Selasa, 12 Oktober 2010

Hadiah untuk Sastra vs Hadiah untuk Quiz

Idris Pasaribu

APRESIASI sastra Indonesia memang sangat kurang. Bahkan boleh dikatakan sangat lemah. Ini bisa dilihat pada setiap rencana pemerintah baik di pusat maupun di daerah apa lagi di Pemrovsu, terutama di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara.

Dalam waktu dekat, Pemerintah Kota Tanjung Pinang, akan mengadakan Temu Sastra Indonesia ke III. Mereka menjadi tuan rumah untuik para sastrawan yang datang dari seluruh Indonesia. Kapan Sumatera Utara mampu menjadi tuan rumah?

Kita iri kepada provinsi lain di pulau Sumatera yang mampu menghidupkan dunia kesusastraan di daerahnya. Mereka tidak segan-segan mencanangkan dana dari APBD nya untuk menjadi tuan rumah dan membuka event tertentu untuk sastra.

Provinsi Babel umpamanya, pernah menjadi tuan rumah Temu Sastra Indonesia (TSI). Sumbar, bahkan memberikan subsidi kepad penulisnya. Kalau tak salah, kini SUmatera Barat telah memberikan subsidi kepada 10 orang sastrawannya masing-masing sebesar Rp. 6 juta.

Dalam enam bulan karya mereka dibukukan dan di cetak atas biaya Pemprov Sumbar dan bukunya diserahkan sepenuhnya kepada penulis. Hasil penjualan buku itu, dinikmati oleh sastrawannya. Para sastrawan Sumatera Barat mendapat giliran.

Kalau kita lihat perincian biayanya, 10 sastrawan mereka mendapat Rp. 60 juta. Kalau m asing-masing buku dengan biaya cetak Rp. 30 juta, berarti Rp. 300 juta. Total semua Rp 360 juta. Jumlah itulah yang dikeluarkan oleh Pemprov.

Propvinsi Jambi juga sudah memulainya. Walau tak sebesar Sumbar. Bagaimana dengan Riau? Rasa iri kepada mereka semakin tinggi, karena subsidi mereka dari pemerintahnya sangat besar. Hal ini belum termasuk pada cabang seni yang lainnya, seperti Tari, Musik, Rupa dan Teater.

Begitulah para gubernurnya dan para bupati/walikota memberikan apresiasi terhadap sastra dan sastrawannya. Bagaimana dengan Sumut? Di Sumatera Utara demikian banyaknya BUMN dan BUMD yang mampu memberikan bantuannya kepada kegiatan kesenian di provinsi ini.

Keuntungan jadi tuan rumah

Apa keuntungannya menjadi tuan rumah, hingga banyuak provinsi berlomba untuk menjadikan daerah mereka menjadi tuan rumah bagi kegiatan Temu Sastra? Dana yang dikeluarkan tentu akan besar, tapi kenapa mereka mau menjadi tuan rumah? Para gubernur dan kepala daerah kabupaten/kota sudah memikirkan keuntungan yang mereka peroleh. Sepulang dari pertemuan, para sastrawan itu akan menulis pertemuan itu.

Peserta yang dibawa sebagai selingan untuk berwisata, pasti juga akan ditulis. Dapat dibayangkan, jika ada 200 sastrawan yang berkumpul dari seluruh Indonesia, mereka akan menulis di media daerah mereka masing-masing. Mereka bukan saja menulis tentang kegiatan temu sastra saja, juga menulis tentang kepariwisataan tuan rumah. Juga mereka akan menulis pernak-pernik yang ada dan menarik untuk mereka tulis di daerahnya.

Pepatah mengatakan, rumput tetangga, jauh lebih hijau dibanding rumput halaman kita. Jika kita melihat keadaan tuan rumah, kita pasti akan melihat sesuatu yang menarik untuk ditulis. Bukankah penulis akan tetap terinspirasi pada sesuatu yang menarik hatinya?

Jika seorang peserta saja menulis (biasanya lebih dari satu tulisan) dapat dibayangkan, tidak kurang 200 tulisan akan muncul di media di daerah masing-masing, tentang tuan rumah. Jika ini dihitung dengan nilai nominal (bila pasang iklan), tentu sudah hampir Rp. 1 M.

Hadiah Sedih

Jarang sekali ada event di Sumatera Utara mengadakan lomba tentang sastra sastra apalagi yang menyiapkan hadiah besar. Kalau pun ada yang menyelenggarakan hanya lembaga swasta dan komunitas saja. Kapan Pemprovsu mengadakan kegaiatan serupa sepertu 20 tahunan lalu dengan hadiah besar, seperti yuang dilakukan juga oleh daerah lain?

Lomba baca puisi umpamanya, hadiah untuk para pemenangnya, sangat menyedihkan. Tertinggi untuk juara pertama hanya mendapatkan Rp. 1 juta. Demikian juga lomba menulis cerpen, hadiahnya juga yang tertingi hanya Rp. 1 juta. Demikian rendahnyakah apresiasi kepada dunia sastra? Benar-benar hadiah yang menyedihkan. Bukankah, para pesastra kita harus dan wajib diberikan rangsangan, sebagai mana Malaysia dan daerah lain di Indonesia menghargainya?

Malaysia umpamanya, pihak Kerajaan Malaysia memberikan motivasi kepada perusahaan-perusahaan asing untuk ikut lebur bersama membina sastra. Perusahaan minyak Esso umpamanya, selalu tampil memberikan hadiah-hadiah besar kepada pesastra Malaysia. Bagaimana pihak Kerajaan mampu meyakinkan pihak perusahaan besar asing dan perusahaan Bumi Putra untuk membantu para sastrawan dui Malaysia, sangat luar biasa. Good will Kerajaan, memang luar biasa.

Kita kenal Gubsu H. Syamsul Arifin seorang gubernur yang jago lobby. Andaikan Gubsu memberikan perhatiannya melakukan lobby kepada beberapa BUMN, PTP yang ada di Sumut, Pertamina, Telkom dan perusahaan celular lainnya, mungkin bukan hanya 10 orang sastrawan yang dapat subsidi per tahunnya, bahkan bisa 30 sastrawan.
Mari kita lihat hadiah-hadiah yang diberikan qiuz-quiz yang ada di Televisi swasta kita. Pertanyaabn yang sebenarnya mudah terjawab.

Tinggal menyebutkan A, B, atau C, mereka mendapat hadiah sebesar Rp. 1 juta. Jawaban yang tak perlu berpikir, seperti mencipta sebuah karya sastra yang butuh pemikiran, butuh referensi dan butuh perenungan dan pengendapan bathin.

Apakah quiz-quiz yang ada pada TV itu bukan sesatu pem bodohan. Yang penting mengikuti sebuah tontotan dan beradu cepat menghubungi nomor telepon stasiun TV, lalu menjawab pertanyaan pilihan yang diberikan presenter. Jarang kita temukan quiz di TV yang berbobot dalam arti membutuhkan pemikiran yang baik.

Pihak perusahaan yang menyeponsori quiz di TV juga tidak berpikir panjang. Andaikan mereka menyeponsori penerbitan sebuah buku, maka buku itu akan lama disimpan baik oleh perorangan, maupun oleh perpustakaan yanga ada. Perpustakaan kampus, perpustakaan nasional dan daerah umpamanya.

Setahu penulis, di Indonesia, perusahaan besar yang perduli pada sastra dan pendidikan adalah perusahaan rokok Djarum. Bukan saja memberikan bea siswa pada siswa dan mahasiswa di Indonesia bagi mereka yang berpretasi juga menerbitkan buku-buku antologi puisi dan cerpen serta novel. Bahkan memberikan bantuan penuh pada berbagai kegaiatan sastra. Satu contoh, tahun 2008, Djarum menjadi sponsor utama Kongres Komunitas Sastra Indonesia (KSI) di Kudus.

Sudah selayaknya Pemprovsu memikirkan hal ini, demikian juga Pemko Medan, karena Medan adalah barometer di Sumatera Utara. Semoga mereka tergugah hatinya. Entah kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar