Selasa, 12 Oktober 2010

Gairah Fantasi Anak Medan; Refleksi Atas Bedah Novel Gethora

Juhendri Chaniago

Memang benar, ada banyak novel fantasi, kini hadir dalam khazanah fiksi di Indonesia. Mulai dari karya terjemahan seperti Harry Potter, Narnia, Lord Of The Rings, sampai karya-karya penulis dalam negeri.

Cincin Odeleodeo (Vani Diana), Enthirea: Pertempuran Dua Dunia (Aulya Elyasa), Garuda 5: Utusan Iblis (F.A. Purawan), Istana Negeri Laut (Fahri Asiza), Misteri Pedang Skinheald: Sang Pembuka Segel (A. Ataka Awwalur Rizki), Valharald (Adi Toha) dan masih banyak lainnya.

Di kota Medan sendiri bagaimana? Ya, agaknya baru Gethora yang memulainya. Novel fantasi karya Omadi Pamouz, salah seorang anggota Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Medan, ini seakan mencoba menggebrak dunia kepenulisan di kota Medan. Meski novelnya ini, menurut Hasan Al-Banna, agak melelahkan, namun menyenangkan. Dia berkelindan dengan imajinasi yang unik.

Gethora memang bukan satu-satunya karya anak Medan. Sebelumnya ada Cewek Matre (Sandi Situmorang), Metamorfosis Gendis (Butet Benny Manurung), dan Selamat Tinggal Ca (Onet Aditya Rizlan). Bahkan ada Acek Botak karya Idris Pasaribu yang dalam delapan bulan sudah naik cetakan ke tiga dan best seller. Satu-satrunya novel Best Seller karya anak Medan di pentas nasional.

Belum lagi ditambah dengan beberapa antologi Rebana Analisa Medan, Ini Medan Bung (2010), Akulah Medan (2010), dan beberapa kumpulan cerpen karya aktivis Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Medan lainnya. Untuk genre novel fantasi di kota Medan, jelas baru Gethora-lah satu-satunya.

Soal novel ini bakal bertabur apresiasi atau tidak oleh masyarakat pembacanya, waktu yang menentukan. Sebab tiap buku punya “rezeki”nya masing-masing. Pinomat, hadirnya novel Gethora ini, termasuk karya para penulis Medan lainnya, dapatlah menjadi pendobrak seni dan budaya kota Medan, yang kini terpasung dalam kelesuan, seolah mati suri.

Jadi, bedah novel Gethora yang diadakan di Ballroom Garuda Plaza Hotel, 21 Agustus 2010 lalu, itu pun hendaknya mampulah menjadi letupan ide bagi elan seni dan budaya di kota Medan. Antusiasnya para penikmat buku dalam bedah novel itu, harus diapresiasi lebih lanjut.

Yaitu dengan menggairahkan minat baca dan menulis serta penerbitan-penerbitan novel atau karya sastra anak Medan lainnya. Karena tanpa minat baca, minat menulis dan penerbitan buku, mustahil kita dapat menciptakan kota Medan yang berseni dan berbudaya.

Sebagai kritik, bedah novel tentu merupakan bagian dari tradisi kritik terapan (practical criticism). Tidak secara ilmiah memang, namun cukup menjadi acuan dalam hal pembicaraan karya sastra. Karenanya, acara bedah novel seperti bedah novel Gethora, itu mudah-mudahan dapat menjadi tradisi bagi tumbuh-kembangnya kritik sastra, ataupun kritik karya nonfiksi lainnya.

Untuk itu, apa yang telah dilakukan KSI Medan (sebagai panitia bedah novel Gethora) ini, kiranya dapat memotivasi dunia kepenulisan di kota Medan. Serta mampu menciptakan semangat menulis dengan saling dukung antarkomunitas penulis lainnya.

Mengutip Drs. Antilan Purba, MPd, ketika kampus sedang lesu dalam pengajaran sastra, maka komunitas berperan penting untuk menggairahkannya. Tak berlebihan kalau KSI Medan, termasuk komunitas penulis lainnya itu, mencoba untuk menjembatani kegairahan itu.

Dengan begitu, bukan mustahil kalau suatu saat dunia seni dan budaya di kota Medan akan bangkit, mengingat kota Medan pernah melahirkan pengarang-pengarang besar, bahkan konon pernah jadi kiblat sastra nasional. Seperti kata Gethora, “Carilah aku di dalam ingatan yang terpendam.”

Demikianlah kita mencari kembali semangat kreativitas tersebut. Katakanlah mengais kisah gairah sastra tahun 50-an. Dari semangat yang terpendam di alam bawah sadar tadi, marilah kita bangkitkan imajinasi kita, agar dunia kepenulisan di kota Medan menjadi lebih kreatif lagi.

Kira-kira demikianlah peran KSI Medan yang senantiasa men-support anggota komunitasnya untuk meluncurkan suatu karya. Ketua Umum KSI Pusat Ahmadun Yosi Herfanda dalam pesannya yang disampaikan Idris Pasaribu (Ketua KSI Medan) juga mengingatkan, supaya KSI Medan dapat menjadi contoh bagi KSI-KSI di daerah lainnya. Ya, salah satunya dengan mengadakan bedah novel Gethora tadi.

Acara bedah buku, disponsori oleh Hendra Arbie, SE ini tentunya sangat menarik dan semoga mampu memotivasi para penulis Medan lainnya. Apalagi seperti yang pernah diungkapkan koran.kompas.com (2/6/2010), Hendra Arbie, SE siap mendukung segala kegiatan penerbitan karya sastra di kota Medan. Nah, ibarat mantra, dukungan ini bagaikan (mantra moksa) pembebas bagi kreativitas para penulis di kota Medan.

Tak lupa pula dukungan Leutika, Yogyakarta (sebagai penerbit Gethora), PBLT-BIMA (dr. Valentino Tarigan, SPd), dan Youngs Magazine (Harun Lubis) yang membuat acara bedah novel menjadi kian menarik. Dalam paparannya, sebagai salah satu pembicara, Harun Lubis bahkan juga berharap kalau Gethora punya peluang untuk diterima masyarakat kota Medan. Terutama kalau dicermati lewat tren pasar yang ada.

Sekilas tentang Gethora

Gethora, seorang penguasa mantra yang riwayatnya dilupakan oleh bangsa Balsard sebelum perang Thorbeth. Semakin terlupakan setelah perang berlangsung, karena manuskrip yang menceritakan tentang riwayatnya musnah. Gethora menampakkan diri dalam penglihatan seorang penyihir yang sekarat. Dalam penampakan itu, Gethora menyebutkan tanda-tanda kedatangannya yang akan menghapus kedukaan alam dari lingkar ketakutan.

“Kabarkan pada kegelapan, kala purnama sempurnakan seratus. Aku akan datang pada kehampaan getaran tak bernada, menghapuskan kedukaan alam dari lingkar ketakutan. Carilah aku di dalam ingatan yang terpendam.” (hal.5-6). Demikian Gethora memperkenalkan dirinya.

Lewat setting “dunia asing” hutan belantara, pembaca sebenarnya justru diajak untuk mencoba memahami Gethora dalam dunia yang tidak asing sama sekali. Dunia bawah sadar manusia itu sendiri. Dalam perspektif Hindu, pikiran dan perasaan dihitung sebagai getaran tanpa suara, yang dalam hal ini terwujud dalam mantra. Bandingkan dengan ungkapan Omadi dalam Gethora-nya: “kehampaan getaran tak bernada.”

Dalam bahasa sanskerta, mantra adalah instrumen pikiran manusia. Artinya, getaran primordial (alias mantra tadi) diungkap Omadi dalam Gethora-nya, boleh jadi akan lebih menarik kalau dikaji secara lebih serius lagi. Bisa lewat teori alam bawah sadarnya, Freud atau studi mimpinya Carl Gustav Jung, hal ini tentu untuk menyelami karakter Gethora itu sendiri.

Sebenarnya kajian semacam ini juga pernah dipakai untuk membicarakan khazanah mantranya JK Rowling. Seperti mantra Avada Kedavra, Alohomora atau Expelliarmus (sebagai misal) yang digunakan JK Rowling dalam novel Harry Potter-nya. Tentu kemungkinan itu bisa saja terjadi pada Gethora.

Karena itu, mungkin tak berlebihanlah kalau Omadi (termasuk novelis-novelis fantasi lainnya) dapat diklasifikasikan sebagai novelis simbolis, tentu dengan gayanya masing-masing, yang unik dan energik. Lantas dengan imajinasinya yang liar itu pun semoga akan lahirlah karya-karya Omadi lainnya lewat bahasa yang lebih cerdas lagi.

Tambahan lagi setting Danau Toba-nya. Mungkin ini bisa jadi ciri khas Omadi dalam memadukan dunia fantasinya yang liar itu ke dalam wacana kearifan lokal, khususnya Danau Toba (baca: Tanah Batak). Boleh jadi akan lahir sekuel Gethora dengan judul Gethora Samouzier, seperti yang diungkapkan penyair Idris Pasaribu.

Bukankah Danau Toba penuh misteri, bahkan Samosir ladang fantasi? Demikian, mengutip komentar Hafiz Taadi, biarlah Gethora menjadi Gethora dan bicara tentang Gethora-nya sendiri. Sebagai penikmat, kita tunggu saja karya Omadi berikutnya.
KSI-Medan, 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar