Selasa, 12 Oktober 2010

“Lidah Monster” Foeza ME Hutabrat & Iwan fauzi Kecerdasan Absurditas

Oleh:Tandi Skober

Selalu saja ada penulis yang tidak ditulis sejarah sastra tapi dari setiap tulisannya alirkan kumpul huruf penggugah kolbu sastrawi. Nama itu, antara lain Idris Pasaribu. Itulah sebabnya ketika ‘Acek Botak’ mengangkasa, dua sa-strawan Medan Foeza ME Hutabarat dan H Iwan Fauzi (baca Iwan Lubis) mendadak terjaga terperangah. “Idris Pasaribu saja bisa, kenapa kita ti-dak?”lirih suara Iwan Fauzi. Itu pula yang membuat dua maestro sastra Medan terbitkan duet kumpulan cerpen yang diberi tajuk “Lidah Monstrer”
Saya jadi iri, kenapa Iwan Fauzi lebih memilih berduet dengan Foeza ME Hutabarat, bukan Tandi Skober, padahal saya dan Iwan sama-sama ber-diam di kota kembang Bandung? “Hanya duet Iwan-Foeza yang bisa tandingi Idris Pasaribu, bukan stad Tandi,” lirih suara mantan anggota DPRD propinsi Jawa Barat itu.
Saya mantuk-mantuk. Saya baca kumcer “Lidah Monster”. Saya terpe-rangah. “Bah! Luar biasa! Luar dalam. Inilah konspirasi kontemplasi, dua nama yang terperangkap hutan kata-kata yang sesungguhnya dari setiap paragraf tulisan keduanya muncratkan kecerdasan-kecerdasan absurditas!” ucap saya untuk diri saya sendiri.
“Ada pengembaraan nalar, sekaligus peribadatan kultural”tutur kandidat Doktor sekaligus dosen Unpad Bandung Tanti R. Skober saat saya sodorkan kumcer itu. Tidak hanya itu, “Konstruksi fiksi Lidah Monster telah terposisikan sebagai cermin diri yang steril,” kali ini ucapan Choking Susilo Sakeh lewat telepon,”Di luar itu, duet Foeza dan Iwan bisa dimaknai sebagai islah sastra antara kelompok Choking dan kelompok Foeza.” Maklum di era 80-an selalu saja ada berita tak cerah di antara dua kubu besar sastrawan Medan itu.
Benarkah pendapat Choking Susilo Sakeh dan Tanti R. Skober? Awal-nya saya ragu. Tetapi setelah terus menerus membaca, terus-terusan Lidah Monster, saya batuk-batuk tiga kali. Batuk pertama untuk nuansa peribadatan kultural, batuk kedua atas nama pengembaraan nalar dan batuk ketiga demi apa yang disebut cermin steril. “Memang, benar hal yang dikatakan Choking dan Tanti bahwa ada tiga pilar dalian natolu dalam setiap paragraf cerpen Li-dah Monster.
Cerpen “Pengamen Topeng”, misalnya, Foeza ME Hutabarat mengkritisi sisi sunyi peribadatan kultural metropolitan melalui pendekatan tiga topeng yaitu “Si Tak Mau Tahu”, “Si Jabrut” dan “Si Badut”. Bagi Foeza ME Hutabarat, saat manusia tawafi sesembahan hedonisme maka ada perjalanan kehilangan yang tersaruk-saruk di belukar keterasingan. Di sini, manusia kehilangan jati-diri termasuk kehilangan bayang-bayang dirinya sendiri. Manusia tidak lagi menjadi siluet Ilahiah.
Pada posisi ini, Manusia terperangkap jalinan kesintingannya sendiri melalui pintalan-pintalan kegalauan yang ia rajut. Ada banyak langkah kalah saat tapaki labirin metropolitan. Fauza menggambarkanya lewat perjalanan pengamen yang meninting tiga topeng. Bila sudah begini, maka manusia am-bruk, keok dan terpojok disudut ruang yang mang-mung. Kenapa?”Rutinitas yang diuburu-buru waktu, membuat warga kota jenuh pada peran-peran yang mereka lakoni sehingga lupa pada mimik asli mereka sendiri. “(halaman161)
Idiom ‘pengembaraan nalar’ bisa terditeksi dari cerpen “Monster” Iwan Fauzi. Ini cerpen bukan sembarang cerpen. Liar, abnormal dan butuh kecer-dasan linuwih untuk membaca kumpul huruf ini. “Butuh dekonstrusi psikomania dalam fraghmentasi kegilaan holitisme,” ucap saya untuk diri saya sendiri yang juga didengar istri saya Nuriah Boru Daulay. Kenapa? Sebab ada pen-gembaraan nalar tak terukur dalam cerpen Monster ini. Sebab ada jurnalisme amarah yang diparkir dalam paragagraf gelap. Sebab ada kearifan-kearifan tersembunyi di lipatan peradaban majemuk. Maka tak aneh manakala Iwan Fauzi yang dikenal sebagai Iwan Lubis mencemooh manusia dalam tipikal-tipikal khewani yang kenes.
Ada empat makhluk yaitu ‘sang ayah’ ayam jago, buaya hingga anjing menjadi simbol-simbol kecerdasan absurditas. Iwan Fauzi tanpa nafsu sastrawi khabarkan bahwa dalam diri manusia ada kebinatangan yang butuh dibina secara matang melalui pendekatan jurnalisme kultural. Maka kita tidak tahu mana yang layak disebut manusia ‘tokoh ayah’, buaya, ayam atau anjing. Tak jelas. Kenapa? Amarah yang lahir dari rahim absurditas adalah reinkarnasi dari sifat kebinatangan.
Yang menarik toh Iwan Fauzi menulisnya dengan tinta soft news “Lo-longan anjing teraing-kaing diikuti suara gedebak-gedebuk….anjing hitam terkapar di halaman. Ayah berdiri sambil menepuk-nepuk dadaya dengan tar-ing berdarah. Samar-samar terlihat ayah mulai menjelma jadi monser fran-kenstein”(halaman 67)
Bila Foeza ME Hutabarat sodorkan cermin melalui topeng nan tiga lan-tas Iwan Fauzi meliarkan nalar melalui tokoh ‘ayah’ dalam Monster maka de-sain Lidah Monster khabarkan tentang kesederhanaan, rendah hati yang me-mukau. Ini yang membuat saya terperangah. Bila Acek Botak mempublikasikan karya bagusnya melalui buku mewah,menarik dan indah bijaks bestari—dan ini yang membuat Acek Botak best seller meski royaltinya jauh panggang dari api—maka tidak demikian dengan Lidah Monster. Buku ini mengingatkan saya buku-buku lama di era 1970-an. Sederhana, apa adanya dan indah bijaks bestari. Foto Foeza ME Hutabarat dan Iwan fauzi yang dimuat di halaman 109 dan 111, misalnya, mirip sebuah fiksi yang khabarkan bahwa ‘miskin itu indah’ juga ‘fotocopy itu naturalis’. Entah udah berapa kali selalu saja saya pandangi dua potret pucat di ruang yang tak riang. Entah sudah berapa kali saya hela nafas, “kok tega-teganya dua wajah bagus itu saat menclok di buku jadi pias pucat pasi.
Itulah sudah! Itulah kekayaan intelektual Iwan Fouza! Meski nama Foeza ME Hutabarat dan Iwan Lubis ditulis dengan font 9/kecil/ nyaris tak ter-lihat, tapi angkasa bermatra batin tentu tahu siapa dua nama sastrawan Me-dan yang piawai itu. Lagi pula, “Emang Foeza ME Hutabarat dan Iwan Fauzi dua sosok manusia sederhana,”ucap Sugeng Sastya Dharma melalui telepon. Lagi pulat,” Esensi Lidah Monster bukan terletak pada nama diri tapi pada karya fiksi itu sendiri.”
Itulah itu! Itulah sebabnya, dalam blog paling berpengaruh http://tandiskober.com/ kumcer Lidah Monster ini kuapresiasi sebagai buku berbintang tiga sama dengan Acek Botak Idris Pasaribu. Artinya Lidah Monster VS Acek Botak dalam ajang Piala Sastra Dunia 2010 berakhir draw: 1-1…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar