park Pantai Cermin sambil ada sesi berenang atau boleh juga di Kebun Binatang Medan sambil ada rekreasinya. Mengapa tidak?

Penulis; guru SMA 1 Binjai dan dosen STKIP Budidaya Binjai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar