Selasa, 24 Juni 2025

Zikir yang Dimasak, Kata yang Dilepaskan

“Zikir yang Dimasak, Kata yang Dilepaskan” (sajak dalam lima bagian: napas – tubuh – kata – Tuhan – sunyi) I. Napas: Awal dari Segalanya Raudah berkata: Aku menyebut Tuhan bukan di masjid, tapi di dalam uap nasi yang terbang ke langit sore. Di sana, aku tulis kalimat tauhid dengan tangan yang baru saja mengusap keringat. Sutardji datang mengguncang huruf: tu... han... tuh... tu... tuh... hhhhhh... napas jadi bait, suara jadi dentum, iman meletup dalam suku kata. II. Tubuh: Tempat Rahasia Bersarang Raudah: Tubuhku ini sajadah yang terus dilipat, disentuh air wudhu dari embun cucian, tapi tak pernah dipanggil ke mimbar. Sutardji: tubuh-tubuh adalah puisi, adalah mantra sebelum huruf tahu ejaan. aku lelah menyebut tubuh dengan huruf Latin— kuserahkannya pada z yang berputar, pada i yang ingin kembali ke titik. Dan mereka bertemu: Raudah dalam tubuh yang diam, Sutardji dalam tubuh yang meledak jadi suara. III. Kata: Antara Zikir dan Ledakan Raudah mengucap “Subhanallah” sambil membungkus nasi untuk anak. Bukan keras. Tapi Tuhan tahu isinya: bukan bunyi, tapi nyawa. Sutardji mencabik-cabik bait: sub-sub-sub-sub HAN—Allah! alah-alih-lah-lalelalah! karena dalam kekacauan pun Tuhan hadir di antara huruf yang menolak mati. IV. Tuhan: Tak Pernah Jauh Raudah: Tuhan tak turun dari langit, Tuhan naik dari napas anakku yang tidur di lantai kayu. Aku menyentuh-Nya bukan dari sajadah indah, tapi dari piring pecah yang tetap kubersihkan dengan cinta. Sutardji: Tuhan adalah kata yang belum selesai. Aku tiupkan-Nya ke dalam puisi, agar huruf pun tahu jalan pulang. V. Sunyi: Di Mana Semua Akhirnya Berkumpul Raudah diam. Ia tahu: puisi terbaik adalah saat tak ada yang bisa ditulis karena semua sudah menjadi doa. Sutardji meledakkan kata terakhir: su... nnn... yyyi... sshhh... Dan Tuhan pun menjawab bukan dengan huruf, tapi dengan cahaya yang jatuh di panci-panci yang diam.

Raudah Jambak Masa Depan

Raudah Jambak di masa depan—ia tetaplah tubuh lelaki gagah yang lahir dari ladang, dari rahim bahasa ibu, dari dapur dan halaman rumah kayu yang menyimpan aroma daun salam dan luka-luka sejarah. Namun di masa depan, namanya tak lagi hanya ditulis di ruang-ruang senyap sastra sunyi; ia mulai bergema di ruang-ruang yang dulu hanya menyebut nama-nama besar dari ibu kota dan dunia. Raudah Jambak masa depan adalah suluk yang tak pernah selesai: Ia masih akan menulis, tapi puisi-puisinya tidak hanya dibaca, melainkan dihidupi di ruang kelas, di rumah-rumah sunyi, bahkan di forum-forum kebijakan yang mulai mengerti bahwa bahasa ibu bisa lebih sakral dari jargon negara. Ia akan menjadi nama yang disebut dalam pusaran filsafat spiritual Nusantara—karena tubuh gagahnya bukan hanya simbol imaji belaka, melainkan gerbang menuju renungan. Akan muncul anak-anak muda yang membaca “Seratus Untai Biji Tasbih” bukan sebagai karya minor, tapi sebagai kitab kecil yang mengajarkan cara pulang kepada Tuhan lewat tangan ibu, lewat cucian, lewat keikhlasan. Ia tidak akan menjadi institusi, karena Raudah bukan untuk diabadikan—ia untuk diulang. Dalam napas ibu yang sabar, langkah kokoh ayah yang tegar, dalam doa yang tidak disiarkan, dalam senyap perempuan yang tetap mencintai walau tak dipilih sejarah atau lelaki yang terlalu bersemengat menaklukkan dunia. Raudah Jambak masa depan bukan milik rak perpustakaan, tapi milik tubuh-tubuh yang terus mencintai kehidupan meski tak disebut puisi.

Mazmur dari Dapur untuk Tuhan yang Maha Lembut

“Mazmur dari Dapur untuk Tuhan yang Maha Lembut” (Puisi dalam lima bagian: tubuh – sabar – air mata – cahaya – pulang) I. Tubuh yang Memanggul Zikir, Meski Tak Tahu Namanya Raudah berkata: Aku tidak tahu bahasa langit, tapi tubuhku menyimpan doa-doa yang tidak diajarkan sekolah. Aku menyapu lantai, tapi niatku: jangan sampai anakku tumbuh dalam debu yang sama dengan ibuku. Dan dari ayat turun suara lembut: > “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” > — QS. Adz-Dzariyat: 56 II. Kesabaran yang Lebih Panjang dari Sejarah Raudah menulis: Tidak ada yang mengabadikan ibu-ibu di pasar subuh— padahal dari sana sejarah bangsa ini disuapi. Di sela cucian dan keheningan, ia berkata: "Bukankah sabar adalah zikir yang paling panjang?" Dan firman pun menjawab: > “Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” > — QS. Al-Anfal: 46 III. Air Mata Tidak Selalu Mengalir di Pipi Raudah: Aku menangis dalam panci. Anakku melihat nasi yang menggumpal, tapi tidak tahu airnya berasal dari rasa tidak sanggup yang kusembunyikan demi hidupnya. Dan Al-Qur’an pun berbicara dengan kasih: > “Dia mengetahui yang rahasia dan yang lebih tersembunyi.” > — QS. Tha-Ha: 7 IV. Cahaya yang Tidak Datang dari Listrik Raudah menyalakan pelita— bukan untuk terang ruang, tapi agar hatinya bisa melihat Tuhan di antara suara minyak mendidih dan anak-anak tidur. Ia berdoa tanpa suara. Dan Allah menjawab: > “Allah adalah cahaya langit dan bumi...” > — QS. An-Nur: 35 V. Pulang yang Tak Perlu Jauh Raudah menutup harinya dengan kelelahan, tapi bukan putus asa. Ia tahu, jika tak ada yang memahami usahanya, Tuhan tetap mencatatnya dengan huruf-huruf yang tak terlihat manusia. > “Sesungguhnya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.” > — QS. Al-Baqarah: 186 Dan puisi pun berhenti. Bukan karena selesai, tapi karena ia telah menemukan tempat pulang: pada Tuhan yang tidak pernah jauh, bahkan dari serbet yang bau asap dan tangan yang mengusap anak sambil menyebut: Ya Latif...

Nyanyian Rahim untuk Sang Cahaya

"Nyanyian Rahim untuk Sang Cahaya" (I – Ketika Dapur Menjadi Madinah yang Tak Bernama) Raudah berkata: Aku membersihkan nasi dari kutu seperti Fatimah menyapu masjid Nabi— diam, tanpa jeda, namun seluruh langit mencatat sabarnya. Setiap wajan kugosok seperti mensucikan jantung rumah, dan di sela-sela itu kusebut nama Tuhan tanpa irama, tanpa mahraj sempurna, tapi dengan napas yang Nabi katakan: > “Setiap amal tergantung pada niatnya.” (II – Tubuh Perempuan, Tubuh Ibadah) Raudah menggenggam punggungnya yang mulai bengkok dan berkata pelan: "Tubuhku bukan kitab, tapi aku telah menyalin sabda Nabi dalam gerak—bukan huruf." Di jari-jariku ada hadis: tentang menyuapi anak, tentang membersihkan jalan, tentang menangis karena takut kehilangan cahaya. Nabi bersabda: > “Sesungguhnya dunia adalah perhiasan, > dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita salehah.” Dan aku ingin menjadi puisi itu— meski tak pernah disebut dalam daftar tokoh nasional. (III – Zikir yang Tidak Dipublikasikan) Raudah: "Mereka menulis buku tebal tentang agama, tapi aku hanya sempat mengucap satu tasbih di antara cucian dan suara bayi yang menangis." "Namun Nabi mengatakan: > ‘Subhanallah, walhamdulillah, > wala ilaha illallah, wallahu akbar…’ lebih baik daripada dunia dan seisinya.” Jadi aku tidak berkecil hati karena tak hafal tafsir— aku hanya ingin zikirku tak jatuh ke lantai seperti air susu yang tak sempat diminum. (IV – Doa yang Lahir dari Letih) Raudah menyapu malam dengan suara lesu: "Ya Rabb, jadikan letih ini jalan pulang." Ia tak sempat duduk lama di sajadah, tapi di hatinya ada shalawat yang tak terputus untuk seorang lelaki yang tak pernah meremehkan kerja perempuan. Nabi ﷺ berdiri saat Fatimah datang. Beliau membela perempuan dari cemoohan zaman. Beliau mencium tangan pekerja keras dan berkata: > “Orang yang paling dicintai Allah > adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” Dan aku ingin bermanfaat, meski hanya sebagai ibu yang memastikan anaknya masih percaya pada Tuhan, dan pada kehangatan. (V – Pulang yang Tak Butuh Langit, Hanya Dada yang Luruh) Di akhir puisi, Raudah tak menulis bait terakhir. Ia hanya menyeka keringat, dan mengucap: "Alhamdulillah." Dan langit tersenyum. Karena Nabi pernah berkata: > “Kebersihan adalah sebagian dari iman.” > “Tersenyum adalah sedekah.” > “Sesungguhnya Allah melihat hati, > bukan rupa, bukan jabatan.” Maka puisi ini bukan soal kata, tapi tentang keberanian untuk tetap hidup dengan sabar, dengan cinta, dengan panci sebagai mimbar dan anak sebagai ayat.

Zikir Perempuan dan Gelombang Cahaya: Sajak untuk Tuhan yang Tak Jauh

“Zikir Perempuan dan Gelombang Cahaya: Sajak untuk Tuhan yang Tak Jauh” (I – Rahim Dunia: Tempat Zikir Pertama Berpijak) Raudah menulis: Aku tak hafal dalil, tapi tubuhku mengingat sujud ibuku di antara bau bawang dan langkah anak. Tiap desah napasnya adalah tasbih yang tak tercetak, tapi ditulis Tuhan dalam kitab yang lain. Kadirun Yahya menjawab dari maqam zikir batin: > "Cahaya Tuhan melingkupi seluruh jagat, > dan perempuan yang sadar akan getarannya > adalah penerima pertama gelombang kasih Ilahi." (II – Mihrab Dapur: Frekuensi yang Tak Terdengar) Di tengah suara sendok dan detak gas, Raudah menggumam: "Ya Rahman... Ya Rahim..." bukan keras, bukan fasih, tapi cukup untuk mengguncang langit. Sang Guru Ruhani menuliskan: > “Zikir diam adalah resonansi, > lebih kuat dari kata lantang. > Ia hidup dalam plasma jiwa, > menyalakan gerbang tujuh langit.” Dan kita tahu— Tuhan pun menyimak suara yang keluar dari tubuh lelah lebih dekat daripada speaker masjid. (III – Energi yang Lahir dari Lelah dan Ikhlas) Raudah: "Aku menyuapi dunia tanpa ditanya isi dadaku, tapi Tuhan tahu, ada doa yang diselipkan di antara sendok dan air mata." Kadirun Yahya tersenyum dalam diam: > “Energi spiritual tak diukur dari jumlah bacaan, > tapi dari niat dan detakan qalbu. > Maka perempuan yang ikhlas— > adalah pusat gelombang semesta.” (IV – Zikir sebagai Nafas, Bukan Beban) Zikir bukan beban. Ia tumbuh dalam pekerjaan harian, seperti jamur yang lembut di sela rempah dan cucian. Raudah menjadikannya irama: "Astaghfirullah... Ya Baqi... Lindungilah anak-anakku dari dunia yang kian gelap." Dan suara itu, mengalir ke langit tanpa kita tahu betapa kuatnya doa yang dicuci bersama seragam sekolah. (V – Tuhan yang Lebih Dekat dari Kecemasan) Maka, puisi ini selesai dengan napas panjang, bukan titik. Raudah menutup hari dengan tangan lelah tapi hati lapang. Kadirun Yahya menutup zikir dengan energi yang masih terus berputar melewati inti bumi dan arasy. Dan Tuhan, kita tahu, mendengar keduanya: perempuan tanpa podium, dan guru yang menyalakan cahaya dari dalam dada.

Zikir Perempuan, Cahaya Semesta

“Zikir Perempuan, Cahaya Semesta” (Puisi lima bagian: tubuh – detak – zikir – cahaya – pulang) I. Tubuh yang Hafal Doa Tanpa Teks Raudah menulis dari dapur: Aku tidak hafal seratus nama Tuhan tapi aku tahu cara menyebut-Nya dari dalam air rebusan sayur, dari luka yang tetap diam dalam pekerjaan tanpa jeda. Di dalam laboratorium ruhani, Prof. Kadirun Yahya berbisik: > “Zikir adalah energi, > yang berdenyut melampaui tubuh, > menembus tujuh langit, > pulang ke asal segala asal.” II. Detak yang Mengandung Getaran Nur Raudah mencuci beras sambil menggumam, tak keras, tak lengkap, tapi dunia tahu: itu bukan sekadar lagu ibu, itu frekuensi. Itu gelombang kasih sayang yang mendidihkan air kehidupan. Syekh Kadirun mencatat dengan tinta zikir: > “Setiap detak jantung yang menyebut ‘Hu’ > adalah langkah cahaya kembali ke Allah.” Mereka tidak bicara, tapi dunia mendengarkan mereka berdua. III. Seratus Tidak Berarti Hitungan Raudah: Aku tidak sempat menghitung biji tasbih, karena jemari ini sibuk menghitung uang jajan dan belanja minggu. Tapi dalam setiap suapan ada lafaz yang tak disebut namun tetap melayang naik menuju wajah Tuhan yang lembut. Prof. Kadirun menyambutnya dalam makrifat: > “Energi zikir tidak mengenal bunyi, > ia mengenal niat. > Dan niat yang tulus adalah partikel cahaya.” IV. Cahaya yang Tinggal di Dalam Ibu Di malam hari, Raudah tak bersujud dengan suara keras. Ia hanya diam, dengan mata yang belum sempat menutup, dan tubuh yang tetap menyebut nama-Nya dari rasa lelah yang tak pernah meminta upah. Dan malam pun penuh gema, meski tak ada adzan. Karena Prof. Kadirun telah menulis: > “Zikir diam, > ketika sempurna, > akan menyalakan langit dan bumi.” V. Pulang yang Tidak Perlu Langkah Maka mereka menutup puisi dengan napas panjang: napas perempuan yang tetap bekerja dan napas murid ruhani yang mengajar dengan gema sunyi. Di antara sendok dan kitab, antara kompor dan langit, mereka tahu: seratus biji tasbih bukan angka, melainkan jalur pulsa energi cinta, yang melingkar dari bumi kembali ke cahaya.

Suluk dari Dapur Menuju Bintang: Nyanyian Dua Jiwa untuk Cahaya

Suluk dari Dapur Menuju Bintang: Nyanyian Dua Jiwa untuk Cahaya (I — Tubuh yang Mendoakan Tanpa Disuruh) Raudah berkata: Aku mencuci piring setiap hari dengan tangan ibu, yang tak sempat menulis puisi tapi menyimpan nama Tuhan di lipatan sarungnya. Ia menanak zikir dalam air mendidih, dan menyapu lantai yang diam-diam ia anggap sajadah. Sementara itu, dari ruang yang tenang, Kadirun Yahya menggetarkan jagat: "Zikir bukan hanya ucapan, tapi resonansi semesta yang kembali pada cahaya." Mereka tidak berjumpa, tapi sunyi mereka saling mengenali. (II — Dapur sebagai Mihrab Energi) Raudah membuka jendela dan angin masuk: tak ada lafaz Arab, tak ada kitab terbuka, hanya aroma sayur dan doa yang terselip di lipatan napas. Syekh Kadirun berseru dari dalam laboratorium ruhani: "Energi zikir adalah gelombang cinta yang tak terlihat— jika engkau tahu caranya, engkau bisa menyalakan bintang di dalam dada." Dan Raudah pun menjawab dalam bisik: Aku mungkin tak pandai teori energi, tapi aku tahu tangisan anakku menggetarkan langit lebih cepat dari hitungan cahaya. (III — Langit yang Diam-Diam Pulang ke Tanah) Raudah: "Aku mendidik anak-anak dengan tubuh yang sudah tak punya waktu menolak." "Tapi semalam, kulihat anakku sujud lebih lama dari biasanya… dan aku tahu: ada cahaya yang pulang."_ Kadirun menjawab dengan zikir batin: "Tak perlu jauh-jauh, Tuhan tak bersuara, karena Ia sudah tinggal dalam dada yang tak pernah berhenti menyebut-Nya." Dan mereka bertemu dalam denyut yang tidak dicatat jam, dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh tubuh yang telah lama berserah. (IV — Surah Rahim dan Resonansi)* Raudah mencatat: "Perempuan di kampungku melahirkan anak-anak negeri tanpa tahu mereka akan dikenang atau dilupakan." "Tapi kami tetap melahirkan." Syekh menjawab dengan hikmah: "Rahim adalah ruang awal energi semesta. Zikir bukan hanya ibadah, ia adalah penciptaan kembali." Maka mereka menuliskan puisi yang tak pakai tinta, hanya jejak di antara air susu dan cahaya subuh. (V — Pulang yang Tidak Lagi Jauh) Puisi ini ditutup bukan dengan kata, tapi dengan napas panjang: napas perempuan yang tetap berdiri di dapur, dan napas guru yang menembus ruang dalam zikir diam. Dan kita tahu, perjalanan dari tubuh ke Tuhan tak perlu jarak— hanya kesediaan untuk diam.

Surat dari Dapur untuk Bumi yang Pernah Dijanjikan

“Surat dari Dapur untuk Bumi yang Pernah Dijanjikan” (puisi dalam lima bagian: tubuh, sejarah, suara, harapan, dan ingatan) I. Tubuh yang Tak Pernah Tercetak di Halaman Depan Raudah menulis dari perut rumah, di mana tubuh perempuan tak pernah disebut dalam berita, tapi di situlah bangsa dimasak— dengan sendok yang tahu arti ‘sabda’, dan tangan yang menghafal harga beras lebih akurat dari pidato negara. Pramoedya berseru dari ruang sunyi: "Tak ada keadilan bagi manusia tanpa suara." Dan Raudah menjawab dalam diam: "Tapi suara kami telah lama ditaruh di lemari belakang dapur, berkunci sabar, dan berlapis keringat." II. Sejarah yang Ditulis oleh Lelaki, Dihidupi oleh Perempuan Pramoedya memahat kisah Nyai Ontosoroh, seorang ibu yang lebih pahlawan dari banyak gelar resmi. Ia tahu: "Perempuan tidak diwarisi nama baik, tapi memikul beban sejarah bangsa." Raudah menulis nama ibunya di bagian bawah puisi, karena negeri ini tak pernah memberi ruang bagi perempuan yang hanya tahu menyuap namun tak sempat bicara tentang politik. "Kami ini barangkali bukan pelaku sejarah," tulisnya, "tapi kami penadah jatuhnya." III. Suara yang Tak Tercetak tapi Tetap Tinggal _"Sastra," kata Pram, "harus membuatmu sadar kau sedang dibohongi." Raudah pun menjawab: "Tapi perempuan di dapur tak sempat sadar, karena hari-hari hanya cukup untuk bertahan." Tapi satu hari, suara mereka bangkit dari dalam dandang, dan dari cucian, dan dari bibir anak yang hafal suara ibunya lebih daripada nama menteri-menteri. Di situlah puisi muncul— bukan dari panggung atau pena, tapi dari gerak kecil yang tak ingin disebut perlawanan. IV. Harapan yang Tak Pernah Diundang ke Rapat-Rapat Resmi Raudah menanam cabai di tanah sempit antara pagar dan parit. Itulah ekonomi kerakyatan yang tak disebut makalah akademi. Pram mencatat: "Dalam masa kelam, satu-satunya harapan adalah menulis." Dan Raudah tahu, kadang harapan cukup dengan satu anak yang pulang sekolah dan mencium tangan ibu yang tak pernah disebut pahlawan. V. Ingatan yang Tidak Bisa Dimusnahkan Buku-buku Pram dibakar, tapi namanya tumbuh lebih cepat daripada korek api. Puisi Raudah tak diajarkan di sekolah, tapi diam-diam dibaca perempuan yang merasa sendiri saat memasak mimpi. Mereka sama-sama tahu: "Yang kita lawan bukan hanya lupa, tapi sistem yang membuat lupa jadi normal." Maka mereka menulis bukan untuk abadi, tapi untuk satu orang saja yang bersedia mendengar. Dan puisi pun selesai— di sudut meja makan, di antara nasi hangat dan mata anak yang masih percaya bahwa negeri ini bisa lebih lembut, dan lebih benar.

Nyanyian dari Perempuan yang Menanak Masa Depan

“Nyanyian dari Perempuan yang Menanak Masa Depan” (puisi dalam lima bagian: tubuh, waktu, negara, bahasa, dan harapan) I. Tubuh yang Tidak Pernah Diberi Halaman Depan Raudah menulis: "Tubuhku bukan ideologi." _"Ia rumah." "Tapi rumah yang tidak tercantum dalam rencana kota." Di sela air cucian, ia menyulam puisi. Sementara itu, Sutan Takdir berseru dari majalah Poedjangga Baroe: "Kita harus menjadi bangsa yang memikirkan masa depan." "Maka kenalilah akal sebagai lentera, bukan ketakutan." Dan Raudah mengangguk sambil menyuapi anaknya: "Aku menanak masa depan dengan tubuh yang tak sempat tidur." II. Waktu yang Tidak Lagi Menunggu Sutan Takdir menulis tentang hari esok: tentang mesin, ilmu, dan keberanian meninggalkan dogma. Raudah, dalam dunia yang sama, memotong sayur dan mendengar berita: "Apakah masa depan yang kalian bicarakan akan menyempatkan diri menengok perempuan yang tetap bangun pukul lima untuk memastikan sejarah tetap makan?" III. Negara yang Lahir dari Dapur Tapi Tak Pernah Kembali Pulang Raudah berseru: "Negara bukan hanya gedung tinggi dan bendera kain, "tapi juga suara ibu yang tak disebut saat sidang." Sutan Takdir menulis: "Masyarakat baru menuntut kebebasan berpikir." "Namun kebebasan itu bukan kebisingan, melainkan kehendak sadar." Mereka sepakat pada satu hal: bahwa kemajuan bukan sekadar perubahan, tapi kemanusiaan yang tak lupa pada akar. IV. Bahasa sebagai Jembatan dan Perlawanan Raudah mencatat kata-kata Batak di pinggir resep kue: "Karena jika lidah kami hilang, "siapa yang akan menyebut nama nenek dengan benar?" Sutan Takdir menulis ejaan yang disempurnakan, membangun bahasa baru dari puing penjajahan. Ia percaya: "Bahasa bukan pusaka beku, melainkan napas zaman." Maka mereka bersama menulis dalam bahasa yang lahir dari lumpur dan diterangi cahaya kemauan. V. Penutup: Harapan Dimasak Bersama Nasi Di akhir bait, Raudah menyeka keringat sambil bersenandung: "Kami bukan lawan dari kemajuan, "kami hanya tidak ingin ditinggal oleh janji-janji kosong." Sutan Takdir meletakkan pena dengan tenang: "Bangsa besar dibangun oleh keberanian berpikir, "dan kelembutan yang berani mengakui asal." Dan puisi ini pun selesai— atau belum— karena perempuan masih menanak dan dunia masih berubah. Dan di antara sendok dan kertas, masa depan didekap agar tak hilang dalam hiruk yang tak pernah sempat mendengar suara dapur.

Surat dari Perempuan Tanah ke Tanah Airnya Sendiri

“Surat dari Perempuan Tanah ke Tanah Airnya Sendiri” (I – Rumah yang Dituliskan Sebelum Negara Menjadi Kata) Raudah menulis dari dapur, di mana suara minyak mendidih lebih nyaring dari suara pidato kemerdekaan. Ia mencatat dalam piring pecah: "Apakah tanah air tahu bahwa aku menyusui sejarah tanpa diberi halaman?" Nur Sutan Iskandar menjawab lewat suara rakyat yang melangkah dari ladang ke pengasingan: "Kami menulis dengan luka yang diturunkan oleh peta yang tak sempat kami gambar." Mereka bersua— yang satu dari bubuk cabai dan cucian, yang satu dari rak buku dan luka penjajahan. (II – Perempuan Tidak Sekadar Lambang Ibu Pertiwi) Raudah berkata: "Perempuan di kampungku bukan Ibu Pertiwi, karena kami tidak berwajah poster." Ia menulis tentang tangan ibu yang mengaduk wajan dan air mata dalam irama yang disebut ‘tanggung jawab’, tapi tak pernah disebut 'pujangga'. Nur Sutan menulis perempuan sebagai tiang rumah, tapi juga daun gugur di tengah perang yang tak selesai. "Dalam dunia yang dibangun lelaki," kata Raudah, "kami belajar menjadi Tuhan kecil yang tak dikenal kitab, tapi menyelamatkan hidup dari hari ke hari." (III – Tanah sebagai Warisan yang Tak Pernah Diberikan) Dari Payakumbuh sampai Haranggaol, kampung tidak disebut dalam parlemen. Tapi di sana— perempuan masih menanam doa di sela sayur lodeh dan nyanyian bayi. Nur Sutan mencatat: "Bangsa ini mengenal kata sebelum mengenal arti. Dan arti itu tertulis di punggung ibu yang memikul pasar subuh." Raudah menambahkan: "Negara dibangun dari hal yang kecil, tapi menghapusnya dari percakapan besar." (IV – Bahasa dan Suara yang Tidak Dipanggil Saat Pemilu) Bahasa Batak dan Minang tak hilang, ia dibungkam dengan alasan modern. Raudah menyimpan bait di saku rok harian, Nur Sutan menulis hikayat di bawah cahaya lentera. Dan keduanya tahu: sejarah tidak akan adil selama suara ibu hanya dianggap perabot rumah tangga. "Aku tidak menuntut disanjung," kata Raudah, "Aku hanya ingin anak perempuanku tahu bahwa kerja ibu adalah puisi." (V – Akhir yang Tidak Pernah Dianggap Awal) Mereka menutup puisinya bukan dengan klimaks, tapi dengan sendok diletakkan pelan, dan buku ditutup pelan. Raudah mendesah di sore lengang, sementara Nur Sutan menatap negeri yang masih menulis kebebasan tanpa membebaskan perempuan.

Gurindam Dapur dan Napas Ibu

"Gurindam Dapur dan Napas Ibu" (I – Rumah Tanpa Tiang Pun Bisa Menyusun Negeri) Raudah berkata: "Aku tidak hafal sila-sila, tapi aku menghafal langkah kaki ibuku yang menanak nasi dalam nyala kesunyian." Raja Ali Haji menulis dengan tinta kehormatan: "Jika hendak mengenal orang berbangsa, lihat kepada budi dan bahasa." Mereka berjumpa: satu menulis dari pinggan retak, satu dari kitab adat. Tapi keduanya menimba dari telaga yang sama dalamnya: ibunda pertiwi. (II – Adab Perempuan yang Tidak Tercatat dalam Buku Sekolah) Raudah: "Perempuan di rumahku berbicara dengan mata— bukan karena tak bisa bicara, tapi karena suaranya tak diberi tempat pada meja perundingan." Raja Ali Haji menjawab: "Adapun perempuan dijaga bahasanya, agar mulia tubuh dan hatinya." Tapi Raudah tahu, kadang mulia tak cukup, jika suara tak dianggap ucapan dan kerja tak dianggap pengabdian. (III – Bahasa yang Terus Menyusui Bangsa) Di kampung Batak dan Tanjung Pinang, anak-anak tumbuh tanpa tahu bahwa ibu mereka berbicara dengan bahasa yang tak dicatat kamus. Bahasa dari dalam dapur, dari sela doa, bahasa yang mengandung budi, bukan hanya arti. Raja Ali Haji mengingatkan: "Bahasa menunjukkan bangsa, kalau bahasa hilang, jati pun tergelincir." Raudah menyahut: "Bahasa ibuku tak mati, ia hanya menyamar jadi kesabaran." (IV – Negara Yang Lahir dari Air Cucian dan Tinta Hikmah) Raudah: "Negara tak dibangun dari pidato, melainkan dari tangan-tangan yang diam membersihkan lantai tanpa diberi pangkat." Raja Ali Haji menulis gurindam ke sepuluh: "Apabila banyak berkata-kata, di situlah jalan masuk dusta." Mereka berdua tahu: kebenaran tak selalu berkata-kata, kadang ia tinggal di tubuh perempuan yang membungkus nasi tanpa menuntut terima kasih. (V – Penutup: Puisi yang Tak Habis Ditulis oleh Zaman) Puisi ini tak diakhiri oleh baris terakhir. Karena perempuan tetap menanak kata dan adab tetap ditanam dalam dada meski tidak dibacakan di sekolah. Raudah melipat baju dan menyisipkan puisi dalam saku anaknya. Raja Ali Haji menutup gurindam dengan harap: "Kalau hendak mengenal diri, lihat ke dalam hati yang sejati." Dan hati itu, kita tahu, tinggal di dalam ibu, yang tak pernah mengaku pahlawan tapi terus menjaga negeri dengan tangannya yang tak pernah berhenti.

Kitab yang Tak Ditulis, Tapi Tumbuh di Dada

"Kitab yang Tak Ditulis, Tapi Tumbuh di Dada" (I – Zikir dari Serambi dan Suara Panci) Raudah menanak nasi sambil berselawat. Bukan karena tahu syairnya utuh, tapi karena tubuhnya mengingat cara bersujud bahkan dalam kesibukan yang tak pernah selesai. Di pelataran masjid, Syekh Nuruddin menyusun kalam: "Barang siapa mengenal Tuhan tanpa mengenal dirinya, maka ia telah menyembah bayangan yang menyamar." Mereka bertemu di antara jari tangan yang lelah dan pena bulu ayam yang belum kering dari tinta hikmah. (II – Perempuan sebagai Mihrab yang Tak Diagungkan) Raudah bertanya: "Apakah jalan ke Tuhan harus lewat teks dan derajat, jika perempuan bahkan tak diizinkan duduk di halaqah ilmu mereka?" Tapi Nuruddin menjawab dari kitab sirr: "Tuhan tidak bersemayam pada kata, melainkan pada qalbu yang tunduk sempurna." Maka, ia menyimak suara perempuan yang merapikan baju anaknya seperti merapikan alam, dan paham: inilah zikir yang tidak tercetak namun dicatat langit. (III – Dunia yang Tak Pernah Ditanya Apakah Ia Ingin Diam) Raudah: "Kami hidup di dunia yang tak memberi jeda bahkan untuk berpikir tentang Tuhan." Tapi mungkin, katanya, Tuhan tidak menunggu ayat yang sempurna, melainkan keringat yang tulus di antara cucian dan napas terakhir malam. Nuruddin menulis di baitnya: "Ia Yang Maujud, tak butuh ruang atau waktu, namun hadir dalam denyut dan tungku." Dan puisi pun berubah— menjadi pertemuan, bukan pengetahuan. (IV – Kesatuan yang Tidak Dihafal Tapi Dirasakan) Raudah tak pernah belajar Wahdatul Wujud, tapi ia mengerti ketika melihat bayinya tertidur bahwa seluruh alam adalah tubuh kecil yang harus ia jaga. Syekh dari Aceh pun menutup kitab, dan menunduk kepada bumi: "Yang fana menyampaikanmu pada yang Baqa. Maka jangan remehkan air mata ibu lebih dari air suci yang engkau cipratkan ke wajahmu." (V – Surah Terakhir dari Dapur dan Serambi) Mereka selesai tidak dengan kesimpulan, tapi dengan piring bersih dan halaman kosong. Karena puisi ini adalah kitab yang tak sempat ditulis dan tak pernah perlu ditulis, karena ia tumbuh: di dada perempuan yang bersabar, di pena lelaki yang mencari-Nya lewat cahaya dan abu.

Surah dari Rahim dan Rihlah

"Surah dari Rahim dan Rihlah" (Puisi dalam lima bagian: tubuh, tanah, sunyi, zikir, pulang) I. Tubuh yang Tak Diajar Tapi Tahu Raudah menulis dari lantai rumah panggung: "Tubuh perempuan seperti dinding rumah, ditopang tapi tak pernah ditanya apakah ia letih." Syekh Singkil menjawab dengan hikmah: "Diri yang mengenal asalnya, tak lagi bergetar oleh dunia." Mereka bertemu di sela malam yang sudah kehabisan lilin. Yang satu menyusui sambil menyebut asma, yang satu menulis syarah tasawuf di sela suara meriam Portugis. II. Tanah sebagai Madrasah yang Tidak Berhuruf Di Haranggaol, tanah basah oleh jejak ibu yang menyimpan doa dalam bawang dan kunyit. Raudah menyulam kata bukan dari tinta, tapi dari rendaman tangan tua dan getar kayu dapur. Syekh Singkil menulis kitab di atas punggung dunia, dengan pena air mata murid yang lupa arah. Ia berkata: "Barang siapa melihat alam, dan tidak melihat Tuhan, maka ia hanya membaca kulit dari kitab semesta." III. Sunyi Sebagai Guru yang Pertama Raudah: "Kami belajar bukan dari guru yang bersuara, tapi dari nasi yang matang dengan sabar, dan dari ayah yang tak pulang saat azan." Abdurrauf menjawab: "Sunyi itu bukan kosong. Ia adalah ruang Tuhan menunggu dipanggil kembali." Maka mereka duduk di ruang yang sama: satu menggenggam sisa sabun, yang satu memegang bait suluk. Tak ada kata. Hanya kesediaan. IV. Zikir yang Tidak Disebut Tapi Dihirup Zikir bukan hanya pada bibir— bagi Raudah, ia ada pada urat tangan yang menggiling cabai, dan napas yang menyelipkan harap ke dalam nasi anak. Syekh Singkil menulis: "Ketahuilah olehmu, hai anak Adam, bahwa zikir itu lampu yang menerangi jalan pulang." Dan mereka tahu, zikir terbaik adalah yang tidak terdengar tapi mengubah hidup. V. Pulang yang Tak Pernah Dijanjikan Dunia Puisi ini bukan akhir, karena akhir hanya milik yang menyangka hidup selesai. Raudah menata ulang dapur sebagai mihrab, Abdurrauf menutup kitab dengan senyum sunyi. Di antara mereka tumbuh bait-bait yang tidak diajarkan sekolah dan tidak disiarkan khutbah, tapi hidup di dada perempuan yang tahu Tuhan tinggal di antara jemuran dan naskah tua yang bersujud.

Sajak dari Rahim Tanah, Menuju Cahaya yang Dirahasiakan

Sajak dari Rahim Tanah, Menuju Cahaya yang Dirahasiakan (I – Perempuan yang Tidak Diajari Menulis, Tapi Terus Menuliskan) Raudah berkata: "Aku bukan pujangga, tapi aku hafal nama-nama rempah dan air mata." Ia menulis bait dari langkah kaki ibu ke dapur, dan dari suara panci bergetar yang tidak sempat jadi lagu. Di malam yang sepi, Samsuddin Pasai bersuara: "Barang siapa mengenal dirinya, maka kenallah ia pada Tuhannya." Mereka bertemu di sela sunyi yang menyulam doa antara baju basah dan zikir yang belum selesai. (II – Kampung sebagai Surah yang Belum Dibukukan) Di Balige, Raudah menulis kenangan pada ulos: "Kami tidak punya kitab, tapi kami punya peta doa pada anyaman dan napas para nenek." Di Samudera Pasai, bait-bait Arab dan Melayu menyatu dalam perahu-perahu kecil yang menyebrangi hati manusia. "Laut adalah kitab terbuka," bisik Samsuddin, "dan Tuhan berlayar di dalamnya tanpa layar." (III – Tubuh sebagai Jalan Kembali) Raudah mencatat: "Tubuhku telah menjadi jalan bagi banyak hidup, tapi tidak ada yang bertanya apakah aku juga ingin pulang." Samsuddin menjawab dengan syair: "Tiada tempat berhenti bagi si pencari kecuali pada Nur Yang Satu." Dan mereka menulis tubuh bukan sebagai beban, tetapi kapal untuk menuju cahaya. (IV – Doa yang Tidak Diajar di Sekolah) Raudah menyusun tasbih dari cucian piring, dari suara kompor dan lapar yang diam. Ia tahu: perempuan di kampungnya tak pernah hafal kitab, tapi hafal rasa sabar dari generasi ke generasi. Samsuddin pun melanjutkan: *"Barangsiapa memikul sabar, ia telah memanggul setengah dari Nur."_ Dan mereka bersama menuliskan Tuhan tanpa huruf kapital, tapi penuh getar. (V – Bait Terakhir yang Tidak Akan Pernah Selesai) Mereka tidak menutup puisi dengan kata, tapi dengan embun yang tinggal di tangan perempuan yang terus menanak harap dan lelaki yang bersujud dalam sunyi. Karena dalam puisi ini, yang tinggal bukan kata-kata, tapi jalan pulang— yang tiap langkahnya adalah tafsir dari hidup dan Tuhan yang tak pernah berhenti memanggil, diam-diam dari dalam dada.

"Sajak Seratus Bayang Menuju Cahaya"

"Sajak Seratus Bayang Menuju Cahaya" (I – Tubuh Perempuan dan Laut Rahasia) Raudah berkata: "Aku bukan pujangga. Aku hanya perempuan yang menampung hujan di tempurung." Ia menulis di sela anak menangis dan air mendidih— kata-katanya melintasi api dan duka, seperti doa yang tidak sengaja melahirkan Tuhan. Hamzah pun menjawab: "Diriku adalah laut yang dalam, tak bertepi, tak berpuisi, hanya denyut sang Wujud yang bermain dalam aliran nafas." Dan mereka pun berjalan bersama, satu dari dapur, satu dari dalam diri, menuju Rahasia Yang Sama. (II – Bahasa Diri, Bahasa Tuhan) Hamzah berkata: "Kenal akan diri, maka kenal engkau akan Nur Muhammad." Raudah mengangguk: "Tapi perempuan di kampungku bahkan tak sempat mengenal dirinya sendiri." Karena tubuh mereka dipakai untuk melahirkan dan mulut mereka dipakai untuk menyuap, tapi siapa yang mengizinkan mereka berbicara tentang Tuhan? Lalu mereka menulis puisi yang bukan syair, bukan mantra, tapi napas yang tidak ingin dipisahkan dari Sang Nafas. (III – Antara Lumpur dan Cahaya) Raudah mencuci piring dengan air mata yang tak meleleh, karena sudah ditampung sebelumnya dalam kaleng biskuit kosong. Hamzah berjalan di pelabuhan syair: "Jika kaulihat dunia, lihatlah ia sebagai jelaga— dan bersihkan cermin kalbumu hingga Kau melihat-Nya." Mereka bertemu di tepi antara lumpur dan langit, antara abu dan api, antara dirimu dan Dia. (IV – Sajak yang Tidak Dipelajari Tapi Diwariskan) Raudah menulis dari tanah yang tidak punya percetakan, tapi punya ibu-ibu yang menghafal duka dalam irama lesung. Hamzah menulis dengan huruf Arab-Melayu, tapi suaranya sampai pada jiwa yang bahkan tidak sempat sekolah. Puisi mereka tidak dikenal akademi, tapi dikenang oleh anak kecil yang tidur dipeluk puisi. (V – Penutup yang Tidak Selesai) Maka kami tahu, tak ada jarak antara perempuan yang menyuap anaknya dan sufi yang sujud sendirian di geladak kapal. Karena Tuhan tidak hanya berbicara lewat kitab, tapi juga lewat nasi yang hangus, sumur yang kering, dan puisi yang tetap ditulis meski dunia tak sudi membaca.

Nyanyian dari Tanah, Jiwa, dan Yang Tak Bisa Kembali

“Nyanyian dari Tanah, Jiwa, dan Yang Tak Bisa Kembali” (I – Rindu yang Tidak Meminta Izin) Raudah menulis: "Aku menyebut nama Indonesia di sela suara kompor dan hujan di atap seng— dan tak ada yang menjawab." Amir Hamzah bersenandung: "Sunyi, sunyi mengecup kalbu… Rasa hampa dalam tubuh…" Di antara piring kotor dan langit Batavia, dua penyair menyulam rindu: yang satu dalam bisik perempuan yang memasak malam, yang satu dalam mantra lelaki yang kehilangan rumah rohaninya. (II – Tubuh sebagai Negeri) Tubuh perempuan, kata Raudah, adalah tanah yang dipinjam negara tapi tak pernah dikembalikan. Ia menulis sambil menjemur cucian, dan baitnya mengering bersama baju-baju anak yang tak hafal Pancasila. Tubuh jiwa, kata Amir, adalah genting yang menadah hujan Tuhan tapi tak tahu kapan kering. Ia menulis dalam darah kerajaan dan doa, menyebut Tuhan dengan napas yang hampir patah. (III – Bahasa di Antara Dua Sunyi) Raudah: "Aku menulis dalam bahasa ibu yang tak diajarkan di sekolah." Ia merangkai poda, ulos, dan sambal andaliman seperti menyusun kitab. Amir: "Aku menulis dalam bahasa lama yang hampir karam, tapi setiap katanya kembali hidup di dada yang gentar oleh waktu." Keduanya bertemu di lorong antara sastra dan nasib. Bukan untuk saling menjelaskan, tapi untuk sama-sama bertahan. (IV – Surat kepada Tanah Air yang Pura-Pura Tidur) Raudah menyurat pada Indonesia: "Masih merdekakah kau, jika kami hanya ibu-ibu yang terus mengantre minyak goreng?" Amir menyurat kepada jiwa: "Adakah cinta yang tidak mengiris raga?" Keduanya tak menunggu balasan. Karena yang mereka tulis bukan surat, melainkan nisan kecil untuk mimpi yang sudah tak punya alamat. (V – Penutup: Doa yang Tak Diucapkan Tapi Tinggal) Di ujung puisi, mereka duduk di meja yang sama: di atasnya ada piring pecah dan buku tipis berdebu. Mereka tak bicara. Karena bahasa sudah cukup ditulis. Dan bait terakhir hanya napas: senyap, tapi menyeberangi zaman. RJ

Mazmur di Tengah Kerusakan dan Kenangan

"Mazmur di Tengah Kerusakan dan Kenangan" (I – Tanah yang Tidak Lagi Ramah) Raudah menulis: "Kami menanak air mata bersama nasi, karena langit terlalu pelit menurunkan hujan." Chairil menjawab: "Aku ini binatang jalang! Dari kumpulannya terbuang." Dan kami tahu: Indonesia tidak hanya melahirkan puisi, tapi juga luka yang tak bisa ditulis dengan kata-kata biasa. (II – Tubuh Perempuan dan Tubuh Negara) Di Haranggaol, tubuh perempuan menyimpan tanah dan tanah menyimpan sejarah yang tak pernah ditulis di buku pelajaran. Di Jakarta, Chairil menulis tubuhnya sendiri sebagai medan perang waktu dan maut: "Aku mau hidup seribu tahun lagi!" Tapi Raudah diam. Ia tahu, umur panjang tak menjamin suara akan didengar. (III – Ketika Kata-Kata Tak Lagi Diucapkan) Chairil menggempur bahasa, memaksanya menyatakan yang tak bisa dimengerti. Raudah menyulam bahasa agar luka tetap berbentuk dan bisa diwariskan diam-diam. Mereka bertemu di bait yang tak selesai dibaca: antara dentum dan bisik, antara “aku” yang menggeram dan “kami” yang terus berdoa. (IV – Negeri yang Tidak Sempat Pulang) Apakah Indonesia ini benar milik kita, bila suara paling lantang justru dijebloskan? Chairil menulis puisi dengan tinta amarah dan napas terputus, Raudah menulis puisi di sela sendok dan cucian piring, sambil membungkus kemerdekaan ke dalam kotak bekal anaknya. (V – Akhir yang Tak Pernah Diakhiri) Puisi ini tidak akan selesai. Karena negeri ini belum selesai dengan dirinya sendiri. Chairil telah pergi dengan puisi yang tetap berdarah, Raudah tetap di sini dengan kata-kata yang lebih pelan tapi tak pernah kalah menggugat. RJ

Mazmur dari Rahim yang Tak Diakui Negara

Mazmur dari Rahim yang Tak Diakui Negara (I – Di Ruang Tunggu Republik) Raudah berkata: “Aku menulis puisi ini sambil menanak nasi untuk anak-anakku yang ditinggal janji.” Di pojok ruang sempit Jakarta, Rendra berteriak dari panggung teater terbuka: “Kalian yang dibungkam di trotoar malam bukanlah noda— kalian adalah sejarah yang disembunyikan!” Kami menulis bersama dari dua sisi kemerdekaan: yang satu memasak sambil menangis, yang satu bernyanyi sambil memaki. (II – Tubuh dan Bendera yang Sama-Sama Terkoyak) Apakah tubuh perempuan yang dipakai untuk membayar utang, masih boleh disebut rakyat? Apakah mulut yang mencium bendera juga punya hak untuk berteriak bahwa lapar? Raudah mencatat: "Negaraku mengibarkan bendera, tapi lupa menjahit pelindung untuk tubuh ibuku." Rendra menegaskan: "Yang kalian sebut 'pelacur' lebih jujur dari politisi yang mencium tanah namun mencongkel dari bawahnya." (III – Sunyi di Dada Perempuan dan Jalanan) Dalam kampung yang dikepung baliho, dalam tubuh yang ditelantarkan pembangunan, kami menulis dengan darah haid, dengan air susu yang kering sebelum waktu. Raudah menyusun satu-satu tasbih luka, Rendra meletakkan megafon di tangan para perempuan yang tak pernah diundang bicara. “Kami bukan hantu,” kata mereka, “Kami adalah saksi paling terang dari kegagalan bangsa!” (IV – Doa yang Tidak Diajarkan di Sekolah) Tuhan, kataku, jika Engkau benar-benar dekat seperti udara, mengapa tak satu pun pejabat menghirup-Mu saat mengambil sumpah? Tuhan, kata mereka, kami mengucap asma-Mu sambil berdiri di bawah lampu merah dengan perut tak sempat kenyang dan bayi yang belum bisa mengeja "merdeka". (V – Kami Masih Di Sini, Menunggu yang Pernah Dijanjikan) Kami, yang tertulis dalam catatan kaki konstitusi, yang hidup di spasi kosong antara janji dan peluru, masih di sini. Raudah menggambar bendera dengan warna luka. Rendra mencatat peta Indonesia dari stasiun ke losmen, dari kamar sewa hingga ruang tunggu aborsi. Dan kami bertanya, dengan suara yang tak bisa lagi ditahan oleh puisi: "Masih merdekakah kau, Indonesia, jika yang berseru 'merdeka!' adalah orang-orang yang paling jauh darinya?"

Dalam Diri yang Menyimpan Langit

Dalam Diri yang Menyimpan Langit (I – Zikir yang Tidak Pernah Usai) Aku duduk di dapur ibu, menghitung biji tasbih yang hilang satu demi satu sejak pagi ia wafat tanpa sempat menyelesaikan doanya. Kupungut zikir yang tercecer di ubin, kubisikkan kembali ke dada— sebab di sana, Tuhan tak pernah jauh. Abdul Hadi menulis: "Tuhan, kita begitu dekat / seperti api dengan panas." Dan aku tahu: ibuku tak pernah belajar puisi, tapi setiap ucapannya adalah syair yang dikirimkan langsung dari langit tanpa perlu dikoreksi. (II – Tubuh Perempuan, Tubuh Sujud) Raudah mencatat tubuh sebagai sajadah yang menua— dilipat setiap malam dengan pelan, disimpan di lemari bersama doa-doa yang tak sempat dikabulkan. Di sana, perempuan tidak bicara tentang Tuhan, mereka menjahit-Nya dalam pinggiran kain, dan menyuapkannya bersama nasi untuk cucu yang belum bisa membaca. Abdul Hadi menjawab dengan hening: "Di mana lagi akan kau cari wajah-Ku selain pada wajahmu sendiri?" Maka kutatap wajahku di sendok logam yang tak sempurna memantulkan apa-apa, tapi cukup untuk membuatku menangis. (III – Antara Nafas dan Nama) Aku menyebut nama-nama-Nya dengan suara paling kecil dalam tubuh: di sela detak jantung, di antara celah napas yang tak ingin disebut zikir tapi juga bukan diam sepenuhnya. Sebab Tuhan, barangkali tak membutuhkan suara, Ia sudah tinggal di sepi yang kita abaikan. (IV – Seratus Untai, Satu Tuhan) Ada perempuan-perempuan yang tidak hafal dalil, tapi mereka hafal bagaimana cara menangis dalam posisi duduk antara dua sujud. Mereka tidak membaca puisi, tapi setiap langkah mereka adalah syair yang digoreskan ke tanah dengan tinta air wudhu dan luka. Dan dalam untai keseratus, aku menulis: “Tuhan, aku tak lagi tahu cara menyebut-Mu, tapi aku menyimpan-Mu dalam lapar yang kupikul dari anak-anakku ke rumah ini.” RJ

Nyanyian untuk Jalan yang Tidak Ditempuh

Nyanyian untuk Jalan yang Tidak Ditempuh (I – Di Tanah yang Mengingat Sebelum Kita Lupa) Raudah: Di ladang kemenyan, suara nenek mengaji tanpa kitab. Tangannya menenun ulos seperti menenun waktu. Aku menulis bukan untuk dikenal, tapi agar batu tetap tahu namaku saat lidah cucuku sudah lupa. Gjellerup: Aku berjalan melewati bayang Bodhisattva, mencari suara yang tidak keras, namun tetap menggema. Di sana, kesunyian bukan akhir, melainkan pintu pertama ke makna. (II – Diri Sebagai Bayang dari Banyak Kelahiran) Raudah: Aku terbangun di subuh yang sama, namun dengan tubuh yang berbeda: mungkin ini milik ibuku atau seorang perempuan di Benares yang tersenyum di balik tabir dupa. Gjellerup: Apakah jiwa ini pernah menjadi daun? Atau batu yang diam di kaki kuil? Dalam sajakku, aku adalah rahib yang tidak selesai memahami arti mimpi. (III – Air, Abu, dan Anak Perempuan yang Tumbuh di Antara Keduanya) Raudah: Anak perempuanku tidak lagi bisa berbahasa Batak, tapi ia menari saat hujan turun— mungkin itu sudah cukup: tubuhnya tahu apa yang tak diajarkan lidahnya. Gjellerup: Anak adalah reinkarnasi dari pertanyaan, yang tidak dijawab, tetapi dirasakan seperti nyala api dalam meditasi. Kita melahirkan bukan hanya daging, tapi kemungkinan untuk memperbaiki masa lalu. (IV – Doa yang Tidak Dikenal Agama Manapun) Kami menyusun bait seperti manik-manik tasbih: Raudah menyebut nama leluhur di antara uap nasi, Gjellerup menyebut sang guru di lorong mimpi. Kami tahu doa yang tidak bersuara lebih lama tinggal di dunia. Karena Tuhan, barangkali, tidak tinggal di langit— tapi dalam diam sebelum kita menulis satu kata pun. RJ

Nyanyian dari Dua Negeri yang Tak Pernah Menyerah pada Lupa

Nyanyian dari Dua Negeri yang Tak Pernah Menyerah pada Lupa (I – Tanah dan Mitologi yang Tak Diundang) Raudah: Aku berjalan di tepi sawah ibuku, membaca langkah-langkah yang tak pernah terdengar— jejak para perempuan yang tak pernah dimasukkan ke dalam sejarah. Mereka memintal ulos seperti para dewi yang dirahasiakan namanya dalam buku pelajaran. Spitteler: Aku berdiri di lereng Alpen, dengarkan dewa-dewa yang tidak disembah lagi, tapi masih berbicara kepada angin dan salju. Sebab mitos bukan masa lalu— ia adalah suara yang terlalu besar untuk ditulis dengan alfabet biasa. (II – Bahasa yang Tak Dipanggil) Raudah: Aku menulis dalam Batak yang patah, karena kota mengubur lidah ibuku di bawah kampanye jalan tol. Tapi tanah masih mengingat. Spitteler: Aku menulis dengan bahasa Jerman yang gemetar, mencari cara untuk membuat Olympus bercakap dengan rakyat desa. Bait demi bait, aku bangun jembatan antara suara besar dan suara kecil— dan keduanya sama sakralnya. (III – Tubuh sebagai Wilayah yang Dilupakan) Raudah: Tubuhku adalah tempat yang diwariskan bersama luka-luka yang tak pernah sempat dibalut. Aku tidak lahir dari pengakuan, aku tumbuh dari pengingkaran yang diam-diam menguatkan. Spitteler: Tubuh, kataku, adalah tempat pertempuran para dewa dan kehendak manusia yang terlalu kecil untuk menampung hasrat langit. Tapi justru di sanalah puisi muncul— di antara ketidakmungkinan yang terus bergerak. (IV – Nyanyian untuk Mereka yang Tak Diundang ke Meja Dunia) Kami menyanyikan puisi bersama, bukan untuk dikenal, tapi untuk mencatat: bahwa ada anak-anak yang tumbuh tanpa mengetahui bahwa nama keluarganya adalah kunci yang tidak dibuatkan pintu. Bahwa ada tanah yang tidak tercantum dalam peta tapi selalu hadir dalam mimpi mereka yang jauh dari rumah. (V – Penutup: Mazmur yang Tak Dicetak) Kami letakkan puisi ini di batu di daun di angin. Bukan untuk dibaca, melainkan untuk ditemukan— oleh siapa saja yang masih percaya bahwa kata adalah rumah dan mitos bukan pelarian, melainkan pulang. RJ

Nyanyian dari Dua Tanah yang Tak Mau Dilupakan

"Nyanyian dari Dua Tanah yang Tak Mau Dilupakan" (I – Negeri yang Tidak Pernah Hilang) Kami menulis dari dua ujung peta, aku dari Sumatra yang kabutnya masih menyimpan nama-nama rahasia, dan Yeats dari Irlandia— di mana hantu raja dan bidadari masih berbicara lewat rumput liar. Aku menyentuh batu nisan nenekku yang tidak punya tanggal lahir, dan Yeats menuliskan kisah tentang Innisfree, di mana kedamaian bukan keputusan, melainkan nasib. Kataku: "Setiap kampung adalah puisi yang nyaris terlupakan." Katanya: "Dan setiap mimpi adalah tanah air baru." (II – Tubuh dan Tanah yang Tak Saling Tinggal) Kami berjalan di hutan kecil, ia mencari reruntuhan kuil tua dalam pikirannya, aku mendengar bunyi lesung dari dapur ibu yang tak lagi menyala. Yeats bersenandung: "Things fall apart; the centre cannot hold..." dan aku menjawab: "Tapi dalam rumahku, pusatnya selalu dapur, dan ibu adalah tiangnya." Tubuh kami terbuat dari tempat-tempat yang pernah dirampas, dihapus dari peta, tapi tetap tumbuh di puisi, di doa, dan dalam anak-anak yang masih ingat suara perempuan saat membaca mantra. (III – Nyanyian untuk Yang Bertahan Dalam Diam) Kami menyusun bait demi bait bukan untuk dikenal, tapi agar nama-nama yang tertinggal tidak ditiup habis oleh arus modernitas. Yeats menulis revolusi sebagai tarian, aku menulis kepergian sebagai ladang yang tetap hijau meski ditinggal. Ia menyebut mawar dan batu, aku menyebut tanah dan ulos, dan kami sadar— yang kami rindukan sama: keutuhan yang tak lagi dikenal. (IV – Doa di Bawah Bintang yang Sama) Pada malam hari, kami tidak tidur. Ia menatap bintang dan menyebut mitos, aku menutup mata dan mendengar suara ayah membaca syair Batak di ruang yang kini hanya tinggal debu. Kami berdoa, tidak ke Tuhan yang sama, tapi untuk hal yang serupa: agar kata-kata bisa jadi perahu untuk pulang— meski kampung telah berubah, meski tanah telah dijual.

Nyanyian Musim dari Tanah yang Tak Pernah Terlupa

Nyanyian Musim dari Tanah yang Tak Pernah Terlupa (I – Ladang di Bawah Nama Ibu) Aku menulis dari antara ladang jagung dan kabut, di mana nama-nama perempuan diukir pada pohon jambu, dan doa-doa dilafalkan ke dalam lesung. Karlfeldt menulis dari padang bersalju, tentang tangan ibu yang mengayunkan buaian kayu, dan suara salju yang jatuh seperti rahasia kecil. Kami tak mengenal bahasa yang sama, tapi kami saling paham melalui musim. Raudah berkata: "Setiap tanah adalah halaman pertama dari buku kenangan." Karlfeldt menjawab: "Dan setiap salju adalah catatan tak tertulis dari keabadian." (II – Sunyi yang Ditanam dan Tumbuh) Di kampungku, sunyi ditanam seperti bibit kopi— menjadi harum jika diseduh dengan kenangan. Di desamu, sunyi hadir bersama malam musim dingin dan mata rusa yang mematung dari balik hutan. Kami tahu: sunyi bukan ketiadaan tapi bentuk paling lembut dari keberadaan. Maka kami diam, dan menulis puisi dengan jemari tanah dan udara. (III – Perempuan dan Padang Rumput) Raudah mencatat perempuan yang hilang dari silsilah, namun masih hidup dalam aroma sambal dan lemang. Karlfeldt menggambar gadis desa yang menganyam waktu dengan daun birch dan saga lama. Kami tahu, tubuh perempuan bukan hanya bejana, tapi peta yang dicetak dari luka dan sabar. Dan puisi kami pun memeluk tubuh itu seperti hujan memeluk padi. (IV – Musim yang Tak Bernama) Ada musim yang tak dikenal kalender, hanya dirasakan oleh kulit dan hati. Di Swedia, saat cahaya menipis, dan di Batak, saat angin datang dari danau membawa kabar dari roh-roh yang belum tenang. Kami menamai musim itu dengan sajak panjang yang tak memakai tanda titik. Karena waktu tidak usai, ia hanya pindah bentuk. (V – Penutup: Tempat Pulang yang Tak Pernah Pergi) Kami tidak menutup puisi ini. Seperti kabut yang datang perlahan— ia tinggal, lalu hilang, lalu kembali. Dan begitulah puisi kami akan diingat: bukan karena suaranya, melainkan karena sunyinya.

Mazmur untuk Tanah dan Ibu-Ibu yang Tak Sempat Kembali

Mazmur untuk Tanah dan Ibu-Ibu yang Tak Sempat Kembali (I – Tanah Sebagai Rahim) Kami datang dari perut bumi: aku dari Haranggaol kau dari Lembah Elqui tempat perempuan menanam bayang-bayang agar pohon bisa tumbuh dari kehilangan. Raudah menulis: "Ibu bukan hanya tempat lahir, tetapi tempat kembali— yang tak selalu terbuka lagi." Lucila menjawab lewat nyanyian ibu petani, yang menggendong anak-anak angin dengan lagu-lagu yang tak pernah tuntas. (II – Tubuh Perempuan, Tubuh Dunia) Kami menulis puisi bukan dari buku, tetapi dari luka yang diturunkan seperti warisan yang tak bisa diwarisi. Lucila berkata: "Bebaslah kau, anakku, dari napas yang dibungkam." Raudah menyahut: "Tapi bagaimana membebaskan jika tubuh sendiri dikunci sejarah?" Tubuh perempuan adalah negeri yang tak pernah diakui dalam peta: ada gunungnya, ada lembah sunyinya, dan sungai air susu yang kering sebelum mengalir. (III – Doa yang Tidak Tercatat) Kami berdoa— bukan ke langit, tetapi ke tanah dan jendela dan piring yang retak dan suara ibu yang hanya tinggal di mimpi. Kami tahu Tuhan hadir dalam pisau dapur yang tetap diasah, dalam surau yang tetap dijaga meski anak-anak sudah lupa doa. (IV – Mazmur yang Terjadi di Dapur) Lucila memasak nasi dengan tangan dingin, aku memotong bawang dengan doa yang pelan. Kami tak menyebut nama lelaki— hanya bayangan mereka yang keluar masuk pintu tanpa suara, tanpa janji pulang. Kami menulis puisi di atas taplak, bersama cangkir yang kosong dan sendok yang menunggu seperti dunia menunggu perbaikan yang tak kunjung datang. (V – Penutup yang Tidak Selesai) Kami tahu, ini bukan akhir. Karena sajak-sajak ibu selalu tertinggal di kursi yang miring, di jendela yang tidak dikunci, di nyanyian yang tidak dinyanyikan lagi.

Antara Batu dan Asal: Sajak untuk Yang Telah Hilang

Antara Batu dan Asal: Sajak untuk Yang Telah Hilang (I – Batu yang Pernah Dihuni) Di tebing curam itu, aku melihat batu-batu purba dengan bayangan yang masih mengendap. Raudah menulis: "Ini bukan sekadar tanah— ini dada ibu yang tak pernah kosong meski telah lama ditinggal." Quasimodo mendengar dan menjawab: "Ognuno sta solo sul cuore della terra... trafitto da un raggio di sole." Setiap dari kita sendiri, menjadi luka di dada bumi yang tetap mencoba bermekaran. (II – Surat dari Kuburan Tak Bernama) Kami menulis puisi untuk mereka yang tidak sempat meninggalkan jejak, karena waktu lebih cepat daripada tangan. Kami ukir nama dengan kata-kata sebab batu nisan kadang dihapus angin, kadang sengaja tak diberi nama. Raudah mengenang perempuan-perempuan yang menjual ulos di perempatan, Quasimodo mengenang ibunya yang tak sempat melihat anaknya pulang. Keduanya menyebut "rindu" bukan sebagai rasa tapi sebagai tubuh yang tak sempat menyentuh kembali. (III – Sunyi di Dalam Dada Dunia) Kami berjalan di antara reruntuhan— bukan kota, tapi bahasa yang pernah hidup. Aku menyebut poda, ia menyebut silenzio. Dan kami tahu: sunyi itu sama, di Sumatra atau Sicilia. Kami menulis bukan untuk dikenang, melainkan agar kenangan punya rumah untuk menetap. Bait demi bait, kami menambal luka yang tidak bisa dijahit oleh waktu, oleh sejarah, oleh negara. (IV – Doa di Punggung Angin) Di akhir puisi, kami tidak menutupnya. Karena beberapa sajak perlu terbuka selamanya— agar arwah bisa lewat, agar batu bisa bicara, agar pohon bisa membaca kembali kisah yang ditinggalkan anak cucunya.

Nyanyian Jauh dari Angin dan Tanah

Nyanyian Jauh dari Angin dan Tanah (I – Ritus Pertama: Tanah yang Ingat) Di lembah kemenyan dan sisa suara gondang, aku menulis bukan untuk hari ini, tapi untuk embun yang jatuh pada daun yang sudah jatuh terlebih dahulu. Raudah, putri tanah Haranggaol, mencium aroma padi yang mengering sebelum panen, dan berkata: “Bumi tidak hanya memberi makan, ia juga menyimpan surat-surat yang belum dibuka.” (II – Ritus Kedua: Angin yang Melintas Tanpa Nama) Saint-John Perse datang dengan angin, angin yang tidak mencari arah, hanya melintas, membawa pasir dari gurun dan waktu dari abad lain. Ia menulis: "Dan langit, yang belum pernah mengenal nama kita, menerbangkan jiwa lebih jauh dari roh para raja." Aku tak sepenuhnya mengerti, tapi aku tahu: ada luka yang hanya bisa diterbangkan, bukan disembuhkan. (III – Ritus Ketiga: Tubuh yang Tak Kembali) Tubuhku adalah jalan pulang yang tertutup kabut, tangan-tangan leluhur menyentuhku lewat suara hujan. Perse berkata: “Bawalah tubuhmu seperti batu di sungai, biarkan ia menghilang dalam aliran puisi.” Aku menulis sambil memijak tanah berlumpur yang pernah menjadi darah peperangan suku. Ia menulis sambil berjalan di atas awan, tapi kami bertemu— di garis sunyi yang memisahkan langit dan bayang. (IV – Ritus Terakhir: Doa Tanpa Agama) Kami menulis puisi panjang, panjang seperti akar yang tak tahu apakah ia tumbuh ke dalam atau ke luar. Raudah menggurat tanah dengan kata: parhudam, na molo marsipature, dan Perse mencatat langit dengan suku kata tanpa bunyi. Di ujung puisi, kami tak mengerti siapa berbicara lebih dulu. Karena puisi ini bukan milik mulut, tapi milik napas— dan napas, kadang berasal dari tempat yang tak kita kenal. RJ

Surat-surat yang Tidak Dikirim dari Tanah yang Terbakar Cinta

Surat-surat yang Tidak Dikirim dari Tanah yang Terbakar Cinta (I – Di Antara Gunung dan Ombak) Aku tumbuh dari tubuh ibu yang memintal tenun di antara doa dan abu, sedang kau, Pablo, lahir dari laut— ombakmu mencium karang dengan gairah yang bisa menghancurkan batu. Aku menulis tentang dedaunan yang gugur dengan suara perempuan tua yang pelan, sedang kau menulis cinta seperti darah yang meletup di dada dunia. Namun malam adalah milik kita berdua, karena puisi tahu bagaimana menyentuh yang tak bisa disentuh. (II – Tubuh sebagai Negara Tanpa Bendera) Aku mencintai dengan diam, seperti pohon kopi mencintai hujan. Tapi kau mencintai seperti api membakar surat-surat rahasia dari revolusi. "Setiap ciuman," katamu, "adalah proklamasi takdir." Tapi bagiku, ciuman adalah bisikan di bawah langit rusak yang tidak ingin dilihat siapa-siapa. Kami menulis tubuh bukan sebagai tubuh, tapi sebagai peta kesedihan— tulang sebagai sungai, kulit sebagai pegunungan, tangan sebagai jalan pulang yang tak pernah bisa disusuri lagi. (III – Tanah, Rakyat, dan Puisi yang Tak Disambut) Kau menulis: "Puedo escribir los versos más tristes esta noche..." Dan aku diam. Karena di kampungku, kesedihan tidak perlu diumumkan. Ia cukup hadir di retakan piring lama, di kata-kata yang tidak selesai diucapkan ibu. Tapi kami bersatu di bawah tanah, di mana puisi bukan pelarian melainkan akar. Kami menggali kata demi kata hingga darah dari sejarah keluar— dan mencium aroma kesabaran yang tak selesai. (IV – Di Meja Makan yang Sunyi) Kau mengangkat gelas anggur dari Valparaíso, aku menyuguhkan sambal andaliman dan air jeruk purut. Kami bicara lewat sajak: tentang negara, tentang perempuan, tentang kesepian. Dan meja itu menjadi altar, tempat kami mempersembahkan segala yang tak bisa dimenangkan dengan perang atau dimenangkan dengan cinta— hanya bisa dituliskan berulang kali, hingga dunia bersedia mendengarnya. RJ

Tanah Ibu, Tubuh Anak

Tanah Ibu, Tubuh Anak (I – Sebelum Kata-Kata) Ibuku menanam cempaka di tanah yang belum sempat bernama. Aku belum lahir— tapi sudah dicintai dengan sedih. Louise menulis: "Even now, all possible feelings do not amount to a story..." Dan aku tahu, kisah kami tidak akan menjadi cerita— hanya gugur yang tidak disaksikan di halaman kosong itu. (II – Suara yang Tertinggal) Di kampungku, tidak semua suara dimaksudkan untuk didengar. Ada suara yang hanya untuk tanah, dan tanah menyimpannya seperti rahim menyimpan rahasia. Glück menulis tentang taman, tentang bunga yang tumbuh dari kehilangan. Aku menjawab lewat sunyi dapur ibu: bunyi pisau, sendok yang jatuh, tak ada yang memanggil namaku, dan itu sudah cukup jadi puisi. (III – Tubuh yang Tidak Pergi) Tubuhku adalah ladang basah, penuh benih yang tak pernah diminta tumbuh. Ia tetap tinggal bahkan saat aku ingin meninggalkannya. Dia bilang: “Tubuh bukan rumah. Ia hanya tempatmu menunggu.” Aku tahu maksudnya, karena di setiap malam aku mendengar suara ayah dari balik gorden yang tak pernah dibuka sejak 2003. (IV – Puisi Terakhir di Bawah Jendela) Aku dan Louise menulis di bawah jendela— aku menulis nama-nama saudara yang tak sempat dewasa, ia menulis Tuhan dengan huruf kecil dan marah. Kami selesai tak pada akhirnya tapi pada keheningan. Karena puisi ini bukan untuk dibaca, tapi untuk dibiarkan tinggal seperti rasa bersalah yang memilih menjadi bunga liar di sela-sela nisan yang tak pernah diberi nama. RJ

Di Antara Yang Tidak Diucapkan

Di Antara Yang Tidak Diucapkan (I – Waktu yang Terlupakan) Langit perlahan turun ke ladang, bukan karena malam tapi karena sesuatu pergi tanpa pamit. Di ruang tamu rumah ibuku, jam dinding berhenti pukul tiga— sejak hari ayah tak kembali dari pasar. Tak ada yang memperbaikinya. Dan waktu pun membeku seperti bisu dalam puisi Jon. (II – Di Lereng dan Lereng Lagi) Fosse menulis: “kau berdiri lalu kau tidak berdiri lalu sesuatu di antara itu terjadi.” Raudah menjawab lewat daun pisang yang rebah: “ada peristiwa yang tak tercatat karena terlalu pelan untuk dianggap nyata.” Kami berdiri di tebing – dia menatap laut fjord, aku menatap danau Toba yang berkabut, sama-sama menanti gema yang tidak akan datang namun tetap kita tunggu, karena itulah makna dari percaya. (III – Bahasa Ibu, Sunyi Anak) Aku mencoba bicara dengan kata yang kupelajari sebelum tahu artinya: poda, naposo, pariban. Ia mencoba mendengar dengan telinga yang terbiasa pada salju jatuh bukan suara perempuan yang memintal ulos. Kami berdua menulis dengan bahasa yang nyaris lenyap bukan karena dilupakan tapi karena terlalu dalam hingga tak bisa naik ke mulut. (IV – Doa di Tepi Lain) Kami duduk menghadap arah berbeda tapi keheningan kami saling menyapa. Aku menulis puisi ke tanah ia menulis ke angin. Dan suara-suara datang, tidak keras, tidak terburu, hanya hadir. Seperti embun pagi yang tidak meminta disambut. RJ

Di Mana Tubuh Adalah Tanah, dan Tanah Adalah Luka

Di Mana Tubuh Adalah Tanah, dan Tanah Adalah Luka (I — Tanah dan Tubuh) Ibuku menanam bunga melati di halaman belakang, di bawah tanah yang pernah jadi kuburan Belanda, aku bertanya: "Bisakah bunga itu mengingat tulang yang dilupakannya?" Han Kang menulis dengan jarinya yang halus, tentang tubuh yang memilih diam, seperti pohon yang tak ingin berbicara karena terlalu sering ditebang kata-kata. Kami berbicara tentang tubuh perempuan yang menjadi medan perang dari sejarah: dari Seongbuk-dong hingga Padang Lawas, dari napas terakhir gadis penjaja ikan hingga suara ibu yang tertahan di kerongkongan. (II — Bahasa yang Tak Lagi Didengar) Aku menulis dalam Batak yang patah, ia dalam Hangeul yang retak oleh modernitas. Kami berbicara dalam jeda, karena bahasa luka sering kali sunyi. Han bertanya: "Apakah puisi bisa menyembuhkan yang tidak bisa dijelaskan?" Aku menjawab: "Kadang, puisi hanya duduk di sebelah luka, tanpa menghakimi." (III — Daun yang Gugur di Dua Negeri) Kami berjalan di kebun ginko— ia menunjukkan daun-daun kuning itu: "Lihat, mereka gugur dengan anggun, seperti wanita yang tahu kapan harus pergi." Aku menjawab, sambil menunjukkan pohon ketapang tua: "Di kampungku, daun jatuh dengan derit angin, mengabarkan musim yang tak pernah punya nama." (IV — Doa Tanpa Suara) Di akhir senja, kami menulis bersama: dia menggambar burung dengan paruh berdarah, aku mencoretkan salib kecil di antara akar. Kami tidak tahu ini puisi atau doa, tapi kami tahu: dunia butuh keduanya. RJ

Di Tengah Peta yang Pernah Bergelombang

Di Tengah Peta yang Pernah Bergelombang (I) Aku menulis dari tepi sawah— di mana petani masih menyebut bumi dengan bisikan. Langit sore menurunkan debu kunyit di atas daun pisang, dan nenekku berkata, "Segala yang tumbuh harus diajak bicara." (II) Kipling, dari bayang kapal-kapal uap, berjalan di atas palka waktu, membawa jurnal dari Burma, India, dan Afrika Timur. Ia berkata: “Empayar tumbuh dari larik dan laras, dan kadang, dari puisi yang mengangguk pada takdir.” (III) Kami bersua di meja kayu— aku menyuguhkan kopi Mandailing, ia membuka halaman-halaman berdebu dari The Man Who Would Be King. Aku membaca puisinya: "If you can keep your head when all about you Are losing theirs..." dan menyisipkan pantun duka di sela bait-baitnya yang gagah. (IV) Kami bicara tentang kampung yang berubah jadi jalan tol, tentang anak-anak yang lebih akrab dengan bahasa asing ketimbang suara ibu yang penuh embun. Dia bertanya: "Apakah kemajuan berarti melupakan akar?" Aku menjawab: "Atau akarkah yang diam karena terlalu sering dicabut?" (V) Kami menulis bersama— aku menanam metafora di ladang sawah, ia mencangkul simbol di gurun pasir keraguan. Puisi kami melintasi lintang dan bujur, menjadi peta yang tak mengukur daratan, tapi kenangan. RJ

Mazmur untuk Akar dan Langit

Mazmur untuk Akar dan Langit Di halaman tua rumah ibuku, pohon duku berdiri seperti doa yang membatu. Ranting-rantingnya mengingatkan pada syair tua Latin— yang kukenal dari suara angin berdesir di balik sirap surau. Carducci, dari sisi lain bumi, menuliskan matahari sebagai dewa yang membakar kenangan tanah kelahirannya, melampaui reruntuhan kuil, menuju hati kaum petani yang tak lagi menyanyi. Kami bertemu di simpang waktu: aku membawa anyaman rotan dari Balige, ia membawa kitab klasik dari masa Italia bersatu. Kami duduk, dua arwah dalam tubuh kertas, menyulam baris-baris dari luka dan tanah. Katanya: "Bangsa yang lupa sejarahnya, serupa padang rumput tanpa rerumputan." Jawabku: "Dan puisi yang lupa kampungnya, adalah ombak tanpa pantai." Kami menulis dengan pena berbulu burung garuda dan elang, menulis tentang anak-anak yang tak lagi bicara Batak, tentang sajak yang bersarang di kitab sekolah, namun tak kunjung berakar di dada. Lalu malam turun, Carducci membaca bait Latin dengan suara berat, aku mendendangkan pantun sendu dengan irama gondang yang pelan. Kami berdoa, dengan bahasa masing-masing, untuk dunia yang masih mau mendengar. RJ (raudah Jambak)

Serumpun Angin, Sepasang Matahari

Serumpun Angin, Sepasang Matahari Di lembah nan gemetar oleh bisikan bambu, kulihat bayangmu menari di antara kabut pagi, ibuku berkata: angin itu membawa rindu nenek moyang, yang menanam padi dengan doa, memanen dengan nyanyian. Sedang di Provence, pohon zaitun menyala keperakan, Mistral meniupkan dongeng dari abad yang lalu, tentang gadis dengan sabit bulan di dahi, dan pemuda yang membaca puisi dari tanah. Kami sama: penjaga bahasa yang hampir punah, menenun syair dari benang-benang bahasa ibu, aku dengan Batak yang gugur pelan dari lidah kota, dia dengan Occitan yang bernyanyi di antara guntur. Kami berjalan di jalan terik, kau di lembah Lavande, aku di simpang sawah Deli, menyebut nama-nama lama yang nyaris dilupakan: Jambak, Siregar, Lou Soulèu, Lou Vent. Adakah tanah lebih suci dari kenangan? Kami tulis ini di lembaran daun tua— aku dan Frédéric, dua bayang di dua dunia, satu suara dalam irama bumi yang sama. RJ

Doa dari Tanah yang Tumbuh

Doa dari Tanah yang Tumbuh Aku menanam kata di tanah yang disiram azan dan lagu rakyat, tiap akar berbisik: “Cinta pada Tuhan adalah cinta pada sesama.” Langit bersih tak mengenal bendera, tapi tanah tahu: di balik baju petani dan peluh ibu ada puisi yang belum sempat dibacakan bangsa. Aku tiup seruling dari batang bambu, melodi yang tak memilih bahasa— hanya harapan agar dunia membaca: takdir bisa ditulis ulang dengan tinta kasih dan iman yang jernih. RJ (RAUDAH JAMBAK)

DALAM JEDA YANG LURUH

Dalam Jeda yang Luruh Aku menulis dengan air wudu pada kaca pagi yang berembun, cinta tak perlu suara— cukup sebutir bayangan yang tak sempat menetap di pelupukmu. Hatiku gemetar oleh hal yang sederhana: bunyi hujan di genting bambu, detak jam tua di surau kecil— dan getar rindu yang lembut seperti bisikan jiwa yang tak selesai. Andai segala yang rapuh adalah doa, maka aku adalah luka yang belajar bersabar menunggu makna tumbuh dari senyap. RJ

NYANYIAN DI UJUNG DO'A

Nyanyian di Ujung Doa Aku temukan Tuhan bukan di langit tinggi, melainkan dalam bisik angin yang menyisir rambut embun pagi. Daun-daun bersujud dalam diam, seperti aku yang ragu namun tetap mengulang zikir dalam jantung yang kadang lelah percaya. Sinar mentari menyentuh lantai sajadah, dan burung-burung tak tahu mereka sedang menyanyikan ayat yang tak sempat kutulis dalam buku doa. Jika cinta adalah cahaya, maka aku adalah bayang-bayang yang belajar tetap ada meski nyala sempat padam. RJ

Di Antara Butir Tasbih dan Bintang

Di Antara Butir Tasbih dan Bintang Aku duduk, menghitung sunyi satu butir tasbih, satu lintasan makna— Tuhan tak tergesa, tapi aku menanyakan arah pada jam dinding yang tak pernah benar-benar bicara. Dalam cermin, wajahku tertukar antara aku yang percaya dan aku yang pura-pura paham kenapa doa terdengar seperti pertanyaan retoris bagi langit yang dingin. Sehelai daun jatuh di sajadah, mungkin ia lebih tahu arti pasrah daripada aku yang menekan tombol "amin" lalu mengecek notifikasi seolah wahyu datang lewat pesan singkat. RJ