Selasa, 24 Juni 2025

Surat dari Dapur untuk Bumi yang Pernah Dijanjikan

“Surat dari Dapur untuk Bumi yang Pernah Dijanjikan” (puisi dalam lima bagian: tubuh, sejarah, suara, harapan, dan ingatan) I. Tubuh yang Tak Pernah Tercetak di Halaman Depan Raudah menulis dari perut rumah, di mana tubuh perempuan tak pernah disebut dalam berita, tapi di situlah bangsa dimasak— dengan sendok yang tahu arti ‘sabda’, dan tangan yang menghafal harga beras lebih akurat dari pidato negara. Pramoedya berseru dari ruang sunyi: "Tak ada keadilan bagi manusia tanpa suara." Dan Raudah menjawab dalam diam: "Tapi suara kami telah lama ditaruh di lemari belakang dapur, berkunci sabar, dan berlapis keringat." II. Sejarah yang Ditulis oleh Lelaki, Dihidupi oleh Perempuan Pramoedya memahat kisah Nyai Ontosoroh, seorang ibu yang lebih pahlawan dari banyak gelar resmi. Ia tahu: "Perempuan tidak diwarisi nama baik, tapi memikul beban sejarah bangsa." Raudah menulis nama ibunya di bagian bawah puisi, karena negeri ini tak pernah memberi ruang bagi perempuan yang hanya tahu menyuap namun tak sempat bicara tentang politik. "Kami ini barangkali bukan pelaku sejarah," tulisnya, "tapi kami penadah jatuhnya." III. Suara yang Tak Tercetak tapi Tetap Tinggal _"Sastra," kata Pram, "harus membuatmu sadar kau sedang dibohongi." Raudah pun menjawab: "Tapi perempuan di dapur tak sempat sadar, karena hari-hari hanya cukup untuk bertahan." Tapi satu hari, suara mereka bangkit dari dalam dandang, dan dari cucian, dan dari bibir anak yang hafal suara ibunya lebih daripada nama menteri-menteri. Di situlah puisi muncul— bukan dari panggung atau pena, tapi dari gerak kecil yang tak ingin disebut perlawanan. IV. Harapan yang Tak Pernah Diundang ke Rapat-Rapat Resmi Raudah menanam cabai di tanah sempit antara pagar dan parit. Itulah ekonomi kerakyatan yang tak disebut makalah akademi. Pram mencatat: "Dalam masa kelam, satu-satunya harapan adalah menulis." Dan Raudah tahu, kadang harapan cukup dengan satu anak yang pulang sekolah dan mencium tangan ibu yang tak pernah disebut pahlawan. V. Ingatan yang Tidak Bisa Dimusnahkan Buku-buku Pram dibakar, tapi namanya tumbuh lebih cepat daripada korek api. Puisi Raudah tak diajarkan di sekolah, tapi diam-diam dibaca perempuan yang merasa sendiri saat memasak mimpi. Mereka sama-sama tahu: "Yang kita lawan bukan hanya lupa, tapi sistem yang membuat lupa jadi normal." Maka mereka menulis bukan untuk abadi, tapi untuk satu orang saja yang bersedia mendengar. Dan puisi pun selesai— di sudut meja makan, di antara nasi hangat dan mata anak yang masih percaya bahwa negeri ini bisa lebih lembut, dan lebih benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar