Selasa, 24 Juni 2025

Tanah Ibu, Tubuh Anak

Tanah Ibu, Tubuh Anak (I – Sebelum Kata-Kata) Ibuku menanam cempaka di tanah yang belum sempat bernama. Aku belum lahir— tapi sudah dicintai dengan sedih. Louise menulis: "Even now, all possible feelings do not amount to a story..." Dan aku tahu, kisah kami tidak akan menjadi cerita— hanya gugur yang tidak disaksikan di halaman kosong itu. (II – Suara yang Tertinggal) Di kampungku, tidak semua suara dimaksudkan untuk didengar. Ada suara yang hanya untuk tanah, dan tanah menyimpannya seperti rahim menyimpan rahasia. Glück menulis tentang taman, tentang bunga yang tumbuh dari kehilangan. Aku menjawab lewat sunyi dapur ibu: bunyi pisau, sendok yang jatuh, tak ada yang memanggil namaku, dan itu sudah cukup jadi puisi. (III – Tubuh yang Tidak Pergi) Tubuhku adalah ladang basah, penuh benih yang tak pernah diminta tumbuh. Ia tetap tinggal bahkan saat aku ingin meninggalkannya. Dia bilang: “Tubuh bukan rumah. Ia hanya tempatmu menunggu.” Aku tahu maksudnya, karena di setiap malam aku mendengar suara ayah dari balik gorden yang tak pernah dibuka sejak 2003. (IV – Puisi Terakhir di Bawah Jendela) Aku dan Louise menulis di bawah jendela— aku menulis nama-nama saudara yang tak sempat dewasa, ia menulis Tuhan dengan huruf kecil dan marah. Kami selesai tak pada akhirnya tapi pada keheningan. Karena puisi ini bukan untuk dibaca, tapi untuk dibiarkan tinggal seperti rasa bersalah yang memilih menjadi bunga liar di sela-sela nisan yang tak pernah diberi nama. RJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar