Selasa, 12 Oktober 2010

Domain Penghayatan Sastra

Sukma

Hakikatnya, tidak hanya dalam bersastra, namun dalam menghasilkan karya apapun sudah sepatutnya penghayatan dalam mencipta sebuah karya menjadi domain teramat penting.

Betapa tidak, dalam berkarya ketika garis tujuan utama bukan pada aspek komoditi atau bisnis kapitalis. Hal lain yang layak direnungkan ialah unsur pesan-pesan moral yang terdapat di dalamnya.

Pesan moral yang baik tidak akan tercipta, manakala karya diciptakan hanya dalam koridor sekedar. Sekedar jadi, sekedar muncul. Parahnya, hal ini didominasi pada permintaan pasar yang kerap menggelapkan mata pembuat karya untuk berkutat pada lingkaran bisnis dan uang.

Maha karya sejati tidak serta-merta tercipta, hanya lantaran proses yang simsalabim. Dia diiringi serangkaian proses tak sedikit. Melainkan rumit dan berliku. Disinilah perenungan dan penghayatan senantiasa dibutuhkan oleh para pembuat karya. Tak ayal, ada teman saya seorang penulis sastra, mampu menyelesaikan sebuah cerpen atau sebuah sajak dalam tempo waktu dua tahun.

Bukan lantaran tidak bisa atau tidak berkehendak. Ketika saya tanya apa alasannya, di antara mereka menjawab, “Karya saya anak-anak saya. Justru itu, saya tidak ingin karya saya muncul dalam kondisi cacat atau malnutrisi.” Sebagian yang lain menjawab dengan nada cukup akurat, kurang lebih begini; meski suatu hari nanti saya mati. Saya ingin karya saya hidup dan memberi kehidupan buat orang lain (pembacanya).

Menarik memang! Dalam bersastra misalnya, sedikit orang yang hendak melama-lamakan karyanya untuk dimuat atau diterbitkan dalam bentuk buku, juga dipampang di media cetak. Hal melama-lamakan bukan karena tidak ingin dicepatkan atau sengaja dilambatkan, melainkan ada sisi lain yang hendak diasah supaya terasa tajam tatkala dibaca oleh orang lain.

Alasan lain yang cukup bisa dibenarkan adalah gelora percintaan yang mereka bangun dengan karya mereka sendiri. Mengumpulkan beberapa kisah dari beberapa penulis sastra ulung tentang proses kreatif mereka, sesungguhnya mereka sangat bergairah menciptakan aroma percintaan dengan karya mereka sendiri.

Sering terjadi, percintaan yang mereka bangun terkadang sering melupakan diri mereka tentang waktu, tentang kehidupan. Tidak menjauhkan diri dari kehidupan. Mereka tenggelam dalam makna kehidupan.

Menekuni bait demi bait, kalimat demi kalimat dan berikhlas hati untuk sabar menemukan makna kata yang syarat dengan pesan. Mereka asyik bercinta. Mereka hidup dalam kehidupan sendiri. Terkesan tidak melupakan orang lain. Bersebab karya yang mereka ciptakan, tetap disuguhkan buat orang lain. Agar orang lain bisa sama-sama menikmati percintaan yang asyik seperti diri mereka sendiri.

Karya Berkualitas

Muncul beragam pertanyaan, antara mana karya nyastra, mana karya tidak nyastra. Kalau boleh saya sedikit menganalogikan untuk menemukan titik perbedaannya tentu sangat signifikan. Bagi saya, karya nyastra atau bukan terletak pada sisi kesan yang ditimbulkan. Meski sisi teknis tetap pula tidak bisa ditanggalkan secara sendirian. Dia merupakan satu kesatuan yang utuh.

Korrie Layun Rampan dalam bukunya berjudul Apresiasi Cerpen Indonesia Mutakhir menuliskan, cerpen sastra memperlihatkan kesungguhan penulis dalam menggarap persoalan. Dengan demikian, tampak karya sastra itu lahir dari kesatuan utuh, antara getaran jiwa penulisnya dengan alam semesa, lingkungan dan objeknya.

Dengan sifat itu, cerpenis sastra tidak mau berkompromi dengan selera massa. Tak masalah jika yang ditulisnya tak disukai atau justru tidak dipahami pembaca. Menurut Korrie, yang utama seorang penulis sastra (bagi dirinya) dia telah ide dan tanggapan terhadap hidup dan kehidupan dengan tetap mempertahankan kualitas karya dengan bentuk pencapaian yang indah, kreatif dan orisinal.

Senada dengan apa yang ditulis Ahmadun Yosi Herfanda (Ketua Umum KSI). Dalam artikelnya berjudul Mengembangkan Ide Bagi Cerita Pendek, dia memaparkan, agar karya yang muncul tersusun atas kata-kata puitis dalam puisi dan kisah-kisah fiktif penuh imajinasi (dalam novel dan cerpen) itu menjadi lebih bermakna.

Perlu diberi sentuhan filsafat, moral, agama atau ajaran-ajaran kibajikan lainnya. Dia harus menjadi cendekiawan yang terus meneteskan kearifan, kebijakan dan makna hidup bagi pembacanya.

Begitupun karya sastra yang baik, menurut Sutardji Calzoum Bachri, adalah yang memberikan sesuatu (something) kepada pembacanya. Sesuatu itu adalah ‘kearifan hidup yang teraktualisasikan’ yang membuat pembaca sulit melupakannya, karena kesannya yang begitu mendalam.

Kesan yang mendalam itulah yang menjadi hal penting, agar sebuah karya ternilai baik dan hidup sepanjang masa. Ini tercipta dalam konsep dan proses yang membutuhkan penghayatan tingkat tinggi.

Karya-karya dengan penghayatan inilah yang memberi pesan tanpa menggurui, menceritakan kesedihan tanpa terkesan cengeng dan menyinggung tapi tidak melukai. Mengajak (para pembaca) untuk sejenak merasakan, menginsyafi, merenungkan bahkan meneladani apa-apa yang terdapat dalam karya sastra.

Pembaca akan sanggup menghayati semua karya sastra yang muncul di berbagai media, tatkala karya memang patut dihayati. Tidak sepintas dibaca kemudian berlalu. Karya sastra berkualitas terkadang mampu membantu kita menemukan jawaban atas masalah hidup yang didera. Mampu menjadi setawar sedingin, tatkala dihantam badai masalah. Terlebih pula, mampu menghibur disaat hati sedang lara.

Demikianlah hakikatnya sastra. Hadirnya menjelma ayat-ayat yang mampu menjadi tauladan atas apa yang tengah dirasakan pembacanya. Dia bergerak dan hidup terus-menerus. Mengasah kognisi, memperhalus emosi.

Menginspirasi

Mengambil petikan novel karya Remy Saylado berjudul Aku Mata Hari, dimuat Kompas di edisi 36 pada Sabtu, 12 Juni 2010 yang berisi seperti berikut: Aku sengaja tidak pulang ke Ambarawa sampai aku merasa mau. Maksudku, nanti aku pulang ke Ambarawa kalau aku mau bukan karena aku ingin.

Ada perbedaan penghayatan, bukan semata semantik, dalam dorongan antara pengertian ‘kemauan’ dan ‘keinginan’. Kalau aku ‘mau’ maka ini bisa saja terjadi tiba-tiba tanpa rencana, sedangkan kalau aku bilang ‘ingin’ berarti aku sudah merencanakannya dalam pikiranku.

Tak ubahnya dengan karya yang ditulis Arswendo Atmowolito dalam novelnya Kau Memanggilku Malaikat. Dalam kisahnya di awal cerita, Arswendo memulai ceritanya dengan mengisahkan seorang ibu bernama Ny. Tessa yang tengah koma dirawat di rumah sakit dan tengah menuju ajalnya. Lantas dia melihat sosok malaikat datang dan mengajaknya bercakap-cakap.

“Berarti benar kau datang untuk mencabut nyawaku.”
“Tidak persis begitu. Aku datang tidak mencabut nyawa… Aku datang menjemput...”
“Bukankah itu tugasmu?”
“Bisa dikatakan begitu. Walau sebenarnya tidak persis seperti itu. Bagiku tak ada kata tugas, atau bukan tugas. Selalu begitu saja. Menjemput mereka yang akan mati.”
“O, itu bukan tugas?”

“Nyonya Tessa, apakah Nyonya akan mengatakan angin bertugas ketika bertiup? Atau ombak laut bertugas, tatkala bergelombang? Atau matahari bertugas menerangi bumi?”

Contoh karya di atas termasuk karya sederhana tapi cukup menginspirasi. Kita perhatikan apa yang diucapkan Remy tentang kata ‘mau’ dan ‘ingin’. Keduanya kata yang teramat sering kita dengar dan kita lihat. Kata-kata itu tak sekedar. Remy menghayati kata itu hingga muncul perbedaan secara makna.

Begitupun dengan Arswendo. Dia tidak sedang menceramahi kaum pembacanya. Ada titik spiritual ditulisannya. Nada sufistik mengalir kental di dalamnya. Malaikat tidak mencabut melainkan menjemput. Dalam kajian tasawuf, tipe orang bagaimana yang tatkala mati dicabut atau dijemput.

Padahal derajat manusia secara lahiriah jauh lebih mulia ketimbang malaikat. Dicabut jauh lebih menyakitkan daripada dijemput. Perumpamaan yang dibangun Arswendo sangat halus. Memukau dan sepintas menjelma ulama.

Hebatnya lagi, Arswendo menelaah analogi antara tugas dan fitrah adalah dua hal yang tidak sama. Seperti laut yang bergelombang apakah disebut bertugas, angin yang bertiup apakah disebut bertugas. Hmm, menarik sekali!

Jadi intinya, Remy dan Arswendo tidak sekedar asal dalam berkarya. Mereka menyajikan menu tulisannya penuh renungan, penuh penghayatan. Agar karya-karya mereka menjadi guru yang tetap dikenang. Guru yang mengesankan dan memberi arti bagi kehidupan kaum pembacanya. Oleh sebab itu, menulis karya apapun itu proses penghayatan tidak bisa dilepaskan begitu saja. Agar karya kita tetap bernilai baik. Kalau menulis, hayatilah kehidupan!
Medan, Juni 2010
Penulis: Alumni FakPsikologi UMA Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar