Omong-Omong Sastra Sumatera Utara adalah wadah tempat berdiskusinya para sastrawan Sumatera Utara Khususnya. Usiannya yang hampir mencapai 40 tahun menjadikannya sebagai wadah bersilaturahmi, berdiskusi dan berkarya para sastrawan dari berbagai usia, aliran, dan agama, menyebabkan Forum Omong-Omong Sastra ini sebagai Forum yang tertua di Sumatera Utara. Forum ini diprakarsai oleh Damiri Mahmud, dkk. Sekarang di koordinir oleh M. Raudah Jambak. Semoga tetap berjaya.
Selasa, 24 Juni 2025
Kitab yang Tak Ditulis, Tapi Tumbuh di Dada
"Kitab yang Tak Ditulis, Tapi Tumbuh di Dada"
(I – Zikir dari Serambi dan Suara Panci) Raudah menanak nasi sambil berselawat. Bukan karena tahu syairnya utuh, tapi karena tubuhnya mengingat cara bersujud bahkan dalam kesibukan yang tak pernah selesai.
Di pelataran masjid, Syekh Nuruddin menyusun kalam: "Barang siapa mengenal Tuhan tanpa mengenal dirinya, maka ia telah menyembah bayangan yang menyamar."
Mereka bertemu di antara jari tangan yang lelah dan pena bulu ayam yang belum kering dari tinta hikmah.
(II – Perempuan sebagai Mihrab yang Tak Diagungkan) Raudah bertanya: "Apakah jalan ke Tuhan harus lewat teks dan derajat, jika perempuan bahkan tak diizinkan duduk di halaqah ilmu mereka?"
Tapi Nuruddin menjawab dari kitab sirr: "Tuhan tidak bersemayam pada kata, melainkan pada qalbu yang tunduk sempurna."
Maka, ia menyimak suara perempuan yang merapikan baju anaknya seperti merapikan alam, dan paham: inilah zikir yang tidak tercetak namun dicatat langit.
(III – Dunia yang Tak Pernah Ditanya Apakah Ia Ingin Diam) Raudah: "Kami hidup di dunia yang tak memberi jeda bahkan untuk berpikir tentang Tuhan." Tapi mungkin, katanya, Tuhan tidak menunggu ayat yang sempurna, melainkan keringat yang tulus di antara cucian dan napas terakhir malam.
Nuruddin menulis di baitnya: "Ia Yang Maujud, tak butuh ruang atau waktu, namun hadir dalam denyut dan tungku."
Dan puisi pun berubah— menjadi pertemuan, bukan pengetahuan.
(IV – Kesatuan yang Tidak Dihafal Tapi Dirasakan) Raudah tak pernah belajar Wahdatul Wujud, tapi ia mengerti ketika melihat bayinya tertidur bahwa seluruh alam adalah tubuh kecil yang harus ia jaga.
Syekh dari Aceh pun menutup kitab, dan menunduk kepada bumi: "Yang fana menyampaikanmu pada yang Baqa. Maka jangan remehkan air mata ibu lebih dari air suci yang engkau cipratkan ke wajahmu."
(V – Surah Terakhir dari Dapur dan Serambi) Mereka selesai tidak dengan kesimpulan, tapi dengan piring bersih dan halaman kosong.
Karena puisi ini adalah kitab yang tak sempat ditulis dan tak pernah perlu ditulis, karena ia tumbuh: di dada perempuan yang bersabar, di pena lelaki yang mencari-Nya lewat cahaya dan abu.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar