Selasa, 12 Oktober 2010

OSI 2010; Menantang Guru Sastra Kelas Rendah

Saripuddin Lubis

AGAK kaget juga ketika saya membaca informasi tentang adanya Olimpiade Sastra Indonesia (OSI) untuk tingkat sekolah dasar. Jika mendengar kata olimpiade, yang muncul di benak kita, sesuatu yang berhubungan dengan ilmu-ilmu eksakta.

Baru saja dilaksanakan di Sumatera Utara, olimpiade sains terdiri dari Matematika, Fisika, Biologi, Astronomi, Kimia, Ekonomi dan kebumian untuk tingkat SMA. Kemudian ada olimpiade IPA dan IPS untuk tingkat SD dan SMP. Belakangan muncul lagi olimpiade Bahasa Inggris. Ketika mendengar informasi mengenai olimpiade sastra, saya sedikit merasa terkejut sekaligus gembira.

Tentu saja kita harus memberi apresiasi positif terhadap penyelenggaraan kegiatan itu. Bayangkan, sudah sejak lama kita merindukan sebuah kompetisi untuk kegiatan kesastraan bagi anak-anak kita. Ada kalangan yang kurang sepekat dengan penyelenggaran lomba dalam bidang sastra. Setidaknya olimpiade sastra, akan menambah variasi pembinaan apresiasi sastra di masyarakat, terutama untuk itu anak.

Apresiasi positif lebih-lebih kita sampaikan kepada Direktorat Pembinaan TK dn SD, Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Kementerian Pendidikan Nasional sebagai inisiator acara yang akan dilaksanakan bulan November 2010 mendatang ini di Jakarta. Di tengah polemik pro dan kontra terhadap penyelenggaran Ujian Nasional, ternyata lembaga Pimpinan M. Nuh masih memerhatikan kondisi sastra di kelas rendah ini.

Bagaimana tidak? Latar belakang olimpiade sastra begitu mulia, untuk mengetahui sampai sejauh mana pengembangan potensi peserta didik. Salah satunya dapat dilihat dari perwujudan pikiran mereka dalam bentuk tulisan dan sastra. Kata karya sastra, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai karya tulis.

Jika dibandingkan dengan tulisan lain, memiliki cirri keunggulan seperti keaslian, keartistikan, keindahan dalam isi dan pengungkapannya. Tujuan acara, memacu siswa melakukan olah rasa, penalaran, dan kreativitasnya, sehingga mampu menjadi generasi pemikir berbudi pekerti baik dan kreatif dalam membangun peradaban Indonesia.

Kita coba melihat apa saja menjadi agenda acara olimpiade sastra kelas rendah ito. Ada tiga kegiatan agenda utama penyelenggaraannya. Pertama, peserta yang hanya diikuti oleh siswa sekolah dasar dapat mengikuti lomba menulis naskah cerita. Naskah cerita merupakan karya siswa, kemudian dituliskan dalam bentuk naskah tulisan berdasarkan pengalaman hidup sehari-hari siswa, baik di lingkungan keluarga, masyarakat, maupun sekolah.

Pilihan kedua, siswa dapat juga mengikuti lomba menulis pantun. Pantun yang dilombakan harus karangan asli si siswa. Pantun terdiri dari tujuh sampai sepuluh pantun. Pantun yang ditulis siswa dibuat dengan berpedoman pada pengalaman hidup sehari-hari, alam semesta, atau pengalaman kemasyarakatan seperti persahabatan, ketekunan, kepatuhan, dan lain-lain.

Pilihan ketiga, penulisan laporan/resensi atau komentar buku. Berisi komentar atau laporan/resensi terhadap isi buku, baik buku asli ataupun buku saduran setelah dibaca. Setidaknya ada 20 buku yang dapat dipilih untuk diulas oleh siswa. Buku-buku sastra anak yang diulas seperti Si Jamin dan Si Johan (Merari Siregar), Si Doel Anak Betawi (Aman Dt Madjoindo), Si Pal Bengal (Nasjah Jamin) dan beberapa yang lainnya.

Bentuk acara yang ditawarkan, ada sesuatu sangat positif. Untuk siswa sekolah dasar, yang ditawarkan itu sebuah keberanian luar biasa. Bagian pertama, lomba menulis cerita. Dapat dikatakan sebuah kegiatan tergolong sangat bagus. Siswa sudah ditawarkan bagaimana cara meramu rangkaian kisah dalam alur teratur. Penulisan cerita akan melatih anak untuk berpikir secara runtut dan teratur. Sebuah kegiatan, penuh tantangan bagi siswa sekolah dasar.

Menulis pantun, boleh dikatakan sekarang ini pantun sudah menjadi kebutuhan dalam kehidupan. Dalam pelbagai acara-acara seremonial, pantun senantiasa hadir baik dalam acara pembukaan maupun dalam penutupan acara. Sayang banyak kaum muda yang tak lagi piawai dalam mencipta pantun. Jadi sangat berarti diadakan lomba menulis pantun di tengah kepailitan kehadiran pantun dewasa ini.

Paling menarik, lomba yang ketiga, menulis laporan/resensi atau komentar terhadap sebuah buku sastra. Si anak dilatih sejak dini untuk melakukan apresiasi sederhana. Ini luar biasa, siswa sekolah dasar diminta untuk mengapresiasi sebuah buku sastra! Kegiatan acara ini, sebuah mimpi menarik untuk siswa-siswa sekolah dasar. Sebuah mimpi akan segera dapat diwujudkan di masa depan, menajadikan siswa menjadi penulis-penulis hebat.

Kalau mereka tidak menjadi penulis hebat, paling tidak mereka akan menjadi manusia-manusia berbudi pekerti luhur karena diperkenalkan dengan sastra sejak dini. Perkenalan begitu baik karena siswa telah ikut menulis pantun, menulis cerita dan disempurnakan dengan kegiatan apresiasi.terhadap sastra. Ini berarti tujuan acara yang direncanakan panitia pelaksana lomba, segera dapat diwujudkan di masa depan.

Keprihatinan dan Tantangan Guru Sekolah Rendah

Membaca (terutama) menulis sastra bagi anak, memberi banyak manfaat. Melihat fenomena rendahnya aktivitas membaca dan menulis sastra anak, sebenarnya kita prihatin. Anak-anak masih sangat jauh dari kedua aktivitas ini. Apa yang dikemukakan Taufik Ismail dalam sebuah puisinya yang berjudul ‘Membaca Buku dan Mengarang, Kakak-Adik Kandung Tak Terpisahkan” dalam sebuah bukunya agaknya bisa mencerminkan kondisi itu.

Selama ini pengembangan sastra anak-anak, terasa masih dingin. Geliat sastra di Sumatera Utara hanya terlihat dari lomba-lomba baca puisi ketika musim tujuh belasan tiba. Menariknya masih ada bacaan sastra anak yang hadir dari ruang-ruang redaksi lewat kolom sastra anaknya, misalnya Analisa Medan dengan Taman Riang-nya. Seterusnya untuk aktivitas menulisnya? Entahlah!

Kita juga sedikit bangga dengan beberapa prestasi yang ditorehkan anak bangsa, misalnya apa yang dilakukan oleh Penerbit Mizan. Lewat programnya, Kecil-Kecil Punya Karya (KKPK) dimulai karya Izati dan Abdurrahman Faiz setidaknya kini sudah ada 90 anak bergabung. KKPK pun menorehkan 100 terbitan buku. Pada awal Juni 2010 lalu penulis cilik telah mengadakan Kongres Penulis Cilik di Kementrian Pendidikan Nasional di Jakarta.

Mimpi yang ditawarkan di atas memang bakal terwujud di masa depan. Kapan mimpi itu dapat diwujudkan, berlaku relatif. Bisa datang dengan cepat, bisa lambat sekali, atau mimpi akan tetap menjadi mimpi. Artinya untuk mewujudkan mimpi menjadikan siswa-siswa kita menjadi penulis-penulis hebat atau menjadi manusia-manusia berbudi pekerti luhur yang akrab dengan sastra bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan.

Kita harus melihat kondisi riil pembelajaran sastra sekarang di sekolah-sekolah kelas rendah kita, cukup memprihatinkan. Aktivitas pembelajaran sastra seakan begitu asing. Terutama di Sumatera Utara termasuk kota Medan. Jika pembelajaran sastra diberlakukan masih secara seporadis dan dilakukan tanpa program yang jelas.

Hanya beberapa sekolah saja yang memberi pembelajaran sastra secara terencana. Asumsi ini dapat kita buktikan manakala kita berkunjung ke sekolah-sekolah kelas rendah kita. Demikian pula dengan pembelajaran menulis. Ini terasa lebih memrihatinkan lagi. Sangat sulit menemukan siswa sekolah dasar kita yang terampil dalam menulis.

Sistem kepenulisan yang mereka lakukan tampak kacau. Kepaduan makna dan bentuk karangan yang mereka buat masih kacau. Karangan-karangan bahkan tidak memiliki fokus permasalahan. Hanya beberapa sekolah saja yang sudah mulai melakukan pembelajaran menulis dengan baik.

Tidak heran ketika dilakukan survei kecil-kecilan ke sekolah-sekolah rendah kita di Kota Medan sekitarnya hanya sedikit yang tahu tentang OSI 2010. Kalaupun ada, peserta yang diikutsertakan untuk OSI 2010 jumlahnya menyedihkan. Dalam leaflet dapat dibaca peserta untuk OSI 2010 ini tidak dibatasi. Jumlah peserta dapat dikirim tanpa batasan. Naskah lomba pun tidak dilakukan melalui seleksi di daerah. Naskah dikirim langsung ke panitia pusat di Jakarta.

Kesalahan terhadap keterbelakangan rendahnya kemampuan menulis dan sastra ini terutama harus dibebankan kepada kondisi guru-guru kelas rendah kita. Kekurangan pembelajaran sastra dan menulis ini sebagian besar memang ada pada mereka.

Banyak guru-guru bahasa Indonesia kelas rendah kita yang melakukan pembelajaran menulis dan sastra hanya dengan sekenanya saja. Arah pembelajaran tampak kabur. Penugasan berupa pemberian tugas mengarang kepada siswa seringkali tidak dilakukan dengan pembinaan dan tindak lanjut melalui koreksi terhadap karangan.

Tindakan terhadap karangan berupa pemberian paraf guru atau hanya berupa pemberian nilai tanpa dasar pemberian nilai yang jelas. Lebih parah lagi, karangan siswa dikumpulkan tanpa pernah dikoreksi letak kesalahannya dan tidak pernah dikembalikan kepada siswa.

Persolan ini semata-mata bukan pada mereka. Harus diakui, sistem pendidikan yang mencetak guru-guru, harus dikoreksi dan diperbaiki. Pernahkah di perguruan tinggi tempat mereka dididik dilakukan sistem pembinaan menulis dan sastra ini? Lembaga pendidikan guru yang mencetak guru-guru ini juga harus ikut bertanggung jawab terhadap kondisi ini.

Demikian juga dengan manajemen sistem penyelenggaraan pembelajaran di sekolah-sekolah kelas rendah. Manajemen sekolah harus segera disempurnakan. Arah pembelajaran, terutama pembelajaran bahasa Indonesia harus segera difokuskan untuk untuk menjadikan siswa terampil dalam menulis dan sastra.

Fasilitas pendidikan untuk mencapai kondisi, segera disediakan. Baru belakangan pembangunan perpustakaan-perpustakaan sekilah rendah kita mulai dilakukan, itu pun masih beberapa sekolah saja. Itu belum sampai pada pengelolaan perpustakaan sekolah, diantaranya masih berlangsung kaku.

Sebenarnya banyak yang harus bertanggung jawab terhadap kondisi. Karena itu sebaiknya semua stockholder yang ada harus di Sumatera Utara harus segera duduk bersama, terutama dalam ruang laingkup yang lebih kecil seperti misalnya melalui koordinasi yang dilakukan kepala unit pelaksana teknis yang ada di lapangan.

Revitalisasi perbaikan pembelajaran dapat dilakukan melalui sistem-sistem pendidkan kilat seperti pelatihan-pelatihan menulis dan sastra bagi guru-guru bahasa Indonesia kelas rendah, pembinaan penyelenggaraan majalah dinding sekolah, sistem pengelolaan perpustakaan dan budaya baca, dan berbagai aktivitas lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar