Selasa, 12 Oktober 2010

Damiri Mahmud

Putra Melayu ini lahir di Hamparan Perak, Medan, 1945, menghabiskan masa kanak-kanak dan remaja di Medan, dan beberapa tahun di Jakarta. Mulai menulis pada 1972 di koran terbitan Medan, menyusul di majalah Basis (Yogyakarta), Horison (Jakarta), Dewan Sastera (Malaysia) serta di berbagai surat kabar terbitan Jakarta.
Bunga rampai puisi-puisinya bertabur dalam: Kuala, Rantau, Puisi 77, Ilham, Titian laut I,II,III (DBP Malaysia), Tonggak-3 Antologi Puisi Indonesia Modern, Bosnis Kita, Perisa-Jurnal Puisi Melayu (Malaysia). Puisi solo “Damai di Bumi” diterbitkan oleh Kanwil Depparsenibud Sumut dan Hotel Garuda Plaza (2000).
Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen dan sejumlah esai yang telah diterbitkan. Buku “Amir Hamzah Penyair Sepanjang Zaman” (Penafsiran Lain tentang Nyanyi Sunyi) terbitan DKSU 1994 merupakan karya monumental karena dianggap kontroversial dan menebas mitos terdahulu, sempat menarik sejumlah pakar sastra di dalam maupun luar negeri.
Penceramah yang aktif dalam membahas karya-karya sastra ini pernah pula diundang dalam acara Temu Kritikus di Taman Ismail Marzuki Jakarta, dan diberi kepercayaan memilih sejumlah tokoh sastra dan budaya di Tanah Air sebagai kontributor untuk Eksiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu yang diterbitkan di Malaysia.
Beberapa kali pernah memenangkan lomba menulis esai, baik tingkat lokal maupun nasional, karenanya, menurut HB Jassin, Damiri diperhitungkan sebagai kritikus sastra yang ikut menentukan arah kehidupan kesusasteraan Indonesia. Salah satu diskusinya dengan HB Jassin tentang penulisan Al Quran yang menghebohkan itu, dibukukan dalam “Kontroversi Al-Quran Berwajah Puisi”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar