Selasa, 12 Oktober 2010

Kesusastraan dan Kemerdekaan

Shafwan Hadi Umry

Sastra adalah tumpukan tradisi masa lalu dan kini. Manusia Indonesia tidak terlepas dari tradisi baik persamaan, penentangan bahkan persambungannya.

Dalam sastra para penulis telah mempersembahkan fantasi dan pikirannya, kegirangan dan kesedihannya serta menyusun sekaliannya dengan kebebasan yang menjelmakan kepribadian. Tumpukan tradisi masa lalu sebagai sebuah warisan, baru mempunyai nilai bagi kita sesudah diberi interpretasi yang sesuai dengan dunia kita kini.

Contoh tersebut lebih jelas ketika Goenawan Mohamad mulai mempertanyakan perasaan-perasaan si Malin Kundang sebagaimana yang ditulis beliau, “Dan kisah turun-temurun inipun berkata, bahwa dewa-dewa telah memihak sang ibu. Ini berarti bahwa semua soal berakhir dengan beres : bagaimanapun, setiap pendurhaka harus celaka. Tak seorang pun patut memaafkan si Malin Kundang”, (1972 :9)

Konfrontasi mitos yang dilakukan Goenawan Mohamad adalah konfrontasi manusia modern yang ingin memungkiri segalanya. Sebagaimana konfrontasi mitos Sangkuriang yang dilakukan Wisran Hadi dalam drama Puti Bungsu. Wisran mencoba berpikir terbalik dari mitos itu sendiri. Benarkah mitos merupakan bagian masa lalu yang selesai seperti dikatakan Goenawan “semua soal berakhir dengan beres”. Mitos hanya bagian masa lampau yang tidak menjadi mitos lagi dengan timbulnya mitos baru.

Malin Kundang

Umar Yunus seorang pakar sastra secara bijak telah merumuskan dengan cukup jitu betapa kontradiksinya kisah Malin Kundang yang diceritakan melupakan ibunya, padahal anak itu selalu mencari ibunya. Hanya setelah perjumpaan, ibu itu telah berbeda dari apa yang ditanggapinya ketika mula mencari dulu. Kehadirannya ditolak, atau ia begitu cantik dan muda sehingga patut dijadikan istri seperti pada kisah Sangkuriang yang menerima bencana sama seperti Malin Kundang.

Dalam kasus mitos di atas sebagai sebuah cerita yang memiliki tempat tertentu, kehadiran mereka lebih banyak dalam pikiran kita sendiri daripada dalam bentuk yang kongkret. Kita hidup dalam mitos yang senantiasa bertukar dengan mitos lain,

Mitos Malin Kundang yang dipentaskan dalam tradisi masa lalu berlanjut dalam tradisi manusia modern. Dalam puisi Sitor Situmorang betapa diceritakan seorang anak yang kembali ke kampung halaman tetapi sebenarnya ia tidak pernah kembali. Penyair dengan nada masygul menulis :

Si anak hilang kini kembali
Tak seorang dikenalnya lagi
Berapa kali panen sudah
Apa saja telah terjadi (bait 5)

Anak diam mengenang lupa
Dingin Eropa musim kotanya
Ibu diam berhenti berkata
Tiada sesal hanya gembira (bait 8)

Malam tiba ibu tertidur
Bapa lama sudah mendengkur
Di pantai pasir berdesir gelombang
Tahu sia anak tiada pulang (bait 9)
(Si Anak Hilang)

Kebahagiaan orang tua yang menantikan kepulangan sibiran tulang tapi anak sendiri tahu bahwa yang pulang hanya jasadnya, hatinya tidak: ia tetap sianak hilang. Ini membuktikan hakikat perkembangan zaman yang dikuasai teknologi suatu condisi sine quanon sesuatu yang memang terjadi. Kita tidak hidup lagi dalam tradisi tapi kita telah menjadi orang lain.
Perobahan Sosial

Kemajuan zaman dan perubahan sosial menyebabkan manusia mengambil jarak dari sekitarnya. Periode dunia sastra ada masanya dibaca dan diragukan. Kehidupan yang sangat kompleks mengakibatkan tokoh cerita tidak jelas antara benar dan salah. Periode “hitam-putih” telah habis secara spektakuler.

Syahdan, demikianlah hakikat kemerdekaan, Perkembangan sejarah masyarakat kita menunjukkan bahwa kemerdekana itu sesuatu yang harus diperjuangkan. Kemerdekaan berpendapat dan menolak pendapat, mempertanyakan dan meragukan sebagaimana dalam dunia kaum cendikiawan selalu siap dengan resiko oleh karena dampak kemerdekaan itu melahirkan kejutan dan mitos pemberontakan.

Sebagaimana kata Chairil Anwar : “hancurkan lagi apa yang dapat kau perbuat/hilang sonder pusaka sonder kerabat” Budaya romantis seperti kata Sudjatmoko sebaiknya telah ditinggalkan. Ketakutan seorang murid untuk menyatakan ‘tidak’ ketika guru menyatakan ‘ya’ adalah contoh betapa mahalnya kemerdekaan itu.

Umar Yunus dalam ceramahnya pernah mengatakan, “murid yang baik ialah murid yang mau mengakui kesalahan guru” Dalam suasana semacam itu tidak jarang terjadi ketegangan, namun ketegangan itu suatu hal yang wajar dalam kemerdekaan dan kebebasan berpikir dalam wawasan modern. Kemerdekaan dan mitos pemberontakan adalah sebuah frasa yang menarik di kalangan para penulis dan penyair, namun sekali ia bersikap tegar untuk mendukungnya maka bahayapun selalu menunggu di depannya.

Dalam pengembaraan itu ia memiliki kegelisahan modern. Iwan pernah mengatakan : “Ia manusia mobil, gelisah, Ia selalu ada dalam perjalanan, antara datang dan pergi”. Sampai hari ini betapa banyak sastrawan, negarawan dan cendikiawan yang telah meninggalkan panggung sejarah manusia dengan mewariskan sejumlah pemikiran yang perlu diuji, dikecam, dipuji bahkan diragukan, Sebagaimana sastra adalah tumpukan tradisi yang memiliki persamaan, pertentangan dan persambungannya dengan zaman kini.*** Penulis seorang budayawan dan dosen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar