Sabtu, 09 Oktober 2010

Seniman Medan

Dua seniman asal Medan, Sabtu (3/5) malam tampil di Aceh membedah puisi dan novelet penyair Aceh. Keduanya memberi banyak kritikan. Mihar Harahap dan Damiri Mahmud masing-masing membedah 'Akhirnya Senja' dan Metafora Birahi Laut'.

Peluncuran dua karya sastra itu diprakarsai Institute for Culture and Society (Lapena) sebagai penerbit kedua buku tersebut. Metafora Birahi Laut adalah antologi puisi karya Dino Umahuk, pria asal Ambon ini, yang mulai menetap di Aceh pasca tsunami. Sementara 'Akhirnya Senja' adalah karya Sulaiman Tripa, penulis berbakat Aceh.

Direktur Lapena, Helmi Hass menyebutkan, penerbitan buku sastra memang mengalami tanjakan di Aceh pasca-tsunami. Kata dia, Lapena sendiri sudah menerbitkan beberapa buk sastra baik itu antologi puisi, kumpulan cerpen, novel tulisan budaya dan naskah drama.

Karena itu, lanjut dia, Lapena berterima kasih atas kepada Dino yang memberikan kepercayaan kepada mereka untuk menerbitkan antologi puisinya. "Lapena tidak menutup kemungkinan menerbitkan karya sastra bagi mereka yang meskipun bukan berdarah Aceh," urai Helmi Hass.

Pada malam peluncuran dua buku itu, dua seniman asal Medan, Mihar Harahap dan Damiri Mahmud memberi kritikan pedas terhadap karya-karya Dino dan Sulaiman Tripa. "Membaca Akhirnya Senjar, bagi saya itu bukan sebuah novel. Dia berada antara cerita pendek dan novel. Bagi saya ini lebih ke novelet," kata Mihar.

Tak hanya itu, kata Mihar yang juga Dekan FKIP UISU Medan ini, tulisan Sulaiman juga terkesan menjadikan pembaca sebagai boneka. "Dia sangat menggurui dan tokoh dalam ceritanya juga dikendalikan dia," timpalnya.

Tidak berhenti sampai di situ, Mihar juga menuding, dialog-dialog yang dibangun penulis dalam novelet yang pernah dimuat bersambung di Majalah Femina ini terkesan bukan dialognya para tokoh dalam cerita tersebut. "Ini dialognya Sulaiman Tripa, bukan tokoh dalam novelet ini," ulas Mihar tajam.

Seakan tak mau kalah kritis dengan Mihar, Damiri Mahmud yang membedah antologi puisi 'Metafora Birahi Laut' juga lebih tajam lagi. "Setelah membaca antologi puisi ini, ada beberapa karya plagiat di dalamnya," tukas pria kelahiran Kampung Klambir yang membuat pengunjung terhenyak.

Menurut kakek kelahiran 1945 ini, salah satu puisi Dino yang dinilainya plagiat berjudul Manifesto Perempuan Lonte, yang mengingatkannya pada karya WS Rendra yang berjudul 'Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta'.

Bukan hanya itu, Dino juga terkesan menjiplak salah satu karya Chairil Anwar. Air Mata Pantai Natsepa. "Ini hampir sama, tapi dia hanya mengubah kata-katanya saja, sedangkan gayanya nyaris sama," sebut Damiri Mahmud.

Ketika Waspada membuka puisi Sajak Duka 26 Desember, yang mengingatkan pada Nyeri Aceh, karya Fikar W.Eda. Namun, sayangnya, 'pengadilan' sastra malam itu tidak memberi kesempatan untuk para penulis membela diri. "Mungkin nanti, perlu digagas Pengadilan Puisi," sebut moderator Zulfikar Sawang, seniman yang merangkap jadi anggota dewan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar