Sabtu, 09 Oktober 2010

Tanah Air Mata Biru

Cerpen A.Rahim Qahhar





DERMAGA selalu setia, menunggu dan menerima setiap kapal dan perahu tiba. Dermaga pulalah tempat berpisah dan bersua. Cut Putri sampai juga di dermaga, berusaha menyeruak dari kerumunan orang-orang yang saling berdesakan. Begitu peluit kapal induk bergema, orang-orang di dermaga serempak melambaikan tangan. Yang berada di atas dek kapal induk, ribuan prajurit Pasukan Jaring Hijau melambaikan tangan pula. Lalu disambut oleh beberapa prajurit Pasukan Jaring Merah yang ada di dermaga.

Cut Putri juga melambai sambil mencari-cari sosok yang mungkin ia kenal. Tanda-tanda itu belum kelihatan. Di atas kapal terlihat belasan heli. Ribuan prajurit melebar di tepi dek kapal, bagaimana Cut mampu mengenal sosok yang dicarinya. Apalagi jarak pandang terbilang jauh. Tiba-tiba mata Cut Putri terpaku ke arah buritan kapal, seorang prajurit mengibar-ngibarkan syal berwarna merah.

�Martin, selamat jalan Martin!� teriak Cut Putri di saat kapal induk mulai bergerak. Nama Martin berulangkali disebut-sebut, hingga menjadi perhatian orang di sekeliling. Cut tak peduli, ia larut dalam suasana perpisahan yang entah sampai kapan. Hanya sebuah syal merah bermotif rumah geudong dan rencong yang ia berikan kepada Martin dua hari lalu di tenda pengungsian.

Dalam kerumunan itu, Cut dikejutkan dengan munculnya geuchik Majid.

�Cut, ini dari Martin. Tadi lama dia mencari-cari kamu!� ujar geuchik Majid sembari menyerahkan bingkisan kecil.

�Terima kasih, Geuchik!� balas Cut, dan segera membuka bingkisan. Sebuah mafela, topi pet berlogo Pasukan Jaring Hijau, di bagian bawah ujungnya ada tulisan dengan spidol: �I�ll always dream of your blue eyes�. Cut langsung mengenakan topi pet itu.



-o0o-



�TIDAK tau hujan? Ayo masuk tenda, nanti kau sakit�

Bentakan prajurit Pasukan Jaring Merah didengar Cut. Nada yang kurang bersahabat sering terdengar di kawasan ini. Mungkin para petugas kemanusiaan begitu letih dan mengalami banyak problema, mengingat situasi lapangan amat memprihatinkan.

Namun, dari sini pula Cut pelan-pelan membaca keadaan. Puluhan tahun daerahnya terjadi pergolakan, dan secara perlahan-lahan merubah perilaku seseorang. Cut merasakan terdapat jurang perbedaan antara prajurit yang bertugas di lapangan. Ada barisan yang merusak tatanan terdahulu, merubah majun jadi racun, menukar madu jadi empedu, mengolah sepupu jadi seteru. Tapi kenapa beda dengan prajurit Jaring Hijau. Mereka orang asing, datang dari negeri yang lebih jauh. Mereka juga letih, mereka mungkin juga stres. Tapi terkesan mereka benar-benar mengabdi dan membantu sepenuh hati. Bahasa mereka begitu lembut, meskipun bahasa asing yang tidak dimengerti.

Dari kemah ke kemah, dari tenda ke tenda, Cut mengamati semua ini. Ia menyangka yang melakukan infus kepada para korban memang seorang dokter ahli, ternyata tentara. Belakangan baru diketahui, Martin juga seorang prajurit. Cut mengira Martin hanya seorang relawan biasa, karena pada hari itu Martin tidak mengenakan seragam.

Cut bahkan tak mampu berkata apa-apa ketika ia amat memerlukan pembalut, tiba-tiba Martin menawarkan keinginannya itu tanpa diminta terlebih dahulu. �Bahasa apa yang Martin gunakan, hingga ia tahu keperluan pribadiku?� batin Cut. Di kemah-kemah lain, para wanita justru merisaukan benda yang satu ini. Kebanyakan bantuan berupa makanan dan pakaian.



-o0o-



�APA lagi yang harus kuberi. Sebagai luahan terima kasih, sebagian yang berarti telah kuberi. Aku sudah berusaha tumpah. Aku tak sudi, bila diri ini, maupun keluargaku dianggap luput untuk berterima kasih. Dan sudah lama orang-orang gemerisik, lalu berbisik-bisik menyebutkan negeri ini adalah negeri yang lupa berterima kasih. Dan juga atas nama negeri, sesuatu yang berarti telah kuberi,� batin Cut.

�Kau sering melamun, Cut!�

�Sebuah cita-cita dan keinginan dimulai dari lamunan, Nyak!�

�Ayahmu dulu paling benci pada mitos, yang menyebut gadis-gadis Lamno pemalu dan gemar melamun. Enggan berkenalan dengan pendatang, bahkan menghindar bila difoto!�

�Cut tidak lagi begitu Nyak, meski mataku masih biru!�

�Sayang, kebiruan yang jernih itu, tak dapat Nyak nikmati lagi. Mata ini tak berguna, bagaimana bentuk jasad Ayahmu ditemukan, tak bisa Nyak bayangkan. Kata orang, kematian adalah ziarah terakhir, Cut. Percuma saja biji mata ini. Tapi kata orang-orang tubuh Ayahmu wangi dan harum, meski pada hari ke delapan baru diketemukan. Bagaimana kabar dari posko, apakah adikmu Ruslan masih hidup?�

�Belum ada kabar, Nyak!� hanya itu jawaban Cut. Bibir delima bersepuh lipstik alami itu terkunci rapat. Berhari-hari ia menabung sejumlah kata yang tak harus dibuka kepada Nyak tercinta. Mayat Ayah terhimpit di bawah anjungan kapal. Tidak masuk akal, bagaimana kapal berbobot puluhan ton itu dapat bergeser ke tengah jalan raya. Seberapa besar gelombang yang mampu menyeretnya, sulit untuk dibayangkan.

Puluhan Pasukan Jaring Merah bergabung dengan Pasukan Jaring Hijau, berhasil menggeser posisi kapal. Mayat Ayah ditemukan bersama enam mayat lainnya. Mayat Ayah ditandai dengan piama liris-liris yang masih mengetat, karena ada sebagian kancingnya masih terikat. Adik Ruslan tak ada. Martin dengan menggunakan sarung tangan karet, bergegas dan sigap mengangkat tubuh Ayah yang sudah membiru dan lembik. Baunya amat menyengat. Cut sengaja membawa minyak kesturi, hingga Nyak yang berada dalam dekapannya beranggapan jenazah Ayah wangi dan harum.

Ada keinginan, jenazah Ayah dikuburkan di tempat khusus, di bekas tapak rumah mereka. Namun, hampir semua bangunan rata dengan puing-puing reruntuhan, tak jelas di mana tapak rumah mereka. Lalu geuchik Majid menyarankan, semua jenazah dikuburkan secara massal.

Puluhan jenazah dinaikkan ke truk terbuka. Beberapa mayat dibungkus plastik warna hitam. Martin justru memilih plastik kuning untuk Ayah. Cut menahan nafas menyaksikan penguburan massal itu. Sebagian mayat ada yang diangkut dengan beko, dibiarkan begitu saja bersama mayat lainnya. Bahkan ada relawan yang tidak sabar, mencampakkan mayat ke tumpukan di lubang menganga. Bagai membuang sampah saja.

Lain halnya Martin, dengan karung plastik kuning, jenazah Ayah sangat dihormatinya, digendongnya dengan hati-hati, lantas diletakkannya di bagian tepi lubang.

�Nyak, Ayah tidak dihimpit oleh orang lain. Ia tenang, begitu tenang di alamnya.�

�Nyak bilang tak usah ke gudang. Kalau hanya mengambil kunci, si Ruslan pun bisa!�

Dan itulah takdir! Ayah memang acap pelupa belakangan ini, kadang mau sholat tak pakai peci. Apalagi soal kunci. Pernah, setelah gudang dikunci, entah kenapa ketika ia mencuci tangan, kunci tergantung di kran air. Berjam-jam mencarinya, baru ketemu.

Minggu itu, sebenarnya tidak ada kapal yang sandar ke pelabuhan. Ayah hanya berpiama, teringat kunci gudang. Tanggung jawab Ayah cukup besar pada jabatannya sebagai pengawas gudang puluhan tahun. Pada hari naas itu, ia berboncengan dengan Ruslan ke pelabuhan. Saat sampai, mereka lihat air laut mengering. Keanehan seperti ini, diawali goncangan gempa beberapa kali. Lalu berubah menjadi amukan gelombang setinggi pohon kelapa, menerjang pelabuhan dan seluruh gudang hancur berantakan.



-o0o-



BELUM pernah terjadi, semua orang, bahkan anak-anak berlari menggondol potongan daging lembu berukuran cukup besar. Sebagian anak-anak bahkan ada yang tidak mampu memikul daging yang terlalu berat. Idul Qurban kali ini memang amat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Biasanya, walau tidak ikut kurban, tetangga memperoleh daging, atau tulang untuk disup, sekitar dua kilogram. Namun tahun ini, jatah lebih banyak, bahkan bisa menjadi persediaan makan selama empat atau lima hari.

Dalam kondisi meriah demikian, justru Nyak berlinang air mata.

�Kenapa Nyak bersedih, daging kurban ini kiriman Tuhan. Di tenda-tenda lain juga berlebihan.�

�Cut, dulu di kampung kita, setiap Hari Raya ke dua Idul Adha tetap dilangsungkan perayaan Seumeulueng. Pada upacara persembahan itu, seluruh penduduk kampung berkumpul dipandu oleh 17 pengawal berjubah hitam. Cut, Ayah yang berdiri paling depan dan di barisan belakang beberapa orang membawa hidangan yang akan dipersembahkan kepada pemimpin kampung. Siapa lagi meneruskan upacara ini, Cut!�

�Sudahlah Nyak, kalau dulu Ayah berkurban untuk pemimpin kampung, sekarang ini Ayah berkurban untuk negeri. Dia sudah berada di tempat paling tepat, yang abadi!�



-o0o-



ADAKAH bahasa yang lebih bermakna dari sekuntum senyum dan tatapan mata? Selama sekian puluh hari, dan sekian puluh kali Cut dan Martin bertemu, miskin kata-kata. Entah hari keberapa, hanya satu kata keluar dari masing-masing bibir keduanya. Yakni ketika mereka saling memperkenalkan nama.

Selebihnya tidak ada kata-kata. Bertemu, kepergok di mana saja, baik malam atau senja sampai bercanda di belakang tenda. Cut dan Martin mungkin maklum, tatapan mata lebih berarti dari seribu kata. Segaris senyum lebih harum dari seratus kalimat tercantum. Hingga suatu malam bibir keduanya saling mengulum. Inilah rahasia Cut pada Nyak.

�Memandang dengan nafsu, itu sudah dosa Cut, apalagi berciuman. Apa pun alasannya!� ujar Nyak suatu malam. �Sekaranglah masanya Nyak bilang padamu, karena kau sudah dewasa. Ada tiga bagian tubuh wanita yang jadi pusat perhatian pria. Bagian atas, tengah dan bawah. Kita harus bersyukur, dikurniai wajah cantik, bermata biru, hidung mancung dan bibir delima, berbeda dengan saudara-saudara kita yang lain. Ini ciri tersendiri di Lamno, maka Nyak bilang bagian atas ini, sebut saja: Lamno!�

�Bagian tengah Nyak?�

�Ada dua bukit atau gunung. Gadis-gadis kampung kita biasanya memiliki bukit dan gunung yang subur. Bukankah sepanjang kawasan Aceh ini terdapat pegunungan Bukit Barisan? Maka menurut Nyak, bagian tengah ini, sebut saja: Aceh!�

�Lalu, bagian bawah apa pula Nyak?�

�Bagian ini yang paling berharga Cut, sering disebut kehormatan. Sekali saja ia dirusak, seumur hidup tak dapat diperbaiki. Di dalamnya terdapat rahim. Cut, rahim ini adalah pusat segala kelahiran dan kemuliaan. Simbol dari kemuliaan negara dan bangsa. Karena yang dilahirkannya adalah anak bangsa. Bila semua rahim perempuan telah rusak, maka bangsa juga ikut rusak. Maka menurut Nyak, bagian ke tiga ini sebut saja: Tanah Air!�

Sampai di sini Cut terdiam. Tidak bertanya lagi. Tapi tabungan rahasia harus dibuka..

�Nyak, Cut sudah berikan Lamno dan Aceh pada Martin!� katanya nekad.

�Begitu cara kamu berterima kasih?�

�Martin bukan prajurit biasa. Dia malaikat. Nyak tidak melihat, Martin mengangkat Ayah dari himpitan kapal, menguburkannya dengan baik, mengurus kita dengan baik, tenda istimewa, kasur empuk, air mineral, makanan, kesehatan, ikut mencari Ruslan ke berbagai tempat, sampai kain pembalut pun ia berikan pada Cut meski tidak diminta, apa lagi? Martin itu bukan relawan biasa, dia bukan prajurit biasa. Dia itu malaikat yang diutus ke daerah musibah ini. Bagaimana harus membayarnya, dengan sejuta terima kasih saja tidak cukup. Tidak ada cara lain Nyak. Tapi Tanah Air tidak akan Cut berikan!�

�Mustahil Cut. Apa pun alasannya, kamu telah melakukan dosa. Di mana-mana pria itu jago merayu dan menggoda. Nyak sudah tidak bisa melihat, tapi wajahmu menyimpan sesuatu. Jangan sekali-kali Tanah Air kau berikan. Jangan Cut, dosa besar! Dosa sepanjang zaman. Cukuplah sudah, jangan tambahi lagi jumlah gadis-gadis kita yang Tanah Air mereka dirusak oleh saudara sendiri. Belanda dulu tidak begitu. Dulu daerah kita ini banyak wanita-wanita perkasa memperjuangkan haknya. Lihat saja, Malahayati laksamana wanita pertama di dunia. Cut Meutia bertahan meski suaminya Cik Tunong telah mendahuluinya. Cut Nyak Din masih mencabut rencong ketika ditangkap Belanda. Tanah Air mereka pertahankan mati-matian, Cut!�.



-o0o-



DERMAGA telah sepi. Kapal induk tidak kelihatan lagi. Cut Putri baru sadar ketika seorang petugas pelabuhan mengingatkannya, karena pintu gerbang akan dikunci. Ia segera kembali. Sepanjang perjalanan menuju kemah, mafela berlambang Pasukan Jaring Hijau ia ratapi. Ia kenakan kembali, ia cium, ia tanggalkan, ia cium lagi, begitu terus silih berganti. Akhirnya di kemah, tubuh Cut lunglai dan terhenyak di dada Nyak.

�Ada apa Cut, topi apa yang kau pakai ini?�

�Martin sudah kembali ke negerinya Nyak!�

Cut makin pecah tangisnya. Tentu saja Nyak merasa terenyuh dan tertanya-tanya, tidak pernah putrinya sesedih ini. Ketika Ayah ditemukan, ia tidak menangis seperti ini. Nyak tidak dapat melihat, tapi kalbunya menebak-nebak.

�Kenapa Cut, kau berikan Tanah Air pada Martin?�

Cut masih meraung-raung, suaranya kini mulai parau. Nyak makin penasaran.

�Apa Martin merampas Tanah Airmu? Bilang Cut, bilang!�

Ratap tangis Cut makin parau. Ia hanya bisa merangkul tubuh Nyak erat-erat, dan kini Nyak justru ikut bersedih, tangis Nyak pecah seketika. Keduanya bergumul duka. Orang-orang di dalam tenda mengunci suara.



-o0o-

medan, 14505.-



-------------

A.Rahim Qahhar, sejak 1966-kini cerpennya dimuat di majalah Sastra (Jakarta & Malaysia), satu-satunya cerpenis Sumut dalam Antologi Horison Sastra Indonesia 2001 (ed. Taufiq Ismail), cerpennya Angin Arbain salah satu Cerpen Terbaik Horison 2004. . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar