Selasa, 24 Juni 2025

Zikir yang Dimasak, Kata yang Dilepaskan

“Zikir yang Dimasak, Kata yang Dilepaskan” (sajak dalam lima bagian: napas – tubuh – kata – Tuhan – sunyi) I. Napas: Awal dari Segalanya Raudah berkata: Aku menyebut Tuhan bukan di masjid, tapi di dalam uap nasi yang terbang ke langit sore. Di sana, aku tulis kalimat tauhid dengan tangan yang baru saja mengusap keringat. Sutardji datang mengguncang huruf: tu... han... tuh... tu... tuh... hhhhhh... napas jadi bait, suara jadi dentum, iman meletup dalam suku kata. II. Tubuh: Tempat Rahasia Bersarang Raudah: Tubuhku ini sajadah yang terus dilipat, disentuh air wudhu dari embun cucian, tapi tak pernah dipanggil ke mimbar. Sutardji: tubuh-tubuh adalah puisi, adalah mantra sebelum huruf tahu ejaan. aku lelah menyebut tubuh dengan huruf Latin— kuserahkannya pada z yang berputar, pada i yang ingin kembali ke titik. Dan mereka bertemu: Raudah dalam tubuh yang diam, Sutardji dalam tubuh yang meledak jadi suara. III. Kata: Antara Zikir dan Ledakan Raudah mengucap “Subhanallah” sambil membungkus nasi untuk anak. Bukan keras. Tapi Tuhan tahu isinya: bukan bunyi, tapi nyawa. Sutardji mencabik-cabik bait: sub-sub-sub-sub HAN—Allah! alah-alih-lah-lalelalah! karena dalam kekacauan pun Tuhan hadir di antara huruf yang menolak mati. IV. Tuhan: Tak Pernah Jauh Raudah: Tuhan tak turun dari langit, Tuhan naik dari napas anakku yang tidur di lantai kayu. Aku menyentuh-Nya bukan dari sajadah indah, tapi dari piring pecah yang tetap kubersihkan dengan cinta. Sutardji: Tuhan adalah kata yang belum selesai. Aku tiupkan-Nya ke dalam puisi, agar huruf pun tahu jalan pulang. V. Sunyi: Di Mana Semua Akhirnya Berkumpul Raudah diam. Ia tahu: puisi terbaik adalah saat tak ada yang bisa ditulis karena semua sudah menjadi doa. Sutardji meledakkan kata terakhir: su... nnn... yyyi... sshhh... Dan Tuhan pun menjawab bukan dengan huruf, tapi dengan cahaya yang jatuh di panci-panci yang diam.

Raudah Jambak Masa Depan

Raudah Jambak di masa depan—ia tetaplah tubuh lelaki gagah yang lahir dari ladang, dari rahim bahasa ibu, dari dapur dan halaman rumah kayu yang menyimpan aroma daun salam dan luka-luka sejarah. Namun di masa depan, namanya tak lagi hanya ditulis di ruang-ruang senyap sastra sunyi; ia mulai bergema di ruang-ruang yang dulu hanya menyebut nama-nama besar dari ibu kota dan dunia. Raudah Jambak masa depan adalah suluk yang tak pernah selesai: Ia masih akan menulis, tapi puisi-puisinya tidak hanya dibaca, melainkan dihidupi di ruang kelas, di rumah-rumah sunyi, bahkan di forum-forum kebijakan yang mulai mengerti bahwa bahasa ibu bisa lebih sakral dari jargon negara. Ia akan menjadi nama yang disebut dalam pusaran filsafat spiritual Nusantara—karena tubuh gagahnya bukan hanya simbol imaji belaka, melainkan gerbang menuju renungan. Akan muncul anak-anak muda yang membaca “Seratus Untai Biji Tasbih” bukan sebagai karya minor, tapi sebagai kitab kecil yang mengajarkan cara pulang kepada Tuhan lewat tangan ibu, lewat cucian, lewat keikhlasan. Ia tidak akan menjadi institusi, karena Raudah bukan untuk diabadikan—ia untuk diulang. Dalam napas ibu yang sabar, langkah kokoh ayah yang tegar, dalam doa yang tidak disiarkan, dalam senyap perempuan yang tetap mencintai walau tak dipilih sejarah atau lelaki yang terlalu bersemengat menaklukkan dunia. Raudah Jambak masa depan bukan milik rak perpustakaan, tapi milik tubuh-tubuh yang terus mencintai kehidupan meski tak disebut puisi.

Mazmur dari Dapur untuk Tuhan yang Maha Lembut

“Mazmur dari Dapur untuk Tuhan yang Maha Lembut” (Puisi dalam lima bagian: tubuh – sabar – air mata – cahaya – pulang) I. Tubuh yang Memanggul Zikir, Meski Tak Tahu Namanya Raudah berkata: Aku tidak tahu bahasa langit, tapi tubuhku menyimpan doa-doa yang tidak diajarkan sekolah. Aku menyapu lantai, tapi niatku: jangan sampai anakku tumbuh dalam debu yang sama dengan ibuku. Dan dari ayat turun suara lembut: > “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” > — QS. Adz-Dzariyat: 56 II. Kesabaran yang Lebih Panjang dari Sejarah Raudah menulis: Tidak ada yang mengabadikan ibu-ibu di pasar subuh— padahal dari sana sejarah bangsa ini disuapi. Di sela cucian dan keheningan, ia berkata: "Bukankah sabar adalah zikir yang paling panjang?" Dan firman pun menjawab: > “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” > — QS. Al-Anfal: 46 III. Air Mata Tidak Selalu Mengalir di Pipi Raudah: Aku menangis dalam panci. Anakku melihat nasi yang menggumpal, tapi tidak tahu airnya berasal dari rasa tidak sanggup yang kusembunyikan demi hidupnya. Dan Al-Qur’an pun berbicara dengan kasih: > “Dia mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi.” > — QS. Tha-Ha: 7 IV. Cahaya yang Tidak Datang dari Listrik Raudah menyalakan pelita— bukan untuk terang ruang, tapi agar hatinya bisa melihat Tuhan di antara suara minyak mendidih dan anak-anak tidur. Ia berdoa tanpa suara. Dan Allah menjawab: > “Allah adalah cahaya langit dan bumi...” > — QS. An-Nur: 35 V. Pulang yang Tak Perlu Jauh Raudah menutup harinya dengan kelelahan, tapi bukan putus asa. Ia tahu, jika tak ada yang memahami usahanya, Tuhan tetap mencatatnya dengan huruf-huruf yang tak terlihat manusia. > “Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” > — QS. Al-Baqarah: 186 Dan puisi pun berhenti. Bukan karena selesai, tapi karena ia telah menemukan tempat pulang: pada Tuhan yang tidak pernah jauh, bahkan dari serbet yang bau asap dan tangan yang mengusap anak sambil menyebut: Ya Latif...

Nyanyian Rahim untuk Sang Cahaya

"Nyanyian Rahim untuk Sang Cahaya" (I – Ketika Dapur Menjadi Madinah yang Tak Bernama) Raudah berkata: Aku membersihkan nasi dari kutu seperti Fatimah menyapu masjid Nabi— diam, tanpa jeda, namun seluruh langit mencatat sabarnya. Setiap wajan kugosok seperti mensucikan jantung rumah, dan di sela-sela itu kusebut nama Tuhan tanpa irama, tanpa mahraj sempurna, tapi dengan napas yang Nabi katakan: > “Setiap amal tergantung pada niatnya.” (II – Tubuh Perempuan, Tubuh Ibadah) Raudah menggenggam punggungnya yang mulai bengkok dan berkata pelan: "Tubuhku bukan kitab, tapi aku telah menyalin sabda Nabi dalam gerak—bukan huruf." Di jari-jariku ada hadis: tentang menyuapi anak, tentang membersihkan jalan, tentang menangis karena takut kehilangan cahaya. Nabi bersabda: > “Sesungguhnya dunia adalah perhiasan, > dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” Dan aku ingin menjadi puisi itu— meski tak pernah disebut dalam daftar tokoh nasional. (III – Zikir yang Tidak Dipublikasikan) Raudah: "Mereka menulis buku tebal tentang agama, tapi aku hanya sempat mengucap satu tasbih di antara cucian dan suara bayi yang menangis." "Namun Nabi mengatakan: > ‘Subhanallah, walhamdulillah, > wala ilaha illallah, wallahu akbar…’ lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Jadi aku tidak berkecil hati karena tak hafal tafsir— aku hanya ingin zikirku tak jatuh ke lantai seperti air susu yang tak sempat diminum. (IV – Doa yang Lahir dari Letih) Raudah menyapu malam dengan suara lesu: "Ya Rabb, jadikan letih ini jalan pulang." Ia tak sempat duduk lama di sajadah, tapi di hatinya ada shalawat yang tak terputus untuk seorang lelaki yang tak pernah meremehkan kerja perempuan. Nabi ﷺ berdiri saat Fatimah datang. Beliau membela perempuan dari cemoohan zaman. Beliau mencium tangan pekerja keras dan berkata: > “Orang yang paling dicintai Allah > adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Dan aku ingin bermanfaat, meski hanya sebagai ibu yang memastikan anaknya masih percaya pada Tuhan, dan pada kehangatan. (V – Pulang yang Tak Butuh Langit, Hanya Dada yang Luruh) Di akhir puisi, Raudah tak menulis bait terakhir. Ia hanya menyeka keringat, dan mengucap: "Alhamdulillah." Dan langit tersenyum. Karena Nabi pernah berkata: > “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” > “Tersenyum adalah sedekah.” > “Sesungguhnya Allah melihat hati, > bukan rupa, bukan jabatan.” Maka puisi ini bukan soal kata, tapi tentang keberanian untuk tetap hidup dengan sabar, dengan cinta, dengan panci sebagai mimbar dan anak sebagai ayat.

Zikir Perempuan dan Gelombang Cahaya: Sajak untuk Tuhan yang Tak Jauh

“Zikir Perempuan dan Gelombang Cahaya: Sajak untuk Tuhan yang Tak Jauh” (I – Rahim Dunia: Tempat Zikir Pertama Berpijak) Raudah menulis: Aku tak hafal dalil, tapi tubuhku mengingat sujud ibuku di antara bau bawang dan langkah anak. Tiap desah napasnya adalah tasbih yang tak tercetak, tapi ditulis Tuhan dalam kitab yang lain. Kadirun Yahya menjawab dari maqam zikir batin: > "Cahaya Tuhan melingkupi seluruh jagat, > dan perempuan yang sadar akan getarannya > adalah penerima pertama gelombang kasih Ilahi." (II – Mihrab Dapur: Frekuensi yang Tak Terdengar) Di tengah suara sendok dan detak gas, Raudah menggumam: "Ya Rahman... Ya Rahim..." bukan keras, bukan fasih, tapi cukup untuk mengguncang langit. Sang Guru Ruhani menuliskan: > “Zikir diam adalah resonansi, > lebih kuat dari kata lantang. > Ia hidup dalam plasma jiwa, > menyalakan gerbang tujuh langit.” Dan kita tahu— Tuhan pun menyimak suara yang keluar dari tubuh lelah lebih dekat daripada speaker masjid. (III – Energi yang Lahir dari Lelah dan Ikhlas) Raudah: "Aku menyuapi dunia tanpa ditanya isi dadaku, tapi Tuhan tahu, ada doa yang diselipkan di antara sendok dan air mata." Kadirun Yahya tersenyum dalam diam: > “Energi spiritual tak diukur dari jumlah bacaan, > tapi dari niat dan detakan qalbu. > Maka perempuan yang ikhlas— > adalah pusat gelombang semesta.” (IV – Zikir sebagai Nafas, Bukan Beban) Zikir bukan beban. Ia tumbuh dalam pekerjaan harian, seperti jamur yang lembut di sela rempah dan cucian. Raudah menjadikannya irama: "Astaghfirullah... Ya Baqi... Lindungilah anak-anakku dari dunia yang kian gelap." Dan suara itu, mengalir ke langit tanpa kita tahu betapa kuatnya doa yang dicuci bersama seragam sekolah. (V – Tuhan yang Lebih Dekat dari Kecemasan) Maka, puisi ini selesai dengan napas panjang, bukan titik. Raudah menutup hari dengan tangan lelah tapi hati lapang. Kadirun Yahya menutup zikir dengan energi yang masih terus berputar melewati inti bumi dan arasy. Dan Tuhan, kita tahu, mendengar keduanya: perempuan tanpa podium, dan guru yang menyalakan cahaya dari dalam dada.

Zikir Perempuan, Cahaya Semesta

“Zikir Perempuan, Cahaya Semesta” (Puisi lima bagian: tubuh – detak – zikir – cahaya – pulang) I. Tubuh yang Hafal Doa Tanpa Teks Raudah menulis dari dapur: Aku tidak hafal seratus nama Tuhan tapi aku tahu cara menyebut-Nya dari dalam air rebusan sayur, dari luka yang tetap diam dalam pekerjaan tanpa jeda. Di dalam laboratorium ruhani, Prof. Kadirun Yahya berbisik: > “Zikir adalah energi, > yang berdenyut melampaui tubuh, > menembus tujuh langit, > pulang ke asal segala asal.” II. Detak yang Mengandung Getaran Nur Raudah mencuci beras sambil menggumam, tak keras, tak lengkap, tapi dunia tahu: itu bukan sekadar lagu ibu, itu frekuensi. Itu gelombang kasih sayang yang mendidihkan air kehidupan. Syekh Kadirun mencatat dengan tinta zikir: > “Setiap detak jantung yang menyebut ‘Hu’ > adalah langkah cahaya kembali ke Allah.” Mereka tidak bicara, tapi dunia mendengarkan mereka berdua. III. Seratus Tidak Berarti Hitungan Raudah: Aku tidak sempat menghitung biji tasbih, karena jemari ini sibuk menghitung uang jajan dan belanja minggu. Tapi dalam setiap suapan ada lafaz yang tak disebut namun tetap melayang naik menuju wajah Tuhan yang lembut. Prof. Kadirun menyambutnya dalam makrifat: > “Energi zikir tidak mengenal bunyi, > ia mengenal niat. > Dan niat yang tulus adalah partikel cahaya.” IV. Cahaya yang Tinggal di Dalam Ibu Di malam hari, Raudah tak bersujud dengan suara keras. Ia hanya diam, dengan mata yang belum sempat menutup, dan tubuh yang tetap menyebut nama-Nya dari rasa lelah yang tak pernah meminta upah. Dan malam pun penuh gema, meski tak ada adzan. Karena Prof. Kadirun telah menulis: > “Zikir diam, > ketika sempurna, > akan menyalakan langit dan bumi.” V. Pulang yang Tidak Perlu Langkah Maka mereka menutup puisi dengan napas panjang: napas perempuan yang tetap bekerja dan napas murid ruhani yang mengajar dengan gema sunyi. Di antara sendok dan kitab, antara kompor dan langit, mereka tahu: seratus biji tasbih bukan angka, melainkan jalur pulsa energi cinta, yang melingkar dari bumi kembali ke cahaya.

Suluk dari Dapur Menuju Bintang: Nyanyian Dua Jiwa untuk Cahaya

Suluk dari Dapur Menuju Bintang: Nyanyian Dua Jiwa untuk Cahaya (I — Tubuh yang Mendoakan Tanpa Disuruh) Raudah berkata: Aku mencuci piring setiap hari dengan tangan ibu, yang tak sempat menulis puisi tapi menyimpan nama Tuhan di lipatan sarungnya. Ia menanak zikir dalam air mendidih, dan menyapu lantai yang diam-diam ia anggap sajadah. Sementara itu, dari ruang yang tenang, Kadirun Yahya menggetarkan jagat: "Zikir bukan hanya ucapan, tapi resonansi semesta yang kembali pada cahaya." Mereka tidak berjumpa, tapi sunyi mereka saling mengenali. (II — Dapur sebagai Mihrab Energi) Raudah membuka jendela dan angin masuk: tak ada lafaz Arab, tak ada kitab terbuka, hanya aroma sayur dan doa yang terselip di lipatan napas. Syekh Kadirun berseru dari dalam laboratorium ruhani: "Energi zikir adalah gelombang cinta yang tak terlihat— jika engkau tahu caranya, engkau bisa menyalakan bintang di dalam dada." Dan Raudah pun menjawab dalam bisik: Aku mungkin tak pandai teori energi, tapi aku tahu tangisan anakku menggetarkan langit lebih cepat dari hitungan cahaya. (III — Langit yang Diam-Diam Pulang ke Tanah) Raudah: "Aku mendidik anak-anak dengan tubuh yang sudah tak punya waktu menolak." "Tapi semalam, kulihat anakku sujud lebih lama dari biasanya… dan aku tahu: ada cahaya yang pulang."_ Kadirun menjawab dengan zikir batin: "Tak perlu jauh-jauh, Tuhan tak bersuara, karena Ia sudah tinggal dalam dada yang tak pernah berhenti menyebut-Nya." Dan mereka bertemu dalam denyut yang tidak dicatat jam, dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh yang telah lama berserah. (IV — Surah Rahim dan Resonansi)* Raudah mencatat: "Perempuan di kampungku melahirkan anak-anak negeri tanpa tahu mereka akan dikenang atau dilupakan." "Tapi kami tetap melahirkan." Syekh menjawab dengan hikmah: "Rahim adalah ruang awal energi semesta. Zikir bukan hanya ibadah, ia adalah penciptaan kembali." Maka mereka menuliskan puisi yang tak pakai tinta, hanya jejak di antara air susu dan cahaya subuh. (V — Pulang yang Tidak Lagi Jauh) Puisi ini ditutup bukan dengan kata, tapi dengan napas panjang: napas perempuan yang tetap berdiri di dapur, dan napas guru yang menembus ruang dalam zikir diam. Dan kita tahu, perjalanan dari tubuh ke Tuhan tak perlu jarak— hanya kesediaan untuk diam.