Kamis, 27 Januari 2011

Pengarang Sumut, Pengabdi Sastra Indonesia

Sugeng Satya Dharma

Kerap berpeci, semasa hidupnya pria tua bertubuh kecil ini adalah figur lelaki dengan kesetiaan yang luar biasa. Bertahun-tahun menjadi guru bahasa di SMP Negeri IV Tebing Tinggi Sumatera Utara, lelaki ini adalah potret seorang pengabdi sejati sastra

Indonesia.

Murid, tetangga dan teman-temannya menaruh rasa hormat yang sangat

besar kepadanya. Tutur katanya lemah lembut, nyaris tak pernah bernada emosi. Ketaatannya sebagai hamba Allah pun ia wujudkan dalam khusyuk sholat yang nyaris tak pernah alpa.

Ristata Siradt, dialah salah seorang sastrawan besar Sumut yang sunyi dari publikasi. Sampai wafatnya pun, kecuali segelintir teman dekatnya sesama seniman, nyaris tak ada orang yang memberi penghargaan lebih pada apa yang dikerjakannya.

Bahkan pemerintah setempat (Pemkot Tebing Tinggi, Sumut), tak cukup peduli terhadap keberadaannya. Padahal, selain sebagai sastrawan yang produktif, Ristata Siradt adalah dokumentator sastra satu-satunya di kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

Lahir di Laras, Simalungun, Sumut pada 9 Juli 1932 dalam lingkungan keluarga

buruh perkebunan tembakau, ayah dan ibunya berasal dari Jawa Timur. Saniman,

ayahnya, berasal dari Ponorogo sedang ibunya Giah, berasal dari Trenggalek.

Ayahnya adalah seorang yang gemar memainkan gamelan dan ibunya pandai pula

mengalunkan tembang-tembang Jawa.

Kekentalan darah seni kedua orangtua itulah yang kemudian mengaliri buluh-buluh nadi Ristata. Meski demikian, semasa kecil Ristata justru tidak tertarik pada seni gamelan dan tembang Jawa. Ia justru lebih menyukai sobekan-sobekan “Sumatera

Shimbun”, Koran lokal terbitan Pemerintah Pendudukan Jepang. “Saat itu saya masih duduk di kelas tiga sekolah rakyat,” tuturnya.

Bacaan-bacaan itulah yang kemudian mengasah kepekaannya pada sastra.

Sampai ia dewasa dan kemudian menjadi guru, kegemarannya pada sastra terus berlanjut. Tak sekadar menulis cerita pendek, novel ataupun drama, ia bahkan bergelut dengan

potongan-potongan guntingan koran yang dikumpulkannya dari hari ke hari.

Sampai wafatnya pun guntingan-guntingan koran dan majalah itu, yang berisi macam-macam esai, cerita pendek, cerita bersambung ataupun puisi, ia kumpulkan di lemari usang yang ada di sudut-sudut rumahnya yang tua.

“Cerpen kau yang pertama kali dipublikasi, juga ada tersimpan di sini, Geng. Lihat saja,” katanya suatu kali saat saya berkunjung ke rumahnya. Aku cuma tersenyum. Bangga. Sayang, hanya sedikit orang yang mau peduli dan menaruh penghormatan tinggi atas pengabdian yang dilakukannya itu.

Kini pak Ristata sudah tiada. Ia pergi dengan kesetiaan seorang pengabdi, bahkan sampai akhir usianya. Tapi apakah semangat dokumentasi karya sastra yang dilakukannya itu sudah mendapat apresiasi yang sepantasnya dari masyarakat dan pemerintah? Ataukah museum kecil sastra Indonesia di sebuah rumah sederhana di pojok kota Tebing Tinggi (kurang lebih 60 km sebelah Timur kota Medan) itu, pada akhirnya dilupakan begitu saja?

Harian Kompas edisi Rabu 18 September 2002 pernah menulis; Museum kecil sastra Indonesia itu memang tak sebesar Pusat Dokumentasi Sastra HB. Yassin. Museum itu hanyalah sebuah rumah milik seorang pria tua berusia 70-an tahun bernama Ristata Siradt.

Sebuah rumah yang setelah kematian isterinya, ditinggalinya bersama dua

cucunya. Bangunan tersebut begitu sederhana. Sebagian atapnya terbuat dari

anyaman daun kelapa, berdinding bata dan berlantai Semen. Perabotannya

juga amat sederhana. Tak ada kompor, hanya tungku batu dan beberapa potong kayu

bakar untuk memasak. Secara keseluruhan kehidupan pak Ristata adalah potret buram

seorang pensiunan guru di republik yang telah puluhan tahun merdeka ini.

Namun di balik kesederhanaan itu, rumah yang terletak di jalan Tengku Hasyim tersebut memiliki begitu banyak rak buku. Empat lemari ia gunakan untuk menyimpan bundelan kliping koran dan majalah yang berjumlah kira-kira 550 buah. Ada lagi tiga lemari pakaian berisi koran yang masih utuh. Memang, telah sejak tahun 1950-an pak Ristata mengumpulkan aneka buku sastra dan guntingan koran tentang sastra.

Selain itu, dia sendiri juga menulis aneka karya sastra seperti cerita pendek maupun novel, baik yang berbahasa Indonesia maupun berbahasa Jawa. Berbagai pojok

kota ia datangi untuk mendapatkan aneka kliping itu. Dengan masa pengumpulan

sekitar 50 tahun tanpa henti, bisa dibayangkan berapa banyak koleksi buku dan

data sastra yang dimilikinya.

Kliping karya sastra itu ia kumpulkan dari berbagai media seperti Kompas, Republika, Waspada, Analisa dan majalah seperti Horison. Termasuk di dalam koleksinya adalah karya-karya Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis sampai Danarto. Ia juga mengoleksi beberapa buku tua seperti karya Pramoedya Ananta Toer berjudul “Panggil Aku Kartini Sadja” cetakan pertama.

Sampai menjelang akhir hayatnya, perjalanan waktu tetap tak bisa menyurutkan semangatnya untuk terus mencipta karya sastra dan mengumpulkan karya tulis siapa saja. Kesibukan itu bahkan menjadi pekerjaan sekaligus hiburan bagi Ristata setelah tak lagi

mengajar. Dengan pisau silet merek Goal yang sudah tinggal separuh, sebuah penggaris, satu set spidol aneka warna, serta sebotol lem kanji dan sebuah kuas, pak Ristata terlihat khusyuk menekuni dunia klipingnya itu.

Apapun jenis tulisan, baik itu sastra, kritik seni, sejarah sampai politik, dikumpulkannya. Sedangkan koran, majalah dan kertas diusahakannya sendiri dari menyisakan sedikit gajinya sebagai guru. Setelah pensiun, koran dan majalah itu ia beli dengan sisa uang pensiunnya yang tak seberapa.

Beberapa koran bahkan hanya ia beli jika ada rubrik budaya dan sastranya. Selebihnya ia hanya menunggu seseorang datang ke rumahnya membawakannya koran-koran atau majalah bekas.

Tulisan-tulisan itu kemudian ia tempel pada sehelai kertas buram, lalu ia jilid sendiri. Jilidan yang amat sederhana namun rapi itu kemudian ia simpan dalam tujuh

lemari kayu yang sudah mulai keropos, bahkan beberapa di antara lemari itu ada pintunya

uang telah copot. Untuk memelihara agar jilidan dan bundelan itu tidak rusak, iapun mengikatnya dengan tali rafia.

Dibawa kabur harta tak ternilai berupa aneka buku dan kliping sastra itu sempat mengundang banyak peneliti dari luar negeri. Pada awal September 2002 misalnya, seorang peneliti Malaysia, Abdur Razzaq dari Asian Public Intellectuals bahkan membutuhkan waktu berjam­jam mempelajari aneka kliping milik Ristata sebelum memutuskan untuk menfoto copy ratusan lembar naskah yang ada.

Tak hanya Abdur Razzaq, hasil ketekunan pak Ristata itu juga berguna bagi banyak kalangan seperti mahasiswa dan peneliti. Dalam seminggu rata-rata tiga mahasiswa datang ke rumahnya mencari bahan untuk menulis skripsi. Namun sayang, di antara mereka yang mendapatkan manfaat dari museum kecil sastra Indonesia itu, terselip pula orang yang mementingkan diri sendiri.

Beberapa tahun yang lalu ada seseorang yang meminjam koleksi kliping Ristata, namun tak mengembalikannya. Lebih dari 20 kilogram kumpulan tulisan itu dibawa kabur. Katanya untuk penelitian. Namun hingga pak Ristata wafat kliping-kliping itu tak juga dikembalikan. Pak Ristata sendiri sempat mengaku kapok meminjamkan dokumentasinya. “Sejak kejadian itu tak seorang pun saya bolehkan membawa kliping keluar dari rumah saya. Lebih baik saya membuatkan fotokopi dan saya sendiri yang akan mengantarkannya,” papar Ristata kala itu.

Atas dedikasinya pada dunia sastra itu, semasa hidupnya Dewan Kesenian Medan pada tahun 1982, menganugerahinya gelar Sastrawan Terbaik Sumatera Utara. Lalu pada tahun l984 naskah dramanya berjudul “Neraca” juga mendapat kesempatan untuk dipentaskan secara kolosal pada penutupan MTQ Nasional XVII di Tebing Tinggi.

Hebatnya, meski kesastrawanannya diakui secara nasional, sampai akhir hayatnya pak Ristata tetaplah pribadi yang bersahaja dan murah hati. Bahkan pengabdiannya

pada sastra dan dokumentasi tetap tak berkurang seperti kebiasaannya lari pagi

yang juga tak pernah berhenti. “Saya akan terus menulis dan membuat kliping sebagaimana saya terus berlari,” paparnya suatu kali. Ah….! (*)

*Penulis adalah Penyair dan Koordinator Gerakan Relawan Medan Hijau (Gerilya-Mu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar