Selasa, 19 Oktober 2010

Mau Dibawa ke Mana Sastrawan Medan?

Lalu, hingga Mei 2010 ini terbitlah dua buku bunga rampai sastra yang menjadi perbincangan seniman, khususnya di Kota Medan dan Jakarta. Buku pertama berjudul ‘Akulah Medan’ dan buku kedua dilabel ‘Ini Medan Bung’. Hal ini sejatinya wajib diapresiasi positif andaikan masing-masing buku tersebut menawarkan kelebihan tersendiri.

Oleh: Ramadhan Batubara

Masalahnya, isi kedua buku itu nyaris sama. Mubazir. Dan, di dalam otak saya yang tidak seberapa ini, mengemuka pertanyaan yang harus mendapat jawaban; ada apa dengan sastrawan Medan? Mengapa terbit dua buku yang isinya nyaris sama? Sementara, masih banyak sastrawan Medan lainnya yang bisa dirangkum dalam kumpulan tersebut?
Saya jadi teringat dengan Dearmando Purba. Ya, beberapa waktu lalu saya dan Kadis Perhubungan Kota Medan itu terlibat perbincangan yang menarik soal lalu lintas di kota tercinta ini. Ujung-ujungnya mengarah kepada kemacetan. Saya pancing Purba dengan pertanyaan sederhana, “Kok macet?” Dan, Purba menjawab dengan santai tapi serius, “Pertumbuhan kendaraan di kota ini mencapai lima belas persen per tahun, sementara pertumbuhan badan jalan kau tahu berapa? Hanya satu pesen!”

Nah, kalimat Purba ini tiba-tiba keluar dalam otak saya dan memaksakan tangan saya untuk menuliskannya. Kata kuncinya adalah pertumbuhan.

Sederhananya begini, disepakati atau tidak disepakati, geliat sastra di Kota Medan mulai menunjukkan gerak. Telah bermunculan penulis-penulis baru, namun ruang untuk mereka berkarya tetap tidak berubah. Contohnya media, Medan dikenal sebagai kota dengan seribu koran, namun berapa korankah yang menyediakan ruang bagi penulis Medan untuk berkarya? Adakah majalah yang fokus untuk memajukan sastra Medan? Atau, adakah ruang lain yang bisa memanjakan seniman Medan untuk memublikasikan karyanya? Bak jalan yang itu-itu saja, kendaraan yang semakin banyak memunculkan macet yang tak terkira. Bah, mau dibawa ke mana sastrawan Medan ketika tak ada ruang untuk mereka berkarya?

Kenyataan ini menjadi menarik ketika ada dua buku terbit namun isinya nyaris sama. Ya, ‘Akulah Medan’ dan ‘Ini Medan Bung’ tadi. Ayolah, ketika penerbitan buku kumpulan sastrawan Medan minim, ada pula kumpulan orang dengan pongah menerbitkan dua buku yang isinya nyaris sama. Teja Purnama, penyair yang judul sajaknya diambil menjadi judul buku ‘Akulah Medan’ pun bingung. “Waduh, aku juga tak tahu kenapa bisa kayak gitu, Bung. Yang kutahu, untuk buku ‘Akulah Medan’ saja,” katanya.

Ini dia masalahnya, ketika karya dicomot dan dipublikasikan tanpa sepengetahuan si pembuat karya, maka bisa berbahaya kan? Ini sudah melanggar kekayaan intektual; hak cipta!

Seperti Teja, saya juga jadi bingung. Untuk meredakan sedikit kebingungan, saya perhatikan lagi buku itu. Buku pertama, ’Akulah Medan’ diterbitkan oleh sastramedan.com (2010) dan buku kedua ‘Ini Medan Bung’ diterbitkan oleh Seniman Medan (Jakarta, Mei 2010). Berarti, ada dua penerbit dan kalau dilihat dari nama penerbitnya ini pasti dikerjakan oleh kaum seniman juga kan? Berarti ada dua kubu pekerja yang saling berseberangan. Kembali lagi, kenapa isinya nyaris sama? Ah, siapa dibalik ini semua. Hebat sekalikah karya yang dirangkum dalam bunga rampai itu hingga dua penerbit mau menerbitkannya secara bersamaan? Sekali lagi, apakah penerbit tak mau melirik penulis Medan yang lain untuk dirangkum dalam sebuah buku? Bukankah hal itu bisa menambah semarak sastra Medan?
Terus terang, ketika memegang kedua buku itu, saya jadi tak selera membacanya. Bukan apa-apa, saya kecewa. Seniman yang biasanya lebih bijak memandang sesuatu kenapa terkesan unjuk gigi seperti ini. Saya curiga, persis yang dialami oleh Teja, banyak penulis di dalam kedua buku itu yang tak tahu-menahu soal ini.

Ya, bagi mereka adalah karya dipublikasikan, itu saja. Tentunya, jika terjadi seperti ini, mereka akan menolak saat diminta karyanya. Parahnya lagi, kabarnya, seniman yang memasukan karya di kedua buku itu tidak mendapat royalti. Fiuhhh….

Jika begini, tampaknya dibutuhkan sebuah pertemuan dari dua kubu pekerja itu. Setidaknya, pertemuan untuk membahas nasib para seniman tersebut dan seniman Medan pada umumnya. Ayolah, demi sebuah kemajuan, tak ada salahnya untuk berbincang dari hati ke hati. Ya, untuk menghindari hal seperti ini lagi terjadi. Seperti kata Purba, jalanan di Kota Medan sudah tak mampu lagi menampung kendaraan yang begitu banyak. Jadi, para seniman, buka mata.

Lihatlah, penulis baru sudah begitu banyak, bangunlah ‘jalan’ yang baru, ‘jalan’ yang ada di Kota Medan ini sangat terbatas. ‘Kendaraan’ harus terus melaju, kenapa ada ‘jalan’ yang ditutup demi ‘kendaraan’ yang itu-itu saja. Dan, bukankah menutup ‘dua jalan’ untuk ‘kendaraan’ tertentu adalah sesuatu yang tidak bijak?
“Orang Medan kan selalu ingin di depan, di lampu merah pun mereka ingin paling depan, hingga tanpa mempedulikan marka jalan,” kata Purba.

Ya, ‘Akulah Medan’ eh ‘Ini Medan, Bung’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar