Minggu, 23 Januari 2011

proses kehidupan tak pernah selesai

AFRION

TENTANG daun-daun yang gugur ke segala ruang dan lorong sunyi, titik air menitis di atas lantai, lunglai, sansai.

Metafor daun yang gugur dari reranting dan cabang pohon, begitu gagap, begitu tak berdayanya hidup, dilayangkan angin layaknya hidup pengembara yang lelah di tengah terik matahari. Hidup didera kemarau, jatuh ke bumi lalu menjadi kering kerontang.

Inilah kisah yang mencatat proses kehidupan tak pernah selesai, tulis M Raudah Jambak. Seperti pohon (kehidupan) lainnya yang tak pernah menyadari, terik matahari menggugur daun-daun.

Saat Paceklik Tiba dan Mimpi Lelakiku, adalah puisi Umrah yang berkisah tentang keperihan masyarakat miskin di kota. Hidup tidak menentu di tengah rasa lapar yang melilit perut, lalu ngilu pada tiap-tiap persendian.

Kehidupan di tengah seribu wajah yang terpampang di baliho jantung kota, tak menarik lagi di pandang mata. Berbagai ragam bentuk rupa, hanya menjual harapan-harapan maya. Wajah lelah menyiratkan derita kehidupan tanpa masa depan.

Kota yang bergerak menuju metropolitan, tulis T. Sandi Situmorang – semakin tua semakin cantik, kian tinggi kian berkilau, tambah dewasa tambah angkuh. Namun di balik gemerlapan dan kemajuan kota, ternyata ia menyimpan keperihan hidup warga masyarakatnya.

Kota dengan sisi kehidupan masyarakatnya, adalah sebuah potret yang menggambarkan berbagai suka duka. Dari mulai pemulung hidup di kolong jembatan sampai penguasa di gedung-gedung bertingkat, hidup dengan kemewahan.

Hidup dalam kemiskinan dan ketidakberdayaan - merasa diri hanya menjejakkan kaki dalam debu jalanan. Hidup seakan hanya mampu diatasi dengan melampui kekuatan kemampuan diri. Akan tetapi sebenarnya, tiada daya manusia mengatasi permasalahan yang terjadi di sekitarnya.

Dilematis kehidupan dari berbagai peristiwa yang terjadi di kota, menyimpan ragam keriuhan, keperihan dan penderitaan. Kenyataannya hidup tak lebih sama dari selembar daun yang gugur dikala musim kemarau lalu menjadi kering, jatuh dan lunglai tiada daya.

Manusia-manusia di negeri ini seperti sisypus yang mendorong batu ke puncak bukit, tulis Biolen Fernando Sinaga. Manusia bagai orang asing menempuh perjalanan duniawi, merasakan getaran kesepian dan juga kebimbangan menghadapi rintangan. Dengan beban di pundak menjelajahi dunia tanpa wujud, tanpa bayangan penunjuk jalan.

Puisi lainnya dari Admina H Fitriani, Idenn Ls, Rufliyandhi Rambe dan, Irfan Alma berkisah tentang suasana lingkungan dan perasaan hati yang langsung dapat dipahami maksudnya, menjadikan pengalaman sebagai cara mendekatkan diri dengan kemurnian jiwa, melakukan pembenahan menuju kehidupan lebih baik.

Mengkritisi sikap guru dan keberadaan siswa di sekolah pada puisi Saiful Amri, Tidak ada yang dapat dibanggakan, selain rasa kekecewaan yang dalam bahwa ternyata kelas adalah tempat menerima wejangan palsu.

Sementara di luar kelas semuanya menjadi tidak berlaku, kenaikan kelas hanya menembus batas tipis dan bukan lagi tantangan yang berat, tulis Saiful Amri. Suatu keadaan dimana kita harus menyadari kemampuan diri dan tidak terus berangan-angan terlalu jauh. Apalah artinya hidup kalau angan-angan menjerumuskan kita berada dalam kegalapan duniawi.

Membayangkan masalah pendidikan dan mengamati keterpurukan mutu pendidikan di negeri ini, kita merasakan kompleksitas persoalan yang tak mudah diselesaikan. Persoalan itu kemudian menjadi hal yang biasa, lalu direkayasalah beragam akal-akalan untuk mengatasinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar