Rabu, 26 Januari 2011

Karya Sastra Berdimensional Tunggal

Damairi Mahmud

Apakah yang kita harapkan dari sebuah karya kritik? Dalam tradisi sastra lisan, peran itu dimainkan oleh dalang, pawang, pendidong atau awang batil. Dari tangan mereka sebuah karya tersampaikan kepada khalayak ramai. Bahkan, karena karya selalunya anonym, apa yang mereka mainkan itu seolah milik mereka.

Dengan demikian sebuah karya, walau bagaimanapun, sudah tidak murni lagi. Dia sangat tergantung kepada gaya dan bagaimana mereka memainkannya. Hal ini tentu saja, sedikit banyaknya, bergantung kepada observasi mereka terhadap calon penontonnya karena kehendak supaya apa yang disajikannya mudah dicerna oleh mereka. Bahkan tak jarang, mereka sengaja membuka celah, semacam kesempatan tanya-jawab, sehingga apresiasi menjadi tumbuh dan karya-karya bertunas dan menjadi buah bibir.

Dalam tradisi sastra tulis atau sastra modern kita yang usianya masih sangat muda, peran itu sebagian besar digantikan oleh kritikus. Karena kritikus itu masih dirasakan sebagai “barang baru”, dia dinggap sebagai “dewa penyelamat” yang harus dielu-elukan. Dia berperan ganda dan bermuka dua.

Pada satu sisi, oleh sebagian sastrawan kritikus dianggap dapat menaikkan harkat dan mutu karya sastra mereka. Para kritikus dikerubungi, didekati dengan berbagai cara. Seorang sastrawan merasa senang atau bangga kalau karyanya dibicarakan dan dipuji, sebaliknya menjadi terpuruk apabila dikerjai dan dicincang oleh kritikus.

Fenomena ini memberi celah kepada kritikus seolah dia “dihargai lebih”, sehingga memberikan kewenangan kepadanya untuk bertindak atau menilai secara leluasa. Sebaliknya, mungkin sekali dia menjadi “takut” menulis karena kemungkinan akan “dimusuhi” karena dia merasa bukan lagi terutama bersentuhan dengan karya, tetapi dengan “daging” pengarangnya.

Menurut hemat kita, sebenarnya hal ini tak perlu terjadi. Seorang sastrawan tak perlu begitu menghiraukan apa yang ditulis oleh para kritikus. Karena apa mereka tulis belum tentu telah menjadi sesuatu yang final. Lebih penting, peran kritikus itu, sebagaimana yang terjadi terhadap sastra lisan kita di atas, lebih sebagai dalang atau awang batil. Mereka berusaha memainkan dan menafsirkan karya yang disugukannya kepada penonton atau pembaca menurut versi dia.

Pada sisi inilah para kritikus seharusnya mengarahkan tulisannya. Hal ini karena hakikat karya sastra yang baik bentuk maupun isinya selalu tidak terdedahkan. Ada sesuatu tersirat dan tersembunyi yang harus dikuak oleh kritikus, sehingga makna karya itu dapat dinikmati oleh pembaca.

Meskipun demikian, peran kritikus pada sisi ini pun ada bahayanya atau sangat berbahaya. Sebagaimana dalang dan awang batil atau pendidong tadi yang menganggap seolah karya yang dimainkannya menjadi miliknya, dalam sastra modern pun apabila peran kritikus terlalu dominan terhadap pembaca, maka karya sastra yang berada dalam tangannya menjadi bermakna tunggal.

Apa yang mereka katakan atau tafsirkan terhadap sebuah karya, selalu diikuti dan disetujui oleh para pembaca bahkan secara fanatik. Pembaca selalu tidak mau lagi mencari sendiri akan makna sebuah karya yang dibacanya. Bertambah berwibawa seorang kritikus otomatis bertambah besar pengaruhnya terhadap pengarang dan pembaca. Fenomena semacam ini dialami oleh H. B. Jassin dan A. Teeuw. Mereka malang melintang selama lebih setengah abad dengan sangat leluasa.

H. B. Jassin misalnya, pernah diminta oleh Pramoedya Ananta Toer supaya bersedia membicarakan sajak-sajak penyair Lekra. Jassin menolak, karena perbedaan faham dan ideologi. Mungkin sekali di antara karya-karya penyair Lekra itu ada yang berbobot, tapi karena Jassin sudah menampik, mereka kemudian tenggelam dimakan masa.

Buku Jassin yang paling monumental adalah Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45. Berkat buku itu, nama Chairil menjulang serta diapreasi dan diterima oleh masyarakat. Sebaliknya, nama Jassin sebagai kritikus pun mengorbit dan tidak lagi tergoyahkan. Apa yang dia katakan dalam buku itu tentang Chairil, telah diikuti oleh semua orang yang membaca dan mempelajari Chairil dan telah dibakukan dalam kurikulum.

Seorang pelajar atau mahasiswa tak mungkin lagi atau tak diberi peluang untuk membuat jawaban yang menyimpang dari pendapat Jassin (dan Teeuw). Hal ini tentu tidak diharapkan dan jelas keliru. Sebagaimana sifatnya yang kodrati, karya sastra yang ambiguitas dan multipretabel tidaklah pernah selesai dan final untuk dibahas dan ditafsirkan.

Apabila Jassin dan Teeuw mengatakan bahwa karya-karya Chairil, terutama sajaknya Aku, sangat terpengaruh kepada vitalisme Barat, terutama Slauerhoof dan Marsman, hal itu belum tentu seratus persen benar. Bila mereka mengatakan ungkapan yang telah menjadi trade-mark Chairil, “Aku mau hidup seribu tahun lagi” mendapat inspirasi dari kedua penyair Belanda itu, kita tak perlu menelannya bulat-bulat. Masih ada celah untuk menepis tafsiran itu.

Misalnya kita tahu, Chairil lahir dan dewasa di Medan. Chairil sendiri mengaku, dalam suratnya kepada Jassin, dia telah mengambil sikap untuk berkesenian secara penuh ketika berusia 15 tahun. Ini berarti sikap itu diambilnya ketika masih di Medan dan masih lama tinggal di Medan. Kalau diingat, Chairil bertolak ke Jakarta baru pada usia 20 tahun!

Seseorang yang telah bersikap seperti itu, tentu telah mengisi dirinya dengan bekal dan segala macam piranti yang diperlukan. Kalau kita telisik seluruh karyanya yang tidak berapa banyak itu, lebih kurang 70 biji sajak asli, akan terlihat dengan gamblang seluruh sajaknya dipenuhi oleh kosakata khas Medan.

Ketika Chairil berkata, “Kami jalan sama” dalam sajaknya Kawan dan Aku yang membuat Teeuw kebingungan. A. Teeuw buru-buru mengatakan, itu adalah bahasa yang buruk sekali. Sekali gus A. Teeuw memuji keberanian Chairil sebagai pembaharu yang merusak bahasa. Kalau waktu itu dia mau datang ke Medan, filolog itu akan segera tahu, ungkapan itu sangat lazim di Medan.

Begitu juga dengan larik “Aku mau hidup seribu tahun lagi” yang sudah melegenda itu. Kedua kritikus itu tak perlu mencari-carinya jauh-jauh sampai ke Barat atu ke negeri Belanda sana, karena di Medan pun, bahkan ungkapan itu sudah klasik dan klise! Orang-orang Medan, apalagi pada jaman Chairil, biasa mengungkapkan itu dalam percakapan sehari-hari. “Mau hidup seribu tahun kau! Mau jadi tongkat dunia!” Atau: “Mampus kau! Seribu tahun pun kau hambus, aku tak perduli!” Ada pula lagu senandung Melayu, “Seribu tahun takkan lama. Hanya sekejap saja…”

Masalahnya apa yang telah dikukuhkan oleh para kritikus (yang berwibawa) umumnya sangat susah diungkai. Di tangan mereka karya sastra tidak lagi poly-interpretable, tapi sebaliknya bermakna tunggal. Ketika saya mengemukakan di berbagai perguruan tinggi, sajak Amir Hamzah yang sangat terkenal Padamu Jua sebagai sajak cinta yang gagal atau sajak patah hati, banyak mahasiswa yang dapat memahami penafsiran saya. Hal itu menjadi dilematis oleh karena mereka terikat kepada silabus yang telah membakukan pendapat para kritikus bahwa sajak itu adalah sajak relijius bahkan bernuansa tasawuf.

Kalau kita menyetujui hakikat karya sastra sebagaimana yang kita kemukakan di atas, maka otoritas para kritikus semacam ini tidak dapat dibiarkan. Kurikulum dan silabus hendaklah diubah sedemikian rupa, sehingga para siswa leluasa mengemukakan pendapat dan jawabannya selagi itu ditunjangi oleh argumentasi yang dapat diterima.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar