Selasa, 24 Juni 2025

Dalam Diri yang Menyimpan Langit

Dalam Diri yang Menyimpan Langit (I – Zikir yang Tidak Pernah Usai) Aku duduk di dapur ibu, menghitung biji tasbih yang hilang satu demi satu sejak pagi ia wafat tanpa sempat menyelesaikan doanya. Kupungut zikir yang tercecer di ubin, kubisikkan kembali ke dada— sebab di sana, Tuhan tak pernah jauh. Abdul Hadi menulis: "Tuhan, kita begitu dekat / seperti api dengan panas." Dan aku tahu: ibuku tak pernah belajar puisi, tapi setiap ucapannya adalah syair yang dikirimkan langsung dari langit tanpa perlu dikoreksi. (II – Tubuh Perempuan, Tubuh Sujud) Raudah mencatat tubuh sebagai sajadah yang menua— dilipat setiap malam dengan pelan, disimpan di lemari bersama doa-doa yang tak sempat dikabulkan. Di sana, perempuan tidak bicara tentang Tuhan, mereka menjahit-Nya dalam pinggiran kain, dan menyuapkannya bersama nasi untuk cucu yang belum bisa membaca. Abdul Hadi menjawab dengan hening: "Di mana lagi akan kau cari wajah-Ku selain pada wajahmu sendiri?" Maka kutatap wajahku di sendok logam yang tak sempurna memantulkan apa-apa, tapi cukup untuk membuatku menangis. (III – Antara Nafas dan Nama) Aku menyebut nama-nama-Nya dengan suara paling kecil dalam tubuh: di sela detak jantung, di antara celah napas yang tak ingin disebut zikir tapi juga bukan diam sepenuhnya. Sebab Tuhan, barangkali tak membutuhkan suara, Ia sudah tinggal di sepi yang kita abaikan. (IV – Seratus Untai, Satu Tuhan) Ada perempuan-perempuan yang tidak hafal dalil, tapi mereka hafal bagaimana cara menangis dalam posisi duduk antara dua sujud. Mereka tidak membaca puisi, tapi setiap langkah mereka adalah syair yang digoreskan ke tanah dengan tinta air wudhu dan luka. Dan dalam untai keseratus, aku menulis: “Tuhan, aku tak lagi tahu cara menyebut-Mu, tapi aku menyimpan-Mu dalam lapar yang kupikul dari anak-anakku ke rumah ini.” RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar