Selasa, 24 Juni 2025

Di Mana Tubuh Adalah Tanah, dan Tanah Adalah Luka

Di Mana Tubuh Adalah Tanah, dan Tanah Adalah Luka (I — Tanah dan Tubuh) Ibuku menanam bunga melati di halaman belakang, di bawah tanah yang pernah jadi kuburan Belanda, aku bertanya: "Bisakah bunga itu mengingat tulang yang dilupakannya?" Han Kang menulis dengan jarinya yang halus, tentang tubuh yang memilih diam, seperti pohon yang tak ingin berbicara karena terlalu sering ditebang kata-kata. Kami berbicara tentang tubuh perempuan yang menjadi medan perang dari sejarah: dari Seongbuk-dong hingga Padang Lawas, dari napas terakhir gadis penjaja ikan hingga suara ibu yang tertahan di kerongkongan. (II — Bahasa yang Tak Lagi Didengar) Aku menulis dalam Batak yang patah, ia dalam Hangeul yang retak oleh modernitas. Kami berbicara dalam jeda, karena bahasa luka sering kali sunyi. Han bertanya: "Apakah puisi bisa menyembuhkan yang tidak bisa dijelaskan?" Aku menjawab: "Kadang, puisi hanya duduk di sebelah luka, tanpa menghakimi." (III — Daun yang Gugur di Dua Negeri) Kami berjalan di kebun ginko— ia menunjukkan daun-daun kuning itu: "Lihat, mereka gugur dengan anggun, seperti wanita yang tahu kapan harus pergi." Aku menjawab, sambil menunjukkan pohon ketapang tua: "Di kampungku, daun jatuh dengan derit angin, mengabarkan musim yang tak pernah punya nama." (IV — Doa Tanpa Suara) Di akhir senja, kami menulis bersama: dia menggambar burung dengan paruh berdarah, aku mencoretkan salib kecil di antara akar. Kami tidak tahu ini puisi atau doa, tapi kami tahu: dunia butuh keduanya. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar