Kamis, 27 Januari 2011

OMONG-OMONG SASTRA : MEMPERTAHANKAN TRADISI SILATURAHMI DAN BERKARYA

M. Raudah Jambak

Sastra tentu tak lepas dari ragam persoalan kehidupan manusia dengan segala tetek-bengeknya. Semua terpapar dengan filosofi dan citraannya. Kekayaan pengalaman referensial dan faktual yang dimiliki pengarang dapat mewarnai karya dengan ketajaman pena dan kedalaman makna yang dikandungnya.Sastra urban adalah kebangkitan sastrawan kebangsaan: sastra yang mampu memaknai kata dan menggetarkan kehidupan kemanusiaan. Sastra yang menyentuh dan bukan menyinggung: menghidupkan kembali ruh bangsa yang sekian lama belum terumuskan.Seperti yang pernah ditulis Irmansyah.
Berdasarkan persoalan itu kembali Omong-omong sastra (OOS) diaktifkan kembali. Mengingat usianya yang tidak bisa dikatakan muda lagi (beranjak 35 tahun), OOS merevitalisasi kembali persoalan-persoalan sastra yang memang tidak akan pernah selesai.
Saripuddin lubis pernah menyinggung bahwa Era sebelum tahun 1920-an, dunia sastra di Sumatera Utara dianggap sebagai tonggak dasar kesusastran di Tanah Air. Sebab, saat itu sastrawan Sumatera Utara bisa dikatakan sebagai barometer sastra di tanah air.
Pertama sekali dimulai dengan munculnya nama M. Kasim yang dianggap sebagai peletak dasar berdirinya cerita pendek di tanah air. Setelah itu muncullah nama Amir Hamzah, pemuda dari Langkat, yang dikenal sebagai motor puisi Angkatan Pujangga Baru.
Kemudian lahir pula Chairil Anwar yang merupakan orang yang paling populer namanya dalam wilayah sastra tahun 1945 hingga sekarang. Beliau bahkan masih dianggap sebagai ikon sastra di Indonesia bersama Amir Hamzah. Jika diadakan survei, tentunya nama merekalah yang menduduki peringkat pertama sastrawan di Tanah Air yang dikenal masyarakatnya.
Setelah itu, perhelatan sastra di Tanah Air mulai berpindah tangan kepada teman-teman sastrawan dari Pulau Jawa. Meskipun masih ada, namun nama-nama sastrawan dari Sumatera Utara mulai tenggelam ditelan zaman. Nama-nama yang masih bertahan hanyalah sebagian saja seperti Maulana Samsuri, A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud dan beberapa nama lain. Selebihnya banyak yang tak lagi dikenal di jagad sastra nasional. Dan akhirnya, Saripuddin lubis menuturkan bahwa duaribuan kebangkitan sastrawan terutama dari yang muda-muda, mulai merambah belantara sastra Indonesia.

35 Tahun Omong-Omong Sastra Sumatera Utara

Darwis Rifai Harahap ada menuliskan bahwa di abad serba digital ini, bahwa banyak penulis-penulis muda terus bermunculan dan tenggelam. Yang tenggelam karena tak mampu bersaing. A. Rahim Qahhar, Damiri Mahmud, Ali Sukardi, Maulana Samsuri, Aldian Arifin, masih terus bekarya walau usia mereka telah diatas enam puluh lima tahun.
Cerpenis Lahmuddin Mane telah tiada. Profesor sastra kita Ahmad Samin Siregar juga telah menghadap Khaliknya. Generasi sastra Sumatera Utara, dari angkatan Choking Susilo Sakeh, Sugeng Satya Darma, Jaya Arjuna, mulai berangkat tua. Kini muncul nama-nama sastrawan muda seperti Hasan Albana, Raudah Jambak, Idris Siregar, Muram Batu, Rizlan Effendi dan banyak lagi yang lainnya, adalah nama-nama yang tak asing lagi di Sumatera Utara, bila kita membuka lembaran budaya surat kabar yang ada di Sumatera Utara. Mampukah karya-karya mereka berbicara di khazanah sastra Indonesia?
Persis seperti yang diungkapkan Darwis Rifai Harahap, penulis menangkap sinyal-sinyal harapan. Bagaimana karya sastra sastrawan muda dapat bertahan menembus zaman. Tidak mudah berpuas diri dengan apa yang dihasilkan. Pun tidak langsung tinggi hati dengan satu dua karya yang dilahirkan.
Sastrawan harus terus menyimpan ‘kegelisahan’. Sastrawan harus melahirkan ‘kegelisahan’ itu. Oleh sebab itu, maka OOS yang beranjak 35 tahun ini harus dipertahankan. Ia hadir tidak hanya sebagai ‘rumah’ nostalgia masa lalu, tetapi juga tempat pembelajaran kualitas dan kuantitas karya, serta pengasahan mental. Hal ini penting, sebab seperti yang pernah tetulis bahwa karya menyatakan kita kita ada, rendah hati akan menjadikannya abadi, tetapi kesombongan akan menghancurkannya perlahan.
Terkadang ada yang berfikiran picik, mengatakan bahwa sastra bukan untuk diomongkan, dipertengkarkan, atau kesabaran menikmati segala hidangan nostalgia. Atau segelintir yang lain mengatakan bahwa belajar tidak harus di Komunitas OOS. Semua terserah kita. Kita adalah makhluk yang bebas. Tetapi, sebagai sebuah kekayaan OOS yang beranjak 35 tahun ini harus kita pertahankan, walaupun kekisruhan pernah terjadi beberapa kali kepemimpinan.
Jujur, bahwa sampai sekarang komunitas OOS Sumatera Utara yang masih bertahan sampai sekarang di Indonesia, bahkan dunia, mengingat usianya. Melahirkan banyak sastrawan kawakan, seperti yang pernah disinggung sebelumnya.
Sekarang, bagaimana kita menjadikan OOS adalah milik semua sastrawan, seniman, maupun budayawan Sumatera Utara, bukan milik segelintir orang yang memang kebetulan termasuk sebagai penggagas OOS ini sebelumnya.
Mengingat Herman Ks, NA. Hadian, Rusli A. Malem, Awaluddin Ahmad, Z. Pangaduan Lubis, dll, yang telah berjuang ikut mengharumkan kejayaan sastra Sumatera Utara, maka wajarlah kiranya kita sedikit rendah hati untuk sama-sama peduli sekaligus ikut andil dengan keberadaan OOS ini tanpa harus mengingat segelintir orang yang sempat ‘menodai’ OOS Sumatera Utara ini.
Dengan berbiaknya komunitas sastra saat ini, seperti KSI (komunitas sastra indonesia) medan, LABSAS, Komunitas Home Poetry, Komunitas Rumah Kata, KOMPAK, KONTAN, KOMISI, juga sebelumnya ada FKS, Kedai Sastra Kecil, dll, wajarlah kiranya yang kesemuanya itu saling berbagi ilmu, berbagi wawasan, termasuk saling bersilaturahmi di Omong-Omong Sastra Sumatera Utara.
Juga diakui, tidak ada yang baru di bawah matahari. Dan walaupun matahari mati berkali-kali ia akan tetap lahir esok pagi. Indah memang kalau kita saling berbagi. Seperti sebuah keluarga ada orangtua yang mengayomi, juga saudara-saudara saling berbagi kasihsayang, walau pertengkaran abang-adik, juga orang tua dan anak, maupun suami-istri, toh tetap tidak akan pernah berhenti, justru itu adalah kekayaan yang harus ada dalam setiap sisi kehidupan.

UNDANGAN OOS DI RUMAH IDRIS SIREGAR

Akhirnya, sebagai konsep pembelajaran, setelah ‘pertengkaran’ YS. Rat dan Wika, maka selanjutnya ‘perseteruan’ Hidayat Banjar dan Intan HS, juga ‘kecurigaan’ Yulhasni dengan Wahyu Wiji Astuti kita teruskan mungkin akan disusul oleh Rina mahfuzah dan Azhari untuk pertemuan OOS ke depan. Dan setelah di rumah Hasan Al Banna, maka ‘perseteruan’ Hidayat banjar dan Intan HS akan kita ‘rampungkan, di rumah Idris Siregar tanggal 6 Februari 2011, di tanjuung morawa. Sekaligus mengundang seluruh ninik-mamak, handai-taulan sastrawan, seniman, budayawan, mungkin juga wartawan sebagai saudara untuk ‘melerai’ segala ‘perseteruan’ itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar