Selasa, 24 Juni 2025

Mazmur untuk Akar dan Langit

Mazmur untuk Akar dan Langit Di halaman tua rumah ibuku, pohon duku berdiri seperti doa yang membatu. Ranting-rantingnya mengingatkan pada syair tua Latin— yang kukenal dari suara angin berdesir di balik sirap surau. Carducci, dari sisi lain bumi, menuliskan matahari sebagai dewa yang membakar kenangan tanah kelahirannya, melampaui reruntuhan kuil, menuju hati kaum petani yang tak lagi menyanyi. Kami bertemu di simpang waktu: aku membawa anyaman rotan dari Balige, ia membawa kitab klasik dari masa Italia bersatu. Kami duduk, dua arwah dalam tubuh kertas, menyulam baris-baris dari luka dan tanah. Katanya: "Bangsa yang lupa sejarahnya, serupa padang rumput tanpa rerumputan." Jawabku: "Dan puisi yang lupa kampungnya, adalah ombak tanpa pantai." Kami menulis dengan pena berbulu burung garuda dan elang, menulis tentang anak-anak yang tak lagi bicara Batak, tentang sajak yang bersarang di kitab sekolah, namun tak kunjung berakar di dada. Lalu malam turun, Carducci membaca bait Latin dengan suara berat, aku mendendangkan pantun sendu dengan irama gondang yang pelan. Kami berdoa, dengan bahasa masing-masing, untuk dunia yang masih mau mendengar. RJ (raudah Jambak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar