Selasa, 24 Juni 2025

Di Tengah Peta yang Pernah Bergelombang

Di Tengah Peta yang Pernah Bergelombang (I) Aku menulis dari tepi sawah— di mana petani masih menyebut bumi dengan bisikan. Langit sore menurunkan debu kunyit di atas daun pisang, dan nenekku berkata, "Segala yang tumbuh harus diajak bicara." (II) Kipling, dari bayang kapal-kapal uap, berjalan di atas palka waktu, membawa jurnal dari Burma, India, dan Afrika Timur. Ia berkata: “Empayar tumbuh dari larik dan laras, dan kadang, dari puisi yang mengangguk pada takdir.” (III) Kami bersua di meja kayu— aku menyuguhkan kopi Mandailing, ia membuka halaman-halaman berdebu dari The Man Who Would Be King. Aku membaca puisinya: "If you can keep your head when all about you Are losing theirs..." dan menyisipkan pantun duka di sela bait-baitnya yang gagah. (IV) Kami bicara tentang kampung yang berubah jadi jalan tol, tentang anak-anak yang lebih akrab dengan bahasa asing ketimbang suara ibu yang penuh embun. Dia bertanya: "Apakah kemajuan berarti melupakan akar?" Aku menjawab: "Atau akarkah yang diam karena terlalu sering dicabut?" (V) Kami menulis bersama— aku menanam metafora di ladang sawah, ia mencangkul simbol di gurun pasir keraguan. Puisi kami melintasi lintang dan bujur, menjadi peta yang tak mengukur daratan, tapi kenangan. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar