Omong-Omong Sastra Sumatera Utara adalah wadah tempat berdiskusinya para sastrawan Sumatera Utara Khususnya. Usiannya yang hampir mencapai 40 tahun menjadikannya sebagai wadah bersilaturahmi, berdiskusi dan berkarya para sastrawan dari berbagai usia, aliran, dan agama, menyebabkan Forum Omong-Omong Sastra ini sebagai Forum yang tertua di Sumatera Utara. Forum ini diprakarsai oleh Damiri Mahmud, dkk. Sekarang di koordinir oleh M. Raudah Jambak. Semoga tetap berjaya.
Selasa, 24 Juni 2025
Nyanyian dari Perempuan yang Menanak Masa Depan
“Nyanyian dari Perempuan yang Menanak Masa Depan” (puisi dalam lima bagian: tubuh, waktu, negara, bahasa, dan harapan)
I. Tubuh yang Tidak Pernah Diberi Halaman Depan
Raudah menulis:
"Tubuhku bukan ideologi." _"Ia rumah." "Tapi rumah yang tidak tercantum dalam rencana kota."
Di sela air cucian, ia menyulam puisi. Sementara itu, Sutan Takdir berseru dari majalah Poedjangga Baroe:
"Kita harus menjadi bangsa yang memikirkan masa depan." "Maka kenalilah akal sebagai lentera, bukan ketakutan."
Dan Raudah mengangguk sambil menyuapi anaknya: "Aku menanak masa depan dengan tubuh yang tak sempat tidur."
II. Waktu yang Tidak Lagi Menunggu
Sutan Takdir menulis tentang hari esok: tentang mesin, ilmu, dan keberanian meninggalkan dogma.
Raudah, dalam dunia yang sama, memotong sayur dan mendengar berita:
"Apakah masa depan yang kalian bicarakan akan menyempatkan diri menengok perempuan yang tetap bangun pukul lima untuk memastikan sejarah tetap makan?"
III. Negara yang Lahir dari Dapur Tapi Tak Pernah Kembali Pulang
Raudah berseru:
"Negara bukan hanya gedung tinggi dan bendera kain, "tapi juga suara ibu yang tak disebut saat sidang."
Sutan Takdir menulis:
"Masyarakat baru menuntut kebebasan berpikir." "Namun kebebasan itu bukan kebisingan, melainkan kehendak sadar."
Mereka sepakat pada satu hal: bahwa kemajuan bukan sekadar perubahan, tapi kemanusiaan yang tak lupa pada akar.
IV. Bahasa sebagai Jembatan dan Perlawanan
Raudah mencatat kata-kata Batak di pinggir resep kue: "Karena jika lidah kami hilang, "siapa yang akan menyebut nama nenek dengan benar?"
Sutan Takdir menulis ejaan yang disempurnakan, membangun bahasa baru dari puing penjajahan. Ia percaya: "Bahasa bukan pusaka beku, melainkan napas zaman."
Maka mereka bersama menulis dalam bahasa yang lahir dari lumpur dan diterangi cahaya kemauan.
V. Penutup: Harapan Dimasak Bersama Nasi
Di akhir bait, Raudah menyeka keringat sambil bersenandung: "Kami bukan lawan dari kemajuan, "kami hanya tidak ingin ditinggal oleh janji-janji kosong."
Sutan Takdir meletakkan pena dengan tenang: "Bangsa besar dibangun oleh keberanian berpikir, "dan kelembutan yang berani mengakui asal."
Dan puisi ini pun selesai— atau belum— karena perempuan masih menanak dan dunia masih berubah.
Dan di antara sendok dan kertas, masa depan didekap agar tak hilang dalam hiruk yang tak pernah sempat mendengar suara dapur.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar