Rabu, 26 Januari 2011

Sebuah Imagine tentang DKSU

Bersihar Lubis

Orang-orang itu saling berebut mau bicara. Saling berebut mikrofon. Untung tanpa kabel, walaupun akibatnya pengeras suara itu terpental kian kemari. Ketika seseorang berhasil menyambarnya, dia bergegas ke mimbar, kemudian berbicara bagai orator.

“Pokoknya, saudara-saudara, pengurus DKSU harus dipilih kaum seniman. Bukan dengan penetapan Gubernur,” pekiknya dengan suara melengking. Sspontan ucapan itu disambut hadirin di gedung bersistem pendingin itu denga koor massal: Setuju! Setuju!

Si orator bagai dicekik oleh gemuruh semangat yang menguap ke ubun-ubun. “Bagaimana caranya?” kata dia. “Gampang, one man one vote,” jerit seseorang di floor. “Bagaimana kita tahu setiap one man itu adalah seniman,” balas si orator. Ruangan yang tadi riuh rendah mendadak sontak hening.

Serempak semua yang hadir tersentak bahwa selama ini tak seorang yang mempunyai “kartu seniman.” Lagi pula, instansi mana pula yang mengeluarkannya? Dinas tenaga kerja? Walikota? Lurah? Atau siapa gerangan? “Ah, gitu aja kok repot,” kata seseorang bertubuh jangkung. “Kota ini kecil. Kita tahu siapa yang seniman dan tidak seniman,” lanjutnya. Dia melanjutkan, yang penting dibentuk dulu panitia. Kemudian meregistrasi semua seniman di kota ini.

Kemudian lagi mengundangnya untuk menghadiri sebuah musyawarah seniman. Titik. Eh, tiba-tiba seseorang menyela. Dia berseru, musyawarah seniman dimaksudkan berlangsung se Sumatera Utara. Bukan hanya untuk kaum seniman di Medan. “Bagaimana teman-teman daerah,” katanya.

Maklum, jika pun pengurus DKSU telah terbentuk, wilayah kerjanya meliputi kabupaten dan kota se provinsi. Dananya, tentu saja berasal dari APBD Sumut pula. “Tak adil jika mereka diabaikan,” kata seseorang yang berambut panjang tadi. “Betul-betul,” kata yang lain. “Kita jangan main monopoli,” kata rekan di sebelahnya. “Oke-oke,” kata sang orator.

“Mereka kita undang, tentu dengan cara meregistrasi rekan-rekan seniman di daerah,” lanjutnya. Selesai? Ternyata, tidak juga! Percakapan di ruangan itu beralih ke masalah hak suara. Apakah one man one vote, atau diwakili oleh masing-masing delegasi seniman dari kabupaten dan kota. Berapa orang pula setiap delegasi? Supaya simple, andaikan saja lima orang setiap delegasi. “Setuju!” pekik si orator.

“Tunggu dulu. Bagaimana pula caranya menentukan delegasi yang lima orang itu,” kata seseorang yang berambut plontos. Hadirin hening. Logika mereka mulai muncul, setelah tadi sempat euforia. Artinya, setiap daerah, kabupaten dan kota harus musyawarah dulu menentukan utusan mereka. Jika sudah terpilih, merekalah yang berangkat ke Musyawarah DKSU.

Kira-kira, dimulai dari bawah dulu, baru ke atas. Ada fundasinya. Tidak seumpama “istana pasir” yang gampang rubuh. Nah, jalan pun masih panjang. Gubernur harus memerintahkan semua walikota dan bupati untuk membentuk Dewan Kesenian di semua kabupaten dan kota.

Seseorang yang sedari awal diam saja, kemudian berbicara. “Mengapa DKSU kita anggap bagai OKP (organisasi kemasyarakatan pemuda)?” katanya dengan suaranya yang bariton. “Maksudnya?” kata si orator yang mendaulat diri bagai pemimpin rapat.

Lelaki tadi pun berkata, DKSU bukan OKP. Tugasnya membantu Gubernur sebagai konseptor dan perumus kebijakan pengembangan kesenian. Operasionalnya lebih kepada taktik dan strategi. Bukan operasional, seperti mengusung pentas drama, atau pembacaan puisi dan sebagainya, yang dilakukan oleh grup seniman atau individual.

“Saya membayangkan, DKSU akan melakukan lokakarya kesenian, seminar, diskusi, penelitian. Ya, memasilitasi seniman dengan strategi dan konsep. Termasuk sayembara penulisan novel/roman, cerita pendek, puisi serta karya seni lainnya,” katanya. Penerbitan buku karya seniman boleh saja. Tentu saja dengan kriteria dan standar tertentu. “Tidak asal sebuah kumpulan cerpen dan sajak diterbitkan, lalu DKSU yang menerbitkannya,” katanya.

DKSU akan merangsang dunia usaha, BUMD dan pribadi dermawan untuk menyokong gerakan kesenian, tentu saja. “Iklim berkarya pun menjadi kondusif dan favourable,” katanya. Menurut kawan ini, yang terus saja berbicara, jika DKSU dianggap seperti OKP, diperlukan adanya struktur organisasi yang hirarkis dari provinsi, hingga kabupaten-kota dan seterusnya ke kecamatan dan kelurahan/desa.

“Ha-ha, ada pimpinan wilayah, daerah, hingga cabang dan ranting,” katanya, tertawa. Padahal, DKSU hanya membantu Gubernur dalam merumuskan dan melaksanakan konsep dan strategi kesenian di Sumut. Idemdito dengan Dewan Kesenian Medan (DKM) serta dewan sejenis di kabupaten kota di Sumut membantu Walikota dan Bupati untuk hal yang sama. DKSU bukalah atasan DKM bagai dalam struktur OKP atau partai politik.

“Tak usahlah bertele-tele, apa maksud Anda,” kata pemimpin rapat menginterupsi. “Saya kira pengurus DKSU, juga dewan sejenis di kabupaten kota tak perlu dipilih dalam musyawarah seniman,” katanya. Tak ayal, orang-orang bergumam di sana sini. Ada pula yang berteriak.
“Itu tidak demokratis,” kata seseorang, protes.

“Tak demokratis, bagaimana,” kata lelaki itu. “Gubernur, walikota dan bupati sudah dipilih melalui Pilkada. Karena itu, Kepala Daerah menjadi legitimate untuk menunjuk siapa kepala SKPD alias Kepala Dinas dan tanpa melalui pemilihan,” katanya. “Demikian juga dengan DKSU,” tambahnya.

Para kepala dinas dan pengurus DKSU, ya, bertanggung-jawab kepada Gubernur. Karena DKSU memakai dana dari APBD, maka Gubernur mempertanggung-jawabkannya kepada DPRD. “Begitulah, system demokrasi mengaturnya,” katanya.

Kaum seniman telah diwakili oleh DPRD. Bahwa, DPRD-nya, mungkin belum “peduli” dengan seniman adalah soal lain lagi, walau mereka pun terpilih dalam sebuah Pemilu yang demokratis, terlepas dari berbagai carut marutnya. “Tinggal kita kawal saja itu wakil rakyat, dalam menentukan besaran bujet kesenian,” kata lelaki tadi. Jadi? “Ya, serahkan saja kepada Gubernur untuk menetapkan pengurus DKSU. Jika semua harus melalui pemilihan, bukankah kita sudah lelah dengan berbagai Pilkada, yang kadang juga penuh dengan cacat di sana sini?” katanya pula.

Tentu saja Gubernur tak sembarangan main tunjuk. Harus jelas kompotensinya. Penerimaan masyarakat seniman harus menjadi pertimbangan. Mungkin, pengurusnya tidak harus aktivis seniman yang giat, tapi seseorang yang memahami seluk beluk kesenian. Punya apresiasi dan wawasan, barangkali juga seorang akademisi, pengusaha, budayawan dan lainnya. Tak tabu mengangkat seniman, tetapi fokusnya sudah bertitik berat konsep dan strategi.

Astaga, tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk. Ada yang berteriak-teriak dengan vocal kuat, tapi akurasinya tak jelas. Ada pula kelompok yang bernyanyi. Kadang lagu Gombloh dengan “gebyar-gebyar” itu. Diselingi pula dengan lagu dangdut. Saya yang dari tadi menjadi penonton yang budiman segera mengambil langkah seribu. Oh, alamakjang, kepalaku terantuk di sisi ranjang. Aku tersentak. Rupanya, aku baru saja bermimpi di suatu siang yang gerah. Ha-ha, sebuah imagine tentang DKSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar