Sabtu, 09 Oktober 2010

Biarlah Cuma Karti!

Cerpen YS. Rat



"KENAPA cuma Karti? Kenapa bukan Kartini?"

Pertanyaan itu membuahkan rasa heran sekaligus penasaran berkepanjangan bagi Pelita dan Pertiwi. Namun keduanya bersepakat untuk sementara tak menceritakannya kepada anak gadis mereka yang juga merupakan anak semata wayang.

Sebagai pasangan suami-istri yang hanya bisa baca-tulis alakadarnya, wajarlah kebahagiaan memenuhi relung hati Pelita dan Pertiwi menyambut kepulangan anak gadisnya dari kota setelah berhasil menyandang gelar sarjana. Tapi, di tengah kebahagiaan itu pula Pelita dan Pertiwi tersentak menerima kenyataan nama anak gadisnya yang tertera di dalam ijazah lain dari yang ada dalam ingatan mereka selama ini.

Telah lebih dari sepekan, setiap malam Pelita dan Pertiwi membicarakan perihal kejanggalan nama anak gadis mereka yang tertera di dalam ijazah kesarjanaannya, sambil berusaha mengingat-ingat kalau-kalau memang terjadi kesalahan sejak awal. Hasilnya tetap saja seperti yang ada di ijazah kesarjanaan anak gadisnya itu.

�Apa mungkin kelupaan atau salah tulis?� Pelita mulai menebak.

�Seharusnya pegawai yang bertugas menuliskan nama-nama sarjana di dalam ijazah membacanya lagi satu persatu setelah selesai, supaya tidak terjadi kesalahan,� sambut Pertiwi.

�Barangkali terluput, karena terlalu banyak sarjana yang namanya harus ditulis di ijazah. Tapi, apa memang iya, petugas yang khusus digaji untuk mengerjakannya bisa salah tulis?� Keraguan pun tumbuh dalam diri Pelita.

�Soal salah atau benar memang sudah tabiat manusia. Dari dulu begitu. Tapi universitas tempat anak kita kuliah termasuk universitas terkenal. Rasanya tidak mungkin universitas seperti itu menerima pegawai yang ceroboh,� balas Pertiwi menyimpulkan.

�Nyatanya nama anak kita cuma ditulis Karti, bukan Kartini,� timpal Pelita.

�Coba diingat-ingat lagi. Siapa tau memang sudah salah sejak awal?� selidik Pertiwi.

�Maksudmu, kita sendiri yang salah menuliskannya sejak dulu?� tanya Pelita. Pertiwi tak menjawab. Keduanya saling diam. Dalam diamnya, di benak Pelita membentang kenangan, saat istrinya, Pertiwi, melahirkan anak pertama yang ternyata sekaligus juga anak terakhir mereka. Nyata kini dalam ingatan Pelita, dialah yang memberi nama dan mencatatkannya di selembar kertas.

�Tapi, apa mungkin aku salah tulis waktu itu?� bisik hati Pelita tak percaya.

*****

�KENAPA cuma Karti? Kenapa bukan Kartini?�

Ibarat gelombang pasang yang mendera secara tiba-tiba, terutama bagi Pelita, pertanyaan itu akhirnya menyeret dan menghempaskannya pada kenyataan yang mencengangkan. Catatan kelahiran yang hanya dibuat di secarik kertas dan telah usang memberi bukti, Karti adalah nama yang ditulis sendiri olehnya. Tanpa embel-embel �ni� di belakang, konon pula �Raden Adjeng� di awalnya. Karti, tok! Karti, doang! Cuma Karti!

Selain dilahirkan pada 21 April, bertepatan dengan tanggal kelahiran Raden Adjeng Kartini, sang tokoh emansipasi kaum wanita Indonesia, sekarang nyatalah bagi Pelita dan Peritiwi bahwa nama anak mereka tak lebih tak kurang hanya Karti.

Namun kenyataan itu tak begitu saja membuat Pelita menyerah. Melalui kemungkinan lain dicobanya mencari jawab yang dia harap bisa memenuhi rasa inginnya. Maka, rapor juga ijazah sejak SD hingga SLTA ikut jadi sasaran penyelidikan. Tetap saja tak ada nama lain yang tertera kecuali Karti.

Tak pula cukup sampai di situ. Sanak famili maupun para tetangga dekat yang menurut perkiraannya mengetahui kelahiran dan penabalan nama anak gadisnya tak disia-siakan Pelita sebagai tempatnya bertanya.

�Ya, dari dulu, kan memang cuma Karti?!�

Mendapat jawaban yang hanya sebegitu, Pelita akhirnya memutuskan mengambil jalan pintas. �Aku rasa mudah. Daripada terus-terusan mencari bukti dan bertanya-tanya tapi hasilnya tetap sama, lebih baik kita tambah saja �ti� di belakang namanya,� usul Pelita kepada istrinya.

Pertiwi tak menanggapi, karena sebenarnya bagi dia sekarang tak terlalu penting apakah anaknya bernama Karti atau Kartini. Sebagai ibu, dia sudah sangat merasa bahagia anak semata wayangnya berhasil menyandang gelar sarjana dan mau kembali ke desa.

�Bagaimana? Kau setuju?� desak Pelita.

�Ya, kalau memang itu dirasa penting. Tapi Karti juga harus tau, karena sekarang dia bukan anak kecil lagi. Apapun yang kita rencanakan untuknya sebaiknya ditanyakan dulu apakah dia setuju atau tidak,� ujar Pertiwi sambil memberi saran. Pelita pun menyetujuinya.

*****

�KENAPA cuma Karti? Kenapa bukan Kartini?�

Sore, ditemani istrinya, Pertiwi, pertanyaan yang selama ini menyeret Pelita pada pergulatan mencari jawab tanpa membuahkan hasil itu, barusan dia kemukakan kepada anak gadisnya saat mereka duduk di beranda rumah, di desa yang jauh dari kota. Rumah dengan pekarangan luas dan tampak lebih asri dibanding rumah-rumah warga lainnya.

�Semua ini memang kesalahan kami sejak dulu. Ayah cuma menulis Karti, padahal maksudnya Kartini. Juga kesalahan kami, selama ini tak pernah memperhatikan betul tentang penulisan namamu di dalam surat-surat penting, sehingga jadinya seperti sekarang, namamu cuma Karti,� jelas Pelita kepada anak semata wayangnya.

�Lantas, kalau sekarang nyatanya namaku Karti, bukan Kartini, apakah menurut Ayah dan Ibu salah?� tanya Karti.

�Yang ayah maksudkan bukan soal salah atau tidaknya. Tapi tentang arti dan tujuan di balik namamu yang sebenarnya ayah dan ibu inginkan,� jawab Pelita.

�Dengan nama Kartini, Ayah dan Ibu berkeinginan hidupku punya arti layaknya Raden Adjeng Kartini. Begitu, kan?!� sambut Karti dingin.

�Ya, seperti itulah yang ayah dan ibu maksudkan. Makanya, supaya lebih mengena ayah rasa sebaiknya namamu ditambahi �ni� di belakangnya, biar lengkap jadi Kartini,� timpal Pelita bersemangat.

�Tapi dengan namaku sekarang, walaupun menurut Ayah dan Ibu kurang lengkap, toh aku bisa jadi sarjana, kan?! Jadi biar sajalah namaku cuma Karti!� balas Karti. Pelita terdiam karenanya. Dalam hati dia membenarkan apa yang dikatakan anak gadisnya itu. Begitu juga Pertiwi.

Tak tau lagi Pelita harus bagaimana agar bisa mengikat hati anaknya. Tinggallah rasa salah dan sesal yang kini bersemayam di dalam dirinya. Dia merasa bersalah dan menyesal telah menyebabkan nama anaknya hanya Karti, bukan Kartini sebagaimana yang sebenarnya dia dan istrinya inginkan.

Sementara bagi Karti, hal sebaliknyalah yang berlaku. Dalam dirinya menggumpal tekad untuk membuktikan bahwa tanpa harus menyandang nama Kartini, cukup hanya Karti, dia sanggup melakukan sesuatu yang setara bahkan melebihi kemampuan pria, sebagai perwujudan hak yang dimiliki kaum wanita.

�Akan kubuktikan bahwa aku bisa. Harus bisa!� tandas Karti di dalam hati, seakan menyimpan dendam. Untuk itu dia memutuskan sekaligus memohon pamit kepada ayah dan ibunya, kembali menetap di kota tempat dia pernah berkuliah hingga berhasil menyandang gelar sarjana.

�Di sini serba terbatas. Ilmu pengetahuan yang aku dapat di bangku kuliah akan sia-sia kalau tidak kembali ke kota,� ujar Karti memberi alasan.

Pelita, juga Pertiwi, sebenarnya tak sepaham dengan alasan Karti. Mereka berpendapat, setelah menjadi sarjana seharusnya Karti mau mengabdikan diri dengan melakukan berbagai kegiatan yang sangat bermanfaat, terutama untuk membantu menambah pengetahuan dan wawasan pemuda-pemudi di desa kelahirannya. Hanya saja, keduanya merasa tak mampu untuk meluluhkan kekerasan hati Karti agar tak kembali menetap di kota.

*****

�KENAPA cuma Karti? Kenapa bukan Kartini?�

Pertanyaan itu kini berganti dengan rasa rindu yang menyesak di relung hati Pelita dan Pertiwi. Telah lima tahun Karti kembali menetap di kota sejak keberhasilannya menyandang gelar sarjana dan hanya sebulan pulang ke desa kelahirannya. Selama itu pula dia tak pernah berkirim surat menyampaikan kabar atau menanya kabar kedua orang tuanya, sebagaimana sering dilakukannya saat masih sebagai mahasiswi.

Melalui tayangan acara televisi yang telah merambah hingga ke pelosok desa, kerinduan Pelita dan Pertiwi terhadap Karti memang beberapa kali sempat terpenuhi. Karti yang berparas ayu dan lembut tampak mendampingi kalangan pejabat kota maupun pengusaha pada peresmian berbagai proyek pembangunan. Tapi, pemenuhan rasa rindu yang tersekat ruang selebar layar kaca televisi itu malah membuahkan rasa sakit bagi Pelita dan Pertiwi.

Sedang bagi Karti, tanpa sepengetahuan siapa pun kecuali dirinya, juga berlaku hal yang sama. Di lubuk hatinya kini bersemayam rasa sakit. Bukan bersebab memendam rindu kepada ayah dan ibu atau kampung halamannya. Rasa sakit itu amat sangat menyiksa, karena saat tumbuh kesadaran dirinya tetaplah seorang wanita walau segemilang apapun prestasi mampu diraihnya, ketika itu pulalah dia tersadar telah gagal mempertahankan kewanitaannya.

Dalam diam dan berjuang menahan rasa sakit di hatinya, layar kenangan menguak di benak Karti, menghadirkan indahnya menjalani masa SLTA di kota kecamatan kampung halamannya, saat pegi dan pulang berboncengan sepeda dengan Teguh yang merupakan kakak kelasnya dan tinggal sedesa dengannya.

�Apa rencana Mas Teguh setelah tamat?� tanya Karti suatu ketika.

�Mas harus sadar, orang tua mas nggak mungkin sanggup membiayai mas ke universitas. Jadi, lebih baik setelah tamat nanti mas akan membantu mengurus sekolah dasar yang sekarang diurus ayah mas,� jawab Teguh. Mendengarnya, Karti spontan mengatakan, kelak dia akan melanjutkan ke Fakultas Ekonomi dan mengambil jurusan manajemen. Bahkan kepada Teguh dijanjikannya, setelah selesai dia akan pulang untuk ikut membantu mengelola sekolah dasar yang didirikan ayah Teguh itu. Membalas janji Karti, Teguh menyatakan dia akan selalu berdoa bagi keberhasilannya dan siap menunggu kepulangannya.

Kenangan itu perlahan-lahan membangkitkan semangat di dalam diri Karti, membuatnya ingin segera kembali ke kampung halamannya. Namun, seketika itu pula sejumlah pertanyaan menghantui perasaannya. Mungkinkah kuceritakan kepada Mas Teguh apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? Kalau kuceritakan, bagaimana penilaiannya terhadapku? Apa mungkin dia akan maklum? Kalau tak kuceritakan, apa jadinya kalau akhirnya dia tahu? Tapi, apakah Mas Teguh memang masih menungguku?

*****

�BIARLAH cuma Karti!�

Dengan sepenggal kalimat sederhana itulah, dalam perjalanan menuju ke kampung halamannya, Karti terus berupaya membangun kembali puing-puing kehancurannya. Telah dibulatkannya tekad, kepulangannya tak lebih tak kurang untuk mengabdikan ilmu pengetahuan yang didapatkan di bangku kuliah demi memajukan desa kelahirannya.



n 1 - 11 Mei 2005, Medan

__________________________________________________________

YS. RAT, lahir di Medan 8 Agustus 1962. Aktif dalam kegiatan sastra sejak awal 1980 melalui puisi-puisinya di kolom "Abrakadabra" Harian Waspada Medan edisi Minggu. Selanjutnya juga menulis cerpen, cerbung, naskah sandiwara, skenario sinetron, artikel budaya dan hukum. Selain melalui surat kabar terbitan Medan, terutama puisi dan cerpennya juga pernah dimuat di surat kabar terbitan Aceh dan Jakarta. Pernah aktif dalam kegiatan teater, dan saat ini bekerja di bidang jurnalistik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar