Sabtu, 09 Oktober 2010

मेम्बहस sajak-sajak karya empat penyair Sumut

Oleh: S. Satya Dharma

Dunia syair di Sumut tampaknya memang tak pernah kering dari bakat-bakat besar pecinta sastra. Sejumlah nama boleh saja pergi atau pralaya. Namun tunas-tunas baru segera tumbuh menggantikannya.

Keadaan ini bisa jadi karena besarnya ruang berekspresi yang diberikan media massa di daerah ini. Bahkan, seperti tak pernah jera, harian Waspada misalnya, hingga kini tetap memberi space cukup besar bagi lahirnya pengarang dan penyair berbakat di daerah ini.

Maka para pengarang besar Sumut boleh saja pergi. Hijrah ke luar daerah atau

meninggal dunia. Namun secepat kepergian mereka, secepat itu pula muncul penggantinya. Bahkan, meskipun aktivitas “bersastra” di daerah ini sempat kehilangan gairah seiring dengan perubahan iklim politik dan pergeseran orientasi budaya di masyarakat, namun karya para penyair Sumut tetap saja muncul di banyak media. Baik suratkabar, majalah ataupun antologi sastra lokal dan nasional.

Tak hanya bakat, dunia kepenyairan di Sumut juga menawarkan banyak tema. Dari masalah cinta, alam semesta, nasionalisme, religi hingga realitas kehidupan sehari-hari. Sajak-sajak tematik itu dirangkai dalam kalimat-kalimat yang tidak saja indah, tapi kadang juga menghentak. Memantulkan kegelisahan, luka dan kepasrahan.

Empat sajak tematik yang coba penulis paparkan berikut ini, karya Afrion, Adi

Mujabir, Teja Purnama dan Ys. Rat, hanyalah secuil gambaran dari sekian banyak sajak bernuansa luka dan kegelisahan karya para penyair Sumut yang sampai hari ini tetap setia mendedikasikan hidupnya di dunia sastra.

Afrion, penyair kelahiran Kisaran 29 April 1963 ini adalah salah seorang seniman paling

produktif di Sumut. Sampai sekarang ia telah menghasilkan sejumlah buku kumpulan sajak dan naskah drama seperti Orang Orang Tercecer, Orang Orang Terasing, Dialog Bathin, Di Ujung Malam, Huma, Monolog Orang Orang Tercecer, Monolog Tanah Negeri dan Semak Kuburan. Sedangkan sajak-sajak dan cerpennya terkumpul dalam antologi Gelombang, Sangsi, Nyanyian Jiwa, Waktu Beku dan Lelaki Bukan Pilihan.

Dari sejumlah sajaknya yang sempat penulis baca, nuansa luka, kegelisahan dan kepasrahan itu ditawarkan penyair ini dalam sajak berjudul “Jejak Langkah” berikut ini;

Jejak Langkah Kepada Dimas Arika Mihardja lima puluh jejak langkah menyapa kabut tipis daun daun gugur mengeja sabda di balik redup cahaya dalam kedap suara merasakan debar jantung debar yang tak jua henti memberi kabar tentang isyarat batu menyingkap tabir usia tapi kelebat camar berkabar tentang risau pohon angin dan guguran daun jatuh di rimbun bambu mengelana dalam jiwa cahaya matamu seketika memahat senja menyeka kelu tulang menikung gelombang lalu kau di antara lelaki bertualang ditumbuhi sayap sekali waktu tiba digaris tanganmu tumbuh bunga-bunga tentang lumut atau batu ketika dadamu tertahan riak rindu angin biaskan cahaya menyambar senja tapi tak ingin darah mengutukmu pergilah ke mihrab
mengejar takdir kembali ke tanah suci.

Nuansa luka, kegelisahan dan kepasrahan itu juga diperlihatkan Adi Mujabir, penyair kelahiran Desa Kota Galuh, Perbaungan, 18 Nopember 1961. Bedanya luka dan kegelisahan itu di tangan penyair yang sudah menghasilkan antologi sajak“Nyanyian Kakus”, “Sajak Ontang” dan “Puisi Aceh: Surat Buat Habiebie” serta tiga novel;“Merajut Angin”, “Ngah Lara” dan “Meludah Rembulan” ini tak berhenti pada kepasrahan total. Adi Mujabir masih mencoba “berontak” dan bahkan menghibur diri di tengah luka jiwanya. Dengan pengucapan khas dialek melayu, perlawanan dan penghiburan diri terhadap luka itu dipaparkan Adi Mujabir dalam sajak berikut ini;

Dodoy Lah Dodoy (Hiburan ayah pada anak) Sulong Sulong ayah beranjak langkah dari laut bukalah hati bile kembali ade kabar tentang selat ade amanah dari layar ada cande dari sampan Sulong Sulong ayah tiap detik pelan terkayuh mengejar pantai disapa pasir kilau menyilau tatap menatap Sulong nyenyak sekejap harumlah mawar tak terusik jantung emaktak terkoyak atap nipah Sulong mendung mengulong dari muare jangan hirup bau keringat dade ayah berkayuh laut biru sebentar hujan menerjang Sulong
ayah suroh laut tertidur memeluk ikan-ikan berbantal lumut malam ini agar karang tak selalu garang.


Kegelisahan, luka dan kepasrahan juga diperlihatkan Teja Purnama. Namun berbeda dengan Adi Mujabir, di tangan penyair kelahiran Medan 19 Januari 1973 yang mengaku sudah menulis puisi dan cerpen sejak SMA dan sudah pula menghasilkan sejumlah antologi sajak seperti “Puisi-Puisi Koran Sabtu Pagi”, “Rentang”, “Dalam Kecamuk Hujan”,“Bumi”, “Jejak”, “Antologi Puisi Indonesia”, “Muara Tiga”, “Tengok 2” dan “Denting” ini, nuansa luka dan kegelisahan itu berhenti total pada kepasrahan. Bacalah sajaknya “Setelah Sholat” berikut ini;


Setelah Sholat kamu mengeluh lagi meragukan jarak bersama pernah kamu benar-benar meninggalkanKu tapi Kutau sesekali kau benar-benar menangis merinduKu pernah juga kamu begitu rajin menemuiKu seperti takut kehilangan waktu bahkan tak ragu, tak malu walau usai melupakanKu kini kamu tak tau lagi Kita makin dekat atau jauh.

Sebaliknya, di tangan Ys. Rat luka dan kegelisahan itu justru menjadi sangat sufistik maknanya. Terhadap luka itu, penyair kelahiran Medan, 8 Agustus 1962 ini rupanya tak mau pasrah begitu saja seperti Afrion atau Teja Purnama, sekalipun ia juga tak mencoba untuk berontak seperti Adi Mujabir. Ys. Rat justru “membaca luka” itu untuk menghayatinya. Penyair dengan prestasi yang cukup membanggakan ini, yang juga sudah menghasilkan sejumlah naskah Sandiwara seperti “Hus!”. “Ciluk.... Ba!”, “Bukan”, “Sampah”, “Bukan Mimpi”, “Jodoh” dan“Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!”, bahkan mengajak pembaca untuk menjadikan luka sebagai suatu yang harus dihayati. Bacalah sajaknya berikut ini;




Membaca Penuh Penghayatan

Luka-Luka Kita Membaca matahari terbit dan terbenam seperti rombongan burung ketika pulang harus bersarang pada embun jadi terkulai di atas bebatuan mengering kalaupun menolak pengertian. Percuma waktu menggelepar sepanjang perjalanan ada yang melarang menghentikannya Membaca bulan purnama dan tertutup awan seperti lingkaran kucing ketika lapar harus bersekutu pada tikus tak bisa lain kecuali memangsa mimpi kalaupun mengharap belas kasihan. Sia-sia pagi berlumur liur tak berkesudahan ada yang menghadang di setiap perbatasan


Membaca bintang berkedip dan diam seperti barisan ikan ketika menari riang harus menyerah pada gelombang napas berakhir di jala tak bertuan kalaupun mengejar tepian. Tak guna pasir memanas mengurung peristirahatan ada yang menghalau setiap pemufakatan

Membaca matahari, bulan dan bintang adalah membaca penuh penghayatan luka-luka kita.

Sungguh, membaca sajak-sajak karya empat penyair Sumut ini, nyatalah sudah bahwa sekalipun keempatnya memendam luka yang sama, namun mereka punya cara pengucapan yang berbeda. Dan menurutku, itulah kekayaan sejati seorang penyair yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar