Rabu, 26 Januari 2011

Cerpen Aktual dan Keseharian Jadi Inspirasi

YS Rat

PERISTIWA yang terjadi pada waktu tak berselang lama, yang mungkin pernah terjadi, atau saat ini dianggap mustahil, tapi suatu ketika bisa saja terjadi dalam bentuk lain sesuai zamannya, sah sebagai sumber inspirasi bagi pengarang.

Tak terkecuali pengarang cerpen atau cerpenis. Hal demikian, juga dilakoni tiga cerpenis yang karyanya dimuat di rubrik Rebana 1 Harian Analisa terbitan November 2010. “Gas” karya Intan Hs (Minggu, 7 November), “Lontong Sayur” karya T Agus Khaidir (Minggu, 21 November) dan “Tua Batu Melenggang” karya Sidrata Emha (Minggu, 28 November), merupakan cerpen yang diinspirasi oleh di antara peristiwa semacam itu.

Pada “Gas,” pengarang mengisahkan tentang tragedi “buah” dari program konversi minyak tanah (minah) ke gas yang diterapkan pemerintah. Teramat miris, satu keluarga terdiri dari suami, istri dan anaknya yang masih berusia lima tahun jadi cacat selama hidup. Mereka korban ledakan dan kebakaran bersebab gas yang menyembur dari tabung isi tiga kilogram karena terjadi kebocoran.

Di antara wanita yang mulai menorehkan karyanya di media massa koran daerah ini tahun 2000-an dan terbilang muda, Intan HS bukan saja produktif. Menurut pengamatan penulis, selama ini dia kerap mengetengahkan cerpen-cerpen berlatar kedaerahan, sehingga terkesan nyaris sudah jadi ciri khasnya. Lain dengan “Gas.” Kali ini dia mengangkat peristiwa kekinian di sekitar kita ke dalam cerpennya itu. Teramat mungkin segi aktual yang jadi pertimbangan.

Hasilnya, memang cerpen “Gas” berhasil menggiring ingatan pembaca pada banyaknya korban cacat sepanjang hidup. Bahkan tewas akibat ledakan dan kebakaran bersebab gas yang menyembur dari tabung isi tiga kilogram karena bocor. Kini, kabar tentang itu seolah lenyap. Apa memang sudah tak pernah ada tabung gas bocor, lantas memicu ledakan dan kebakaran, sehingga merenggut korban?

Sayangnya, Intan Hs hanya mengemas peristiwa aktual itu dalam bentuk cerpen. Jadinya, cerpen “Gas” dari segi isi banyak sekadar mengulang kabar yang khalayak telah sering mengetahuinya melalui media massa.

Banyaknya korban ledakan dan kebakaran akibat terjadi kebocoran pada tabung gas atau komponennya seiring konversi minah ke gas, sudah umum diketahui melalui berita di media massa. Lengkap dengan kondisi miris para korban sekaligus kemungkinan nasib masa depan mereka yang rata-rata masyarakat kalangan menengah ke bawah.

Di antara hal-hal itulah yang disuguhkan kembali oleh pengarang melalui cerpen “Gas.” Dalam hal ini, Intan Hs kurang melakukan olah imaji terhadap peristiwa aktual yang menginspirasinya melahirkan sebuah cerpen.

Tentunya akan lain, jika dari hasil olah imajinya Intan Hs mampu mengungkap sesuatu yang belum disentuh media massa, namun tak mustahil ada di balik peristiwa aktual itu. Sekadar misal, kian mirisnya nasib korban, yang malah menerima tekanan dan ancaman karena menuntut pertanggungjawaban pemerintah atas musibah terhadap diri beserta keluarganya yang notabene bersebab program pemerintah.

Sedikit catatan terhadap cara bertutur. Pada cerpen “Gas” Intan Hs terlalu setia memakai gaya bahasa buku, terutama di bagian dialog tokoh, sehingga kelancaran pergerakan cerita agak terganggu. Juga didapati sejumlah kalimat yang jika dicermati ternyata berlainan makna dari maksud sebenarnya.

Salah satunya: “Tetangga ibu di sebelah rumah yang membawa ....” Kesannya, di saat kejadian, ada tetangga sedang berada di sebelah rumah korban kemudian membawanya beserta anak dan suami ke rumah sakit. Lain dengan misalnya: “Tetangga sebelah rumah ibu yang membawa ....” Ini menjelaskan, tetangga yang rumahnya bersebelahan dengan rumah korban.

Kemudian, ada bagian kalimat menerangkan suatu kejadian, namun secara logika itu tak mungkin. Kutipan berikut – bahkan yang demikian terjadi juga dalam pemberitaan di media massa – contohnya: “.... karena tabung gas tiga kilogram yang meledak, sejak konversi minyak tanah ke gas ....” Nyatanya, setiap terjadi ledakan dan kebakaran, tabung gas ditemukan tetap utuh. Sebenarnya, tabung gas tak meledak, melainkan penyebab terjadinya ledakan dan kebakaran karena adanya kebocoran.

Berikutnya cerpen “Lontong Sayur” karya T Agus Khaidir. Meski tak umum dan bukan bersumber dari peristiwa yang berpotensi jadi berita bacaan publik, cerpen ini juga berisi kisah keseharian -bisa dipastikan tak cuma terjadi di satu kantor perusahaan swasta atau pemerintahan- yang bisa jadi di antara kita juga pernah mengalami meski tak sama betul.

Aku (Jay), sebagai staf divisi desain, sudah sekitar dua tahun sekantor dengan Mira, sekretaris di perusahaan tempatnya bekerja. Setelah sepanjang masa itu pula tak pernah masuk bagian dari kepedulian Mira, meski sekadar teman kerja yang pantas diajak ngobrol, tanpa aba-aba wanita pengguna parfum Poison dari Calvin Klien itu menebar umpan kepada Jay.

Tak cuma sapa. Mira bahkan menawarkan Jay untuk sarapan bersama. Bagai mendapat durian runtuh dan pucuk dicinta ulam pun tiba, kesempatan langka itu pantang disia-siakan Jay. Bukan ke restoran atau kafe elite seperti dugaan Jay, Mira melajukan mobilnya ke sebuah warung pinggir jalan. Mereka cuma sarapan lontong sayur. Tak hanya sekali. Sejak itu sarapan bersama Mira di Warung Lontong Istimewa Minggu Pagi - meskipun buka setiap hari pukul 06.00 hingga 12.00- mengisi rutinitas pagi Jay.

Seiring waktu, debar-debar tak biasa pun merong-rong hati Jay setiap kali berdekatan dengan Mira. Setelah berulang kali tak sanggup meletupkannya, suatu pagi, dia bertekad menyatakan perasaannya kepada Mira. Malangnya, sebelum itu sempat dilunaskannya, Jay bersua kenyataan mencengangkan.

Tak semata tawarannya untuk sarapan bersama ditolak Mira dengan dalih sudah ada janji, Jay menyaksikan Mira masuk ke sebuah mobil dikemudikan seorang pria yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Cerpen “Lontong Sayur” sebenarnya lumayan menarik dan lancar dalam hal penuturan di bagian berikutnya. Sayang, satu ganjalan langsung menerpa begitu mulai membaca alinea pertama cerpen ini.

Cobalah cermati kalimat berikut: Potongan beras dikukus sampai padat, tersusun dalam formasi melingkar, kian membentuk sudut sempit. Dari sisi kanan menyerbu tauco, gulai nangka dan taburan serundeng, kelapa parut yang diberi rempah. Telur putih mengkilap menjadi hiasan yang cantik di sisi kiri. Tepat di tengah, bagaikan bukit kecil, ditumpuk keripik kentang diiris tipis-tipis.

Sekecil apa potongan beras yang memang sudah kecil? Atau, sekecil apa jadinya beras yang memanglah kecil jika dipotong? Lagipula, sesungguhnya lontong bukanlah potongan beras dikukus sampai padat, tapi beras dikukus sampai padat. Barulah kemudian dipotong-potong.

Ditambah lagi kutipan alinea kelima ini:“.... sebenarnya bukan semata perkara selera yang membawaku ke warung ini. Aku punya alasan lain yang sulit kudefenisikan [kudefinisikan]. Mungkin kalian bisa membantuku. Kalau pun tidak, tak apalah. Kuceritakan saja pada kalian. Siapa tahu di antara kalian ada yang punya pengalaman serupa.”

Logikanya, cerpenis dan pembaca karyanya berada pada tempat berbeda. Jadi, sangatlah muskil pembaca membantu cerpenis mendefinisikan alasan yang sulit didefinisikannya dan bantuan itu diketahuinya? Pun menceritakan pengalaman kepada orang lain yang punya pengalaman serupa, laiknya dua orang atau lebih yang sama-sama menyaksikan suatu pertandingan olahraga, kemudian saling menceritakan. Apalah gunanya?

Cerpen ketiga, “Tua Batu Melenggang” karya Sidrata Emha. Tak beda jauh dengan dua cerpen terdahulu, pengarang juga menyuguhkan cerita dari peristiwa keseharian dan masih terbilang aktual terutama di daerah-daerah yang mulai “didera” pembangunan atas nama perkembangan zaman.

Dalam cerpen ini, tumpuan cerita berupa pertentagan antara dua sahabat lama. Talib yang mati-matian berpihak pada proyek pembangunan kampung. Meski harus membongkar makam dan merubuhkan sekolah, tempat keduanya dulu menuntut ilmu. Batu Melenggang yang oleh masyarakat setempat dianggap keramat dan menjadi nama kampung mereka, dengan Ma’din yang bersikukuh mempertahankan identitas budaya, menjunjung tinggi moralitas dan mencintai peninggalan sejarah.

Diwarnai idiom khas daerah di bagian-bagian dialog tokohnya, cerpen ini sangat nyata mengetengahkan peristiwa -yang mungkin terjadi- di sebuah perkampungan Melayu. Upaya pengarang dalam hal ini, menjadikan cerpen “Tua Batu Melenggang” memiliki daya tarik tersendiri. Meski begitu, seperti halnya “Gas” dan “Lontong Sayur,” sejumlah bagian kalimat pada cerpen ini juga terasa janggal karena menimbulkan arti dan makna yang tak logis.

Berikut beberapa di antaranya: .... Sesekali dikibaskannya baju, keringat mengucur seperti berdiam di bara. Sesekali pula .... Logikanya, yang terjadi apabila seseorang berdiam di bara, seluruh tubuhnya pastilah melepuh. “.... kita pura-pura mencuci baju dengan emak-emak yang lain. Kalau tidak, ....” Penggalan kalimat dialog ini menimbulkan kesan yang berbicara juga emak-emak. Padahal, dari namanya sudah jelas tokoh Ma’din dan Talib merupakan sosok pria.

Kemudian: Perempuan tua itu mengunyah sirih yang berdiam di tepak. Bagaimana pula caranya mengunyah sirih yang berdiam di tepak? Padahal maksudnya, mengunyah sirih yang diambil dari tepak. Lantas penggalan kalimat: Maghrib [Magrib] belum juga selesai, namun perkampungan ...., menjadikan seolah waktu salat magrib terus berkepanjangan dari semestinya. Lepas dari kesemua itu, cerpen sebagai karya sastra, sejatinya tak sekadar cerita yang diceritakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar