Selasa, 19 Oktober 2010

Aldian Aripin Dalam Perjalanan

Maka pulau Bangkapun terlampaui
Benturan-benturan ombak di haluan
Memukul-mukul hatiku yang rindu

Elang yang duka bertengger di kayu terapung
Mengucapkan salam, selamat jalan kepadaku
Perantau larut dalam perjalan pulang

Matahari yang jingga keemasan
Sebentar lagi 'kan silam, tenggelam
Di balik-balik Bukit Barisan

Ketika ini, di senja begini
Kutahu dia sedang mengulangi membaca
Telegram yang kemarin aku poskan:

"Aku pulang, datang bersama kematangan
Yang akan kutumbuhkan dalam hatimu,
Nantikan daku sayang, di pelabuhan."

1964.
(Dalam Perjalanan,Aldian Aripin)

NAMA Aldian Aripin tentu tidak asing lagi dalam jagat sastra Indonesia. Biodatanya kepengarangannya bisa dibaca dalam Leksikon Susastra Indonesia-nya Korie Layun Rampan ataupun Buku Pintar Sastra Indonesia-nya Pamusuk Eneste.

Karya Aldian Aripin secara lengkap dapat dilacak dalam buku Aldian Aripin: Penyair, Karya, Rentang Waktu, dan Lingkup Jelajahnya. Buku ini mengungkap sejarah kepenyairan beserta pumpunan antologi puisi yang ditulis Aldian Aripin, diterbitkan Sastra Leo, Medan, tahun 2001. Aldian Aripin adalah seorang penyair Angkatan 66 yang berasal dari Sumatera Utara.

Buku ini memang terbit tahun 2001. Namun, karya-karya yang muncul masih layak hingga kini. Apalagi, sang penulis tercatat sebagai penyair Angkatan 66 yang kerap mengikuti perkembangan sastra di Indonesia.

Karena itu, di antara jajaran sastrawan ”Angkatan 66” Sumatera Utara, sepatutnya kita tengok ruang-ruang dan lingkup jelajahnya. Ada keistimewaan tersendiri pada diri sastrawan gaek ini. Betapa tidak, di saat memasuki usia pensiun, ia menyempatkan diri mengumpulkan kembali karya-karyanya yang terserak dalam sejumlah buku. Lalu disatukan dan dikompilasi.

Sejauhmana kehebatan wilayah ucap Aldian? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa meminjam pernyataan Siahaan (Aripin, 2001:199), bahwa pada awal kepenyairan, Aldian menyenangi puisi-puisi romantis lalu berubah ke penciptaan puisi imagis yang terpengaruh dari penyair Amerika, Carl Sandburg. Proses selanjutnya ia beralih menulis puisi-puisi mistis-metafisis.

Karya-karyanya dalam buku ini merupakan kumpulan-kumpulan puisinya yang sudah terbit dari tahun 1966-1998 dan sejumlah puisi yang belum terbit. Buku ini memuat kumpulan puisi ‘Ribeli 1966’, ‘Oh Nostalgia’, ‘Elipsis’, ‘Nyanyian Malam Hari’, ‘Amanat’, ‘Comemorative Stone and Other Poems’, dan sejumlah puisi yang terkesan ’dibuang sayang’. Selain itu, buku ini juga memuat beberapa komentar dari para kritikus sastra dan dari pengarang sendiri serta proses kreatifnya dalam berpuisi.

Diawali dengan bagian pertama yang diberi judul ‘Labyrinth’, berasal dari kumpulan puisi Ribeli 1966. puisi-puisi dalam kumpulan ini umumnya mengandung nilai-nilai perjuangan seperti dalam puisi yang berjudul Revolusi: “Revolusi kita adalah revolusi rakyat/yang menegakkan kebenaran, menuntut keadilan/siapa yang khianat/Tahanlah ujung peluru//.”

Atau pada bait terakhir puisinya yang berjudul Akan Tiba Waktu: ”//..//Lihatlah, jutaan tangan teracun/dengan satu tuntutan/Turun tahta!//.” Nilai-nilai perjuangan ini timbul karena sang penyair merasa gelisah akibat ketidakadilan dan kesewenangan pemerintah. Nilai-nilai perjuangan juga terdapat dalam puisi-puisi yang berjudul ’Labyrinth’, ’Elegia Ibukota’, dan ’Akulah Tanah Air’.

Lalu pada bagian kedua yang dipetik dari kumpulan puisi ’Oh Nostalgia’, Aldian menyusun puisi-puisi romantisnya. Hal ini terlihat pada puisi-puisi yang berjudul Balada Penyair dan Gadisnya, Mimpi, Sebuah Kamar, Perempuan, Midah, dan Marilah Sayang.

Ia juga berbicara tentang cintanya yang ditolak dalam puisi Dendam: “Perhitungan-perhitungan yang salah/menyayat hatiku luka parah//...//Jalan berliku, ujungnya menanjak/hatiku sendu, hasratku ditolak//Bertahan atas kelabu, luka kian meruyak/padakertas kusuratkan dendam yang bergejolak//.”

Pada bagian ketiga, Aldian berbicara lewat puisi-puisi singkat yang diambil dari kumpulan ’Elipsis’. Ia berfilosofi tentang Tuhan dan manusia. Simak saja puisinya yang berjudul Ada: ”Adakanlah dirimu/maka/engkaupun adalah//Dan tetap ada/hingga/segalanya punah//.”

Filosofinya tentang Tuhan dan manusia juga terdapat dalam puisi Metafisika, Manusia, Akulah Manusia, Guruh di Jauh, Enneth, Au Revoir, Perjuangan, ’Adam Kesadaran Pertama, Nafi-Isbat, Beban, Kita Memang Suka, Benar, dan masih banyak lagi.

Aldian juga bercerita tentang cinta seperti dalam puisi Ketilang: ”Dendang hati rindu/ketilang di ranting kayu/sendu kicau yang sedih/ketilang kehilangan kekasih/bedil angin di tangan/telah memupus angan//.”

Dalam puisi di atas, meskipun singkat, bisa dilihat kisah cinta seekor ketilang yang kesepian karena ditinggal mati oleh kekasihnya. Pada bait terakhir Aldian menjelaskan bahwa ternyata kekasih ketilang itu telah mati karena dibuhnuh oleh manusia. Pada puisi ini terlihat jika manusia hanya mementingkan kesenangan untuk dirinya sendiri saja. Manusia tidak bisa (mau) melihat apakah kesenangannya itu bisa menyengsarakan makhluk (manusia) lain atau tidak.

Pada bagian keempat, yang diambil dari kumpulan puisinya yang berjudul ’Nyanyian Malam Hari’, Aldian bercerita tentang Bulan Sabit, Orang di Luar, Pintu, ’Jendela, Lampu, Kursi, Meja, Paku, Kalender, Cermin, Rak Buku, Bayangan, Angin Malam, dan benda-benda lain yang menarik hatinya untuk diungkapkan dalam puisi.

Ia juga masih mengungkapkan sisi romantisnya dalam puisi ’Kekasih’: ”Bila aku memandangmu ketagihan/Adalah karena rangsang rasa gairah/Lalu kurentang kedua tangan/Bolehlah dadaku kau belah//Maukah kau tahu/Bahwa besi yang pijar inginkan tempa/Karena pasti kau tahu/Aku terpana karena tergoda//.”

Dalam puisi di atas, ia menceritakan seseorang yang sedang dilanda asmara. Aldian tak lupa mengungkapkan masalah-masalah kehidupan hingga kematian seperti dalam bait terakhir puisinya, Ketakutan Pada Mati: ”Betapa benarkah perihnya/Betapa hebatkah ngerinya/Batas antara hidup dan mati//.”

Pada bagian kelima yang berasal dari kumpulan puisi yang berjudul ’Amanat’, Aldian lebih mengarah kepada sisi spiritual. Puisi-puisi yang bersifat mistis-metafisis mengungkapkan sisi religius, tentang keimanan manusia terhadap Tuhannya.

Pada puisi Man Roa Minkum Munkaron, Aldian mengungkapkan tipisnya keimanan manusia sekarang karena malas dan suka bermewah-mewah. Simak saja puisinya di bawah ini:

Sesungguhnya

telah enggan para malaikat

menyentuh mesjid-mesjid yang megah

yang setiap menjelang waktu sholat

memutar kaset mengumandangkan ayat-ayat

sedang di situ berjejer lusinan kitab

dan di antara jamaahpun ada yang fasih

dan lancar membaca Al-Qur’an

Namun para nazir jarang

yang menyadari akan kealpaan ini

ia malah terlena termangu-mangu dibuai

oleh alunan lagu dari qori yang telah

direkamkan

Sabda telah dilecehkan

firman telah diperjualbelikan

kita tinggal menerima laknat dan kutukan

bencana yang berkepanjangan.

Selain itu, semangat religinya terdapat pada puisi Tentang Sebuah Mesjid, Perjalanan Malam Hari, Karunia, Amanat Bagi Pencari, Batu Hitam, Thawaf, Dzikrullah, Qolbulmukminina Baitullah, Sang Pemandu, Penobatan, Tentang Ruh, Titah, Baiat, Urusan, dan Laisa Ka Mishlihi Syaiun.

Kemudian pada bagian keenam, Aldian mengumpulkan puisi-puisinya yang berbahasa Inggris dalam ’Comemorative Stone and Other Poems’. Semua puisi dalam kumpulan ini pun sudah diterbitkan dalam kumpulan puisi sebelumnya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Aldian sendiri dan Harry Aveling, sastrawan dari Australia.

Lalu pada bagian ketujuh, buku ini memaparkan sejumlah komentar dari para kritikus sastra. Drs. M.S. Hutagalung menyatakan bahwa puisi-puisi elipsis Aldian tidak sanggup mendukung isi dari kedalaman dan kebessaran temanya. Dalam menciptakan sajak-sajak itu terkadang ditemukan ungkapan yang mengesankan dan padat, namun sajak-sajak itu condong ke arah konsep-konsep dan statemen (hal. 247).

Beberapa kritikus mencoba menelaah kepenyairan Aldian yang berubah dari wakru ke waktu dan dipengaruhi oleh sastrawan asing. Namun semua itu tidak sepenuhnya benar, karena meskipun ia beralih dari puisi romantis ke mistis-metafisis bukan berarti ia tidak menulis puisi-puisi romantis lagi.

Pada bagian kedelapan, Aldian menanggapi komentar para kritikus. Ia membantah pernyataan dari M.S. Hutagalung yang menganggap puisi-puisinya condong ke arah konsep-konsep dan statemen. Bagi Aldian, apa yang dia tulis dalam puisi-puisinya bukan hanya konsep, tapi sajak yang final (hal. 247).

Ia menambahkan bahwa sajak adalah pekatan kata, suatu esensi. Itulah sebabnya ia selalu cenderung menulis sajak-sajak pendek. Hal itu sekali-kali bukan karena kurang darah, kurang elan vital, tapi baginya, jika mau berpanjang-panjang mengapa harus ditulis sebagai puisi. Bukankah lebih baik ditulis sebagai esai atau cerita pendek saja?

Pada bagian akhir buku ini, Aldian menyematkan karya-karyanya yang terkesan ’dibuang sayang’. Beberapa di antaranya Sajak Buat Ibrahim Sattah yang ditulis dalam bahasa Minang. Selain itu, ada puisi yang berjudul Musim Kemarau dan Mobokrasi Kita yang mengungkapkan kegelisahannya akan negerinya sendiri karena keserakahan sejumlah elite politik. Lalu ada puisi-puisi dalam bahasa Jerman dan Cina serta sebuah lagu yang berasal dari puisi Marilah Sayang. *** (Alm. Aldian Aripin telah berpulang ke rahmatullah Jumat, 16 Oktober 2010,Aldian Aripin. Lahir di Kotapinang, Sumatera Utara 1 Agustus 1938.Kumpulan puisisnya antara Lain : Oh Nostalgia (1968) Nyanyian Malam Hari (1997) Menjadi editor antologi puisi dan cerita pendek Sumatera Utara Terminal (1972) bersama Zakaria M Passe The Horizon of Hopes (1999) )Selamat jalan.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar