Selasa, 12 Oktober 2010

"Kisah Tentang Mai"

Cerpen : M. Yunus Rangkuti



Mai tidak mungkin menolak keputusan yang diambil pihak keluarganya dan sidang hukum adat di desanya. Sebagai perempuan dan kakak, Mai harus datang meminta maaf pada keluarga yang anak gadisnya telah diperkosa. Adik laki-laki Mai yang masih remaja dituduh sebagai pelaku pemerkosaan tersebut. Meski tuduhan tersebut tidak didasari bukti yang kuat, pihak keluarga si gadis bersama dewan adat desa mereka bersikeras si pelaku adalah adiknya.



Ditemani oleh ayah dan pamannya, Mai mendatangi desa keluarga gadis tersebut. Di desa tersebut mereka menemui sidang hukum adat yang tak lengkap, karena kurang dari jumlah anggota dewan adat yang telah ditentukan. Meski permintaan maaf mereka telah diterima, Mai beserta ayah dan pamannya menerima perlakuan tidak simpatik. Tak berapa jauh dari tempat tersebut, abang si gadis bersama lima temannya menangkap Mai.



Mai meronta dan menjerit sekuatnya, tapi sia-sia. Tangan-tangan kekar enam laki-laki tersebut begitu erat memegangi lalu secara paksa menyeretnya. Raungnya seakan tak didengar banyak laki-laki lain di sekitar itu. Ayah dan pamannya hanya bisa menghiba-hiba, tanpa mampu mencegah. Todongan senjata membuat keduanya tak berkutik. Batin mereka bagai dicabik mendengar jerit tangis kesakitan Mai diperkosa beramai-ramai.



Sejam berlalu, Mai baru dibebaskan dengan tubuh nyaris telanjang. Ayahnya segera mendekap dan bergegas membawa pergi. Sepanjang perjalanan pulang ke desa mereka, ratusan orang menyaksikan dengan tak peduli.

***

"Demi Allah, sedikitpun tak ada maksud di hatiku akan terkenal dari peristiwa menyakitkan ini. Lebih baik bagiku hidup seadanya bersama kehormatan terpelihara. Berjuta simpati sekalipun, tak akan mengembalikan kesucianku. Tuduhan itu sebegitu picik! Namun aku berusaha untuk tegar, agar tidak semakin menambah beban penderitaan yang kurasakan. Aku tidak akan berhenti berjuang menuntut keadilan atas perkosaan yang kualami, walau berbagai rintangan dan bahaya sekalipun akan kutemui."



Walau batinnya menangis, Mai berusaha menyembunyikan kenyataan itu dari wajahnya. Mai tidak ingin sorot kamera akan memperlihatkan dirinya perempuan yang lemah. Telah sebegitu lama kaum perempuan di negeri ini dianggap sebagai makhluk lemah. Selalu diposisikan sebagai masyarakat kelas bawah. Hukum adat yang berlaku di desanya dan seluruh desa lainnya, cenderung menguntungkan kaum laki-laki atau berpihak pada yang lebih tinggi derajatnya.



Pelaksanaan hukum adat bukan hanya sebatas merugikan kaum perempuan, namun sudah banyak menimbulkan korban. Pada kasus perkosaan umpamanya, tak terhitung perempuan yang jadi korban perkosaan dipaksa untuk mati atau terpaksa memilih kematian. Masyarakat memandang mereka sebagai perempuan hina dan tak layak untuk hidup. Mereka tak lagi mendapat tempat di desanya. Dikucilkan, bahkan diusir. Mereka tak mungkin lari ke desa lainnya, sebab masyarakat di desa tersebut pasti mengusirnya. Beribu perempuan korban perkosaan lari ke kota, dan di kota nyaris tak punya pilihan, kecuali menjadi pelacur.



Mai tidak terima kenyataan pahit yang dialaminya. Mai tidak ingin batinnya terus menangis, sementara keenam pelaku bebas berkeliaran memperlihatkan tawanya. Mai bertekad untuk melawan. Hatinya sudah bulat.



"Bagaimanapun caranya akan kutempuh berjuang menuntut keadilan lewat jalur hukum. Aku tau, keluargaku sangatlah khawatir akan bahaya yang bisa saja terjadi padaku dan pada mereka sendiri. Aku ingin keenam laki-laki biadab itu dihukum mati. Aku pun ingin kaum perempuan akan lebih berani menuntut keadilan dan tidak selalu dibayangi rasa ketakutan."



Selang beberapa waktu setelah peristiwa perkosaan tersebut, keluarga Mai telah mengadukan hal itu kepada pengadilan negeri. Inisiatif ini datangnya dari seorang pemuka agama yang mengetahui latar belakang persoalan dan keterlibatan dewan adat desa yang justru menjerumuskan Mai. Pemuka agama tersebut juga menceritakan peristiwa itu pada seorang wartawan. Wartawan tersebut belum bermaksud memuat kisah Mai di surat kabarnya, namun menyarankan pada pihak Mai mengadu ke kepolisian.



Kepolisian menanggapi hal ini dan segera menangkap para pelaku. Pada putusan tingkat pertama, hakim pengadilan negeri menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap keenam pelaku, berdasarkan bukti medis dokter. Namun entah didasari pertimbangan apa, pengadilan tinggi justru membebaskan pelaku.



Mai dan keluarganya dikecamuki berbagai perasaan mendengar putusan tersebut. Kaget, marah, kecewa, sedih, bahkan takut campur aduk. Mai tidak bisa menerima keputusan itu. Hatinya merasa terbakar, apalagi selepas sidang para pelaku dan keluarganya melontarkan hinaan, bahkan ancaman pada dirinya. Mai bertekad mengajukan banding ke Mahkamah Agung.



Putusan janggal pengadilan tinggi tersebut diberitakan surat kabar. Dan kisah tentang Mai, bagai cerita bersambung menghiasi lembar surat kabar sebulan lebih. Televisi dan radio pun memberitakan.



Pemberitaan gencar tersebut mengundang reaksi organisasi hak asasi manusia dan kelompok feminis. Hujatan demi hujatan kepada pelaku pemerkosaan tak berhenti dilontarkan. Demikian juga protes selalu ditujukan kepada pengadilan. Sementara itu di hampir seluruh penjuru negeri, muncul banyak unjuk rasa setiap hari. Hujan simpati tak henti disampaikan kepada Mai.



Dunia Intenasional pun mengikuti perkembangan tersebut. Organisasi Perempuan se-Dunia menyampaikan undangan kepada Mai. Pada Konferensi Perempuan se-Dunia yang berlangsung di Spanyol, Mai hadir dan tampil di hadapan peserta konferensi mengkisahkan peristiwa tragis yang dialaminya.



Sekembali ke negerinya, Mai diterima oleh presiden. Setelah mendengar secara langsung dari Mai dan mempertimbangkan gencarnya reaksi masyarakat juga tekanan dunia internasional, presiden segera memerintahkan kepolisian untuk menangkap kembali para pelaku. Kepolisian harus melindungi keselamatan Mai dan keluarganya. Memerintahkan pihak pengadilan merancang secara khusus tempat sidang, sebab terbetik kabar akan ancaman pembunuhan terhadap Mai, jika berani tampil di persidangan.



Di hadapan kamera yang menyorotnya Mai tetap berusaha tampak tegar.



"Aku tau ini berbahaya. Hidup kami terus dibayangi ketakutan. Namun bagaimanapun, aku tak mungkin diam atau pasrah, sebab akan memperberat beban penderitaan yang kurasakan. Aku tak akan menempuh jalan pintas untuk lepas dari penderitaan ini lewat kematian, seperti yang sering terjadi selama ini. Telah begitu banyak perempuan yang bemasib buruk sepertiku memilih bunuh diri, karena terus-menerus dihina.



Aku harus hidup! Andaipun aku dipaksa mati, aku telah berusaha berjuang menuntut keadilan. Perjuanganku ini bukan hanya untukku, namun untuk semua kaum perempuan. Aku berharap kelak hukum akan dilaksanakan seadil-adilnya. Tidak berpihak atau menguntungkan kaum laki-laki, orang kaya atau mereka yang lebih tinggi derajatnya.



Pada kesempatan ini aku mengucapkan rasa terima kasihku pada semua pihak yang merasa peduli dan simpati kepadaku. Meski semuanya itu tidak akan mengembalikan keutuhan yang pernah kumiliki, semakin menyemangati dan membuatku lebih berani.



Secara pribadi aku kembali menyampaikan rasa terima kasih kepada Yang Mulia Presiden atas penerimaannya, ungkapan simpatinya, serta bantuan yang diberikan kepadaku. Beliau berjanji untuk lebih memperhatikan kondisi sosial kehidupan masyarakat di pedesaan. Beliau menugaskan aparat pemerintahan di daerah dan di pedesaan untuk lebih mengawasi pelaksanaan hukum adat.



Aku yakin presiden akan memenuhi janjinya tersebut. Namun semua itu tidak akan mudah, tanpa adanya peran dari kita semua dalam memperbaiki keadaan. Untuk itu uang bantuan yang kuterima kuperuntukkan membangun dua gedung sekolah dasar. Satu gedung untuk murid perempuan dan gedung yang satu lagi untuk murid laki-laki.



Menurutku, pendidikan merupakan jalan terbaik untuk meraih perubahan sosial. Aku berharap kelak dari sekolah tersebut lahir generasi-generasi trampil yang mampu memajukan desa dan negeri kita ini. Sekali lagi, terima kasih untuk semuanya."

***

Kini di desa tersebut telah berdiri dua gedung sekolah dasar. Menteri Pendidikan berkenan hadir dan meresmikan sekolah dasar tersebut. Pemerintah menjamin akan menggratiskan biaya pendidikan bagi seluruh murid. Masyarakat menyambut gembira dan berterima kasih. Namun masyarakat lebih berterima kasih kepada Mai yang dianggap sangat berjasa, meski dibarengi pengorbanannya yang mahal. Sebagai ungkapan simpati dan terima kasih, masyarakat sepakat menetapkan nama Mai sebagai nama dari sekolah dasar tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar