Selasa, 24 Juni 2025

Surat-surat yang Tidak Dikirim dari Tanah yang Terbakar Cinta

Surat-surat yang Tidak Dikirim dari Tanah yang Terbakar Cinta (I – Di Antara Gunung dan Ombak) Aku tumbuh dari tubuh ibu yang memintal tenun di antara doa dan abu, sedang kau, Pablo, lahir dari laut— ombakmu mencium karang dengan gairah yang bisa menghancurkan batu. Aku menulis tentang dedaunan yang gugur dengan suara perempuan tua yang pelan, sedang kau menulis cinta seperti darah yang meletup di dada dunia. Namun malam adalah milik kita berdua, karena puisi tahu bagaimana menyentuh yang tak bisa disentuh. (II – Tubuh sebagai Negara Tanpa Bendera) Aku mencintai dengan diam, seperti pohon kopi mencintai hujan. Tapi kau mencintai seperti api membakar surat-surat rahasia dari revolusi. "Setiap ciuman," katamu, "adalah proklamasi takdir." Tapi bagiku, ciuman adalah bisikan di bawah langit rusak yang tidak ingin dilihat siapa-siapa. Kami menulis tubuh bukan sebagai tubuh, tapi sebagai peta kesedihan— tulang sebagai sungai, kulit sebagai pegunungan, tangan sebagai jalan pulang yang tak pernah bisa disusuri lagi. (III – Tanah, Rakyat, dan Puisi yang Tak Disambut) Kau menulis: "Puedo escribir los versos más tristes esta noche..." Dan aku diam. Karena di kampungku, kesedihan tidak perlu diumumkan. Ia cukup hadir di retakan piring lama, di kata-kata yang tidak selesai diucapkan ibu. Tapi kami bersatu di bawah tanah, di mana puisi bukan pelarian melainkan akar. Kami menggali kata demi kata hingga darah dari sejarah keluar— dan mencium aroma kesabaran yang tak selesai. (IV – Di Meja Makan yang Sunyi) Kau mengangkat gelas anggur dari Valparaíso, aku menyuguhkan sambal andaliman dan air jeruk purut. Kami bicara lewat sajak: tentang negara, tentang perempuan, tentang kesepian. Dan meja itu menjadi altar, tempat kami mempersembahkan segala yang tak bisa dimenangkan dengan perang atau dimenangkan dengan cinta— hanya bisa dituliskan berulang kali, hingga dunia bersedia mendengarnya. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar