Selasa, 12 Oktober 2010

Mudik Lebaran Rupiah Mengalir ke Desa

Oleh : Maulana Syamsuri

Seperti halnya imigran China ke berbagai negara di Asia Tenggara, mereka sangat andal dalam hal berdagang, begitu pula masyarakat Jawa dari Jawa Tengah dan Jawa Timur, pada umumnya mereka adalah pedagang yang sukses di kota-kota besar di Indonesia, seperti di Jakarta, Bandung Bogor, Bekasi dan Tangerang, juga Medan.

Lihatlah pemilik cafe ayam penyet yang pengunjungnya ratusan orang setiap hari, pasti pengelolanya adalah orang asal Pulau Jawa. Tengoklah pemilik warung bakso yang amat laris, pastilah milik orang Jawa. Juga pengusaha nasi udhuk yang menyediakan pecel lele dan amat digemari masyarakat Medan, bukanlah orang Minang, bukan orang Aceh, bukan Tapsel, tapi orang Jawa. Juga pengusaha tempe dan tahu serta pengusaha industri meubel, kebanyakan adalah orang Jawa.

Sejak jaman penjajah Belanda dulu, orang-orang suku Jawa adalah pekerja yang ulet, sehingga Belanda menjadikan mereka sebagai kuli kontrak untuk dipekerjakan di perkebunan di Tanah Deli. Hingga saat inipun orang Jawa adalah pekerja dan pengusaha yang ulet dan barang-barang produknya sangat digemari masyarakat. Hampir tidak ada cafe ayam penyet yang sepi di kota Medan. Warung bakso selalu penuh pengunjung dan pemiliknya boleh bersyukur, mereka mendapat untung serta dapat membeli tanah dan membangun rumah serta setiap tahun mudik ke kampung halamannya di Jawa.

Falsafah "Wong kesed iku dadi bantaling syetan" yang berarti orang malas itu adalah tikarnya syetan, senantiasa dijunjung tinggi, sehingga hampir tidak pernah ada orang yang Jawa bermalas-malas terutama di rantau orang, di kota-kota besar.

Rupiah Mengalir ke Desa

Perantau dari Jawa di kota-kota besar di Indonesia, pada umumnya adalah berprofesi sebagai penjual jamu, pedagang bakso, pengusaha ayam penyet, warung nasi udhuk & pecel lele, dan warung nasi soto. Selama setahun penuh mereka bekerja keras, menabung keuntungan, lalu mudik setiap lebaran bersama keluarga secara massal. Setiap tahunnya warga dari Jawa Tengah dan Jawa Timur akan mudik beramai-ramai sekitar 5 juta orang. PT Kereta Api Indonesia, untuk pelayanan mudik lebaran 2010 telah menyiapkan 1.393 kereta yang mampu mengangkut 3,1 juta orang.

Itu baru PT KAI, belum lagi angkutan via pesawat udara, belum lagi mudik dengan bis, kapal laut, mobil pribadi dan sepeda motor. Angka pemudik tahun ini mungkin bisa mencapai hampir 5 juta orang atau 3 juta kepala keluarga. Bila setiap keluarga membawa uang dari kota sedikitnya Rp.5 juta, maka rupiah yang akan mengalir ke desa akan berjumlah ratusan milyar, bahkan bisa mencapai trilyunan rupiah. Dengan uang rupiah yang begitu banyak jumlahnya sangat banyak pembangunan yang dapat dilakukan. Namun yang pasti dengan banyaknya pemudik, ekonomi desa jadi hidup secara signifikan.

Mudik secara massal dalam jumlah yang amat besar hanya terjadi di Indonesia dan tidak pernah terjadi di negara lain di dunia. Beberapa hari menjelang dan sesudah Lebaran akan tampak pemandangan penumpang kereta api atau bis yang berjejal dan saling berhimpitan.

Untuk pelayanan mudik, beberapa buah kapal Ro-ro yang dapat mengangkut ratusan mobil dan penumpang sudah disiapkan. Diantaranya adalah kapal Tribuana I yang dapat mengangkut 175 unit mobil serta 395 penumpang. Kapal BSP III akan mampu mengangkut 100 mobil dan lebih dari 500 penumpang. Kapal Jagantara juga berkapasitas 120 kenderaan roda 4 dan 325 orang.

Penghormatan Terhadap Leluhur

Dari tahun ke tahun jumlah pemudik dari kota-kota besar menuju kampung halaman di berbagai desa dan kota di Jawa semakin meningkat. Menurut Buku Seri Kejawen yang diterbitkan oleh Penerbit Aggra Institute, bahwa hal yang sangat pokok mendorong perantau kembali ke kampung halamannya adalah kecintaan mereka terhadap para leluhur dan tanah leluhur yang sangat mereka hormati.

Juga kecintaan mereka terhadap orang tua dan kecintaan satu keluarga dengan kerabat lainnya. Para perantau asal Jawa itu merasa lebih nikmat mudik ketimbang pergi ke Singapura, atau mengunjungi tembok China.

Di kampung halaman mereka dapat melakukan sungkem terhadap orang tua yang masih hidup. Bagi merka yang sudah ditinggalkan ayah bundanya, di hari menjelang Lebaran, mereka melakukan ziarah dan membangun makam. Para pemudik itu dapat membangun rumahnya di desa kelahirannya yang amat dicintai, juga membeli sawah dan ternak untuk investasi.

Falsafah gotong royong yang masih kental dalam jiwa setiap masyarakat Jawa juga ikut mendorong para perantau untuk pulang kampung. Secara gotong royong mereka membangun masjid di desanya atau membangun dan memperbaiki saluran air. Hal lain yang juga ikut mendorong perantau untuk mudik adalah prinsip "Mangan nggak mangan asal ngumpul", yang bermakna meskipun tidak makan, namun yang penting dapat bertemu dengan kaum kerabat. Bahkan ada perantau yang sudah berhasil di kota, pulang ke desanya untuk menjemput jodoh. Sebab masyarakat Jawa masih kental dengan falsafah memilih teman hidup masih sangat dominan berpegang pada "bibit" atau keturunan, "bobot" yang bermakna kekayaan dan "bebet" atau garis kekerabatan.

Disamping itu, mudik merupakan ungkapan suasana akrab sesuai dengan falsafah Jawa "Rukun agawe santosa, orah agawe bubrah" yang bermakna Kerukunan membuat kesentosaan dan perpecahan akan membuat kehancuran.

Para perantau asal Jawa Tengah dan Jawa Timur itu mudik untuk membuktikan bahwa di rantau orang mereka masih tetap mampu menerapkan prinsip "tepa slira", yaitu menempatkan diri sendiri dalam keadaan orang lain dan berbaur dengan baik bersama etnis lain. Sikap lain yang tampak pada pemudik itu adalah sikap hemat serta Prasaja. Para perantau selama bermukim di rantau orang atau dikota besar selalu hidup hemat dan menabung yang akhirnya, rupiah yang dicari dibawa pulang untuk membangun desanya.

Ada lagi pola hidup masyarakat Jawa yang berada di rantau orang adalah sikap "Cekot-ceket tur slamet" yang berarti cekatan tapi selamat, bekerja dengan cepat cermat,ulet dan berhati-hati, hingga dapat meraih sukses dalam berniaga. Mudik lebaran yang sudah menjadi kebiasaan para perantau dinilai, bahwa kentalnya sentralisis di berbagai bidang, terutama di bidang ekonomi dan pembangunan. Mudik lebaran menyodorkan fakta, bahwa pembangunan belum merata di negeri ini,artinya belum menyentuh pelosok desa sehingga menimbulkan kesan, inilah negeri primitif.

Dalam hal pulang kampung dari jutaan pemudik, yang dapat disimpulkan adalah semangat yang tinggi untuk kembali ke desa asal. Kebersamaan dan cinta kasih serta persaudaraan masih terjalin indah dan kukuh. Uang yang mereka bawa ke desanya juga bukan hasil korupsi, tapi dari hasil kerja keras dan jerih payah keringat mereka sendiri.

Antisipasi Pemerintah

Untuk kelancaran dan kenyamanan serta keamanan para pemudik, pemerintah dan instansi terkait lainnya telah mengadakan persiapan-persiapan yang matang. Tidak ketinggalan pihak PLN memberikan penerangan yang cukup di sepanjang jalan. Juga perbaikan jalan dan jembatan. Untuk mengatasi kemacetan, pihak Satuan Lalu Lintas akan mengadakan pengamanan terpadu.

Modifikasi Sepeda Motor

Jauh sebelum lebaran tiba, karcis kereta api untuk berbagai jurusan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur sudah habis terjual. Tiket pesawat juga mulai pasang tarif setinggi langit. Hal ini membuat para pemudik nekad pulang kampung dengan mengenderai sepeda motor menempuh jarak ratusan Km. Bahkan banyak pengguna sepeda motor yang nekad memodifikasi sepeda motornya dengan menambah bagian belakang untuk bagasi karena bagian depan untuk membonceng bocah.

Yang beruntung adalah para penjual jamu maupun jajanan yang mudik dengan fasilitas bus mewah gratis dari produsen jamu. Seperti halnya kebiasaan mudik basamo yang dilakukan oleh masyarakat Minang ketika pulang ke Sumatera Barat Semoga mudik tahun ini aman-aman saja dan nyaman, tidak ada gangguan kamtibmas. Harus selalu diingat banyak korban kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa di sepanjang jalan.

Mudik lebaran tidak hanya dilakukan oleh pengusaha ayam penyet, tidak hanya dilakukan oleh pedagang bakso, tidak hanya dilakukan oleh pengelola pecel lele, tapi juga dilakukan oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Karyawan BUMN dan pegawai-pegawai perusahaan asing yang bergaji besar juga ikut mudik, namun jauh-jauh hari mereka sudah memesan tiket pesawat sehingga terhindar dari kenaikan tarip.

Setelah lebaran para pemudik akan kembali ke kota, biasanya dengan membawa saudara atau kerabatnya untuk ikut mengadu nasib di kota besar. Masih lumayan kalau saudara yang dibawa memiliki ketrampilan. Tidak memiliki ketrampilan kehadirannya di kota hanya menambah sesak kota yang sudah sangat padat.

Mudah-mudahan di masa mendatang, pembangunan sudah merambah dan merata hingga ke desa-desa, sehingga mudik secara besar-besaran tidak lagi terjadi.***

Penulis adalah novelis/sastrawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar