Rabu, 26 Januari 2011

Kerampingan dan Perkakas Puisi

Hasan Al Banna

Judul : Nuun
Penulis : Amisha Syahidah
Tebal : 169 halaman
Penerbit : Mat Publishing
Ukuran Buku : 13 x 19 cm
Jenis Buku : Sastra/antologi puisi
Editor : Wib R. G.

Puisi memang lebih ramping dari genre sastra yang lain semacam cerpen, naskah drama, terlebih-lebih novel. Lantas, apakah dengan demikian proses penciptaan puisi menjadi mudah? Sebaliknya, banyak pendapat yang mengaku, menanak puisi jauh lebih sulit. Peristiwa kreatif dapat dideretkan lebih leluasa dalam cerpen, naskah drama atau novel, tetapi tidak dalam puisi.

Dalam puisi, sang kreator harus sedapat mungkin jauh dari sikap bertele-tele, senantiasa menjaga momentum untuk fokus pada hal-hal yang hendak disampaikan ke pembaca. Selain itu, ketelatenan kreator memilih atau menyandingkan perkakas (baca: pilihan kata, diksi dan idiom) pada puisi menjadi persoalan penting lain yang tidak bisa diabaikan.

Dua hal inilah yang menjadi sorotan dalam antologi puisi FLP Sumut Nuun. Sebanyak 128 puisi dari 23 penulis termaktub dalam Nuun, dan sebagian besar dari jumlahnya goncang ketika dihadapkan kepada dua persoalan di atas.

Bukankah, misalnya, lirik puisi “Cerita Syahdu” karya A. H. Daulay: “...berapa tembok yang harus ku hancurkan untuk mengikis kesombongan ini? aku ingin selalu dia mengerti. mengerti akan sesuatu, bahwa aku ada.” masih berpeluang besar untuk dirampingkan? Begitu pula dengan lirik puisi Amrin Tambuse berjudul “Senja Telah Ranum” berikut ini.

aku paham kau tetap setia menanti
duduk di benteng peninggalan zaman kolonial
yang dulu sangat kita benci karena menjajah negeri kita
yang kata kakekku kaya akan rempah- rempah
dan hasil buminya

Informasi tentang kolonial yang dibenci atau negeri yang kaya rempah menjadi tidak begitu penting untuk hadir dalam penggalan puisi. Ataupun kalau hendak dipaksa, untuk apa memaparkan alasan kebencian terhadap kolonial, misalnya. Kolonial itu, ya, memang penjajah. Juga sebaliknya.

Begitulah, alat tampih seorang kreator puisi harus bekerja keras agar kata-kata yang tidak perlu menghidar dari tubuh puisi. Itu pula yang seharusnya dilakukan Eka Dyah, ya, merampingkan penggalan puisinya “Selembar Surat untuk Utusan Kematian” berikut: “...Kan kurangkaikan kata di pintu maut dengan sebuah pena bulu yang terjatuh dari cakrawala karena kepak malaikat bagai kapas yang beterbangan di setiap celah awan Menari-nari di antara helaian angin bening penghujung dua dunia/ sambil bercanda dengan burung-burung Hud-hud/ yang baru tiba dari reruntuhan negeri Saba”. Bagaimana dengan persoalan pemilihan perkakas yang berjejal dalam puisi-puisi Nuun?

Puisi tak ubah ruang kosong, harus diisi dengan perkakas yang patut baginya. Ruang tamu mewah lazimnya ditenggeri sofa, lemari jati, meja kaca, ambal, lukisan, ddan sebagainya.

Ruang tamu yang sederhana dihuni semisal, kursi rotan, tikar plastik, almanak kusam, dan sebagainya. Ketika kretor puisi hendak memamerkan ruang tamu yang mewah, dia harus konsisten menderetkan perkakas yang mendukung kemewahan. Begitu pula sebaliknya. Ketika kreator puisi lalai mendisiplinkan diri menjaga konsistensinya, tubuh puisi menjadi timpang, gamang.

Simak lirik puisi “Jangan Marah” karya Fitri Amaliyyah Batubara, “Saat mendung mulai menaungi relung hatiku dan hatimu Dan kini kau telah dibasahi kesedihan”. Pilihan perkakas mendung bersanding dengan relung hatiku dan hatimu menempatkan mendung tengah berkeliaran dalam ranah imajinasi, terlebih-lebih disambut dengan pilihan dibasahi kesedihan.

Ketika puisi bergerak ke lirik berikut, “Aku mampu membawakanmu sebuah payung/ Bahkan memayungi sampai bianglala menyapa”, maka tubuh puisi seperti terjun bebas ke ranah nyata. Mengapa? Ya, payung yang dihadirkan Fitri tidak lagi bergaun imajinasi, kecuali misalnya, Fitri hadir dengan menggunakan perkakas payung cintaku, sehingga lirik puisi menjadi, “Aku mampu membawakan payung cintaku untukmu/ yang melindungi hatimu sampai bianglala menyapa”.

Ketidakjelian kreator mengawinkan perkakas juga melanda puisi Sitha Muriani “Ulang Tahun”, khususnya dalam lirik, “...kau potongkan remah roti padaku”. Kata remah memang masih sehabitat dengan roti, namun dapatkan remah dipotong? Remah merupakan unsur terkecil dari roti. Oleh karena itu, perkawinan remah dengan roti menjadi ‘ilegal’.

Tidak jauh beda dengan lirik, “Seraya menghilangkan beberapa huruf dari abjad harapanku” milik puisi “Cinta Tak Bernoktah” karya Sri Lestari. Bukankah huruf dan abjad bermakna sama? Seharusnya, huruf dihilangkan dari kata, atau kata dicerabut dari kalimat.

‘Keteledoran’ yang senyawa turut menjangkiti Sri Lestari melalui puisi “Buah Tangan”, “Kau telah setia menemaniku Menguntai rangkaian kata Jika esok engkau kembali Bawalah lagi seikat puisi Atau bahkan sekeranjang cerpen”. Ya, perkakas seikat puisi dan sekeranjang cerpen selintas tidak bermasalah. Bukankah menjadi lebih argumentatif ketika seikat puisi disongsong dengan sekeranjang puisi.

Puisi Fitri Amaliyyah Batubara “Angan Perantau” juga kendor dalam memapaskan perkakas, terlebih lirik, “...Aku perantau tak punya teratak”. Bisa dimaklumi maksud teratak dalam puisi adalah perlindungan, semacam papan dalam trilogi kebutuhan primer manusia (sandang, pangan, papan). Namun, teratak condong difungsikan dalam upacara; perkawinan atau kematian.

Dari beberapa kupasan di atas, dan jika menoleh ke puisi-puisi ‘pendek’ dalam Nuun, dapat disimpulkan bahwa kreator-kreator puisi dalam Nuun kewalahan meladeni puisi-puisi ‘panjang’. Sebaliknya, beberapa puisi ‘pendek’ dalam Nuun terasa lebih bertenaga. Simak lirik-lirik ‘bernapas pendek’ dari beberapa puisi berikut.

Masih gerimis
tapi kau
tetap terpukau
sejak kalah tipis
dua-satu

hari demi hari menempis
air-airnya padamu
dan semuanya
terlalu jauh

Dengan menyandang tema yang serupa, puisi “Kekalahan” Intan H.S di atas, juga puisi “Kalah” Amisya Syahidah yang berikut ini sama-sama digarap dengan baik.
Aku berlari ke rantau orang
tuk memetik hasil pendidikan
beribu kerikil datang menghadang
aku kalah di penghujung ujian

Penggarapan yang baik juga dilakukan Lailan Syafira dalam puisinya “Cintaku, Sibolga”. “Kota belanga... sejarah telah mencatatmu dalam peradaban batu lubang, dua gerbang yang menghantarkanku ke jantungmu duhai Sibolga... Pantai Pandan, Pulau Poncan, Tor Simare-mare, tangga 100... keindahan lukisan alam Sang Maha Pencipta terukir indah di jiwamu duhai Sibolga kutinggalkan seribu kisah bersamamu kisah masa lalu bersama cintaku,duhai Sibolga...”. Demikian pula dengan puisi “Tiupan Dahsyat” (Nihayah Rambe), “Sendiri” (Nur Astifa), “Musuh Penulis” (Nurul Fauziah), “Episode Embun” dan “Kepada Bunda” (Selvi Rani), serta puisi “Alam 1” (Win RG).

Sebenarnya, dalam Nuun, terdapat juga puisi ‘panjang’ yang dengan lumayan berhasil ditanak. Puisi “Warna’ karya Sitha Muriani dengan arif dan bertanggung jawab membeberkan definisi warna merah, jingga, hijau, biru, hitam dalam puisinya. Simak definisi hitam dalam bait puisi berikut, “Hitam. Nanar mata cari titik cahaya, berjalan dalam gelap, menapak dalam senyap, serasi dengan jutaan warna, berbagi dua dunia, punya dua muka, dia begitu beda, adil membagi terang,/ damai turut membayang”.

Pada akhirnya, keberhasilan puisi tidak diukur dari ‘pendek’ atau ‘panjang’ puisi, tetapi bagaimana sang kreator mampu menyusun argumentasi kreativitasnya dalam puisi. Oleh karena itu, antoloi puisi Nuun pun telah membuka ruang bagi khalayak untuk menempuh dialog imejiner dengan penulis-penulis puisi di dalamnya.
Penulis; seorang pandai fiksi, pegawai Balai Bahasa Medan, dan dosen luar biasa di FBS Unimed

Tidak ada komentar:

Posting Komentar