Selasa, 24 Juni 2025

Nyanyian untuk Jalan yang Tidak Ditempuh

Nyanyian untuk Jalan yang Tidak Ditempuh (I – Di Tanah yang Mengingat Sebelum Kita Lupa) Raudah: Di ladang kemenyan, suara nenek mengaji tanpa kitab. Tangannya menenun ulos seperti menenun waktu. Aku menulis bukan untuk dikenal, tapi agar batu tetap tahu namaku saat lidah cucuku sudah lupa. Gjellerup: Aku berjalan melewati bayang Bodhisattva, mencari suara yang tidak keras, namun tetap menggema. Di sana, kesunyian bukan akhir, melainkan pintu pertama ke makna. (II – Diri Sebagai Bayang dari Banyak Kelahiran) Raudah: Aku terbangun di subuh yang sama, namun dengan tubuh yang berbeda: mungkin ini milik ibuku atau seorang perempuan di Benares yang tersenyum di balik tabir dupa. Gjellerup: Apakah jiwa ini pernah menjadi daun? Atau batu yang diam di kaki kuil? Dalam sajakku, aku adalah rahib yang tidak selesai memahami arti mimpi. (III – Air, Abu, dan Anak Perempuan yang Tumbuh di Antara Keduanya) Raudah: Anak perempuanku tidak lagi bisa berbahasa Batak, tapi ia menari saat hujan turun— mungkin itu sudah cukup: tubuhnya tahu apa yang tak diajarkan lidahnya. Gjellerup: Anak adalah reinkarnasi dari pertanyaan, yang tidak dijawab, tetapi dirasakan seperti nyala api dalam meditasi. Kita melahirkan bukan hanya daging, tapi kemungkinan untuk memperbaiki masa lalu. (IV – Doa yang Tidak Dikenal Agama Manapun) Kami menyusun bait seperti manik-manik tasbih: Raudah menyebut nama leluhur di antara uap nasi, Gjellerup menyebut sang guru di lorong mimpi. Kami tahu doa yang tidak bersuara lebih lama tinggal di dunia. Karena Tuhan, barangkali, tidak tinggal di langit— tapi dalam diam sebelum kita menulis satu kata pun. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar