Selasa, 24 Juni 2025

Nyanyian Jauh dari Angin dan Tanah

Nyanyian Jauh dari Angin dan Tanah (I – Ritus Pertama: Tanah yang Ingat) Di lembah kemenyan dan sisa suara gondang, aku menulis bukan untuk hari ini, tapi untuk embun yang jatuh pada daun yang sudah jatuh terlebih dahulu. Raudah, putri tanah Haranggaol, mencium aroma padi yang mengering sebelum panen, dan berkata: “Bumi tidak hanya memberi makan, ia juga menyimpan surat-surat yang belum dibuka.” (II – Ritus Kedua: Angin yang Melintas Tanpa Nama) Saint-John Perse datang dengan angin, angin yang tidak mencari arah, hanya melintas, membawa pasir dari gurun dan waktu dari abad lain. Ia menulis: "Dan langit, yang belum pernah mengenal nama kita, menerbangkan jiwa lebih jauh dari roh para raja." Aku tak sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu: ada luka yang hanya bisa diterbangkan, bukan disembuhkan. (III – Ritus Ketiga: Tubuh yang Tak Kembali) Tubuhku adalah jalan pulang yang tertutup kabut, tangan-tangan leluhur menyentuhku lewat suara hujan. Perse berkata: “Bawalah tubuhmu seperti batu di sungai, biarkan ia menghilang dalam aliran puisi.” Aku menulis sambil memijak tanah berlumpur yang pernah menjadi darah peperangan suku. Ia menulis sambil berjalan di atas awan, tapi kami bertemu— di garis sunyi yang memisahkan langit dan bayang. (IV – Ritus Terakhir: Doa Tanpa Agama) Kami menulis puisi panjang, panjang seperti akar yang tak tahu apakah ia tumbuh ke dalam atau ke luar. Raudah menggurat tanah dengan kata: parhudam, na molo marsipature, dan Perse mencatat langit dengan suku kata tanpa bunyi. Di ujung puisi, kami tak mengerti siapa berbicara lebih dulu. Karena puisi ini bukan milik mulut, tapi milik napas— dan napas, kadang berasal dari tempat yang tak kita kenal. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar