Selasa, 12 Oktober 2010

MEMBACA ZIARAH OMBAK KORBAN SUNAMI

Oleh Mihar Harahap

Rinduku Padamu
Kata orang, sehari tak bertemu sudah merasa rindu, apalagi berminggu-minggu. Akan tetapi kali ini bukan kepalang, mencekam bahkan mengenaskan, karena merindukan orang-orang yang takkan pulang. Merindukan orang-orang yang telah pergi dan tak mungkin kembali lagi. Namun anehnya, para keluarga masih merindukannya, seakan-akan berharap pada suatu saat akan kembali padanya. Atau merasa orang itu takkan ke mana-mana, masih ada, paling tidak ada di dalam ingatan yang takkan terlupakan.

Simaklah puisi Jingga Gemilang berjudul “Ingat Ibu” (Untuk adikku : Dira). Katanya: Benar kata nenek/Bahwa aku mirip dengan ibu/ Tak hanya wajah yang meloncong dengan rambut bergelombang/Tapi kelembutan hati berwujud cerewet dan garang (bait 1). Aku begitu sayang pada ibu/Setiap hari ingat ibu/ Dalam doa kupanggil ibu/ Tapi kemana ibu?… aku merindukan ibu (bait 2).

Memang mengenaskan, puisi rindu ibu yang ditulis Jingga untuk adiknya, Dira, sebenarnya adalah mengenang perkataan neneknya. Begitu pula puisi “Ibuku Bersayap Merah” karya Azhari. Katanya: lihat Ibu ada bangau putih/berdiri dengan segelah kaki di sudut kamarmu/ bangau itu tak bersayap merah/ seperti dulu pernah kau ceritakan padaku (bait 4). karena aku tahu bangau itu telah memberikan sayap merah-nya buatmu/agar kau peluk Abah dan Dik Nong ke dalamnya (bait 5). Rupanya cerita ibu tentang bangau putih bersayap merah adalah pertanda datangnya bencana (seperti stunami) tetapi si-aku-lirik tidak menduganya.

Faridah, ibu yang malam ini menulis puisi berjudul “100 Hari Engkau Kunanti” (Untuk putraku; Husni Taufik). Tanyanya: rinduku padamu ananda/ seratus hari tanpa berita/ di laut manakah engkau merendam tawa/ di pulau manakah engkau membukit senda (bait 3). langitku yang biru samakah/ dengan langitmu/ adakah rinduku sama dengan rindumu (bait 4). Bayangkan, meski sudah 100 hari menanti tak bertepi, namun si buah rindu yang dihanyut gelombang tsunami, masih juga diharap pulang kembali ke langit yang biru.

Selanjutnya puisi Arafat Nur berjudul “Alia, Gadis Kecilku”. Dengan manis penyair menyapa: cinta mengajakmu menari/ di atas awan/ dan gelombang jadi latar/ gerak lukamu, bidadariku (bait 1). kau sudah memutuskan/ menari di tengah gelombang/ mungkin dengan jeritan/ kau akan damai/ sampai pada tuhan/ (bait 2). Kelihatan penyair cukup bijak, tenang dan mengesankan dalam mengeksploitasi kehilangan, kerinduan dan kecintaan kepada Alia. Mungkin musibah itulah jalan terbaik bagi Alia untuk menghadapNya.

Tak hanya Alia, tetapi juga Maskirbi, penyair dan dramawan Aceh, turut disapu gelombang maut tsunami. Pada “Sajak Kepada Penyair” (Bagi Maskirbi) karya Anton Kieting aku-lirik siap menjadi penerusnya. Sikapnya: Aku akan tetap jadi penyair yang mengabarkan kesaksian/pada setiap perjanjian/ karena kau pinta aku menjadi bilal/ yang selalu mengabarkan setiap perjanjian (bait 2). Kini tak ada lagi plaza, supermarket semua telah diratakan dengan bumi/ sebuah pertanda bahwa yang di bumi harus membumi karena ia/ adalah telapak ibu yang tulus (bait 3).

Seirama makna puisi di atas adalah puisi “Album Tua” (Ikra) milik Mustafa Ismail. Liriknya: kau pernah bersajak: bang, jangan lupa/ meunasah ya, malam mendadak senyap, hanya/ suaramu, melambung ke udara/ membentuk pulau-pulau, dengan rumah kecil/ lengkap dengan masjid di dalamnya (bait 1). malam lewat, kita kembali pulang/ ke dalam sunyi masing-masing, aku hanya/ bisa mengingat: matahari kecil di ujung rambutmu/ dan seulanga tak henti merekah/ di matamu yang menyimpan seribu bintang (bait 2).

Anton Kieting merasa bahwa penyair dapat menjadi saksi abadi berkekuatan 3 dimensi (dahulu, kini, mendatang) dalam menstabilisasi keberlangsungan kehidupan manusia dengan segala peradabannya secara membumi. Sementara, Mustafa Ismail, dengan menggunakan simbol-simbol seperti meunasah, masjid, matahari, seulanga dan bintang, mengingatkan hubungan horizontal (manusia dan lingkungannya) dan vertikal (manusia dan al-Khalik) agar dapat dibina/ dikembangkan secara membumi/ harmoni.

Mohd. Harun Al Rasyid mengenang: Tiga tahun lalu, sayang/ ayah tinggalkan engkau menjelang ulang tahun ketiga/ kasihku bertaburan antara Banda Aceh-Malang/ kadangkala kupungut enam bulan sekali/ lalu kutaburkan dalam kolam hatimu yang riang (bait 2). Tiga tahun lalu, sayang/ engkau minta sebuah ranjang/ engkau dambakan sebuah almari pakaian/ dua pekan sebelum tsunami, 13 Desember 2004/ saat ayah harus pergi lagi menamatkan studi (bait 5).

Puisi Mohd. Harun Al Rasyid berjudul “Kenangan Dalam Keikhlasan” (Bagi Inong Nabila Harza) di atas, memang mendayu-dayu hingga memancing air mata pembaca. Menurut catatan, Inong, pada Sabtu 25 Desember 2004 via televon masih berbicara dengan ayahnya di Malang. Ia sangat senang memiliki lemari pakaian, cermin hias dan ranjang peraduan. Namun esoknya, minggu, 25 Desember 2004, Inong bersama ibu (Nour Zainura) dan adiknya (Agam Muyassar Harza) disaput gelombang tsunami. Innalillahi wainnailahi raji’un.

Aku Milik-Mu
Kerinduan yang mendalam menghangatkan kenanganyang terus menerus melingkar-lingkar ingatan. Betapa sulit untuk melupakan. Meski berselang beberapa tahun dan akan terus dihitung setiap tahun, namun kenangan dalam ingatan belum juga pupus dari bayangan. Malah semakin lama semakin jelas rekaman tragedi yang begitu dahsyat dan mengerikan. Hanya, apa dan bagaimanapun terjadi, sikap penyair/ keluarga korban tidak putus asa. Sebagai orang beragama, mereka mengembalikan masalahnya kepada Allah SWT.

Mengenang korban, Rosni Idham menulis puisi “Bunga Setaman” (kepada Anak-anak Korban Tsunami) begini: Pagi ini/ ketika aku memandang orang-orang memetik bunga di taman/ lalu meletakkan di air kolam yang mengalir jernih/ dan mengalir seiring senyum semekar sukma/ berdegup aku tiba-tiba/ bergoncang kencang dada gemuruh/ telah gugur bunga-bungaku yang tumbuh/ di bawah siraman air peluh (bait 1). Rosni benar, hari masih pagi, tetapi bunga-bunga di taman sari telah berguguran disaput gelombang tsunami.

Mustafa Ismail mengenang seorang penyair dalam puisi “Riwayat Kecil” menulis: kita jalan kaki dari peunayong malam itu/ menempuh rumahmu (bait 1). malam basah/ kita belum makan. “minum air putih saja,” katamu (bait 2). Lalu: mengapa pagi begitu cepat datang/ kita kembali harus makan (bait 5). Rupanya, jalan malam, berembun dan kelaparan bersama penyair begitu mengesankan. Berbeda dengan puisi D Kemalawati berjudul “Sajak Untuk Pelukis Ombakku”, kenangannya begitu mencemaskan.

Lirihnya: apakah arti sajakku ini/ ketika aku tak bisa menerka/ di belantara mana jasadmu kini/ engkaukah yang masih terbaring/ di antara tubuh legam, kaku dan kesepian/ terjepit di antara puing-puing reruntuhan (bait 3). Engkaukah itu yang dibalut kantong-kantong hitam/ ditumpuki di pinggir-pinggir jalan/ tanpa air terakhir dan kain kafan/ engkaukah itu yang hanya diantar relawan/ ke liang-liang panjang pekuburan/ tanpa kutemukan batu nisan (bait 4). Sungguh, kematian tak berprikemanusiaan.

Merasakan itu, Sulaiman Juned menulis puisi “Aceh 1” (bagi yang hilang-kehilangan) begini: sekejap larut di lembah-bukit memanjang/ jauh. Di rantau ku tatap tubuhmu dililit duka/ api-angin-batu bersenggama pada dingin/ gigi. Bunyi lesung bersorak-sorai dalam/hutan asap menyesak-tingkah kaki terusik/ gelisah. Sudah waktunya kita pulang/ menata pekarangan rumah dengan cinta/ kita harus menggantikan warna hitam/ menjadi putih antar ke pintu surga/ (mari jemput waktu lewat senyum di kening bulan) (bait 2).

Memang, D. Kemalawati baru mengekspresikan satu tragedi tsunami yang menjemput maut, mencari-cari jasad pelukis ombaknya yang terbawa hanyut, lalu menyerahkannya kepada-Mu penguasa gelombang laut. Sementara Sulaiman Juned mengurai jalinan tragedi tsunami dengan tragedi berdarah lainnya yang berujung maut. Menurutnya, Aceh yang terus menerus dalam kemelut, karena tidak ditangani denan bijak dan manusiawi. Karena itu, ada keinginan untuk turun ke kampunghalaman guna membenahi serambi.

Namun Deddy Satria dalam puisinya “Hikayat Entah Apa” (kami kenang engkau dalam lumpur lewat puing) melihat hidup ini demikian keras. Katanya: aku hidup untuk jadi saksi, kita hanyalah seggenggam anai-anai/ bertebaran jadi biji-biji di ladang-ladang persemian/ hidup berdiri di atas bom waktu/ jadi bersiap-siaplah untuk meledak, lalu hancur/ kawanan bangau terbang ke hutan-hutan bakau/ melantunkan bunyi senja untuk langit matahari merah tembaga (bait 7). Ada nilai filosofi bahwa hidup tak berarti, sia-sia semata.

Tampaknya, puisi Wiratmadinata “Betapa Malunya Aku Menulis Puisi” (untuk saudaraku di tanah kelahiran: Aceh) terasa lebih santun. Sapanya: Wahai, Tuhan, sang pemilik jagad raya ini/ kami takluk dan tunduk, mohon ajari kami mengerti/ cinta seperti apakah yang tengah engkau ajarkan?/ dosa seperti apakah yang tengah engkau bersihkan? (bait 3). Sebenarnya bernada protes, tetapi cukup bijak dalam menyiasati takdir ini. Bahwa Tuhan memberi peringatan/ cobaan/hukuman kepada hambanya yang beriman.

Namun begitu, Mohd. Harun Al Rasyid dalam puisinya “Aku Bertanya Pada-Mu” (bagi korban tsunami) masih juga bertanya. Tanyanya: Tuhan/ Sebagai ayah aku hanya bertanya/ Karena kutahu anakku yang belia/ Belum tahu apa-apa dengan kemunafikan/ Belum kenal aneka kemusyrikan/ Belum tahu mengenai bibit-bibit dendam/ Apalagi dengan nafsu angkara murka (bait 4). Pertanyaan Wiratma dan Harun adalah pertanyaan kekesalan, tetapi masih dalam batas kesadaran bahwa sesungguhnya kekuasaan Tuhan itu tidak terbatas.

Oleh karena itu, dalam puisi “Ingatan” (bagi korban gempa dan tsunami di aceh dan Nias) penyair Doel CP. Allisah mengingatkan: apa yang tersisa dari semua kenangan tentang kalian/ selain air mata dan doa kami yang tak putus-putus?/ hanya doa-hanya doa/ (dan kami pun yang hidup) semakin kecut/ dengan kuasa-Nya yang tak terbatas (bait 2). Ya, di makam korban tsunami ini, kita berdoa, semoga Allah SWT melapangkan kuburnya, menghapuskan dosanya dan menempatkannya di dalam surga. Amin Ya Rabbal Alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar