Selasa, 12 Oktober 2010

Temu Penyair di Brunai Darussalam: Bila Sastra(wan) Membina Masyarakat

Hasan Al Banna

Jika misalnya, sebuah karya sastra mengakibatkan masyarakat berani menentang pihak penguasa, sebutlah pada sebuah negeri, adakah karya sastra dinilai gagal membina masyarakat? Lantas, bagaimana wujud karya sastra yang dianggap mumpuni membina masyarakat?

Sesi diskusi “Penyair Pembina Masyarakat” pada perhelatan Pertemuan Penyair Nusantara IV di Brunei Darussalam (16-18 Juli) lalu menyodorkan ruang debat yang masih luas tentang fungsi ideal sastrawan (penyair) bagi khalayak.

Pada sesi yang berlangsung di Auditorium Radio Televisyen Brunei (RTB), Prof. Dr. Haji Ibrahim (Brunei Darussalam), Chavchay Syaifullah (Indonesia), Jafar Haji Hamdan (Malaysia), dan Nik Abdul Rakib bin Nik Hasan (Thailand) membentangkan pandangan tentang posisi penyair sebagai pembina masyarakat.

Faedah sastra bagi masyarakat

Sesungguhnya, sastra memiliki beberapa hal berfaedah bagi masyarakat. Sebagai karya cipta, sastra mampu menghidupkan atau memperbarui pengetahuan pembaca, menuntun orang banyak menyaksikan berbagai kenyataan kehidupan.

Selain itu, karya sastra mampu menggairahkan pembaca untuk berpikir dan berbuat lebih banyak dan lebih baik bagi kehidupan. Baik itu dari sajian sastra menyodorkan peristiwa kebudayaan, sosial, keagamaan, atau politik. Tentu, dalam menyebarkan ‘ajaran’ di atas, sastra memilih cara yang ‘indah’ dan ‘menyenangkan’.

Sastra berpeluang besar untuk membimbing masyarakat menunaikan norma yang berlaku atau bahkan sebaliknya. Berkaitan dengan norma-norma yang dihasilkannya (baik yang semestinya atau tidak), sastra berpeluang sebagai pengontrol tatanan hidup masyarakat.

Maksudnya, karya sastra bisa menjadi wadah alternatif untuk mengajari khalayak mengenal nilai-nilai luhur yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan. Sastra, misalnya, mempunyai keleluasaan untuk membeberkan kebobrokan tingkah laku manusia yang menyimpang di tengah masyarakat.

Hal ini tentu menolong kita dalam menyampaikan aspirasi, katakanlah, masalah yang timbul antara penguasa dengan rakyatnya, yang kaya dengan yang miskin, yang kuat dengan yang lemah dan lain sebagainya.

Hampir sepadan dengan apa yang diungkapkan Mochtar Lubis dalam Sastra dan Tekniknya (1997:33), “Pengarang harus mampu mempergunakan bakat dan kepekaan artistiknya, dan kemampuannya untuk menemui kebenaran yang telah diselimuti oleh propaganda dan kebohongan dan untuk mengekspresikan dalam karya ciptanya pengalaman kehidupan sepenuh-penuhnya, baik pengalaman di dalam dunia fisikal ini maupun dalam dunia batin, perasaan dan pikiran manusia.”

Lain lubuk lain hasil karya

Pada dasarnya, perbedaan situasi masyarakat yang mengepung sastrawan, tentu pula menimbulkan karya sastra yang berbeda. Karya sastra dari sebuah negeri yang dicabik perang misalnya, berbeda dengan karya sastra dari negeri yang damai sentosa. Contoh lain, hasil kreativitas sastrawan yang duduk di negeri makmur barang tentu tidak setimpal dengan hasil cipta sastrawan yang meringkuk di negeri yang masyarakatnya sedang berjuang menentang kemiskinan.

Ada pemahaman, karya sastra yang dahsyat, kerap lahir dari negeri yang menyimpan banyak ‘konflik’. Lantas, apakah pemahaman itu sedang ‘memvonis’ bahwa negeri yang damai, makmur dan sejahtera senantiasa menyodorkan karya-karya yang fakir estetika dan pesan? Boleh dibilang karya-karya yang datar, begitu? Jika jawabannya: ya, untuk apa jadi sastrawan di negeri yang secara kasat mata kelihatan makmur dan dilimpahi kekayaan? Apakah rentetan karya yang mengangung-agungkan kekayaan patut mendapat label: pembina masyarakat?

Pendapat ini bisa dianulir, jika sastrawan yang berdiang di tengah masyarakat yang ‘mabuk’ kemakmuran mampu menyingkap ‘kebenaran yang salah’ di balik kemakmuran tersebut. Maksudnya, apakah barisan sastrawan yang demikian, tidak menemukan persoalan dalam kekayaan? Inilah makna yang diungkapkan Mochtar Lubis tadi, bahwa “...kemampuannya untuk menemui kebenaran yang telah diselimuti oleh propaganda dan kebohongan...”

Baiklah. Mungkin namanya bukan propaganda dan kebohongan, tetapi bagaimana mata pena sastrawan mampu membidik kekayaan sebuah negeri tidak pada ranah tepi semata. Sastrawan tidak hanya membina masyarakatnya untuk merayakan kesejahteraannya, tetapi harus pula membina masyarakatnya mewaspadai kemakmuran tersebut. Seorang peserta (sastrawan asal Indonesia) malah berpendapat, hasil karya yang mengungkap kewaspadaan (konflik batin) terhadap kemakmuran sebuah negeri boleh jadi lebih menyayat.

Pembina yang bagaimana?

Pada akhirnya, sesi diskusi “Penyair Pembina Masyarakat” yang menderetkan pembicara dari empat negara ‘serumpun’ (Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Thailand) dengan segala embel-embel negeri asalnya (kemakmuran, ketidakadilan, kemiskinan dan konflik fisik) masih berdiri di simpang rumusan: karya yang membina masyarakat adalah karya yang mampu menuntun masyarakatnya duduk manis atau sebaliknya, berhasil menggerakkan masyarakatnya agar hidup dengan pikiran kritis sekaligus rasional.

Makna sastrawan sebagai pembina masyarakat, tidak akan tergerus oleh hasil cipta sastrawan itu sendiri. Seperti yang dinyatakan Mochtar Lubis (1997:18), “Membaca sastra adalah salah satu dari sekian banyak masukan yang diterima oleh anak manusia selama hidupnya, dan menimbulkan pikiran, motivasi atau malahan menggerakkannya berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.”

Adakah hasil karya yang menggerakkan masyarakat berbuat kejahatan (sekalipun terselubung) atau menyebabkan masyarakat tidak berbuat kebenaran dapat disebut tugas sasrawan paling ideal dalam membina masyarakatnya?
Penulis; sastrawan, staf Balai Bahasa Medan dan dosen luar biasa di FBS Universitas Negeri Medan (Unimed).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar