Selasa, 12 Oktober 2010

Mau Kemana Jurusan Sastra Daerah USU?

Thompson Hs.

Maaf, saya tiba-tiba harus membuat judul catatan ini dengan pertanyaan. Ada tiga alasannya. Pertama karena teringat waktu masa kuliah di Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara (USU). Meskipun tidak memilih jurusan/program sastra daerah, saya tidak jarang bergaul dengan beberapa mahasiswanya, baik dari program Sastra Batak maupun dari Melayu.

Pergaulan saya dengan mahasiswa Sastra Batak mungkin karena latar belakang etnis dan agama. Selain itu ada saja alasan yang tidak terduga. Misalnya tertarik dengan salah seorang mahasiswi. Atau sebaliknya. Waktu saya masih kuliah, motto pemuda harapan bangsa mulai diplesetkan menjadi: pemuda harapan pemudi.

Mestinya itu bukan hanya ilustrasi. Diharapkan sebagai analogi. Meskipun waktu itu relevansi program sastra daerah dengan hadirnya tipologi perempuan rupanya sebuah progresi pemikiran, masih tergantung pada pesona yang selalu kalah dibandingkan dengan perempuan dari jurusan lain. Untung sejumlah cewek dari jurusan Sastra Melayu ada yang cantik-cantik. Sastra daerah begitu lengkap dari sisi fisiknya. Beberapa teman bermain teater dan mencipta karya sastra, juga lebih banyak dari Sastra Melayu.

Ciri berteater dan karya sastra mereka masih tetap cenderung belum mengungkap potensi akar atau budaya Melayu. Entah karena mereka bukan Melayu Asli atau mungkin hanya kapak yang membelah kayu: Representasi kemelayuan dalam karya sastra yang lahir dari mahasiswa Sastra Melayu waktu itu masih terbatas, untuk tidak mengatakan sama sekali tak ada.

Memang ada beberapa teman saya yang berhasil dari kedua program itu menjadi dekan -meskipun kabarnya sudah diturunkan, karena isu plagiat tesis, menjadi dosen, penyiar atau pegawai negeri dan wartawan. Mudah-mudahan mereka semakin bangga dan berani mengakui latar belakangnya dari jurusan sastra daerah!

Alasan kedua, sempat jurusan ini akan ditutup atau dibubarkan karena penggemarnya semakin berkurang. Entah kenapa tidak jadi. Mungkin hanya sebagai isu atau kalkulasi penggemarnya mengarah pada salah satu program. Kalau tak salah penggemar Program Studi Sastra Batak tidak jauh berkurang dari Program Studi Sastra Melayu. Memang secara politis tidak mungkin Program Studi Sastra Batak saja yang perlu dilanjutkan.

Kenyataannya semakin hari dan tahun orang paling percaya melakukan studi kemelayuan ke luar Sumatera Utara. Bahkan saat ini perkembangan baru dari minat atas kemelayuan mendorong pertumbuhan pusat-pusat dan gerakan kemelayuan di luar Sumatera Utara.

Mungkin agak berbeda dengan Program Studi Sastra Batak yang mempunyai masalahnya sendiri; internal atau situasional. Yang disebut Batak itu mana saja sih? Itu sebuah anak pertanyaan, bukan saja dapat saya lakukan sendiri.

Teman saya dari beberapa orang Karo bilang, mereka bukan Batak. Saya sambut: ya, tak apa-apa dan mestinya kepanjangan Gereja Batak Karo Protestan perlu diganti. Teman lain dari Mandailing lebih keras lagi: Mandailing adalah suku tersendiri! Yang disebut Batak adalah Toba. Saya tanggapi dengan: Horas!

Lama-kelamaan pemisahan dari Batak itu dapat mempengaruhi kehadiran sastra daerah, khususnya program Program Studi Sastra Batak. Belum lagi dengan intensitas-intesitas lainnya dalam konteks kehadiran jurusan ini pada awalnya. Sampai saat ini, studi lanjutan dan legalitas doktoral tentang kebatakan masih harus ke Belanda dan Jerman.

Untuk alumni sastra daerah, juga belum tentu ada peluang kerja pada bidang-bidang kearsipan, museum, dinas kebudayaan dan lembaga-lembaga yang membutuhkan latar belakang serupa. Batakologi tidak berkembang meskipun pemerintah pernah mengakuinya sederajat dengan Javanologi, Sundanologi dan Bugisologi. Setiap tahun hasil-hasil penelitian kebatakan yang dilakukan oleh alumni Sastra Batak dan lembaga Batakologi, belum bisa ditemukan melalui publikasi dan penerbitan buku.

Berikutnya sebagai alasan ketiga atas judul yang terlanjur saya lakukan. Mungkin ini dapat menjadi klise dan "menjerumuskan". Beberapa tahun lalu, saya terlibat menggali seni pertunjukan Opera Batak. Awal keterlibatan saya dalam penggalian itu karena diajak oleh dua profesor doktor Batak, yakni: Prof. Dr. Robert Sibarani, MS dan almarhum Prof. Haji Ahmad Samin Siregar, SS. Mestinya bukan saya, karena modal pengetahuan saya tentang Opera Batak masih sebatas koleksi referensial dan sejumlah
kaset rekaman audio.

Selain itu punya modal keberanian atas dorongan displin teater modern yang saya geluti secara serius sejak mahasiswa. Ajakan itu benar-benar saya terima dengan satu tujuan lain, yakni: mencari sumber inspirasi baru. Dalam teater modern di Indonesia masih banyak permasalahan menyangkut daya ucap teaterikalnya.

Dalam rangka daya ucap itu banyak penulis naskah, aktor dan sutradara melakukan pencarian-pencarian dari idiom teater tradisional. Misalnya Putu Wijaya menggali akar teater tradisional Bali yang bernama arja. Almarhum Arifin C. Noer menggali akar tradisi tarling dari Cirebon.

Wahyu Sihombing sempat tertarik dengan Opera Batak, sewaktu bersama dengan A. W. K. Samosir, (kakek Prof. Dr. Ibrahim Gultom dan penulis buku Agama Malim di Tanah Batak) menyutradarai cerita Pulo Batu karya Sitor Situmorang untuk pementasannya di Taman Ismail Marzuki (TIM) pada tahun 1981.

Waktu itu Opera Batak sudah mulai tenggelam, karena berbagai faktor penting seperti pertarungan media tontonan dan masalah regenerasi. Upaya-upaya untuk mempertahankan label Opera Batak ini pun semakin dikuasai oleh rekaman-rekaman kaset audio dengan variannya pada kaset lawak seperti kaset Pakter Tuak Sijurtul atau Amaloppas.

Istilah penggalian yang dilakukan kemudian adalah suatu cara baru untuk mempertahankan Opera Batak. Setelah digali anatominya belum tentu dapat dilanjutkan, dimodifikasi, bahkan untuk diinovasi. Tentu karena ada faktor yang tidak bisa dijawab secara langsung selain untuk kepentingan dimensi tertentu.

Hubungan Sastra Batak dengan Opera Batak

Apa Hubungan Sastra Batak dengan Opera Batak? Mungkin karena sama-sama menggunakan termin Batak. Orang Karo dan Mandailing lagi-lagi akan tidak setuju dengan semua itu. Kan orang Karo punya gundala-gundala, kenapa harus opera batak? Di Sosa Mandailing katanya ada juga jenis pertunjukan yang bernama Teater Pot.

Juga dengan Pakpak dan Simalungun yang masih belum "memberontak" sebagai sub etnik Batak. Simalungun punya huda-huda! Apa juga hubungan semua jenis pertunjukan itu dengan pseudo Sastra Batak? Sesungguhnya unsur-unsur sastrawi dalam prolog, dialog, vokal dan historikal pertunjukan-pertunjukan tersebut pasti dapat menjadi objek studi dan kajian program ini.

Dalam historiografi Opera Batak, beberapa pemain yang tercatat berasal dari sub etnik Batak yang ada. Malahan dari etnik Jawa, Aceh dan Melayu. Terakhir dari hasil penggalian yang melibatkan saya ada orang Minang, Melayu juga Jawa, Banten dan Aceh. Opera Batak mengandung potensi lingual yang variatif di satu sisi karena cerita yang dimainkan tidak selalu menggunakan dialek Toba.

Misalnya, Tiga Penggoda Ulung yang menggunakan dialek Mandailing, Guru Saman yang menampilkan sepintas dialek Karo, Sisingamangaraja, Pulo Batu dan Srikandi Boru Lopian menggunakan bahasa Indonesia selain Toba dan Pakpak. Penggunaan dialek-dialek tersebut dapat diteliti ulang latar belakangnya.

Suatu ketika, ada seorang alumnus Sastra Batak dari Jakarta mengirimkan pesan dari selularnya: Bang, selamat ya atas pemberitaan Opera Bataknya di Harian Batak Pos dan tayangan Opera Batak di televisi. Lain kali libatkan dong orang etno dan sastra Batak. Kan nanti bisa lebih berhasil? He he he... Saya tersenyum dalam hati sebelum membalas pesan selular itu. Apa Balasannya?Marilah berdiskusi.
Penulis; sutradara, freelance writer dan Direktur Artistik Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) di Pematangsiantar.

2 komentar:

  1. Terima kasih buat tanggapan bapak terhadap sastra daerah USU...
    :D

    BalasHapus
  2. mudah-mudahan dibaca dan bermanfaat yaa, buat anak imsad usu :D

    BalasHapus