Rabu, 26 Januari 2011

Aldian Arifin; Penyair Elipsis itu telah Tiada

D. Rifai Harahap

Laki-laki berkulit sedikit gelap itu, memasuki halaman Taman Bina Budaya Medan dengan santai. Sebuah tas kecil berwarna hitam dia kepit di tangannya.

Langkahnya lurus menuju kantin. Begitu melihat sosok laki-laki berkulit gelap itu muncul di pusat kesenian Medan, aku sepontan bangkit dan menyambut. Kehadiran laki-laki berkulit gelap itupun mengulurkan tanganku padanya.

Aku pernah bertemu dengannya sekitar tahun 1974, saat dia sedang bertugas di Riau sebagai pejabat Imigrasi. Awal pertama aku mengenalnya sewaktu dia masih bertugas di Imigrasi Medan, waktu itu dia masih berkantor di Jalan A. Yani, Kesawan.

Dari Burhan Piliang (Alm), aku dapat tahu sosok laki-laki yang berkulit gelap itu bernama Aldian Aripin. Di samping sebagai pegawai negeri sipil, dia juga adalah seorang penyair. Salah satu buku kumpulan pusi bersama dengan Djohan A Nasution dan Z. Pangaduan Lubis yang berjudul Ribeli '66. Buku itu diterbitkan sendiri oleh Aldian Aripin dengan nama penerbit Sastra Leo Medan.

Tanggal 15 Oktober 2010 lalu, tepatnya hari Jumat, A. Rahim Qahhar yang juga adalah seorang penyair, penulis cerita pendek dan wartawan , mengirimkan sms pada penulis. Isinya mengabarkan penyair Aldian Aripin telah berpulang sekitar pukul 09.00 Wib saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit. Innalillahi Wa Innailaihi Rojiun...
Penyair alit itu, akhirnya memenuhi janjinya setelah sekian lama menderita sakit, yang membuat dia tak lagi dapat menuangkan ide-idenya ke dalam bentuk tulisan.

Dia yang dilahirkan pada 1 Agustus 1938 di Kota Pinang, Labuhan Batu. Saat penulis dan penyair Teja Purnama datang melayat, di depan kami terbaring tenang Bang Aldian Aripin, yang kala hidupnya banyak membantu setiap kegiatan pementasan yang diselenggerakan oleh Teater Nasional (Tena) Medan sekitar tahun 1968-1969 dan 1970.

Bang Aldian Aripin adalah donatur Tena dan perhatiannya pada kegiatan kesenian di Medan, dia buktikan sampai ia menjalani masa pensiun di tahun 1995. Sebagai seorang pejabat yang pernah ditempatkan pada posisi penting di beberapa kota, seperti Medan, Pekan Baru, Bagan Siapi-api, Lhokseumawe, Padang dan Jakarta.

Mantan pejabat teras di instansi Imigrasi itu, ternyata tidak berat langkahnya untuk memasuki kantin Taman Budaya dan duduk lesehan di bawah pohon asam, demi memberi masukan kepada seniman-seniman muda yang sering mangkal di Taman Budaya Medan.

Dia adalah pejabat yang memang benar-benar seniman. Ketulusan dalam berkesenian, ketulusannya dalam membantu setiap kegiatan kesenian, dia buktikan dengan menerbitkan sendiri beberapa buku sastra dan biografi tentang dirinya yang dijilid apik.

Tidak itu saja. Aldian Aripin semasa hidupnya juga sangat menyenangi kerja film. Untuk mewujutkan hobinya itu, dia mendirikan perusahan film yang dia beri nama Leo Amatieur Film, bersama Burhan Piliang, Khalik Noor, Slamet dan Iskaq S. Leo Amateur Film ditahun 1968 telah memproduksi film cerita yang berjudul “ Tuah Ta “ .

Film yang berdurasi sekitar satu jam lebih itu, dibuat mempergunakan pita sellouid berukuran 8 mm. Tidak saja semasa bertugas di Medan, kemanapun Aldian Aripin ditugaskan, pertama-tama yang dia cari adalah seniman-seniman yang ada di kota dimana dia ditugaskan.

Tidak heran, di Pekan Baru, Palembang, Padang, bakat besarnya itu tak pernah padam. Kini Aldian Aripin telah tiada. Seperti yang dia tuangkan dalam baris puisinya di bawah ini.

Bila gerak surut ke dalam diam
Siang larut ke dalam malam
Putih diserap hitam
Rata.rata.

Bila surut kedalam dia, ditulisnya tahun 1984. Bentuknya memang sederhana sekali. Lewat pusi pendeknya itu, dia mampu mengungkapkan manusia sebagai makhluk yang tertinggi (karena akal budinya), yang berpacu dengan waktu serta berpacu dengan dirinya sendiri. Mari kita simak puisi alit Aldian Aripin dibawah ini.

Manusia
Alangkah majunya manusia
Berpacu dengan waktu
Berpacu dengan dirinya

Alangkah sepinya puisi
Berdenyut malam hari
Dalam hati

Kini dia telah berada di tempat peristrahatan terakhirnya. Puisi-puisinya tinggal di dunia yang fana ini, sebagai ibadah yang akan terus menerangi jalannya, dimana tak lagi ada puisi disana. Dia meninggalkan seorang isteri yang bernama Zubaidar Daulay, delapan anak putra dan putri, Amalia, Boris, Calderon, Dessafina, Ezra (yang juga adalah seorang penyair), Femmy skotia, Gita Kencana dan Honore Siampudan.

Setiap yang bernyawa memang harus berurusan dengan kematian. Giliran itu pasti. Seperti yang dia nukilkan lewat puisinya yang berjudul ;

Metafisik
Dunia di luar dunia
Gelombang arwah
Tak terjemba
Luput dari mata

Dunia di luar dunia
Khidmat dan mulia
Dan Dia
Duduk di arasyNya
1970.

Kesanalah sekarang Aldian Aripin menuju, untuknya, dari anak-anak yang ditinggalkannya, dia sangat mengharapkan doa yang tak putus-putusnya. Selamat jalan Bang Aldian Aripin, semua kebaikan dan ketulusanmu dalam membantu kegiatan seni, moga jadi ibadah yang dapat memuluskan perjalan untuk bertemu denganNya. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar