Selasa, 12 Oktober 2010

Puaka Tiga Datuk

Cerpen Khas Ranesi

M. Raudah Jambak

"Belandalah sebenarnya yang mengajarkan kita apa itu nasionalisme. Belanda sebenarnya yang mengajarkan arti kepahlawanan dan pengkhianatan. Kita ternyata bangsa terbelakang yang selalu kesulitan memberi tafsiran," demikian ujaran Pak Sutan berapi-api. Lalu kukaitkan dengan perjuangan yang berlangsung pada masa pendudukan Belanda dan situasi kekinian, termasuk tentang Aceh, Jogja, Poso, Ambon, Papua dan sebagainya. Dan Pak Sutan dengan bangga memberikan penjelasan atas pertanyaan-pertanyaan yang kuajukan. Sehingga kalau seandainya kami terlihat di sudut kedai kopi Taman Budaya Sumatera Utara, maka persoalan kenegaraan, politik, sosial, dsb, selalu kami kunyah-kunyah. Jika belum selesai, maka esok hari pembicaraan itu akan dilanjutkan. Selalu begitu.

***

Lama aku terpaku mendengar cerita Pak Sutan. Pertemuan kami sebenarnya bukan pertemuan yang disengaja. Di sebuah kedai kopi. Waktu itu aku sedang asyiknya membaca berita tentang pergolakan yang terjadi di Aceh. Tentang berita GAM. Beritanya sudah sangat memuncak. Berita-berita seperti itu yang selalu kubaca. Memang banyak berita yang lebih dahsyat tentang negara ini. Tentang Gus Dur maupun lawan-lawan politiknya. Tapi, hal itu justru berita biasa. Berita basi. Tentang oknum-oknum yang sedang bermain presiden-presidenan. Belajar jadi menteri-menterian, atau berlagak jadi pejabat - pejabatan.

"Ah, basi..." desisku.
"Apa yang basi?" ujar Pak Sutan tiba - tiba. Rupanya Pak Sutan sudah sedari tadi duduk tepat di depanku, tanpa kusadari.
"Oh, Pak Sutan. Sudah lama, Pak?"
"Dari tadi. Kau saja yang tidak kontrol," Pak Sutan tersenyum. "Apanya yang basi?"
Kembali aku terdiam. Kupandangi kembali koran yang baru saja kubaca. Memandang judul berita di halaman satu yang ditulis huruf tebal besar - besaran.
"Lho, ditanya apa yang basi malah diam..."

Aku tak berani menjawab. Aku kenal betul dengan Pak Sutan. Karakternya agak keras. Orangnya sangat berani. Terlalu berani malah, kalau boleh kukatakan. Pak Sutan sangat bersemangat jika diajak berbicara masalah apa saja, terutama masalah politik. Dan hampir semua masalah dikuasainya. Mungkin sesuai dengan umurnya yang sekitar lima puluhan.
Dan ketakutan ketika berbicara tentang masalah politik dengan Pak Sutan, yaitu keberanian mengungkapkan pokok persoalan dengan panjang lebar dan detail.

Tidak perduli orang akan melakukan "sesuatu" padanya. Walau kita ketahui era kepresidenan sekarang tidak seperti sebelumnya, tetapi sisa-sisa kekhawatiran itu kan masih ada. Era sekarang era berani buka suara selebar-lebarnya, akhirnya kebablasan. Sedangkan era sebelumnya, era mengunci mulut serapat-rapatnya. Alias berbisikpun dilarang. Era serba keterlaluan.

Bagiku pribadi Pak Sutan adalah tokoh yang cukup kukagumi. Aku banyak belajar dari caranya mengungkapkan pandangan-pandangan tentang apa saja. Mudah memunculkan pokok pembicaraan, dan mudah pula menyimpulkan jalan keluarnya. Satu dari sekian orang hebat di mataku.
Bagi kami yang sudah cukup mengenalnya, Pak Sutan ini adalah sosok yang familiar dan kebapakan. Tapi bagi yang baru saja mengenalnya, Pak Sutan sosok yang misterius dan angker. Terkesan kejam.

"Hei, apanya yang basi!"
Suara Pak Sutan mulai terdengar keras. Aku ragu, sebenarnya hal ini tak perlu kusampaikan kepada Pak Sutan. Takut Pak Sutan akan melebarkannya.
"Ini, ini Pak. Berita basi..." kusodorkan koran yang kubaca dengan judul yang besar dan tebal. Penuh keraguan.

Pak Sutan mengambil koran yang kuberikan. Dilihatnya sebentar. Hanya sebentar dia melihat. Selebihnya membolak-balik kertas koran itu.
"Betul. Berita basi...!"
Aku terkejut. Biasanya Pak Sutan selalu merespon setiap pokok persoalan. Apalagi ini, persoalan politik. Wah, aku terheran-heran. Perubahan besar bagi Pak Sutan. Aku jadi penasaran. Aku ingin memancing, apakah Pak Sutan sudah benar-benar tidak berminat lagi dengan masalah politik.

"Ini, ini basi tidak, Pak?!" tanyaku menyelidik sambil menunjukkan berita yang lain.
"Hampir sama."
"Apanya yang hampir sama, Pak?"
Pak Sutan agaknya mulai terpancing. Pembicaraannya melebar. Tapi aku senang. Mulai dari Ambon, Sampit, sampai Aceh. Bagiku uraian Pak Sutan ini sangat berguna dan penuh wawasan. Bagi Pak Sutan, Indonesia sedang sakit. Perawatan intensif yang harus dilakukan. Bukan pengeksploitasian yang berlebihan. Indonesia menurut Pak Sutan sedang digerogoti virus-virus dan bibit-bibit penyakit yang berusaha menyerang nadi maupun jantung kekuasaan.

"Kita tidak seperti perjuangan para pahlawan dulu." Pak Sutan mulai bercerita.
"Pahlawan kita tidak pernah pamrih dan meminta balas jasa. Kita sebenarnya harus memperluas wawasan dan cakrawala berpikir kita. Dengan cara mendidik generasi - generasi penerus bangsa. Ini tidak, sesama kita berkelahi, berbenuhan lagi."
"Menurut Bapak, pergolakan Aceh bagaimana?"
"Ini satu persoalan juga. Tapi sebaiknya kita jangan kebablasan membawa nama rakyat. Tetapi di lapangan rakyat justru dijadikan tumbal. Makanya, saya pribadi tidak begitu simpati dengan aksi-aksi yang dilakukan para revolusioner sekarang." Pak Sutan menarik nafas. "Dulu di Sumatera ini. Di tanah Deli ini. Ada tiga orang Datuj yang berjuang tanpa pamrih. Datuk Sunggak, Datuk kecik, dan Datuk Sulung."

Aku terkejut. Sampai menjadi guru seperti ini, aku justru tidak mengenal tiga datuk yang disebutkan Pak Sutan. Menurut Pak Sutan, dalam mempertahankan Tanah Deli ini dari Belanda, ketiga datuk ini mempertahankannya selama lebih kurang dua puluh lima tahun. Tidak sebanding dengan Aceh yang lebih kurang hanya lima tahun.
Perjuangan datuk ini dimulai oleh Datuk Sunggal. Lalu diteruskan oleh Datuk Kecik dan selanjutnya Datuk Sulung. Berjuang turun-temurun. Dan ketiganya sampai di buang ke Cilacap.

"Nah, ketiga datuk ini berjuang tanpa pamrih." Pak sutan meneruskan. "Mereka berjuang demi mempertahankan harga diri tanpa pamrih."
"Tapi Pak, kenapa tidak masuk ke dalam sejarah...?
"Itu satu hal yang membuat saya lebih bangga. Dan mereka selalu dikenang oleh orang - orang yang betul-betul mengenal sejarah. Yang paling akhir berjuang yaitu keturunan mereka yang sempat bergabung di PETA dengan pangkat Mayor."
"Kalau Kesultanan Deli yang sekarang bagaimana, Pak?"
"Saran saya, pelajarilah! Biar kau tahu sajarah..."

Pembicaraan selesai. Pak Sutan akhirnya meninggalkan aku dalam keadaan termenung. Pembicaraan dengan Pak Sutan membuat aku terpikir. Begitu konflik persoalan yang dialami negeri ini. Seperti yang diistilahkan Pak Sutan. Negeri ini sedang sakit.
Pernah aku membaca tentang Hang Tuah dan Hang Jebat. Persoalannya lain lagi. Kita dibingungkan dengan persoalan mana yang pahlawan dan mana yang pengkhianat.
Persoalan seperti ini semakin membuatku ngeri. Aku yang seorang guru justru tidak pernah mendengar cerita dan sejarah seperti ini dari guru - guruku sebelumnya. Atau dari bacaan - bacaan yang pernah kubaca.

Kepalaku mendadak pening. Berpikir mengenai Malin Kundang atau Sampuraga. Berpikir tentang Siti Nurbaya atau Sabai Nan Aluih. Berpikir tentang Tan Malaka atau Soekarno. Ahmad Yani Atau Soeharto. Amien Rais atau Gus Dur. Persoalan kebohongan yang selalu disuapi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab kepada masyarakat awam, sebagai anak-anak bangsa.

Aku mau muntah. Dan kurasakan sepertinya aku sudah berada di tempat tidur. Samar- samar kulihat orang sedang mengerumuni aku. Samar-samar kulihat orang-orang sedang kasak-kusuk melihatku. Dan tiba-tiba suasana gelap.
"Bangun! Mau mati apa?" Kurasakan ada seseorang yang memaksaku bangun. Pelan-pelan kubuka mataku. Samar-samar kulihat orang-orang sedang memandangiku. Kurasakan tubuhku dalam keadaan basah kuyup.

"Kau mata-mata, ya!"
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba beberapa orang di antara mereka mengangkatku dan mendorongku untuk berjalan. Aku melangkah gontai. Kurasakan tubuhku sangat lemah. Persendianku seakan-akan mau lepas. Mataku ditutup senapan. Banyak suara orang-orang dengan sayup-sayup dentuman bom. Tembakan-tembakan senapan. Banyak suara orang- orang yang berteriak. Aku hanya berpikir mungkin sudah pecah perang dalam upaya perebutan kekuasaan. Akhirnya masing-masing pihak tidak ada yangt mau mengalah, batinku.

"Dudukkan dia!" suara orang kudengar memberi perintah," Jangan lupa, buka ikatan matanya!"
"Baik, Datuk..."
Ikatan penutup mataku perlahan-lahan dibuka setelah sebelumnya aku didudukkan pada sebuah temtat duduk yang cukup aneh bagiku. Kupandangi sekitarku. Di hadapanku terlihat duduk dengan gagah seorang laki-laki yang sudah cukup tua. Penampilannya persis seperti datuk-datuk. Di kiri kanannya yang sedikit lebih muda dari laki-laki yang sedang terduduk. Penampilannya juga seperti datuk-datuk.

"Kau ingin memata-matai kami, Anak muda?" Datuk yang pertama bertanya.
"Kau mau jadi penjilat rupanya, ya?" Datuk kedua juga ikut bicara.
"Bilang sama majikanmu mereka tidak akan mungkin menang..." Datuk ketiga tidak tinggal diam.
Aku tertunduk. Aku tidak mengerti dengan apa yang mereka tanyakan. Aku jadi merasa asing. Aku tidak mengenal orang-orang yang mengelilingiku saat ini. Aku tidak mengenal tiga lelaki tua yang berlomba menanyaiku ini.

"Jawab...!" teriak mereka serentak.
"Aku...aku... tidak tahu!"
"Tidak tahu apa?"
"Tidak tahu apa yang harus kujawab?"
"Katakan saja, bahwa kau mata-mata!"
"Mata mata? Mata-mata siapa? Aku tidak pernah ikut partai politik. Aku hanya guru. Aku cuma tahu, aku ini mengajar. Jadi, aku bukan mata-mata.
Semua terdiam. Ada sedikit keraguan di benak mereka. Terutama yang paling tua.

"Benarkah kau ini guru, Tuan Guru?"
"Benar. Aku guru bahasa Indonesia. Bukan mata-mata seperti yang kalian tuduhkan!"
"Eh, Indonesia? Dusun daerah manapula itu?"
"Anu..." Aku bingung, sepertinya telah terjadi kesalahpahaman. Aku merasakan aku tidak berada di lingkungan yang semestinya. "Indonesia itu negara kita sekarang."
"Maaf, Tuan Guru. Kami sangat patuh dengan semua tuan-tuan guru. Tapi tolong, jangan coba-coba mengelabui kami. Saat ini kita sedang sibuk melawan penjajah Belanda. Jadi, janganlah menipu kami."
"Melawan Belanda?"
"Ya..."
"Kalian serius?"
"Tuan Guru jangan membingungkan kami!"
"Kalian serius?"
"Tuan Guru yang harus serius!"

Akhirnya aku memutuskan untuk bercerita tentang Pak Sutan. Tentang negara Indonesia yang sedang dilanda krisis moneter. Tentang Aceh, Ambon Sampit, dan sebagainya. Dan mungkin juga tentang peristiwa yang menimpaku saat ini.
"Kami tidak mengerti yang Tuan Guru ceritakan. Kami kenal Samudra Pasai, Pagaruyung, atau juga Mataram."
"Lalu bagaimana dengan kalian? Aku tidak kenal siapa kalian?"
"Wah, seluruh negeri ini sangat mengenal kami. Terutama bangsa Belanda. Kami adalah tiga Datuk. Datuk Sunggal, Datuk Kecik, dan Datuk Sulung."
"Kalian jangan coba-coba mengelabui aku. Kalian serius?"

Datuk Sunggal segera bercerita. Aku hanya mendengar heran dan takjub. Dua Datuk juga bernasib sama dengan aku. Terbawa arus waktu. Bercerita tentang perlawanan mereka dengan Belanda.
"Tapi mengapa di generasi kami kalian tidak dikenal?"
"Secara pribadi kami sangat menyayangkan. Tapi kami lebih memikirkan perjuangan kami. Biarlah kami tidak dikenal asal perjuangan kami berhasil."
Pembicaraan akhirnya melebar. Tiga datuk itu lebih tertarik mendengar perkembangan zaman setelahnya. Bahwa Belanda akhirnya berhasil di usir dari bumi Deli. Bahwa perjuangan yang mereka lakukan tidak sia-sia. Dan ternyata itu memicu mereka untuk lebih semangat berjuang. Singkatnya aku jadi penasehat mereka dalam beberapa pertempuran.

Kemenangan demi kemenangan mereka capai. Untungnya aku pernah juga membaca buku strategi perang Cina. Perjuangan pahlawan-pahlawan terdahulu yang berhasil mengalahkan lawan-lawan mereka. Dan itu membuat penasaran para jenderal Belanda. Setiap gempuran-gempuran yang mereka lakukan selalu gagal.
"Allahu Akbar... Allahu Akbar... Allahu Akbar... serbu...!
"Akhirnya kemenangan demi kemenangan kita peroleh. Tapi kita belum berhasil mengusir Belanda dari sini."
"Menurut sejarah yang kubaca. Dan informasi Pak Sutan, kalian hanya bisa mengalahkan Belanda. Dan itu hanya sementara saja. Karena di antara kalian sendiri ada pengkhianat dan aku tak tahu siapa. Kalian pun akan diungsikan oleh Belanda suatu ketika ke Cilacap."
"Ini adalah tanah kami. Bukan milik Belanda. Silahkan tanah kami dijual kepada siapa saja, tapi jangan kepada Belanda."

Aku terdiam. Aku berpikir ini adalah kesempatan untuk meluruskan sejarah. Hatiku sempat panas mendengar cerita Pak Sutan. Panas mendengar bahwa perjuangan Datuk Sunggal, Datuk Kecik, dan Datuk Sulung tidak tercatat dalam sejarah. Sejarah perjuangan bangsa. Dan ketiga datuk inipun tidak terdaftar sebagai pahlawan bangsa, padahal mereka berjuang lebih lama dalam mempertahankan tanah negerinya dan harga diri.

Pak Sutan juga pernah mengatakan bahwa perjuangan mereka, merupakan perjuangan yang seharusnya sebagai contoh teladan bagi generasi-generasi sesudahnya. Jangan sampai terjadi kesimpangsiuran informasi sejarah.
"Bom...!"

Tiba-tiba Belanda menyerang pertahanan ketiga datuk dengan gencar. Tidak lama kemudian terjadi pertempuran. Aku berusaha mencari perlindungan. Pihak Belanda menyerang dengan gencar. Aku masih tetap mencari perlindungan. Aku tidak ingin mati di masa lampau. Lagipula, aku masih ingin memusatkan perhatian untuk membimbing siswa- siswaku agar mereka mau mempelajari sejarah mereka. Mau mengambil nilai-nilai positif dari sejarah-sejarah perjuangan para pahlawan.

Dari pihak datuk, korban sudah banyak berjatuhan. Aku masih terus berlari. Tiba-tiba kakiku tersandung sesuatu. Aku jatuh terjerembab. Kepalaku tepat mendarat di batang sebuah pohon. Sayup-sayup ketiga datuk itu memanggil namaku."
"Tuan Guru..."
Aku tidak bisa bergerak.
"Tuan Guru. Sampaikan perjuangan kami..."
Aku tidak bisa bergerak.
"Pak..." sebuah tangan menyentuh pundakku.
"Pak..." Kudengar suara itu tidak begitu asing. "Bapak ngantuk, ya?"
"Terimakasih, Din." Anak itu segera berlari. Aku segera membaca pesan dari Pak Sutan.

Awalnya mungkin aku berpikir ada sesuatu yang cukup serius yang perlu disampaikan. Walaupun perutku terasa janggal. Kenapa dia tidak membangunkan aku. Justru dia malah pergi. Ada empat lipatan di kertas itu. Satu persatu kubaca. Hatiku merasa tidak enak juga.
Mungkin pesan ini cukup panjang, pikirku. Pesan tentang perjuangan. Pesan tentang pengajaran. Pesan tentang pengendalian diri. Dan masih banyak pesan-pesan kemanusiaan yang ingin disampaikan. Pesan pengulangan dan sebagainya. Tapi, setelah kubaca, aku cuma bisa tertawa. Pak Sutan hanya menuliskan satu kata saja, diketahui oleh tiga Datuk. Di sana tertulis kata : "M E R D E K A !" dari Datuk nan bertiga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar