Rabu, 26 Januari 2011

Membaca Tongging

M. Raudah Jambak

Acapkali rasaku menjelma siluet pepohonan, yang berdiri kokoh, berharap sekelebat bayangmu menjejakkan aroma wewangian dupa di antara bisik daun-daun:
Bias langkahmu semakin temaram di sela peluh rerumputan. Gumpalan awan berebut menggantungi matahari ketika kau hibuk menancapkan tapak-tapak kaki, lalu kuraut wajahmu sehalus guci:

Laiknya seniman yang mengabadikan karya seni sejati.
Lalu kuhadirkan pelangi di kanvas hati, melintas batas-menembus
dimensi tempat kau terbiasa menari
Abadikan harum aroma tubuhmu:

Entahlah, debur jantungku berdegap berkali-kali.
Lalu, akupun menjelma terompa di tapak kakimu yang lembut,
bergesekan bilah kaca atau hunus duri
mereguk alir peluhmu:

Mewaspada tubuhmu yang memaku dan bias matahari yang beringsut
memohon diri

Dan senja membawamu mengajakku menuju malam, mengurai kembali segala kenangan di pinggir Toba:

Persis dibebatuan-di kawalan rerumputan, kau terdiam, menikmati remang cahaya matahari yang perlahan terbenam, aroma tuak melintas sekilas dari
lapo Amang yang setengah tumbang di belakang kita. Laksana perwira
yang berjaga di perbatasan alis tipismu, di perbukitan mancung hidungmu,
di seputar telaga matamu. Di ranum senyummu, kau aromakan beragam
hidangan dongeng dan legenda

Di depan kita berloncatan riak-riak kata, berlatar sibuk kunyahan kacang sihobuk.
Sebuah nostalgia menari-nari di layar mata tentang temaram Tongging yang sejuk-yang bersahaja di jumpa pertama:

Sebungkus ombus-ombus kau tawarkan sekadar hambarkan gemetar lapar
pada ceritamu tentang beban yang terjejak sepanjang perjalanan dari
kampung halaman, keluarga yang ditinggalkan. Ruap asap jagung bakar,
yang mengisahkan persawahan, ladang dan hutan-hutan

Awan hitam membuka lembaran laklak pada barisan kata yang berjatuhan
Adat seolah memperkenan pemberian marga antara
kepentingan dan kebanggaan

Hidup sekarang hanya memenuhi kebutuhan antara perut dan mulut, ujarmu
Siang dan malam seolah tak pernah ada sebab derita yang tak jelas ujungnya
Malam mencapai puncak kelam, kita perlahan mencari hangat dalam diam

Pada bahuku yang aduh, engkau pun luruh. Adakah isyarat yang dapat terbaca dalam kelam, bisikmu bergetar. Jika aksara lahir dari hati, maka biarkan ia mengalir laksana air. Dan seandainya kata hadir dari segala tipu daya, maka enyahkanlah segera sebelum kita terjerat di dalamnya.

Malam bukanlah kanvas kebimbangan, tetapi ia adalah keyakinan dan harapan tentang sebuah kepastian. Dan engkau pasti sudah membaca aksara jiwaku:
Mendengar debur ombak di dadaku. Membariskan irama beribu bintang tentang senandung rembulan.

Aku adalah matahari di hujan dadamu yang melahirkan pelangi, bukan sekadar melukis mimpi-mimpi, tetapi aku ingin kau terus menjadi seorang penari dengan irama paling setia:
Embun lalu luruh dari dedaunan dan gigil beban
Pada bentangan langit paling luas

kuajak kau terbang sambil menyanyikan semesta.
menggugurkan berjuta irama dengan sempurna:

belahan rasaku yang akan memberikanmu sayap berjuta warna, dan kita
arungi semesta, bersama

Medan, 08-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar