Selasa, 12 Oktober 2010

Sajak-Sajak Ilham Wahyudi

Kepada Lelaki yang Mengucapkan Da
bagi Hasan Al Banna

secarik fotomu ingin kubasuh
air kenangan yang mengenang
sajakku terbang menyunting bulan
sepanjang musim yang terus berulang
ini rindu ‘dah macam hantu
melintang panjang di jalan pulang
lutut bergetar tercemar kabar
tentang pujaan seberang angan
wahai kau pejalan sunyi
sudikah mengulang pora
selamat datang?

Medan, 2009

Suatu Malam

Di puncak kecemasan kutemui wajahmu yang basah. Yang mengajakku berlari menyusuri ceruk sepi. Angin sepoi yang menyamar kemudian menyusup di dinding-dinding batinku yang berkarat setelah terbenam sekian ribu tahun adalah bau tubuhmu, perempuanku. Bau yang terus memaksaku menerjemahkanmu ke dalam sebentuk sajak yang ganjil deretannya. Tapi sajak, sayangku, sungguh telah lama meninabobokkanku kepada persoalan-persoalan yang terus-menerus semakin tak menentu. Dan kembali hanya kecemasanlah yang setia menyelimuti tidurku malam ini. Seperti liur yang berkarat di kasur. Seperti senyummu yang memanu di bibirku.

Medan, 2009

Bola

Mungkin aku adalah bola kulit yang licin. Aku menggelinding menuju
cerukmu. Meraba kemungkinan-kemungkinan seraya bermunajat,
“Semoga hujan hanya numpang lewat.” Tapi jendelamu terlalu lebar terbuka
dan angin terlalu polos menyampaikan rahasia malam. Sebenarnya
aku ingin lebih lama lagi di sana. Tapi tidak untuk tertidur atau menelurkan
cemas ini sekejap. Tidak untuk mabuk atau mandi bunga mawar. Aku hanya
ingin berkunjung. Ya, berkunjung saja. Esok bila aku menggelinding kembali
maukah kau menari untukku dan menepikan biji pasir ini?

Medan, 2009

Sepanjang Jalan

“bersumpahlah untuk tetap menungguku kembali!” katamu
sedikit serak saat bus antarkota itu memisahkan bau mulutmu
dengan hidungku.
dan sejak itu, ya sejak itu! tak ada lagi yang menggodaku
bergelut dirapatnya gigi putihmu atau sekadar menumpahkan
kopi di kaos kutangku yang menguning.
mungkin kita terlalu buru-buru bertemu sehingga semua
menjadi terlalu lama mengendap. atau mungkin kau memang
sengaja meminangku dengan rindu tetapi kau lupa kapan
mempersetubuh hatiku.
dadaku terasa makin dingin. suara-suara ganjil memenuhi
lambungku; asam sekaligus pahit. kaukah yang mencangkulnya?
kemudian mencungkilnya pula?
seperti pemabuk, tak ada lagi yang bisa aku tuangkan
dalam kecemasan ini. “o, anggurku yang diteguk bulan,”
teriak rohku sepanjang jalan yang malam, sumpah!

Medan, 2009

Suatu Sore yang Setelahnya Gerimis Berhamburan

Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan
serupa serbuk sari yang di terbangkan angin: hidungku
pucat kau todongkan segelas kopi; baunya memenuhi selasar,
seketika huruf-huruf dalam kolom olahraga menjelma
baris-baris sajak yang aneh.
“Bagaimana jika aku tak kembali?” Bisikmu mengejutkanku;
buru-buru kubersihkan tumpahan kopi di koran; pelan-pelan
kuhapus juga sesuatu; kubuang jauh jauh.
“Apakah kau tetap akan menungguku?” tanyamu curiga;
aku meraba-raba nomor telepon biro perjalanan; diam-diam aku
hafal angka-angka ganjil yang berenang di mataku.
Ahk, aku megap menghabiskan kopi ini sendirian, perempuanku;
mabuk menelan huruf-huruf yang berbisik-bisik menggoda;
merayuku untuk menuliskan sesuatu untukmu yang jauh.
Aku teringat kau, perempuanku.
Berulang kali kutelepon nomor biro perjalanan itu;
Maaf, nomor yang anda tuju belum terpasang!
entahlah, apakah aku yang salah menghafal
atau aku yang keliru memencetnya?
Aku teringat kau, perempuanku:
suatu sore yang setelahnya gerimis berhamburan.
Sungguh!

Medan, 2009

——–
Ilham Wahyudi, lahir di Medan, Sumatera Utara, 22 November 1983. Alumnus FISIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU). Saat ini bergiat di Komunitas Hape (Home Poetry) dan Komunitas Kun. Aktif menulis puisi, cerpen, esai di beberapa media. Puisinya termaktup dalam antologi Penyair Muda Malaysia-Indonesia(2009).

1 komentar: