Selasa, 24 Juni 2025

"Sajak Seratus Bayang Menuju Cahaya"

"Sajak Seratus Bayang Menuju Cahaya" (I – Tubuh Perempuan dan Laut Rahasia) Raudah berkata: "Aku bukan pujangga. Aku hanya perempuan yang menampung hujan di tempurung." Ia menulis di sela anak menangis dan air mendidih— kata-katanya melintasi api dan duka, seperti doa yang tidak sengaja melahirkan Tuhan. Hamzah pun menjawab: "Diriku adalah laut yang dalam, tak bertepi, tak berpuisi, hanya denyut sang Wujud yang bermain dalam aliran nafas." Dan mereka pun berjalan bersama, satu dari dapur, satu dari dalam diri, menuju Rahasia Yang Sama. (II – Bahasa Diri, Bahasa Tuhan) Hamzah berkata: "Kenal akan diri, maka kenal engkau akan Nur Muhammad." Raudah mengangguk: "Tapi perempuan di kampungku bahkan tak sempat mengenal dirinya sendiri." Karena tubuh mereka dipakai untuk melahirkan dan mulut mereka dipakai untuk menyuap, tapi siapa yang mengizinkan mereka berbicara tentang Tuhan? Lalu mereka menulis puisi yang bukan syair, bukan mantra, tapi napas yang tidak ingin dipisahkan dari Sang Nafas. (III – Antara Lumpur dan Cahaya) Raudah mencuci piring dengan air mata yang tak meleleh, karena sudah ditampung sebelumnya dalam kaleng biskuit kosong. Hamzah berjalan di pelabuhan syair: "Jika kaulihat dunia, lihatlah ia sebagai jelaga— dan bersihkan cermin kalbumu hingga Kau melihat-Nya." Mereka bertemu di tepi antara lumpur dan langit, antara abu dan api, antara dirimu dan Dia. (IV – Sajak yang Tidak Dipelajari Tapi Diwariskan) Raudah menulis dari tanah yang tidak punya percetakan, tapi punya ibu-ibu yang menghafal duka dalam irama lesung. Hamzah menulis dengan huruf Arab-Melayu, tapi suaranya sampai pada jiwa yang bahkan tidak sempat sekolah. Puisi mereka tidak dikenal akademi, tapi dikenang oleh anak kecil yang tidur dipeluk puisi. (V – Penutup yang Tidak Selesai) Maka kami tahu, tak ada jarak antara perempuan yang menyuap anaknya dan sufi yang sujud sendirian di geladak kapal. Karena Tuhan tidak hanya berbicara lewat kitab, tapi juga lewat nasi yang hangus, sumur yang kering, dan puisi yang tetap ditulis meski dunia tak sudi membaca.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar