Selasa, 12 Oktober 2010

PULAU-PULAU DI SAMUDRA Catatan tentang Komunitas Sastra (Indonesia) di Jawa

Penyair dan Penggerak Orkes Puisi Sampak GusUran

1

Ada banyak sudut pandang yang bisa dipakai untuk membedah gejala komunitas sastra, mulai dari yang paling sederhana: terbentuk karena seorang sastrawan ingin membagi ‘ilmu’nya pada orang-orang yang mencoba berguru padanya, atau karena sekelompok orang bersepakat menajamkan kemampuan sastranya dalam satu wadah; sampai dengan yang paling rumit: sinergi sastrawan-sastrawan yang merasa butuh wadah untuk menegaskan posisinya dalam peta sastra Indonesia, atau sinergi dari sastrawan-sastrawan yang merasa punya musuh bersama dalam kegiatan bersastranya.

Tapi, di luar semua niat awal semacam ini, posisi sastra Indonesia sendiri -dalam peta sosial-budaya masyarakatnya- sebenarnya sudah cukup menjadi alasan untuk memaklumi kehadiran komunitas sastra.

Meski dimana-mana posisi sastra memang cenderung elitis dan hanya dinikmati oleh publik yang relatif terbatas, tapi di Indonesia hal ini masih harus ditambah dengan kenyataan bahwa sastra Indonesia adalah bentuk baru yang terputus dari tradisi yang sebelumnya ada di daerah-daerah. Seperti kita tahu, pada dasarnya sastra Indonesia adalah spesies baru yang lahir beriringan dengan menggeliatnya kesadaran kebangsaan di tahun 1908 dan mengerucut menjadi pernyataan Sumpah Pemuda di tahun 1928.

Sebagai sebuah spesies baru, sastra Indonesia bukan cuma harus berjuang menemukan capaian-capaian estetiknya saja, tapi juga sekaligus harus berjuang merebut khalayak pembacanya.

Dalam hal yang pertama, mengingat bahwa sastra Indonesia (baik novel, cerita pendek, puisi maupun lakon-lakon drama) hampir sepenuhnya modern (dalam arti harfiahnya: baru) dan tak tumbuh dari khasanah tradisi yang ada; persoalan-persoalan besar menyangkut ideologi dan bentuk ucapnya pun segera menjadi masalah yang ramai diperdebatkan. Sejarah mencatat perdebatan Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane, kritik Ajip Rosidi terhadap apa yang disebut sebagai kosmopolitanisme angkatan ’45, perdebatan antara Lekra dengan kelompok Manifes Kebudayaan, dan terakhir upaya menawarkan wacana sastra kontekstual untuk mengimbangi nilai-nilai Manifes Kebudayaan yang cenderung mendominasi wacana sastra bersama berkibarnya orde baru.

Sementara upaya sastra Indonesia merebut khalayak pembaca pun tak kalah repotnya. Jurnal-jurnal sastra jumlahnya terbatas; itupun lebih banyak mengandalkan subsidi karena peminatnya sepi. Karya-karya yang berkategori sastra pun (baik novel, kumpulan cerita pendek, lebih-lebih kumpulan puisi) masuk sebagai golongan yang membuat penerbit berpikir masak-masak lebih dahulu sebelum menerbitkannya. Sehingga pada akhirnya publikasi karya sastra (terutama cerita pendek dan puisi) lebih mengandalkan koran (sehingga pernah ada sebutan ‘sastra koran’.)

Di awal pertumbuhannya, hal ini tampaknya tidak menjadi soal benar. Ini bisa dipahami karena apa yang disebut sastrawan pun masih merupakan mahluk yang relatif langka, dan bermukim terutama di kota-kota besar (terutama di Jawa). Tapi sejak tahun 80-an, dimana pendidikan mulai menghasilkan begitu banyak kalangan yang berminat menjadi sastrawan dan ingin mempublikasikan karyanya; dominasi ‘pusat’ terhadap ‘daerah’ mulai dipersoalkan, hegemoni sastrawan-sastrawan tertentu yang menguasai jurnal-jurnal sastra mulai digugat, dan -terakhir- redaksi rubrik sastra koran pun jadi sasaran gugatan yang sama. Mungkin, persoalan dasarnya nyaris tak berbeda dengan persoalan yang terjadi antara angkatan kerja dengan lapangan kerja, yakni: terlalu banyak yang ingin dipublikasikan untuk terlalu sedikit ruang publikasi.

Tepat di titik persilangan inilah tampaknya gejala meluasnya komunitas sastra pertama kali harus di lihat. Ia mampu tampil menjadi saluran yang cukup sehat bagi upaya memperluas khalayak pembaca (atau pendengar) sastra, sekaligus -paling tidak pada kasus-kasus tertentu- bisa menjadi ruang alternatif pencarian bahasa ucap bagi sastra Indonesia.

Dari sudut pandang ini, kehadiran komunitas sastra bisa dilihat sebagai semacam pulau-pulau kecil tempat sastra didialogkan dengan khalayaknya. Apa yang dicoba lakukan sebagian komunitas dengan menggelar Ode Kampung di Banten misalnya, adalah contohnya yang menarik.

2

Sudah pasti orang akan kesulitan untuk mengeneralisasi latar kehadiran komunitas sastra yang ada Jawa. Tapi untuk memudahkan pembahasan, dengan mengambil beberapa contoh, secara kasar bisa dilihat adanya beberapa ciri cukup menonjol dari komunitas-komunitas sastra yang ada.

Pada tahap awal, model komunitas sastra yang banyak dibentuk bisa dikatakan murni sebagai ajang untuk belajar membaca dan menulis sastra. Biasanya komunitas semacam ini punya seorang tokoh yang punya kapasitas untuk berperan sebagai ‘guru’. Persada Studi Klub-nya Umbu Landu Paranggi di Jogjakarta awal tahun ’70-an adalah prototipenya yang paling legendaris.

Komunitas ini pada awalnya dibentuk dengan mengandalkan jaringannya ke koran Masa Kini dan Kedaulatan Rakyat di Jogjakarta. Tapi dalam perkembangan lanjutnya, ternyata para alumninya mampu menerobos ke peta sastra yang lebih luas. Nama-nama seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, Korrie Layun Rampan, Iman Budi Santosa adalah sedikit contoh orang-orang mengakui Umbu sebagai ‘guru’ mereka. Komunitas-komunitas dengan model Persada Studi Klub ini lebih banyak mengandalkan media penerbitan yang ada untuk mempublikasikan karya-karya anggotanya.

Model lain dari komunitas sastra adalah komunitas yang mulai banyak dibentuk di era ’80-an. Wacana ‘sastra pembebasan’ yang mulai digaungkan Emha Ainun Nadjib dan ‘sastra kontekstual’ yang dilontarkan Arief Budiman dan Ariel Heryanto waktu itu, tampaknya menjadi perangsang yang cukup efektif bagi sebagian sastrawan untuk membentuk komunitas-komunitas sastranya sendiri. Di era ini, kebanyakan komunitas sastra secara sadar dibentuk sebagai perimbangan bagi hegemoni pusat (Jakarta, Horison, TIM) yang mulai dirasa menyesakkan para pegiat sastra di ‘daerah’. Kesadaran semacam inilah yang tampaknya mendorong sebagian komunitas yang ada juga mulai mencoba menerbitkan karya anggota komunitasnya (baik berupa antologi maupun karya tunggal). Berdirinya Keluarga Penulis Semarang (KPS) yang dipelopori Bambang Sadono atau Kerabat Pengarang Bandung (KPB) berdiri yang dimotori oleh penyair Yessi Anwar dan Diro Aritonang misalnya, adalah contohnya.

Komunitas yang berkembang sejak era ’90-an hingga kini menawarkan model yang lebih beragam. Kalau model-model komunitas yang berkembang di era ’70-an dan ’80-an masih mengandalkan hubungannya dengan para penjaga gawang rubrik sastra di koran-koran yang terbit di wilayah komunitas itu berdomisili; model komunitas sastra di era ’90-an (lebih-lebih di era 2000 sampai sekarang) mulai melepaskan diri bukan cuma dari ketergantungannya terhadap publikasi jurnal-jurnal sastra ‘pusat’ tapi juga dari koran-koran. Maka muncullah jurnal-jurnal semacam On/Off, Blocknote, Aksara, Hysteria; dan dunia maya muncul situs-situs dan blog-blog yang menjadi media publikasi karya-karya sastra.

Mengutip sebuah penelitian, Sutardji Calzoum Bachri menyebut bahwa per-tahun 2000 saja di sekitar Jabotabek ada lebih dari 50 komunitas sastra (Kompas, 04 Agustus 2000.) Sayangnya tak ada data terbaru tentang jumlah komunitas sastra yang berkembang di Jawa (dan Madura) saat ini. Yang jelas, kini tiap kota (apalagi yang memiliki perguruan tinggi) hampir bisa dikatakan memiliki komunitas sastranya sendiri. Di Kudus ini sendiri ada beberapa komunitas sastra, termasuk Keluarga Penulis Kudus yang sudah berdiri di era ’80-an.

3

Di banyak daerah, komunitas sastra lebih hadir sebagai media untuk berdiskusi dan menggelar pementasan-pementasan; baik pembacaan puisi, cerita pendek sampai dengan teater. Kadang dibuat pula pelatihan penulisan atau penerbitan antologi (kebanyakan puisi). Anggotanya bisa sangat beragam, mulai dari mereka yang memang dikenal sebagai sastrawan, mahasiswa, siswa sampai masyarakat umum.

Komunitas-komunitas semacam ini biasanya sangat cair, dibentuk tanpa badan hukum, tanpa AD/ART; dengan sekretariat di rumah salah satu anggota (biasanya di rumah koordinatornya). Untuk dana kegiatan, mereka biasanya mencari donatur atau sekedar mengumpulkan iuran dari anggota. Sementara untuk pementasan, kadang dengan menyewa gedung atau ditempatkan di rumah salah satu anggota yang dianggap memadai untuk itu.

Komunitas-komunitas sastra semacam ini biasanya memiliki jaringan silaturrahim, terutama dengan komunitas yang ada di wilayahnya. Seringkali mereka saling beranjangsana untuk menggelar dan mendiskusikan karya-karya mereka.

Seperti disebut di atas, kehadiran komunitas-komunitas sastra ini jelas membantu memasyarakatkan sastra Indonesia di tengah khalayaknya. Di luar masalah ini, mungkin masih butuh jalan yang lebih panjang untuk memimpikan lahirnya sastra yang bahasa ucapnya ‘Indonesia’.

Tulisan ini dikutip dari makalah yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional ”Meningkatkan Peran Komunitas Sastra sebagai Basis Perkembangan Sastra Indonesia”, 20 Januari 2008, pada Kongres Komunitas Sastra Indonesia di Kudus, Jawa Tengah, 19-21 Januari 2008.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar