Rabu, 26 Januari 2011

Membaca Cerpen-cerpen Foeza ME Hutabarat

Damiri Mahmud

Ketika membaca beberapa cerpen Foeza ME Hutabarat, termuat dalam antoloji Lidah Monster, Zev Enterprise, Bandung, 2010, kita melihat Foeza terutama ingin membuat atau merekam kembali kisah atau peristiwa yang pernah dilihat atau diamatinya melalui tokoh-tokohnya.

Foeza ME Hutabarat, lahir di Medan, 21 Maret 1958, dan tokoh-tokoh dalam cerpen-cerpennya itu pun tampaknya berasal dalam lingkungan “kampung halamannya” itu. Foeza, seperti terasa ingin membuat penekanan, cerpen-cerpen itu memang benar-benar terjadi, atau setidaknya punya sambungan dengan realita dan komunitasnya.

Selain dari satu cerpen, cerpen-cerpen Foeza itu kita lihat mau merekam kisah-kisah masa lalu tokoh-tokohnya, dengan sangat memperhatikan realitas formal dengan hanya sedikit membubuhkan fantasi dan imajinasi. Dengan narasi sederhana dan alur yang tidak berliku Foeza mempertanyakan, menyoroti bahkan menghakimi tokoh-tokohnya meskipun mungkin tidak secara verbal.

Cerpen “Tembok” adalah kisah tentang Nenek yang usil dan pencemburu, yang sangat membatasi gerak-gerik Kakek. Karena cemburu melihat Kakek selalu ramah sama tetangga, Nenek memutuskan menjual rumah dan membeli rumah baru di tempat lain. Mulanya Nenek merasa tenang di rumah barunya, tapi kemudian muncul masaalah klasik. Cemburu kepada pelayan tetangga yang bahenol. Nenek memutuskan mau membuat tembok supaya Kakek tak dapat lagi melihat si pembantu.

Persoalannya ialah biaya yang besar untuk tembok yang direncanakan Nenek begitu tinggi dan kukuh. Dia minta bantuan si aku, sebagai cucu yang kini di Jakarta. Belum putus tarik-ulur si aku dengan istrinya, mereka dapat telegram yang berisi Nenek telah meninggal dunia.

Dengan denouement atau selesaian dalam cerpen itu, meninggalnya Nenek, membuat cerpen ini betul-betul sebuah kisah atau mirip biograpi. Sebagai cerpen, tampak Foeza kurang membubuhkan fantasi dan imajinasi ke dalamnya.

Apabila pengarang mau memfokuskan cerita kepada tembok dan bagaimana pergulatan Nenek untuk membangunnya dengan sedikit “bermain-main” tentu cerpen ini akan menjadi unik. Hemat kita, tokoh aku di sini terasa mengganggu yang meskipun tidak secara langsung tampak berpihak dan menghakimi, sehingga pembaca tidak diberi keleluasaan untuk menyelami perasaan dan lubuk hati Nenek.

Begitupun dengan cerpen “Penghuni Baru” adalah sebuah kisah yang “benar-benar terjadi”. Settingnya Jakarta. Tokoh-tokohnya orang Medan. Godang dan istrinya terheran-heran melihat tanah kosong di sebelah rumah sedang dibangun. Melihat para tukang yang banyak, peralatan dan bahannya yang serba wah, tidaklah heran ketika siap bangunan itu mirip istana.

Godang dan istrinya menebak-nebak siapa gerangan penghuni rumah itu. Ternyata Tohap kawan sekampung yang kini telah jadi pengusaha kaya. Tak hanya itu, Tohap adalah rival Godang dalam memperebutkan Murni, yang kini istri Godang. Timbul cekcok dan rasa cemburu dalam diri Godang, apa lagi Murni memaksa Godang menerima tawaran Tohap menjadi menejernya.

Dalam kebingungan itu, muncul Coki pemuda dari kampung yang diutus untuk menjumpai Tohap. Karena tak tahu alamat, dia menuju rumah Godang. Di situ dia bercerita tentang kegelisahan masyarakat kampungnya dan huru-hara yang terjadi akibat Tohap mau membangun super market dan plaza di tapak lapangan bola.

Denouement yang menceritakan kedatangan Coki dan membeberkan kejelekan Tohap, menurut hemat kita adalah digresi atau lanturan yang seharusnya tak perlu ada dalam cerpen itu. Dia membuyarkan konflik yang tengah dibangun. Lebih utama pengarang terasa menghakimi tokohnya. Pengarang tidak melepas tokoh untuk bermain dengan karakternya sendiri secara wajar.

Cerpen “Pengamen Topeng” satu cerita yang menarik. Kita lazim mengenal para pengamen yang mengandalkan kebolehannya bernyanyi dan bermain musik. Atau main akrobat, sulap, sirkus dan lain-lain. Mengamen dengan topeng? Ini tentu memancing rasa ingin tahu. Pengarang telah pun mempertemukan Pengamen Topeng dengan dua figur. Dia terlalu sedikit menyentuh hal-hal yang sudah mulai disorot.

“Bagus…bagus. Teruskan, Pengamen! Itulah wajah saya!” ucap laki-laki itu memuji. Sontak saja semangatnya terpacu. Dia merasa tak salah pilih memainkan topengnya. Dia pun terus menari-nari, memainkan Si Tak Mau Tahu begitu total. Laki-laki bertubuh subur itu makin keras tawanya, hingga matanya berair. Rasa puas memancar dari pipinya yang gempal. Tak pernah ditemuinya hiburan yang benar-benar menghibur. “Terima kasih…terima kasih. Anda telah mengingatkan pada wajah saya yang sudah sejak lama sudah tidak saya kenali.” (hlm. 17).

Ini tentunya menarik dan memancing keingintahuan kita sebagai pembaca. Alangkah baiknya kalau Foeza mau memfokuskan cerita kepada pendalaman batin tokoh-tokohnya itu. Ketika melihat tarian topeng, si tokoh terbayang kepada track recordnya dan pengarang mengilas balik masa lalu dan perbuatan yang dilakukannya itu. Ungkapan tokoh di atas tidak sekadar basa-basi belaka atau terasa begitu mudah diucapkan tanpa liku-liku jiwa.

Jadi, menurut hemat kita, tak usah sampai pada episode di mana Si Pengamen Topeng telah mendapati topeng-topengnya sudah dijual sahabatnya yang telah kena PHK. Denouement itu seperti jadi antiklimaks, sehingga membuat cerita menjadi anekdot, kepada penekanan kisah ini “benar-benar terjadi”.

Ada satu yang menurut hemat kita “sempurna” sebagai sebuah cerpen. Di situ, dalam cerpen “Lidah”, tampak Foeza memainkan fantasi dan imajinasinya. Dengan narasi dan dialog sederhana serta dengan alur yang sedikit dilentur dengan flashback atau kilas balik, pengarang membawa pembaca pada satu klimaks yang mengejutkan.

Ada suspense yang memancing keingintahuan pembaca dan kerahasiaan yang dijaga, hingga ke akhir cerita. Tokoh utamanya, Jum, justru dengan kesederhaannya, menjadi karakter yang kuat. Cerita berpusat pada satu tokoh dalam satu situasi yang padu.

Alur cerita sebagai berikut. Jum, pembantu rumah tangga, pulang kesorean dari rumah Tuannya, dengan membaca sekerat lidah. Di tengah jalan dia kepergok Parto, centeng kebun para, mencurigai benda yang disembunyikan Jum dalam genggamannya. Parto menuduh Jum mencuri perhiasaan di rumah Tuannya. Jum tersinggung dan menunjukkan keratan lidah yang dibawanya. Parto tertawa, menyangka itu lidah sapi pemberian Tuannya untuk lauk makan di rumah.

Lidah itu dikuburkan Jum di belakang rumah malam itu. Besoknya lidah itu raib. Jum menduga-duga siapa yang menyergapnya di deretan gudang karet senja itu. Orang itu mau memperkosanya, sehingga dia melawan dan menggigit lidahnya, hingga putus. Mungkin Pian, tebaknya, preman yang suka main gitar yang selalu menggodanya.

Atau mugkin bosnya, Tuan Rangkaya, yang selalu genit mencuri pandang ke dadanya setiap mengepel. Besoknya dia melihat bosnya itu tak bias membuka mulut sehingga harus dibawa ke rumah sakit.

Ketika suami Jum pulang dari merantau di kota, Jum curiga terhadap prilaku suaminya yang serba salah. Dia menduga suaminya ada main dengan perempuan lain di kota. Apa lagi dia tidak berhasil membelikan Jum perhiasan yang dijanjikan. Jum dengan kesederhaannya, terus menuntut dan menuduh, sementara suaminya salah tingkah dan diam seribu bahasa.

Suaminya diam dan tak buka suara karena lidahnya masih sakit. Sebenarnya dialah yang menyergap Jum senja itu dengan cara menyamar. Dia ingin menguji kesetiaan istrinya yang digosipkan temannya ada main. Ternyata, dengan peristiwa itu, si suami yakin, Jum adalah istri yang setia. Uniknya, hingga kisah berakhir, si istri tetap tak mengetahui, yang digigitnya itu adalah lidah suaminya.

Inilah memang hakikat cerita fiksi. Dia memang dongeng. Dalam arti fantasi dan imajinasi harus lebih banyak bermain. Cerpen “Lidah” itu tampaknya memang kisah sehari-hari. Kalau ditarik kepada realita, tak mungkin terjadi. Episode Jum, didekap oleh orang yang ternyata kemudian adalah suaminya, “tak mungkin terjadi” dalam kejadian sehari-hari.

Seorang istri, ketika disentuh oleh suami, meskipun telah menyamar atau berlapis topeng, pasti merasakan dan mengenalnya. Begitu pula Jum tak akan bisa menggigit lidah sampai putus. Si “jahil” akan berteriak, “Ini suamimu, sayang..”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar