Selasa, 24 Juni 2025

Nyanyian Musim dari Tanah yang Tak Pernah Terlupa

Nyanyian Musim dari Tanah yang Tak Pernah Terlupa (I – Ladang di Bawah Nama Ibu) Aku menulis dari antara ladang jagung dan kabut, di mana nama-nama perempuan diukir pada pohon jambu, dan doa-doa dilafalkan ke dalam lesung. Karlfeldt menulis dari padang bersalju, tentang tangan ibu yang mengayunkan buaian kayu, dan suara salju yang jatuh seperti rahasia kecil. Kami tak mengenal bahasa yang sama, tapi kami saling paham melalui musim. Raudah berkata: "Setiap tanah adalah halaman pertama dari buku kenangan." Karlfeldt menjawab: "Dan setiap salju adalah catatan tak tertulis dari keabadian." (II – Sunyi yang Ditanam dan Tumbuh) Di kampungku, sunyi ditanam seperti bibit kopi— menjadi harum jika diseduh dengan kenangan. Di desamu, sunyi hadir bersama malam musim dingin dan mata rusa yang mematung dari balik hutan. Kami tahu: sunyi bukan ketiadaan tapi bentuk paling lembut dari keberadaan. Maka kami diam, dan menulis puisi dengan jemari tanah dan udara. (III – Perempuan dan Padang Rumput) Raudah mencatat perempuan yang hilang dari silsilah, namun masih hidup dalam aroma sambal dan lemang. Karlfeldt menggambar gadis desa yang menganyam waktu dengan daun birch dan saga lama. Kami tahu, tubuh perempuan bukan hanya bejana, tapi peta yang dicetak dari luka dan sabar. Dan puisi kami pun memeluk tubuh itu seperti hujan memeluk padi. (IV – Musim yang Tak Bernama) Ada musim yang tak dikenal kalender, hanya dirasakan oleh kulit dan hati. Di Swedia, saat cahaya menipis, dan di Batak, saat angin datang dari danau membawa kabar dari roh-roh yang belum tenang. Kami menamai musim itu dengan sajak panjang yang tak memakai tanda titik. Karena waktu tidak usai, ia hanya pindah bentuk. (V – Penutup: Tempat Pulang yang Tak Pernah Pergi) Kami tidak menutup puisi ini. Seperti kabut yang datang perlahan— ia tinggal, lalu hilang, lalu kembali. Dan begitulah puisi kami akan diingat: bukan karena suaranya, melainkan karena sunyinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar