Omong-Omong Sastra Sumatera Utara adalah wadah tempat berdiskusinya para sastrawan Sumatera Utara Khususnya. Usiannya yang hampir mencapai 40 tahun menjadikannya sebagai wadah bersilaturahmi, berdiskusi dan berkarya para sastrawan dari berbagai usia, aliran, dan agama, menyebabkan Forum Omong-Omong Sastra ini sebagai Forum yang tertua di Sumatera Utara. Forum ini diprakarsai oleh Damiri Mahmud, dkk. Sekarang di koordinir oleh M. Raudah Jambak. Semoga tetap berjaya.
Selasa, 24 Juni 2025
Mazmur dari Rahim yang Tak Diakui Negara
Mazmur dari Rahim yang Tak Diakui Negara
(I – Di Ruang Tunggu Republik) Raudah berkata: “Aku menulis puisi ini sambil menanak nasi untuk anak-anakku yang ditinggal janji.”
Di pojok ruang sempit Jakarta, Rendra berteriak dari panggung teater terbuka: “Kalian yang dibungkam di trotoar malam bukanlah noda— kalian adalah sejarah yang disembunyikan!”
Kami menulis bersama dari dua sisi kemerdekaan: yang satu memasak sambil menangis, yang satu bernyanyi sambil memaki.
(II – Tubuh dan Bendera yang Sama-Sama Terkoyak) Apakah tubuh perempuan yang dipakai untuk membayar utang, masih boleh disebut rakyat?
Apakah mulut yang mencium bendera juga punya hak untuk berteriak bahwa lapar?
Raudah mencatat: "Negaraku mengibarkan bendera, tapi lupa menjahit pelindung untuk tubuh ibuku."
Rendra menegaskan: "Yang kalian sebut 'pelacur' lebih jujur dari politisi yang mencium tanah namun mencongkel dari bawahnya."
(III – Sunyi di Dada Perempuan dan Jalanan) Dalam kampung yang dikepung baliho, dalam tubuh yang ditelantarkan pembangunan, kami menulis dengan darah haid, dengan air susu yang kering sebelum waktu.
Raudah menyusun satu-satu tasbih luka, Rendra meletakkan megafon di tangan para perempuan yang tak pernah diundang bicara.
“Kami bukan hantu,” kata mereka, “Kami adalah saksi paling terang dari kegagalan bangsa!”
(IV – Doa yang Tidak Diajarkan di Sekolah) Tuhan, kataku, jika Engkau benar-benar dekat seperti udara, mengapa tak satu pun pejabat menghirup-Mu saat mengambil sumpah?
Tuhan, kata mereka, kami mengucap asma-Mu sambil berdiri di bawah lampu merah dengan perut tak sempat kenyang dan bayi yang belum bisa mengeja "merdeka".
(V – Kami Masih Di Sini, Menunggu yang Pernah Dijanjikan) Kami, yang tertulis dalam catatan kaki konstitusi, yang hidup di spasi kosong antara janji dan peluru, masih di sini.
Raudah menggambar bendera dengan warna luka. Rendra mencatat peta Indonesia dari stasiun ke losmen, dari kamar sewa hingga ruang tunggu aborsi.
Dan kami bertanya, dengan suara yang tak bisa lagi ditahan oleh puisi: "Masih merdekakah kau, Indonesia, jika yang berseru 'merdeka!' adalah orang-orang yang paling jauh darinya?"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar